Sabtu, 28 Desember 2019

TAZKIYATUN NUFUS DAN PRINSIP-PRINSIPNYA


بسم الله الر حمان الر حيم

PENGERTIAN TAZKIYATUN NUFUS
Tazkiyatun Nufus merupakan rangkaian dua kata, Tazkiyah dan Nufus.
Tazkiyah memiliki makna suci dan berkembang  (Mu'jam Muqayis Al-Lughah, dan Tahdzibul Lughah).
Sedangkan kata Nufus adalah jamak dari Nafs, yang memiliki arti Jiwa.
Jadi, Tazkiyatun Nufus atau Tazkiyatun Nafs adalah, cara penyucian jiwa dan pengembangnya agar semakin bersih dan suci, sehingga menjadi semakin tunduk-patuh kepada Rabb-nya, serta memiliki banyak amal shalih.
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menjelaskan,
"Asal makna Zakah (atau Tazkiyah, pen. Mjlh.), adalah penambahan dalam kebaikan.  Dari kata ini muncul ungkapan 'Zaka az-zar'u', artinya tumbuhan itu berkembang.  Demikian pula 'Zaka al-maalu', artinya harta itu bertambah.  Kebaikan itu tidak akan berkembang melainkan dengan meninggalkan keburukan, sebagaimana halnya tumbuhan tidak akan berkembang melainkan dengan dibersihkannya dari semak belukar di sekelilingnya.   Begitu pula dengan jiwa dan amalan, tidak akan berkembang melainkan dengan membersihkannya dari segala hal yang berlawanan dengannya.
Seseorang itu juga tidak akan bersih dan berkembang melainkan dengan meninggalkan keburukan-keburukan, karena keburukan itulah yang menodainya."  (Az-Zuhd wal Wara')

Hakikat Nafs
Kata Nafs sering diterjemahkan dengan Jiwa (Roh / Nyawa) - bentuk jamaknya adalah Nufus (Jiwa-jiwa).
Para pakar agama Islam dari kalangan 'ulama fikih dan Aqidah,  juga para 'ulama ahli tafsir dan bahasa Arab telah banyak membahasnya, baik dalam literatur-literatur tafsir maupun mu'jam, yakni kamus-kamus bahasa Arab.
Ibnu Qayyim rahimahullah juga pernah membahasnya dalam kitab Al-Arwah, berkesimpulan bahwa mayoritas pakar agama Islam berpendapat, bahwa kata Nafs atau Jiwa dalam hal ini maksudnya adalah Roh, "Hakikat keduanya adalah satu.  Mereka yang berpendapat demikian adalah mayoritas  (jumhur) 'ulama," ungkap Ibnu Qayyim.
Meskipun demikian, dalam penggunaannya kata Nafs dan Roh terkadang juga memiliki maksud yang lain.  Namun yang dimaksud dalam kajian Tazkiyatun Nufus adalah Roh.
Pengertian semacam ini didukung banyak dalil, baik dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits.  Dalil-dalil tersebut menyebutkan kata Nafs dengan makna Roh.  Bahkan disebutkan pula, bahwa Roh itu ada yang baik (Thayyibah), ada pula yang buruk (Khabitsah).
Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diceritakan keadaan seseorang ketika Rohnya dicabut oleh Malaikat Maut.  Bila yang bersangkutan adalah orang beriman (baik-baik), maka Malaikat mengatakan,
ايتها النفس الطبية اخرجى إلى مغفرة من الله ورضوان
"Ayyatuha an-nafsu ath-thayyibatu ukhrujiy ilaa magfiratin mina Allahi wa ridh'waanin"
"Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya"
Lalu, dibawalah roh (nyawa / arwah) tersebut oleh para Malaikat ke atas langit, dengan bau yang sangat harum semerbak.
Setiap kali melewati sekumpulan Malaikat - mereka pun bertanya,
ما هزا الروح الطيب؟
"Maa hadzaa ar-ruwhu ath-thayyibu?"
"Ruh siapakah yang baik ini?"
Para Malaikat yang membawa roh tersebut menjawab, "Fulan bin Fulan", disebutkan namanya yang terbaik ketika hidup di dunia.
Sebaliknya, bila yang meninggal tersebut adalah orang kafir atau munafik, para Malaikat berkata,
ايتها النفس الخبيثة اخرجى إلى سخط من الله وغضب
"Ayyatuhaa an-nafsu al-khabiitsatu ukhrujiy ilaa sakhathin mina Allahi wa ghadhabin"
"Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya."
Para Malaikat kemudian membawa roh tersebut menuju langit - dengan bau yang sangat busuk.  Setiap kali roh itu melewati sekumpulan Malaikat mereka bertanya,
ماهزا الروح الخبيث
"Maahadzaa ar-ruwhu al- khabiitsu"
"Ruh siapakah yang buruk ini?"
Para Malaikat pembawa roh tersebut menjawab, "Fulan bin Fulan", disebutkan namanya yang paling jelek ketika hidup di dunia.
Demikianlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan keadaan jiwa yang baik dan yang buruk.
Di dalam hadits lain, Beliau juga mengisyaratkan tentang roh yang baik dan yang buruk (artinya),
"Roh-roh itu memiliki kelompok-kelompok yang banyak, yang cocok di antara mereka akan saling mendekat, dan yang tidak cocok akan saling menjauh."  (Shahih, HR.  Muslim)
Para 'ulama memaparkan, "Yang baik akan cenderung kepada yang baik, dan yang jelek akan cenderung kepada yang jelek."  (Syarah Jami' Shaghir, dan An-Nihayah fii Gharibil Hadits, dll.)
Oleh karena itulah, dalam pembukaan setiap khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sering berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa,
"Sesungguhnya segala puja-puji hanya milik Allah, kami memohon pertolongan kepada-Nya,  memohon ampunan kepada-Nya, dan memohon perlindungan dari keburukan-keburukan jiwa kami."  (HR.  Abu Daud, dan lainnya)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari seseorang dengan do'a,
اللهم قني شر نفسي واعزم لي على ارشد أمري
"Allahumma qiniy syarra nafsiy wa'zimliy 'alaa arsyadi amriy"

"Ya Allah, lindungilah aku dari kejahatan jiwaku,  dan kokohkanlah tekadku pada urusanku yang paling lurus."
Dan do'a-do'a lainnya yang memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari jiwa yang buruk.
Menyadari betapa pentingnya permasalahan ini, maka sudah seharusnya kita mengupayakan berbagai cara untuk melindungi kondisi kejiwaan kita, disamping upaya untuk mensucikan dan membebaskannya dari berbagai kotoran.
Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari hadits tentang jiwa manusia yang memiliki kelompok-kelompok,
"Dapat diambil dari hadits tersebut sebuah faidah yaitu, bila pada diri seseorang ditemukan sikap menjauh dari orang yang shalih, maka seyogyanya dia mencari tahu sebabnya.  Lalu, hendaklah ia berusaha membebaskan diri dari sifat tercela tersebut."  (Dinukil dari kitab, Dalil Al-Falihin)

PRINSIP-PRINSIP TAZKIYATUN NUFUS 
1.  Takhliyah dan Tahliyah
Artinya menanggalkan dan menghiasi.
Inilah prinsip utama dalam upaya penyucian jiwa.
Takhliyah, maknanya ialah meninggalkan segala sesuatu yang menyimpang dari ajaran syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus (benar / shahih).  Dilakukan dengan cara menjauhi segala bentuk maksiat, mulai dari yang paling besar seperti perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbagai macam keyakinan dan amalan bid'ah, kemudian tingkatan-tingkatan dosa besar di bawahnya, hingga dosa-dosa kecil, dan hal-hal yang bersifat makruh (tidak disukai Allah).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
"Katakanlah kepada kaum mukminin (orang-orang beriman), hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, hal itu lebih suci bagi mereka..."  
(QS. An-Nur;  30), dan
"Surga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya - mereka kekal di dalamnya.  Itulah balasan bagi orang-orang yang membersihkan diri."  
(QS. Thaha;  76)
Maksudnya, membersihkan diri dari syirik, kekafiran, kefasikan, bid'ah, dan berbagai maksiat - dengan tidak melakukannya sama sekali, atau bertaubat dari dosa-dosa tersebut bila pernah melakukannya.
Selain itu, ia juga mensucikan diri dengan cara menumbuhkan iman dan amal shalih.  Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullah.
Sedangkan makna Tahliyah adalah menghiasi dirinya dengan berbagai amalan shalih - mulai dari amalan yang paling mulia (besar), yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman kepada-Nya dengan seluruh Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, menegakkan aqidah yang benar (lurus), menghiasi diri dengan rukun iman yang enam, selalu tunduk-patuh, bersabar, bersyukur, qana'ah, tawakal, cinta, takut, bertaubat, dan harap - sampai pada amalan paling kecil, yakni menyingkirkan gangguan di jalan.
Makna firman-Nya,
"Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari Neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) guna membersihkan dirinya."  
(QS. Al-Lail;  17-18)
Selain itu, ia juga harus berjihad melawan godaan syaithan dan nafsunya, membantah berita-berita yang menyesatkan dari orang-orang kafir dan munafik, beramar ma'ruf dan nahi munkar (mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran), dan lain-lain.
2.  Hanya Allah Yang Bisa Mensucikan Jiwa
Setelah kita mengetahui, bahwa Tazkiyah (penyucian) itu hanya bisa terlaksana dengan melakukan amal-amal shalih dan menjauhkan diri dari maksiat, kita pun harus mengetahui pula, bahwa semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan Hidayah Taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja menyatakan dengan sumpah Beliau,
"Demi Allah!  Kalau bukan karena Allah - kami tidak akan memperoleh petunjuk, kami tidak bisa shalat, dan kami tidak dapat memberi sedekah.  Oleh karena itu, (ya Allah) turunkanlah kepada kami ketenteraman jiwa, dan kokohkanlah kaki-kaki kami bila kami bertemu musuh."  (Shahih, HR.  Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pulalah yang menjelaskan segala sarana dan fasilitas bagi manusia menuju kesucian jiwa-jiwa mereka.  Kalaulah bukan karena penjelasan tersebut, niscaya manusia akan buta, atau senantiasa berada dalam kegelapan dan bergelimang dengan kekufuran.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan.  Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan - sesungguhnya syaithan itu menyuruh melakukan perbuatan keji dan perbuatan munkar.  Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar tersebut) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.  Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."  
(QS. An-Nur;  21)
Maksudnya,  tidak ada seorang pun dari kalian yang bersih dari mengikuti langkah-langkah syaithan.  Hal ini disebabkan, karena syaithan dengan bala tentaranya setiap detik berupaya menyeru manusia mengikuti langkah-langkahnya, dan menampilkannya dengan gambaran yang indah dan menarik hati.
Lebih-lebih lagi, karena jiwa manusia itu cenderung kepadanya.  Bahkan, jiwa itu memerintahkan kepada qalbunya (hati) untuk mengikuti langkah-langkah syaithan.  Hanya serba kekurangan, dan ketidak-berdayaanlah yang menguasai jiwa hamba dari segala sisi.  Iman pun tak berdaya menghadapinya bila semua faktor pendorong itu dibiarkan (tanpa rahmat dari Allah 'Azza wa Jalla, pen. Mjlh.), niscaya tak seorang pun bersih dari dosa dan keburukan, serta tidak mampu berkembang melakukan berbagai kebaikan.  Akan tetapi, karena karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala serta rahmat-Nya menuntut kesucian sebagian dari kalian.  (Tafsir Al-Karimir Rahman - dengan sedikit editan)
Oleh karena itu, hendaklah seseorang banyak berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar diberi Taufiq untuk mensucikan jiwanya.
Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mencontohkan dengan do'a yang Beliau panjatkan,
اللهم إني اعوذبك من العجز والكسل والجبن والبخل والهرم وعذاب القبر   اللهم ات نفسي تقواها وزكها  انت خير من زكاها  انت وليها ومولاها  اللهم إني اعوذبك من علم لاينفع  ومن قلب لايخشع ومن نفس لاتشبع ومن دعوة لا يستجاب لها 
"Allahumma inniy a'uudzubika mina al-'ajzi wal kasali wal jubni wal bukhli wal harami wa 'adzaabil qabri  Allahumma aati nafsiy taqwaaha wa zakkihaa  Anta khairu man zakkaahaa  Anta waliyyuhaa wa maulaahaa  Allahumma inniy a'uudzubika min 'ilmin laa yanfa' wa min qalbin laa yakhsya' wa min nafsin laa tasyba' wa min da'watin laa yustajaabulahaa."
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat penakut, pelit, pikun,  dan adzab kubur.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia.  Engkaulah sebaik-baik Dzat Yang mensucikan, Engkau-lah Walinya dan Maulanya.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,  qalbu yang tidak khusyu', jiwa yang tidak merasa puas, dan do'a yang tidak terkabul."  (HR.  Muslim)
Makna do'a di atas menunjukkan kepada kita, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.

3.  Ittiba' kepada Nabi-Nya 
Mutaba'ah (mengikuti) Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan satu-satunya jalan (cara) yang dapat ditempuh oleh manusia untuk mensucikan jiwa mereka.  Mensucikan jiwa yang telah terkotori oleh noda-noda jahiliyah, sebagaimana yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla (artinya),
"Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.  Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."  
(QS. Ali-Imran;  164)
Ini merupakan nikmat yang paling besar, yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya.  Bahkan, ia adalah pangkal dari segala nikmat, yaitu pemberian karunia kepada mereka dengan diutusnya Rasul yang Mulia.  Dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan mereka dari bahaya kesesatan, dan melindungi mereka dari kebinasaan.
Makna firman-Nya,
"Ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri." Yakni yang mereka kenal nasab, perangai, dan tutur katanya.  Rasul itu berasal dari kaum dan suku mereka.  Ia adalah seorang yang beritikad baik terhadap kaumnya, belas kasih terhadap mereka, membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka, mengajari mereka lafadz-lafadz dan maknanya, dan (mensucikan mereka) dari kesyirikan, maksiat, dan berbagai kerendahan - dan seluruh akhlak tercela.  (Tafsir As-Sa'di)
Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya akan menerima Tazkiyah yang dilakukan sesuai dengan cara yang Dia syariatkan terhadap Rasul-Nya.
Sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama ini, amalan itu tertolak."  (Shahih, HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencanangkan tujuan manusia ini, yaitu Tazkiyah.  Allah pun telah memberikan sarananya melalui keterangan Rasul-Nya.   Maka dari itu, barangsiapa yang hanya ingin mencapai tujuan tanpa sarana yang telah digariskan, dipastikan dia tidak akan pernah sampai pada tujuan yang dikehendaki.*

4.  Tidak Mengklaim Diri Telah Suci

Ghurur,  terkecoh oleh diri sendiri.  Itulah kata yang tepat bagi mereka yang merasa dirinya telah suci.  Sesungguhnya, kesucian diri kita belum terjamin.  Yang kita lakukan hanya sebatas usaha, dan tentu saja hasilnya secara pasti baru bisa diketahui di Akhirat kelak.  Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah Yang paling mengetahui keadaan diri kita.  Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
فلا تزكوا أنفسكم  هو أعلم بمنتقى
"Falaa tuzakkuw anfusakum  huwa a'lamu bimanittaqaa."
"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.  Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa."  
(QS. An-Najm;  32)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka yang menganggap dirinya suci - padahal kenyataannya tidak demikian, juga pada makna ayat berikut,
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?  Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak teraniaya sedikit pun."  
(QS. An-Nisa;  49)
Atas dasar itulah, ketika ada salah seorang Shahabiyah bernama Barrah,  yang memiliki arti "orang yang baik", Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegur, dan mengganti namanya dengan Zainab, yang belakangan menjadi salah seorang isteri Beliau.
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan cerita Zainab radhiyallahu 'anha (artinya),
"Aku diberi nama Barrah.   Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, 'Janganlah kalian menganggap suci diri kalian .  Allah lebih mengetahui orang yang baik di antara kalian.'  Mereka berkata, 'Dengan apa kami memberi nama dia?  Beliau menjawab, 'Berilah nama Zainab. '"
Bahkan sampai dalam memuji pun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita berhati-hati, agar tidak terjerumus ke dalam larangan ini.  Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Siapa saja di antara kalian yang mau tidak mau memuji saudaranya, hendaklah mengatakan, 'Perkiraanku Fulan (demikian), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah Yang lebih mengetahui tentang dia.  Dan aku tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menganggap suci seseorang secara pasti.  Menurut saya demikian dan demikian ' Bila ia mengetahui hal itu darinya."  (Muttafaqun 'alahi)
Oleh karena itu, para Sahabat dari dulu adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat merasa suci.  Mereka justru khawatir terhadap diri mereka kalau ternyata masih kotor.
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan,
"Aku telah bertemu dengan 30 (tiga puluh) Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya khawatir terhadap kemunafikan atas diri mereka."
Ibrahim At-Taimi rahimahullah mengatakan,
"Tidaklah kubandingkan ucapanku dengan amalanku, melainkan aku khawatir nanti menjadi orang yang didustakan."
Disebutkan pula, bahwa Al-Hasan Al-Basri rahimahullah dahulu mengatakan,
"Tidaklah seseorang merasa khawatir (dari sifat) kemunafikan, melainkan dia adalah seorang mukmin.  Dan tidaklah seseorang merasa aman dari kemunafikan, melainkan dia adalah orang munafik."

Ketiga riwayat di atas dikeluarkan oleh Al-Bukhari rahimahullah dalam bab "Khauful Mu'min an Yuhbatha 'Amaluhu..."
Wallahu a'lam bish-shawab.

*  Di Indonesia khususnya, terdapat puluhan bahkan ratusan ajaran tarikat (suluk).  Yakni ajaran (cara) untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak pernah dicontohkan (direkomendasikan) oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam (mencari dan mengambil jalan sendiri sesuai keinginan dan hawa nafsu penyerunya), (pen blog).

oOo

(Dikutip dan disadur dari dua tulisan, "Menuju Kesucian Jiwa", dan "Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus", Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc, Majalah Asy-Syariah, vol. VII/no. 79/1433 H/2012 M)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar