بسم الله الر حمان الر حيم
Bila
yang dimaksud oleh orang-orang awam tentang ajaran Syari'at Islam, bahwa “WAHABI” itu
adalah pengikut setia Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka dengan
bangga dan lantang penulis katakan, “Saya Wahabi!”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang
‘Ulama Besar Alussunnah wal Jama’ah yang lurus (shahih) Manhajnya,
penerus perjuangan para Nabi dan Rasul, selalu mengacu pada pemahaman para Salafush
Shalih (Tiga Generasi Terbaik sepanjang sejarah Islam), yaitu Generasi
Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Sulit dicarikan tandingannya kalau menyimak
perjuangan Beliau menegakkan kalimat Tauhid, memberantas kesyirikan, khurafat
(tahayul), dan bid’ah (penyimpangan dalam aqidah dan, atau amaliyah) di abad ke-21 ini.
Bahkan
lewat (berkat) perjuangan Beliau pulalah dakwah Tauhid, dakwah Ahlussunnah wal
Jama’ah yang bersih dari syirik, khurafat,
dan bid’ah ini sampai ke Negeri kita (Indonesia), dan beberapa negara lain di Asia - Afrika.
Belum
lengkap rasanya pengakuan seseorang yang mengaku Ahlussunnah wal Jama'ah, bila tidak
mengenal dan mencintai Beliau rahimahullah.
Orang Arab sering menyebut kiasan, “Banyak
orang yang mengaku sebagai kekasih Laila, tetapi Laila tidak pernah mengakui
mereka sebagai kekasih.”
Berikut sekelumit catatan tentang Beliau rahimahullah, dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (dengan sedikit editan, pen.);
Muhammad bin 'Abd al-Wahhab
|
|
Lahir:
|
|
Meninggal:
|
|
Era:
|
Era modern
|
Aliran:
|
|
Minat utama:
|
|
Gagasan: penting
|
|
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701
- 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi (pengetahuan tentang Tuhan
dan Agama yang dilandaskan pada kitab suci yang diturunkan dari langit,
pen.) agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah
menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Daftar isi
Genealogi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin
Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama
lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya.
Jalur sanad kepada Ibnu
Taimiyah
Sanad kepada Syaikhul
Islam Ibnu
Taimiyyah banyak jalannya sebagian melalui Ibnu Qayyim yang
biasanya dari jalur Ibnu Rajab atau
Aisyah bintu Abdil Hadi. Bisa juga melalui jalur murid yang lain,
misalnya melalui Imam adz-Dzahabi, atau melalui silsilah
keluarga Ibnu
Muflih, atau melalui al-Mizzi, al-Birzali dan lainnya.
Sedangkan jalur sanad Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab seperti dibawah ini:
1.
Muhammad
bin Abdil Wahab
2.
Abdullah bin Saif
3.
Abu Mawahib al-Hanbali
4.
An-Najm al-Ghazi
5.
Al-Badr al-Ghazi
6.
Abu al-Fath al-Mizzi
Biografi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha
membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai
dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Para pendukung gerakan ini
menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya
mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun
(mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti
"Mengesakan Allah".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi
berhubung dengan asal usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam
umumnya keliru menilai mereka dan menyangka bahwa mazhab mereka mengikuti
pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah
yang merupakan salah satu mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dan
adapula yang menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka
sangat anti terhadap teroris.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya
dihubung-hubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan
ini, Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahhabi ini
tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok, karena sejatinya nama Wahhab adalah
nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri
mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Orang-orang yang Mengesakan
Allah) karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam
Islam dan cara beragama menurut sunnah Rasulullah yang semakin asing di
masyarakat. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin
suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus
administrasi politik, sementara Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi pemimpin
spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab
Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb dilahirkan pada tahun 1115 H
(1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah
barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Dia tumbuh dan dibesarkan
dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di
lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang qadhi (mufti besar),
sumber rujukan di mana masyarakat Najd menanyakan
segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syaikh Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan
agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syaikh ʿAbd al-Wahhāb. Berkat bimbingan
orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syaikh Muhammad
bin ʿAbd al-Wahhāb berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum berusia
sepuluh tahun. Setelah itu, dia diserahkan oleh orang tua Beliau kepada
para ‘ulama setempat sebelum akhirnya
mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah.
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab,
menceritakan betapa bangganya Syaikh Abdul
Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata,
"Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku
Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syaikh Muhammad bin ʿAbd
al-Wahhāb diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah
selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad
tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah
itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia
berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin
Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad
Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang
tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam
seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya.
Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk
tidak meminta kepada selain Allah.
Hal ini membuat Syaikh
Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah
Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan berjuang
dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah
Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul,
atau bid’ah.
Belajar dan berdakwah di
Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian
pindah ke Basrah. Di sini dia bermukim lebih lama, sehingga
banyak ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul
fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain
belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syaikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memulai dakwahnya di Basrah, tempat
di mana dia bermukim dan untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya
di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari
kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama
yang bernama Syaikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syaikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bersama pendukungnya mendapat
tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang menuduhnya sesat. Akhirnya dia
meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan
ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, lalu dia kembali ke al-Ahsa menemui
gurunya Syaikh Abdullah bin `Abd Latif
al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang ilmu tertentu yang
selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana dia bermukim beberapa waktu,
kemudian kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/ 1726M, ayahandanya pindah dari 'Uyainah ke
Huraymilah dan dia ikut serta dengan ayahandanya sambil menuntut ilmu dari
ayahnya. Tetapi dia masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap
amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan ayahnya gusar karena banyak
tekanan dari beberapa ulama yang takut kehilangan jama'ahnya. Keadaan tersebut
terus berlanjut hingga pada tahun 1153H/1740M, ayahandanya meninggal dunia.
Perjuangan Memurnikan Aqidah Islam
Sejak dari itu, Syaikh Muhammad
tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya,
menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat Islam saat itu dengan sikap
toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat Islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai
merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang
diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh
lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa)
bernama Usman bin
Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syaikh Muhammad,
bahkan dia berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta
izin pada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibangun di atas
maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin
al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang
kedua. Menurut pendapatnya, membuat bangunan di atas kubur dapat menjurus
kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan, tidak ada seorang pun yang boleh
menghalangi tujuan yang mulia ini". Khawatir akan terjadi aksi
penghalangan oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut, lalu Amir
menyediakan 600 orang tentara untuk mengawal bersama-sama Syaikh
Muhammad untuk merobohkan bangunan diatas makam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin
al-Khattab radhiyaallahu ‘anhu. yang gugur sebagai syuhada’
Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di
negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena
di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi
pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu
adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah
telanjur beranggapan bahwa itulah makam Zaid, mereka pun mengeramatkannya dan
membangun sebuah bangunan di atasnya. Bangunan di atas makam tersebut kemudian
dihancurkan oleh Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.
Pergerakan Syaikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu,
ia kemudian menghancurkan beberapa bangunan yang dikeramatkan yang dipandangnya
berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah tindakan pencegahan agar
tempat tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam
setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan
masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad
bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka al-Ahsa' kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintahan 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah.
Ia kemudian memanggil Syaikh
Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir
al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi
dia ingin mendukung perjuangan syaikh Muhammad
tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa.
Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syaikh dengan Amir
Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syaikh Muhammad harus meninggalkan
daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam sebuah buku yang berjudul "Syaikh Muhammad
ibn Abd al-Wahab, Da'watuhu Wasiratuhu", karangan Syaikh Muhammad
bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, ia berkata: "Demi
menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di
samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syaikh meninggalkan
negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara
berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan
negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu
malam hari." (Ibnu Baz, Syaikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada
mulanya Syaikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri
Uyainah Amir Usman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan
dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan
karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya
sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syaikh
Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan
dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syaikh
Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syaikh Muhammad di sebuah kampung wilayah
Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh
menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Ibn Suwailim ini
adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syaikh
kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan
perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syaikh
di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak
aman. Namun, setelah Syaikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan
maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan
dakwah Islamiyah dan memberantas kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim
ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang
melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim
menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syaikh Abdul Wahab
yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada dia.
Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di
rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud
mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua
pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya:
"Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di
mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ‘ulama,
juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar,
janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari
sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syaikh
itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput
Syaikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta
pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para
penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang
menemui Syaikh
Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut.
Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin
Suwailim, di mana Syaikh
Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu
Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syaikh dan bin
Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syaikh!
Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda
di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin
keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada
masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan
seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk
berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah
RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Syaikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga
patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu
wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa
yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang
mendukung agama ini, niscaya
Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini
dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa)
tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja,
tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri yang
berarti di antara Amir dan Syaikh sudah bersumpah setia
sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan
Rasul-Nya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu
Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syaikh seiring
sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalan-Nya.
Nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan
ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di
negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke
Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah
penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang
menjadi modal utama bagi perjuangan dia yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an,
tafsir, fiqh, usul fiqh, hadits, musthalah hadits, gramatikanya (nahwu-shorof)
dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu
dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan
muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal
(madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan
masyarakat. Gema dakwah Beliau begitu
membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain.
Kemudian, Syaikh mulai
menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu
untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh Beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan
pembaharuan Tauhid demi membasmi
syirik, bidah dan khurafat di
negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, dia memulai di
negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan
penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui
Surat-menyurat
Syaikh menempuh pelbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya,
sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui
lisan, dia juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika
perlu dia berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syaikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama
Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas.
Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia
terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang
dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, dia menjelaskan tentang
bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di
seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syaikh terhadap para ulama
dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syaikh
sehingga dia disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya
semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika
Utara, Maghribi, Mesir,
Syria, Iraq dan lain-lain.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri
tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk
membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup
memadai.
Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syaikh dengan
para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang
amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan Beliau yang berupa risalah,
maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak
dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah
al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (pada masa
mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu
dia serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang
telah mewarisi ilmu-ilmu Beliau. Di
masa kini, tulisan-tulisan dia sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia
Islam.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran
dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syaikh Muhammad
bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian
murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran Tauhid Murni ini ke
seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka
masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syaikh Muhammad
bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat
dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan
besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi
karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam
terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan
pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani
yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah
dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan
kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali
Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga
akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca
jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya
adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang
merupakan pakar hadits di zamannya. Dia dibunuh dengan cara sangat keji oleh
Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam
Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin
Saud). Dia dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian
berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah
Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As
Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H
hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani,
mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari
Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah
terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al
Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan
ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam
Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah
yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, dia ditikam dari
belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam,
para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak
kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu
pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil
Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab dia menghidupkan kembali
ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid'ah, sedangkan
Inggris justru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan
kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan
meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat senjata
melawan para penjajah. Karena itu, Inggris memunculkan istilah
'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan
pada pengikut dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum
muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan
serta merta membenci mereka.
Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini
lebih paham tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan
Muhammad bin Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu
kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang
sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari
kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari
luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung
dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syaikh
Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh
penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia
Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan
mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syaikh
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut
dan kadangkala "kasar" (tegas), sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat
pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena
sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat
tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan
pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syaikh Muhammad bin
`Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan
hadits. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syaikh Muhammad telah
membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut
kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syaikh Ibnu `Abdul
Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah
Syaikh Muhammad
Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di
halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syaikh
Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan
kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu.
Diantaranya dia menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta
belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan
dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman
bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan
agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli
Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin,
seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku
hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku
larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang-orang mati daripada orang-orang soleh dan
lainnya."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam
risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syaikh Ibnu
`Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin
(Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem)
pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal
masalah furu’ (fiqh)
kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin
Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari
(melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat.
Dan kami tidak menyetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari
mazhab empat, seperti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan
lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang
batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari
mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah
sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga
tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya
dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash
yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan
setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya (menghapusnya),
atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya,
serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan
kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang
menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian
mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474.
Seterusnya dia berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah
tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan
mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan
Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami
tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi
wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih
bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak
mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan
kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah,"
dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak
percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab
karangan para ulama mazhab, karena di dalamnya bercampur antara yang hak dan
batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan
Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam,
kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mau
menerima bai’ah seseorang
sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga
ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca shalawat ke atas
Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke
kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran
agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan
kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mau mengakui kebenaran para ahlul
Bait Radhiyallahu
'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufur serta
memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk
diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat
derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami
tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat
kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini
adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami
dengan hal-hal yang tersebut di atas, mereka telah melakukan kebohongan yang
amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang
dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu
adalah suatu penghinaan terhadap kami yang dicipta oleh musuh-musuh agama
ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran
sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad (berkeyakinan) bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar,
seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar,
begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang,
maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal
dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua
ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam,
Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami
yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa
martabat Beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak.
Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada
kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Dia itu
lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu
'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepada Beliau. Dan
adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh
hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid
Nabi dan melakukan shalat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqam Rasulullah. Dan
barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca shalawat atas Nabi, shalawat yang datang daripada Beliau sendiri, maka ia akan
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."
Tantangan Dakwah dan
Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan
perubahan , maka Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari
sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar
Islam, terutama setelah Syaikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas
melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku maupun surat-surat yang tidak
terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan
juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga
menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi
puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta
diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses
penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat
ditulis sendiri oleh Syaikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa
itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan
rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika Beliau memimpin gerakan
tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul
dalam dua bentuk:
·
Permusuhan atau penentangan dengan "mengatas-namakan" ilmiyah dan agama,
·
Atas nama politik yang
berselubung (berkedok) agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalat 'ulama golongan tertentu, demi mendukung perkumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Beliau.
Mereka menuduh dan memfitnah Syaikh sebagai orang yang
sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar
terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syaikh
menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan dia
tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang
yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah Beliau:
·
Golongan ulama khurafat
yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq.
Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan
sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah
dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu
adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari
perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka
menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ (wali Allah) dan orang-orang soleh yang berarti
musuh mereka yang harus segera diperangi.
·
Golongan ulama ta’ashub yang
mana mereka tidak tahu banyak tentang hakikat Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab
dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid (membeo) belaka dan percaya saja terhadap berita-berita
negatif mengenai Syaikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas
sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan terhadap golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri
dari belitan keta'ashubannya. Lalu menganggap Syaikh dan
para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ (wali Allah) dan memusuhi
orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syaikh habis-habisan
dan Beliau dituduh sebagai orang yang murtad.
·
Golongan yang takut kehilangan
pangkat dan jabatan,
pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi Beliau supaya
dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syaikh yang berpandukan kepada
aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana
hingar-bingar penentang Beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah
nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syaikh dari Najd ini yang mana
akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara
Syaikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syaikh menulis
surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah
seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya
terjadi pada masa hayat Syaikh
sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak
cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ‘ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syaikh
Muhammad bin `Abdul Wahab yang dibantu oleh para muridnya dan
pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syaikh yang
berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah
didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Dia pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang
pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah,
apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut,
meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan
jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para
pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk
mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata.
Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak
mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan
senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
" Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan
Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat
bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya
dan Rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan
Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan
kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekali dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang,
keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan)
keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan
keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil
tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid
fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu
berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang,
nuklir dan lain-lain lagi yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat
manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu
dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi
kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah
dimanfaatkan oleh Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan
tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih
akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama saja antara yang dibawa oleh Nabi, maupun
oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang
diperbudak oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau
menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah
dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu Rasulullah mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dulu. Yang
demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syaikh Muhammad selama
lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir
hayat Beliau pada tahun 1206 H.
Catatan Penulis
Blog;
Agar tidak
menimbulkan salah persepsi (penafsiran) tentang Dakwah dengan pedang (besi), yang
dimaksud adalah;
·
Merupakan langkah (upaya) terakhir yang ditempuh dalam
pelaksanaan dakwah, setelah menggunakan berbagai macam cara; Dakwah bil Hikmah,
Pelajaran yang Baik, baru dengan Cara yang Paling Baik.
·
Menghadapi Penguasa yang Kafir, dengan kekafiran yang
sejelas-jelasnya – yang ditetapkan oleh ‘ulama yang mumpuni / Mufti / Mujaddid,
jadi bukan diputuskan oleh sembarang orang.
·
Kaum muslimin secara
keseluruhan memiliki pengetahuan yang pasti tentang kekafiran Penguasa tersebut
(bukan dugaan-dugaan sekelompok orang).
·
Jelas (pasti) manfaat dari pemberontakan itu, bukan
sebaliknya (kerugian yang pasti) di pihak kaum muslimin (modal nekat).
·
Kaum muslimin memiliki kemampuan untuk menyingkirkan
Penguasa tersebut. Pengetahuan yang
pasti ini juga diperoleh dari ‘ulama Rabbani dengan kadar keilmuan yang mumpuni (bukan ‘ulama
“karbitan” / ‘ulama “jadi-jadian” , atau ‘ulama “aji-mumpung”, hingga 'ulama "petak-umpet").
(Baca juga artikel,
PARA SALAF MENYIKAPI PENGUASA, dan METODE DAKWAH TAUQIFIYAH, serta JAUHILAH DUA TIPE MANUSIA)
Wafat
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48
tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan
kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai
menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahhab
berdakwah sampai usia 92 tahun, dia wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H,
bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan
di Dar’iyah (Najd).
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar