Jumat, 13 Desember 2019

KEHENDAK ALLAH


بسم الله الر حمان الر حيم

"Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberi petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.  Dan, barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit - seolah-olah dia sedang mendaki ke langit."
(QS. Al-An'am;  125)

Maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberi petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam," yang dimaksud dengan Iradah  (kehendak) di sini adalah Iradah Kauniyah,  dan yang dimaksud dengan hidayah (petunjuk) di sini adalah Hidayah Taufiq.
(Baca artikel, EMPAT TAHAPAN / TINGKATAN HIDAYAH)
Kami mendapati orang yang seperti berlapang dada terhadap syari’at-syari’at dan syi'ar-syi'ar Islam, dia mengerjakannya dengan kebahagiaan, senyum, dan kegembiraan.
Jika anda melihat itu terjadi pada diri anda, maka ketahuilah bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah bagi anda.  Adapun orang yang menjadi sempit dengan syariat Islam - na'uudzubillah (kita berlindung kepada Allah), maka hal ini adalah pertanda bahwa Allah tidak menginginkan hidayah untuknya,  karena jika tidak (demikian), niscaya hatinya akan menjadi lapang.
Oleh karena itu, anda melihat bahwa shalat merupakan ibadah yang paling berat bagi orang-orang munafik, padahal ia adalah ibadah yang menenteramkan (jiwa) bagi orang-orang yang ikhlas.  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Duniamu yang dijadikan disukai olehku adalah wanita dan minyak wangi, dan ketenteramanku dijadikan di dalam shalat."  (HR.  Ahmad)
Tidak diragukan lagi, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling sempurna imannya,  dada Beliau menjadi lapang karena shalat, dan ia (shalat) menjadi ketenteraman Beliau.
Jika dikatakan pada seseorang, "Kamu wajib shalat berjama'ah di masjid," lalu dadanya menjadi lapang dan dia menjawab, "Segala puji bagi Allah Yang  (telah) mensyariatkan hal itu untukku.  Seandainya Allah tidak mensyariatkannya, niscaya ia adalah bid'ah."  Lalu orang ini menerimanya dan melaksanankannya.  Itu adalah tanda, bahwa Allah menginginkan kebaikan dan hidayah untuknya.
Makna firman-Nya,
"Niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam."  Melapangkan artinya meluaskan.  Berkaitan dengan makna ini Nabi Musa  'Alaihissalam berkata ketika diutus oleh Allah kepada Fir'aun,  رب اشرح لى صدرى  /  "Rabbi asyrahliy shadriy"  /  "Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku dadaku."  (Thaha;  25).
Yakni, luaskanlah dadaku dalam mendakwahi dan menyampaikan kepada orang ini, karena Fir'aun adalah raja lalim lagi keras kepala.
Firman-Nya,   للاءسلام  /  "Lil-Islaami"  (untuk memeluk agama Islam) adalah umum - mencakup dasar-dasar Islam, cabang-cabangnya, dan kewajiban-kewajibannya.  Sejauh mana kelapangan dada seseorang terhadap Islam beserta syariatnya, baik yang datang dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, sejauh itu pula kehendak Allah memberikan petunjuk baginya.
(Baca juga artikel, HUKUM SHALAT BERJAMA'AH)
Makna firman-Nya, "Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit."  Yakni, menjadikan dadanya sangat sempit.  Kemudian Allah mengibaratkan dengan firman-Nya,  كاءنما يصعد فى أسماء  /  "Ka-annamaa yashsha'adu fiy as-samaa-i"  ("Seolah-olah ia sedang mendaki langit"), yakni ketika Islam disodorkan kepadanya seolah-olah ia sedang memaksakan diri naik ke langit.  Oleh karena itu ayatnya berbunyi,  يصعد  /  "Yashsha'adu"  , dengan Shad dan 'ain yang ditasydid,  dan bukan dibaca,  يصعد  /  "Yash-'adu  (naik), seolah-olah dia memaksakan diri dengan sangat sulit, dan tentunya orang yang memaksakan diri naik - dia pasti akan kelelahan dan merasa bosan.
Bayangkan seorang laki-laki yang dituntut mendaki gunung yang sulit lagi tinggi.  Jika ia mendakinya maka ia akan berusaha sekuat tenaga, nafasnya akan naik-turun dan ngos-ngosan karena dia pasti mendapat kesulitan karenanya.
Berdasarkan hasil penemuan masa kini dimana mereka berkata, "Orang yang naik ke langit, semakin dia naik lebih tinggi maka semakin kuat tekanannya (karena kandungan oksigennya semakin menipis, pent.) yang membuatnya semakin sulit dan susah bernafas".  Apapun itu, baik makna yang pertama atau yang kedua, orang yang disodori Islam ini sementara Allah berkehendak untuk menyesatkannya,  maka dia merasa sempit dan tertekan seperti orang yang memaksakan diri naik ke langit.
Ayat ini menetapkan sifat Iradah  (kehendak) bagi Allah.
Iradah yang disebutkan dalam ayat ini adalah Iradah Kauniyah bukan yang lain,  karena Dia berfirman,  فمن يرد الله  أن يهديه  /  "Faman yuridillahu an yahdiyahu"  ("Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya"), di sisi lain,  ومن يرد أن يضله  /  "wa man yurid' an yudhillahu"  ("Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya")
Pembagian (pembedaan) yang seperti ini hanya ada pada perkara-perkara Kauniyah, sedangkan Iradah Syar'iyah, maka Allah menghendaki (meminta) semua orang agar tunduk kepada syariat-Nya.
Dari segi perilaku dan ibadah, ayat ini menetapkan, bahwa manusia wajib menerima Islam secara keseluruhan  (Kaffah), baik dasar-dasar maupun cabang-cabangnya; apa-apa yang berkaitan dengan hak Allah dan apa-apa yang berkaitan dengan hak manusia, maka dia wajib berlapang dada dalam hal tersebut, karena jika tidak demikian maka ia akan digolongkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke dalam kelompok kedua, dimana Allah menghendaki kesesatan baginya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya Dia menjadikannya  memahami Agama(Nya)."  (HR.  Al-Bukhari)
Memahami agama berarti menerima agama, karena barangsiapa yang mengerti dan memahami agama, maka dia akan menerima dan mencintainya.
Makna firman-Nya,
"Maka Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman - hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam (setiap) perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."  (An-Nisa;  65)
Ini adalah sumpah (Allah 'Azza wa Jalla) yang ditegakkan dengan huruf  لا ("lam"), dan ini adalah sumpah dengan Rububiyah Allah yang paling khusus terhadap hamba-Nya, yaitu Allah bersumpah kepada Rasul-Nya, atas lenyapnya iman dari orang-orang yang tidak mau melakukan (menancapkannya di dalam hati, pen blog) perkara-perkara berikut;
PertamaMenjadikan Rasulullah sebagai hakim (yang memutuskan hukum), atas dasar firman-Nya,  حتى يحكمو ك  /  "Hattaa yukakkimuu ka"  ("Hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim"), yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka barangsiapa yang mencari hukum kepada selain Allah dan Rasul-Nya - dia bukanlah seorang mukmin (beriman dengan sejati); bisa jadi kafir yang mengeluarkannya dari Islam, atau kafir yang lebih rendah lagi dari itu (kafir asli, yang tidak pernah masuk Islam, pen blog).
KeduaLapang dadanya dengan hukum Rasul, dimana mereka tidak merasakan sempit dada terhadap keputusan Beliau, akan tetapi mereka menerima dengan lapang dada terhadap apa yang diputuskan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
KetigaMenerima secara totalitas, dan penerimaan ini ditegaskan dengan masdhar (kata dasar), yang bermakna dengan penerimaan yang sempurna, tanpa reserve.
Berhati-hatilah wahai kaum muslimin, jangan sampai iman lenyap dari dadamu tanpa disadari.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Sebagai contoh;  Ada dua orang yang berdebat tentang suatu hukum syar'i.  Salah seorang dari mereka berdalil dengan Sunnah - tetapi orang yang kedua menyikapinya dengan sempit dada dan berkata, "Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan (pendapat) imam saya dengan mengikuti Sunnah ini?"
Jelas orang yang kedua ini imannya kurang, karena seorang mukmin yang benar (lurus aqidahnya) jika menemukan dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia akan sangat berbahagia, seolah-olah dia telah mendapatkan harta rampasan perang yang sangat berharga, lalu dia akan berkata, "Segala puji bagi Allah Yang telah memberiku petunjuk kepada hal (jalan) ini."
Sementara di sana ada orang yang fanatik buta terhadap pendapatnya (gurunya), dia berusaha "memelintir" dalil agar sesuai dengan apa yang diinginkan meski bertentangan dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya.  Orang yang demikian ini berada dalam bahaya besar.

Iradah  (kehendak) Allah itu terbagi menjadi 2 (dua);
PertamaIradah Kauniyah, Iradah ini adalah sinonim dari Masyi'ah, maka  أراد  /  "Araada"  (kehendak) berarti,  شاء  /  "syaa-a"  (menghendaki atau menginginkan),  Iradah ini mengandung arti;
A.  Kehendak Allah ini berkaitan dengan apa yang dicintai maupun yang tidak Allah cintai.
Berdasarkan hal ini, jika ada yang bertanya, "Apakah Allah menginginkan kekufuran?"  Maka jawabannya adalah, "Iya."  Jika yang dimaksud adalah Iradah Kauniyah, karena jika Allah tidak menginginkannya, niscaya hal itu tidak akan pernah terjadi.
B.  Mengharuskan terjadinya apa-apa yang diinginkan Allah, artinya setiap yang diinginkan Allah pasti terjadi - tidak boleh tidak.
KeduaIradah Syar'iyah, ia merupakan sinonim dari Mahabbah (kecintaan).  Maka,  أراد  /  "Araada"  (menginginkan) berarti  أحب  /  "Ahabba"  (mencintai), di dalamnya terkandung;
1.  Khusus terhadap apa-apa yang dicintai Allah saja;  Maka, Allah tidak menginginkan  (dari sisi Iradah Syar'iyah)-Nya kekufuran dan kefasikan.
2.  Apa yang diinginkan Allah ini tidak mesti terjadi, artinya Allah menginginkan sesuatu secara syar'i,  dan itu tidak mesti terjadi.  Dia ingin semua manusia menyembah-Nya, tetapi apa yang diinginkan-Nya ini tidak mesti terwujud seluruhnya, sehingga ada manusia yang menyembah-Nya, dan ada pula yang tidak mau menyembah-Nya, lain halnya dengan Iradah Kauniyah (pasti terjadi, tidak boleh tidak).
Jadi, perbedaan antara dua Iradah ini terdapat pada dua sisi;
1.  Iradah Kauniyah mesti terjadi, sedangkan Iradah Syar'iyah tidak mesti terjadi.
2.  Iradah Kauniyah bersifat umum (luas) terjadi pada apa-apa yang Allah cintai maupun yang tidak dicintai-Nya, sedangkan Iradah Syar'iyah terjadi hanya pada apa-apa yang Allah cintai saja.
Jika ada yang bertanya, "Kenapa Allah menginginkan secara Kauniyah apa yang tidak dicintai-Nya?  Artinya, kenapa Dia menginginkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan dan berbagai maksiat lain - sementara Dia tidak mencintainya?"
Dapat dijawab sebagai berikut;
Hal itu dibenci Allah dari satu sisi, tetapi dicintai-Nya dari sisi yang lain.  Ia dibenci karena merupakan kedurhakaan pada-Nya, tetapi dicintai karena terkandung keselamatan yang besar terhadap hamba-hamba-Nya yang lain, agar mereka bisa membedakan al-haq dan al-bathil, disamping sebagai ujian.
Bukanlah hal yang mustahil, bahwa sesuatu itu dibenci Allah pada satu sisi, sekaligus dicintai-Nya dari sisi yang lain.  Ia dibenci karena merupakan kedurhakaan, dan dicintai karena mengandung keselamatan yang besar pada hamba-hamba-Nya yang lain - bahkan tidak jarang bagi diri pelaku maksiat itu sendiri (bila diiringi dengan taubat nashuha, dan memperbaiki diri, pen blog.).
Tidak mustahil ada sesuatu yang dicintai dari satu sisi, dan dibenci dari sisi yang lainnya.
Ada seorang bapak yang membawa anak kesayangannya yang merupakan buah hatinya untuk berobat kepada seorang dokter.  Lalu dokter tersebut memutuskan untuk mengamputasi (memotong) bagian tertentu dari tubuh anak tersebut demi keselamatan hidupnya.  Begitu sayangnya bapak itu terhadap anaknya, seandainya ada orang lain yang menyakitinya sedikit saja, niscaya bapak itu akan menyerangnya.  Akan tetapi terhadap dokter dia menyerahkan anaknya untuk disayat-sayat (dipotong), dia menyerahkan anaknya "bulat-bulat" dengan keyakinan penuh kepada dokter tersebut.  Mengapa dia rela berbuat demikian?  Jawabannya;  Dari satu sisi bapak itu tidak menginginkan anaknya "disakiti".   Tapi dari sisi lain dia melihat ada kemashlahatan besar (kesembuhan) yang akan diperoleh anaknya dibalik semua itu.
Ada dua manfaat yang kita dapatkan dari segi perilaku dan pengetahuan tentang Iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Pertama;  Hendaklah kita menggantungkan harapan, ketakutan, seluruh keadaan dan amalan kita kepada Allah saja, karena sesuatu itu akan terjadi hanya dengan Iradah-Nya semata.  Hal ini menunjukkan realisasi dari sikap tawakal kita.
Kedua;  Hendaklah kita senantiasa melakukan apa yang diinginkan Allah secara syar'i.  Jika anda mengetahui apa yang dicintai dan diinginkan Allah secara syar'i, maka hal itu akan memperkuat (menambah) semangat anda untuk melakukannya, meskipun akan dibenci oleh manusia lain.
Inilah faidah secara Ilmiyah Iradah Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segi perilaku makhluk-Nya.  Yang pertama dari sisi Iradah Kauniyah, dan yang kedua dari sisi Iradah Syar'iyah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga Allah 'Azza wa Jalla memberikan Hidayah Taufiq kepada kita untuk memahami dan mengamalkan segala keinginan-Nya yang syar'i terhadap manusia.
Wabillahittaufiq.

oOo

(Disadur dari kitab, "BUKU INDUK AQIDAH ISLAM", Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pust. Sahifa, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar