Sabtu, 11 Mei 2019

10 CARA MELINDUNGI DIRI DARI KEJAHATAN SYAITHAN DAN IBLIS


بسم الله الر حمان الر حيم

Manusia tidak boleh melepaskan senjatanya dalam "peperangan", yang tidak boleh dia letakkan hingga ia meninggalkan dunia.  Jika dia meletakkannya, maka dia akan ditawan dan dikalahkan syaithan.  Maka, mau tidak mau dia harus senantiasa dalam keadaan berjihad, waspada hingga bersua dengan Allah, Rabb-nya.

Berikut  10 (sepuluh) strategi untuk memenangkan pertempuran melawan syaithan dan Iblis laknatullahu 'alaihi;

Cara Pertama;  Memohon perlindungan kepada Allah.
Makna firman Allah,
 “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan,  maka mohonlah perlindungan kepada Allah.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Fushilat;  36)
“Dan, jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Al-A’raf;  200)
Maksud kata mendengar di sini adalah mendengar untuk memenuhi (mengabulkan), bukan sekedar mendengar (secara umum).
Perhatikan rahasia Al-Qur`an, bagaimana ia menguatkan Sifat dengan Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dengan menyebutkan lafazh huwa (Dia), yang menunjukkan penguatan penisbatan (penyandaran) dan pengkhususannya.
Dua Asma dalam surat Fushilat disebutkan dalam bentuk ma’rifah, karena untuk penguatan.  Sementara di dalam surat Al-A’raf tidak dalam bentuk ma’rifah, karena memang hal itu tidak diperlukan lagi.  Perintah memohon perlindungan dalam surat Fushilat disebutkan setelah adanya perintah mengerjakan sesuatu yang paling berat bagi jiwa, yaitu membalas keburukan orang yang berbuat jahat dengan perbuatan baik kepadanya.  Yang demikian ini merupakan perintah yang tidak akan sanggup dikerjakan, kecuali oleh orang-orang yang sabar, dan pahalanya tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapat keberuntungan yang besar.  Begitulah yang difirmankan Allah.
Syaithan tidak akan membiarkan hamba melakukan hal itu.  Maka ia menggambarkan kepadanya – bahwa hal itu merupakan kelemahan dan kehinaan, (menghasut) bahwa dia telah dikuasai lawannya, lalu syaithan mengajaknya untuk melancarkan balasan dan menganggap hal itu lebih baik baginya.  Jika syaithan gagal melaksanakan aksinya, maka ia mengajaknya untuk berpaling dari orang itu, tidak berbuat baik dan tidak pula membalas keburukannya.  Tidak ada orang yang mau berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, kecuali orang yang (berani) menentang kehendak syaithan dan lebih mementingkan Allah serta apa yang ada di sisi-Nya daripada kepentingan duniawi.  Maka posisinya di sini adalah posisi penguatan dan penegasan.  Maka makna firman Allah, “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Fushilat)
Sedangkan dalam surat Al-A’raf terdapat perintah untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh, dan tidak ada perintah untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, tetapi berpaling (saja) darinya.  Hal ini lebih ringan bagi jiwa manusia dan lebih mudah untuk dilakukan.
Keinginan syaithan tidak terlalu mengebu-gebu seperti keinginannya (menghalangi) orang yang membalas keburukan dengan kebaikan.  Maka firman-Nya, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Al-A’raf)

Cara Kedua;  Membaca dua surat Al-Falaq dan An-Nas, karena keduanya memiliki pengaruh yang amat mengagumkan dalam memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan syaithan, guna menolaknya, dan memelihara diri dari gangguannya.  Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tiadalah orang-orang yang memohon perlindungan seperti memohon perlindungan dengan kedua surat ini.”  Beliau biasa memohon perlindungan dengan dua surat ini pada setiap malam menjelang tidur, dan Beliau memerintahkan kepada umatnya untuk membacanya setiap selesai shalat.
Beliau juga pernah bersabda (artinya),
“Sesungguhnya siapa yang membaca dua surat ini bersama surat Al-Ikhlas 3 (tiga) kali ketika petang hari, dan tiga kali ketika pagi hari, maka dia tidak lagi membutuhkan segala sesuatu.”

Cara KetigaMembaca Ayat Kursy.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, dia berkata (dalam hadits yang cukup panjang)..., lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini, sampai akhirnya dia berkata, “Bahwa orang itu (syaithan) berkata, “Jika engkau beranjak tidur, maka bacalah ayat Kursy, karena dengan begitu Allah akan senantiasa menjadi penjagamu, dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”

Cara Keempat;  Membaca surat Al-Baqarah.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Sahl bin Abdullah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تجعلوا بيو تكم قبورا وان البيت الذي تقرا فيه البقرة لا يد خله الشيطان
“Laa taj’aluu buyuutakum qubuuran wa inna al-baita alladziy tuq`ra`u fiihi al-baqaratu laa yadkhuluhu asy-syaithaanu”
“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan.  Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tidak akan dimasuki syaithan.”

Cara KelimaMembaca penutup surat Al-Baqarah.  Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih, hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshary, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka dua ayat itu sudah cukup baginya.”
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari An-Nu’man bin Basyir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya semenjak dua ribu tahun sebelum menciptakan makhluk, Allah telah menulis Kitab dan menurunkan bersamanya dua ayat untuk menutup surat Al-Baqarah.  Tidaklah dua ayat ini dibaca di suatu tempat tinggal tiga malam, lalu syaithan (mampu) mendekatinya.”

Cara KeenamMembaca awal surat Al-Mukmin hingga ayat ketiga beserta ayat Kursy.  Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abdurrahman bin Abu Bakar, dari Ibnu Abi Malikah, dari Zurarah bin Mush’ab, dari Abu Usamah, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Siapa yang membaca Ha’ Mim Al-Mukmin hingga ‘Ilaihi al-mashiir’ dan ayat Kursy pada pagi hari, maka dengan keduanya dia terjaga hingga petang hari, dan siapa yang membaca keduanya pada petang hari, maka dengan keduanya dia akan terjaga hingga pagi hari.”
Meskipun Abdurrahman Al-Maliky disangsikan hapalannya, toh ada beberapa penguat lain tentang membaca ayat Kursy, yang memang memungkinkan bagi hadits ini sebagai hadits gharib.

Cara KetujuhMembaca, “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir” sebanyak 100 (seratus) kali.  Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Suma, pembantu Abu Bakar, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Barangsiapa membaca kalimat itu 100 (seratus) kali dalam sehari, maka seakan-akan dia memiliki sepuluh budak dan ditetapkan baginya 100 (seratus) kebaikan, dihapus darinya 100 (seratus) kesalahan, dan dia memiliki benteng pertahanan dari syaithan pada hari itu hingga petang hari.  Tidak ada orang lain yang membawa sesuatu lebih baik daripada apa yang dibawanya selain dari seseorang yang mengamalkan lebih banyak dari apa yang diamalkannya.”
Tentu saja ini merupakan benteng pertahanan yang sangat ampuh dan sekaligus amat mudah bagi orang yang memang diberi kemudahan oleh Allah.

Cara Kedelapan;   Cara ini yang paling bermanfaat untuk berlindung dari syaithan, yaitu banyak mengingat Allah.  Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Al-Harits Al-Asy’ary, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakarya dengan lima kalimat dan agar dia mengamalkannya, dan memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya, dan hampir saja mereka tidak mengamalkannya.  Lalu Isa berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu dengan lima kalimat agar engkau mengamalkannya, dan agar engkau juga memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya.  Apakah engkau yang memerintahkan kepada mereka atau akulah yang akan memerintahkan kepada mereka.”
Yahya berkata, ‘Aku khawatir sekiranya engkau mendahului aku, maka aku akan diserang atau aku akan disiksa.’  Maka dia mengumpulkan orang-orang Baitul Maqdis hingga penuh.  Mereka duduk di atas balkon.  Yahya berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan aku dengan lima kalimat agar aku mengamalkannya dan aku memerintahkan kalian agar juga mengamalkannya.  Yang pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.  Sesungguhnya perumpamaan orang yang syirik kepada Allah ialah seperti seseorang yang membeli budak dari hartanya sendiri dengan satu keping emas atau dengan beberapa lembar uang.  Orang itu berkata, ‘Ini rumahku dan ini amalku, maka berbuatlah dan laksanakan untuk kepentinganku.’  Maka budak itu mengamalkan namun berbuat bagi selain tuannya.  Maka, mana mungkin seseorang di antara kalian ridha jika budaknya berbuat seperti itu?  Lalu, Allah memerintahkan kalian mendirikan shalat.  Jika kalian mendirikan shalat, maka janganlah kalian menengok.  Sesungguhnya Allah mengarahkan Wajah-Nya ke wajah hamba-Nya ketika dia shalat dan tidak menengok.  Dan Allah memerintahkan kalian berpuasa.  Sesungguhnya perumpamaannya seperti orang yang berada di tengah kumpulan manusia sambil membawa bungkusan yang di dalamnya terdapat minyak wangi.  Semua orang di antara mereka ta’ajub terhadap dirinya atau terhadap aromanya.  Sesungguhnya bau (mulut) orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi.  Dan memerintahkan kalian mengeluarkan shadaqah.  Sesungguhnya perumpamaannya seperti orang yang ditawan musuh, mereka mengikat tangannya ke lehernya dan menggiringnya untuk memukul tengkuknya.  Maka dia berkata, ‘Aku akan memberikan tebusan kepada kalian dengan jumlah berapapun.’  Maka dia menebus dirinya dari tangan mereka.  Dan Allah memerintahkan agar kalian berdzikir kepada-Nya.  Sesungguhnya perumpamaan orang itu seperti orang yang sedang diburu musuh dengan berlari kencang, hingga dia tiba di sebuah benteng yang kokoh, maka dia dapat melindungi diri dari kejaran mereka.’”
Begitu pula hamba tidak dapat melindungi diri dari syaithan kecuali dengan dzikir kepada Allah.  Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedang aku memerintahkan kalian dengan lima perkara, Allah memerintahkan aku untuk mengamalkannya, yaitu;  Mendengar dan taat, Jihad, Hijrah, dan Jama’ah.  Sesungguhnya siapa yang meninggalkan jama’ah meskipun hanya satu jengkal, berarti dia telah melepaskan tali dari lehernya kecuali jika dia kembali, dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyah, maka dia termasuk penghuni Neraka Jahannam.
Ada yang bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun dia shalat dan berpuasa?”
Beliau menjawab, Meskipun dia shalat dan berpuasa.  Maka serulah (manusia) dengan seruan Allah yang Dia menamakan kalian Muslimin, Mukminin, dan hamba Allah.
Menurut At-Tirmidzy, ini hadits hasan gharib shahih.  Menurut Al-Bukhary, Al-Harits Al-Asy’ary termasuk shahabat.  Dia juga meriwayatkan hadits selain ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan di dalam hadits ini, bahwa hamba tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari syaithan kecuali dengan dzikir kepada Allah.  Hal ini menunjukkan bahwa surat An-Nas merupakan pensifatan bagi syaithan yang juga dinamakan Al-Khannas, yaitu yang apabila hamba menyebut Asma Allah, maka syaithan itu bersembunyi dan ngumpet, jika hamba itu lalai menyebut Asma Allah, maka dia kembali membisikkan ke dalam hatinya, dan ini merupakan sumber segala kejahatan.  Maka tidak ada senjata yang lebih efektif yang dapat dijadikan perlindungan oleh hamba selain dari dzikir ini.

Cara KesembilanBer-wudhu’ dan Shalat.  Ini juga termasuk perlindungan yang paling besar, apalagi bila sedang muncul amarah dan syahwat yang menggebu-gebu (memuncak), karena amarah itu merupakan api yang bergolak di dalam hati hamba, seperti yang disebutkan di dalam riwayat At-Tirmidzy dari hadits Abu Sa’id Al-Khudry, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),  
 “Ketahuilah, bahwa amarah itu adalah bara di dalam hati anak Adam.  Tidakkah kalian melihat kedua matanya yang memerah dan urat lehernya yang menegang?  Siapa yang merasakan sebagian dari hal ini – hendaklah dia menempelkan dirinya ke tanah.”
Dalam atsar lain juga disebutkan, “Sesungguhnya syaithan itu diciptakan dari api dan api itu hanya dapat dipadamkan dengan air.”
Tidak ada cara bagi hamba untuk memadamkan amarah dan syahwat seperti sekiranya dia memadamkannya dengan wudhu’ dan shalat.  Amarah adalah api, dan wudhu’ adalah air yang memadamkannya.  Jika shalat dilakukan secara khusyu’, dan menghadap kepada Allah tentu mampu menyingkirkan semua pengaruh itu.  Ini merupakan masalah yang perlu dibuktikan sendiri agar dapat menjadi bukti yang akurat.

Cara KesepuluhMenahan diri dari kelebihan apa yang dibutuhkan dalam masalah Pandangan mata, Perkataan, Makan-minum, Pergaulan dengan manusia.  Karena syaithan dapat menguasai hamba dan berhasil melancarkan aksinya lewat 4 (empat) pintu ini.  Pandangan yang berlebihan mengajak kepada anggapan baik (melalaikan yang haram), pandangan yang terpusat kepada objek yang dipandang dapat merasuk ke dalam hati, sehingga ia akan sibuk memikirkannya.
Sumber cobaan dari pandangan yang berlebih-lebihan ini seperti yang disebutkan dalam Al-Musnad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Pandangan (mata) itu bagaikan anak panah beracun dari berbagai anak panah Iblis.  Siapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka Allah akan mewariskan kemanisan (keledzatan) yang ia rasakan di dalam hatinya hingga saat ia bersua dengan-Nya.”
Berbagai kejadian besar bermula dari pandangan yang berlebih-lebihan.  Berapa banyak pandangan yang sekilas yang mengakibatkan kerugian yang tak terkira.  Intinya, bahwa pandangan yang berlebih-lebihan merupakan sumber bencana.
Sedangkan perkataan yang berlebih-lebihan pembuka semua pintu kejahatan bagi hamba, dan menjadi jalan masuk syaithan.  Menahan perkataan yang berlebih-lebihan dapat menutup semua pintu keburukan itu.  Berapa banyak kecamuk peperangan yang pernah terjadi hanya karena satu perkataan saja.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Muadz, Bukankah manusia ditelungkupkan pada tengkuknya di dalam api Neraka melainkan disebabkan lisannya?”
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan, Sesungguhnya ada seorang dari kalangan Anshar yang meninggal dunia.  Lalu sebagian Sahabat ada yang berkata, ‘Keberuntungan bagi orang ini.’  Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas, ‘Apa yang engkau ketahui tentang dia?  Boleh jadi dia mengucapkan perkataan yang tidak dibutuhkannya, atau dia bakhil terhadap apa yang tidak mengurangi harta kekayaannya.”
Mayoritas kedurhakaan muncul dari perkataan dan pandangan yang melebihi kebutuhan.  Keduanya merupakan pintu masuk yang amat luas bagi syaithan, yang tidak pernah menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.  Berbeda dengan syahwat bathin, yang apabila sudah penuh (jenuh), maka ia tidak memiliki selera untuk makan, minum, seks dan sebagainya.  Sekiranya mata dan lisan dibiarkan begitu saja (bebas tak terkendali), maka keduanya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memandang dan berbicara.  Kejahatan keduanya memiliki sisi yang amat luas, banyak cabang-cabangnya dan besar bencananya.
Orang-orang salaf memperingatkan manusia terhadap kelebihan pandangan dan juga perkataan.  Mereka berkata, “Tidak ada yang menyebabkan seseorang meringkuk dalam Bui (tahanan) sekian lama selain dari lisan.”
Sedangkan makanan yang berlebih-lebihan juga dapat menyeret kepada beberapa pintu kejahatan, karena ia dapat menggerakkan anggota tubuh pada kedurhakaan, dan membuatnya berat melakukan ketaatan.  Sementara dua pintu kejahatan ini sudah cukup bagimu.  Betapa banyak kedurhakaan yang ditimbulkan akibat perut yang kenyang dan makanan yang berlebih-lebihan?  Berapa banyak ketaatan yang tidak bisa terlaksana?  Siapa yang terlindung dari kejahatan perutnya, berarti dia telah terlindung dari kejahatan yang amat besar.
Terlalu mudah bagi syaithan untuk menguasai manusia yang perutnya selalu penuh dengan makanan.  Karena itu disebutkan dalam sebagian atsar, “Sempitkanlah jalan syaithan dengan berpuasa.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak keturunan Adam memenuhi bejana yang lebih buruk daripada perutnya.”
Perut yang penuh dengan makanan hanya akan membawa kepada kelalaian dalam mengingat Allah.  Jika hati melalaikan dzikir ini sesaat saja, maka akan memungkinkan bagi syaithan mendekam di dalam dirinya, mengobral khayalan dan janji kepadanya, memunculkan berbagai angan-angan dan syahwat.  Jika jiwa sudah kenyang, maka ia akan berputar-putar di sekitar syahwat, dan apabila jiwa itu lapar - maka ia akan menjadi tenang dan tunduk.[1]
Tentang pergaulan yang berlebih-lebihan, maka itu merupakan penyakit menular yang akan mendatangkan berbagai macam kejahatan dan bencana.  Berapa banyak nikmat (Islam, Iman dan Sunnah, pen.) yang lenyap karena pergaulan bebas dan persahabatan yang tak mengenal batas.  Berapa banyak permusuhan yang terjadi karena pergaulan yang berlebih-lebihan.  Berapa banyak pergaulan ini yang menanamkan dendam, yang seakan-akan mampu meruntuhkan gunung yang kokoh, karena dendam itu tak kunjung hilang dari hatiYang pasti pergaulan secara berlebih-lebihan akan menimbulkan beragam kerugian di dunia dan Akhirat.  Maka setiap hamba harus bergaul menurut kebutuhannya saja.
Ada 4 (empat) golongan manusia berkenaan dengan pergaulan ini.  Jika salah satu jenis bercampur dengan yang lain tanpa ada pembatasan antara keduanya, maka dapat dipastikan akan muncul kejahatan;
Pertama;  Bergaul dengan orang lain (manusia) layaknya makanan yang tidak bisa ditinggalkan dalam sehari-semalam.  Jika orang lain itu mengambil kebutuhan pokoknya, maka dia meninggalkan pergaulan, kemudian jika dia sendiri yang membutuhkan orang lain, maka dia bergaul dengannya.  Mereka ini adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan tipu daya musuhnya, mengetahui berbagai penyakit hati beserta obat-obatnya, mereka adalah orang-orang yang menyampaikan nasihat karena Allah, Rasul-Nya dan makhluk-Nya.  Pergaulan semacam ini tentu akan mendatangkan keberuntungan.
KeduaPergaulan dengan orang lain seperti halnya obat, yang dia butuhkan ketika dia sedang sakit.  Tetapi selagi sehat, maka dia tidak membutuhkan pergaulan dengannya.  Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan pergaulan dengan orang lain dalam kemashlahatan kehidupan duniawi, dalam hal-hal yang diperlukan dari berbagai jenis mu’amalah, persekutuan, pengobatan dan lain sebagainya.
Ketiga;  Pergaulannya dengan orang lain bagaikan penyakit dengan berbagai jenisnya, kekuatan, atau kelemahannya.  Di antara mereka ada yang bergaul dengannya seperti terkena penyakit menular yang menahun.  Orang semacam ini adalah orang yang tidak beruntung dalam masalah Agama dan dunianya, sehingga dia akan merugi - entah dalam urusan dunia maupun Agamanya.  Jika engkau melakukan pergaulan semacam ini, maka akibatnya adalah kematian yang mengenaskan.
Di antara mereka ada yang pergaulan dengannya seperti orang yang sakit gigi yang amat menyiksa.  Jika sakit gigi ini hilang maka dia tidak lagi tersiksa.
Ada yang pergaulan dengannya seperti orang yang mengalami kelainan jiwa, yang membuat pikiran terbebani, tidak mampu berbicara secara normal sehingga engkau tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan dia pun tidak bisa diam sehingga dia dapat mengambil manfaat darimu.  Dia tidak mengenali (memahami) dirinya sendiri sehingga dapat meletakkannya di tempat yang semestinya.  Jika berkata-kata, maka perkataannya seperti tongkat yang diletakkan di atas hati para pendengarnya, sementara dia merasa kagum terhadap perkataannya sendiri dan menganggapnya bagus.  Dimana pun dia mengoceh, seakan-akan perkataannya itu "minyak kesturi" yang membuat Susana sekelilingnya “harum semerbak”.  Sekiranya dia sadar, maka seakan-akan ada batu penggiling yang membebaninya, sehingga dia tidak kuat menahannya dan tidak pula menyeretnya.  Asy-Syafi’y berkata, “Tidaklah ada seseorang yang pikirannya berat dan dia duduk di dekatku, melainkan aku dapat mengetahuinya dari sisi yang lain.”
Suatu hari kami melihat ada seseorang yang dipanggil Syaikh kami , karena ada sesuatu yang memberatkan pikirannya.  Tetapi kemudian Syaikh kami tidak kuat lagi memanggulnya.  Maka dia (Syaikh) berkata kepadaku, “Bergaul dengan orang yang pikirannya kurang waras, bisa tertular olehnya, sehingga pikiran kita pun menjadi berat – lalu hal itu menjadi terbiasa.”
Secara umum dapat dikatakan, adakalanya bergaul dengan orang yang kurang beres akalnya, merupakan keharusan yang tak terhindarkan.  Yang demikian ini merupakan cobaan tersendiri.  Kalaupun seseorang harus bergaul dengannya, maka hendaklah dia memperlakukannya dengan cara yang ma’ruf, sampai Allah memberikan jalan keluar dengan solusi yang terbaik baginya dari urusan itu.
Keempat;   Pergaulan dengan orang lain yang hanya mendatangkan kerusakan, bergaul dengannya seperti meminum racun, kecuali bila orang yang meminumnya memang menghendakinya, sehingga yang paling baik adalah mengucapkan belasungkawa kepadanya.  Alangkah banyaknya jenis pergaulan ini di tengah-tengah manusia, dan hanya Allah-lah yang tahu berapa banyaknya, karena mereka yang seperti ini sudah terlalu banyak, seperti para Ahli bid’ah yang sesat, orang-orang yang menghalangi Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyeru kepada kebalikannya (menentang Sunnah), yang menghalangi dari jalan Allah agar jalan itu menjadi bengkok dan menyimpang, mereka menjadikan bid’ah sebagai sunnah dan menjadikan sunnah sebagai bid’ah, menjadikan yang ma’ruf sebagai hal yang mungkar, dan menjadikan sesuatu yang mungkar sebagai hal yang ma’ruf.
Jika engkau memurnikan Tauhid di tengah-tengah mereka, maka mereka akan mengatakan, “Engkau telah menyalahi para wali Allah yang shalih.”
Jika engkau memurnikan Ittiba’ (panutan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berkata, “Engkau telah melecehkan para imam yang selama ini menjadi panutan.”
Jika engkau mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia tetapkan terhadap Diri-Nya, dan seperti yang disifatkan Rasul-Nya, tanpa ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi, maka mereka akan berkata, “Engkau termasuk orang yang rancu.”
Jika engkau memerintahkan hal yang ma’ruf seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, jika engkau melarang kemungkaran seperti yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, “Engkau termasuk orang yang mendapat cobaan.”
Jika engkau mengikuti As-Sunnah dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengannya, mereka berkata, “Engkau termasuk ahli bid’ah yang tersesat.”
Jika engkau meninggalkan kewajibanmu dan mengikuti hawa nafsu mereka, maka engkau akan termasuk orang-orang yang merugi di sisi Allah, dan engkau termasuk orang-orang yang munafik di tengah-tengah manusia.  Yang terpenting adalah mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, meskipun membuat mereka marah.  Maka janganlah kamu menjadi masygul (gundah gulana) karena celaan dan olok-olok mereka.  Tak perlu engkau pedulikan celaan dan kemarahan mereka.  Karena yang menjadi inti kesempurnaanmu seperti yang dikatakan dalam syair,
Jika ada yang mencela diriku karena sesuatu kekurangan
Itulah bukti bahwa sebenarnya aku memiliki kelebihan
Atau seperti dikatakan dalam bait syair yang lain,
Kecintaan terhadap diriku sendiri semakin memuncak
Karena kebencian setiap orang kepadaku semakin menggelegak
Siapa yang ingin membuat penjaga hati dan pelindungnya senantiasa terjaga agar mewaspadai 4 (empat) macam penyusup ini, yang menjadi sumber bencana dunia, yaitu berlebih-lebihan dalam pandangan, perkataan, makanan-minuman, serta pergaulan, memperhatikan Sembilan cara untuk mewaspadai syaithan seperti yang telah diuraikan, berarti dia telah mengambil Taufiq menurut bagiannya, berarti dia telah menutup pintu-pintu Neraka Jahannam, membuka pintu-pintu rahmat, menyelami zhahir dan bathinnya, dan begitu mudah baginya untuk dipuji pada saat meninggal, karena dia sudah mendapatkan obat yang diperlukan.  Orang-orang yang bertakwa akan mendapat pujian pada saat meninggal, seperti pujian yang dilontarkan manusia pada pagi hari.  Allah-lah pemberi Taufiq Yang tiada Rabb selain-Nya, dan tiada Ilah selain-Nya.

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Hal ini tidak berlaku untuk semua rasa kenyang dan lapar.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan apa adanya.  Jika Beliau tidak mendapatkan apa-apa untuk dimakan, maka Beliau berpuasa
Faidah berpuasa bukan pada rasa laparnya.  Di dalam hadits disebutkan, “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki keperluan karena dia meninggalkan makanan dan minuman (puasanya).”  Hikmah puasa dan buahnya adalah kebersamaan dengan Allah dalam ibadah itu, sehingga jiwa terdidik pada kekuatan hasrat, akal menjadi tegar, memberikan kekuasaannya terhadap perikehidupan.  Allah tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan rasa lapar dan dahaga Simpanan Allah senantiasa penuh.  Tangan-Nya terbentang setiap siang dan malam, tidak ada yang menghambat-Nya untuk memberi.  Hanya saja orang-orang Sufi menjadikan rasa lapar dan sejenisnya sebagai ibadah Mereka itu seperti kehidupan para Rahib yang mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam Islam), tidak seperti yang ditetapkan Allah terhadap mereka (Pemahaman yang Shahih).  Oleh karena itu, mereka tidak dapat memenuhi hak ibadah dengan sempurna.  Sunnah Allah dalam kehidupan ini tidak dapat mereka ubah, mengharuskan mereka tidak mampu memenuhinya, dan bahkan mereka ditimpa berbagai kelainan kejiwaan (mis. di antara mereka ada yang mengaku sebagai Rabb / menyatu dengan Penciptanya, dan perbuatan / amalan aneh / nyeleneh lainnya.  Menari-nari sambil berputar-putar dan berdzikir sambil berteriak-teriak seperti orang mabuk, pen.), histeria, yang justru mereka anggap sebagai daya tarik tersendiri.  Maka, tidak heran jika syaithan berbicara lewat (menggunakan) lisan mereka

Kamis, 09 Mei 2019

ORANG YANG MENSUCIKAN DAN MENGOTORI JIWANYA



بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

قد افلح من زكاها و قد خاب من دساها

 “Qad` aflaha man zakkaahaa wa qad` khaaba man dassaahaa.”
“Sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  
(QS. Asy-Syams;  9-10)
Artinya,  beruntunglah orang yang mengagungkan dan meninggikannya dengan ketaatan kepada Allah serta menampakkannya, dan merugilah orang yang menyembunyikan, merendahkan, dan menghinakannya dengan kedurhakaan kepada Allah.[1]
Asal makna kata  التد سية  / “at-tadsiyah” adalah menyembunyikan, seperti makna firman-Nya, “Ataukah akan menguburkannya di dalam tanah (hidup-hidup)?”  (QS. An-Nahl;  59).  Orang yang durhaka menenggelamkan dirinya ke dalam kedurhakaan dan menyembunyikan kedudukan jiwanya serta menyingkir dari orang lain - karena keburukan yang dilakukannya.  Dia menjadi kerdil di mata dirinya, dan menjadi kerdil di Mata Allah serta di mata manusia.
Sedangkan ketaatan dan kebaktian dapat membesarkan jiwa, mengagungkan dan meninggikannya, hingga ia menjadi sesuatu yang paling mulia, paling agung, paling suci, dan paling tinggi.  Meskipun demikian, ia tetap menjadi sesuatu yang paling hina dan kecil menurut Allah.
Dengan kehinaan menurut Allah inilah justru muncul kemuliaan dan ketinggian.  Tidak ada yang dapat menghinakan jiwa seperti akibat yang timbul karena kedurhakaan kepada Allah, dan tidak ada pula yang dapat memuliakan dan meninggikannya seperti ketaatan kepada Allah.[2]

oOo
(Disalin dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Penyucian jiwa hanya bisa dilakukan dengan beriman kepada ayat-ayat Allah dan Sunnah Allah di Alam Semesta ini, serta dengan ayat-ayat ilmiah (kauniyah, pen.), seperti yang digambarkan Allah dalam makna firman-Nya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk, dan pada diri mereka sendiri.”  (Fushshilat;  53)
Begitu pula makna firman-Nya, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka.”  (Ali Imran;  164)
Dengan memikirkan dan memperhatikan ayat-ayat Allah di Alam ini dan pada diri manusia, serta di ufuk langit, dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur'an, maka jiwa akan menjadi suci, dan tinggi, menanjak ke beberapa tingkatan kesempurnaan hingga ia termasuk orang-orang yang berbakti.  Jika ingin mengotorinya, ialah dengan cara berpaling dari ayat-ayat Allah, dan mengabaikannya, menelantarkan pendengaran, penglihatan, dan akalnya, menghalanginya untuk mendapatkan “santapan” yang bermanfaat, yaitu memikirkan ayat-ayat ini, yang tidak diciptakan Allah secara sia-sia, yang mengakibatkan ia buta dari Sunnah Allah, ayat-ayat dan nikmat-Nya.  Dia berjalan dengan menutup mukanya dan bertaqlid (membeo) dengan taqlid buta.  Ia merosot ke tingkatan orang-orang yang paling rendah tingkatannya.  Ia dibuntuti syaithan, dan ia mengikuti setiap orang-orang yang jahat, hingga akhirnya syaithan itu berkata kepadanya, “Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian, melainkan aku sekedar menyeru kalian – lalu kalian mematuhi seruanku.  Oleh sebab, itu janganlah kalian mencerca aku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri.  Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku.”  (Ibrahim;  22)
[2]  Al-Jawaab Al-Kaafy, hal. 52.   

Rabu, 08 Mei 2019

TUTUPAN DI HATI



بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah keras orang-orang yang mengaku telah membela dan memperjuangkan Al-Islam, padahal justru mereka telah merusaknya (dari dalam) – sebagai akibat berpaling dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga amalan-amalan yang mereka kerjakan, yang "dianggap baik" itu membentuk tutupan di atas hati mereka (membutakan mata hati).

Firman Allah,
كلا بل ران على قلو بهم ما كانوا يكسبون
“Kallaa bal raana ‘alaa qulubihim maa kaa nuw yakh`sibuuna”
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”  (Al-Muthaffifin;  14)
Maksudnya adalah dosa yang disusul dengan dosa yang lain.  Menurut Al-Hasan, dosa di atas dosa sehingga membutakan hati.  Menurut yang lain, karena dosa dan kedurhakaan mereka yang bertumpuk-tumpuk, sehingga menutupi hati mereka.
Asal maknanya, bahwa hati itu bisa berkarat karena kedurhakaan-kedurhakaan.  Jika kedurhakaan itu bertambah-tambah, maka karat itu pun semakin dominan sehingga membentuk tutupan.  Jika keadaan ini semakin menjadi-jadi, maka tutupan itu bertambah menjadi penghalang dan gembok (terkunci), sehingga hati itu secara total terbungkus oleh suatu bungkusan.  Jika hal ini terjadi setelah mendapat petunjuk (masuk Islam, pen blog.), maka hati itu menjadi terbalik, yang atas berubah menjadi di bawah - dan yang seharusnya di bawah dinaikkan ke atas.  Pada saat itu dia telah dikuasai musuh (syaithan), yang dapat menghelanya kemanapun dikehendakinya.
(Baca artikel, PERGESERAN
Orang yang mendapat afiat adalah orang yang mendapatkan afiat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[1]
Ibnu Qayyim mengatakan dalam kitab Syifaa’ Al-Aliil, tentang lafazh   الران  / “Ar-raanu” ini, Allah telah berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” Menurut Abu Ubaidah, artinya menguasainya, layaknya khamr (minuman keras) yang menguasai akal orang yang mabuk, kematian yang menguasai mayat – lalu ia (hati) pergi bersamanya.  Atas dasar makna ini pula Umar  (radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Dia telah menguasainya.”
Menurut Abu Mu’adz An-Nahwy, makna  الرين /  “Ar-rain”, ialah Hati yang menghitam karena dosa-dosa.  Sedangkan  الطبع  / “Ath-thab’, ialah sesuatu yang menutupi hati, yang lebih nyata dari ar-rain.  Sedangkan gembok (kunci) lebih nyata daripada ath-thab’, yaitu sesuatu yang mengunci mati hati.
Menurut Al-Farra’, banyak dosa dan kedurhakaan yang (telah) mereka lakukan, lalu mengepung hati mereka.  Itulah yang disebut ar-rain.
Menurut Abu Ishaq,  ران  /  “Raana” artinya menutupi.  Jika dikatakan ران على قلبه الذنب  /  “Raana ‘alaa qalbihi adz-dzanbu”  artinya dosa menutupi hatinya.  Ar-rain seperti tutupan yang mengepung hati – seperti al-ghain.
Kami (Ibnu Qayyim) katakan, pendapat Abu Ishaq ini salah.  Al-ghain adalah sesuatu yang paling lembut dan halus.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya ada yang meliputi pada hatiku, dan sesungguhnya aku memohon kepada Allah 100 (seratus) kali dalam sehari.”  Sedangkan ar-rain adalah tutupan yang tebal di atas hati.
Menurut Mujahid, artinya dosa di atas dosa, sehingga dosa-dosa itu mengepung hati dan menutupinya, lalu ia (hati itu) mati.
Menurut Muqatil, artinya perbuatan mereka yang buruk menutupi hati mereka.  Di dalam Sunan An-Nassa’y dan At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya jika seorang hamba melakukan kesalahan, maka di hatinya tertoreh satu titik hitam.  Jika dia meninggalkannya, memohon ampunan dan bertaubat, maka hatinya dibuat mengkilap.  Jika dia menambahi kesalahan itu, maka titik hitam itu juga bertambah – hingga ia mengalahkan hatinya.  Inilah tutupan yang disebutkan Allah, ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.’
Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits shahih.  Menurut Abdullah bin Mas’ud, setiap kali seseorang berbuat dosa, maka ditorehkan satu titik hitam, hingga akhirnya semua hatinya menjadi hitam.  Allah mengabarkan bahwa dosa yang mereka perbuat, mengharuskan adanya tutupan di dalam hati mereka dan merupakan penyebab dari tutupan itu.  Allah-lah Yang menciptakan sebab dan akibatnya.  Akan tetapi sebab itu ada berkat inisiatif hamba itu sendiri, sedangkan akibat berada di luar kesanggupan dan kekuasaannya.[2]
(Baca juga artikel tentang, NEO KHAWARIJ, dan BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Syifaa Al-Aliil, hal. 91
[2]  Haady Al-Arwaah, 1/115.

KEWAJIBAN BERSABAR



بسم الله الر حمان الر حيم


Sifat sabar termasuk anugerah terbesar dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada seseorang.  Barangsiapa yang berhasil meraihnya, berarti dia telah mendapatkan sesuatu yang amat besar dan berharga dalam hidupnya.

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Dan tidak ada sebuah anugerah yang lebih baik, dan lebih besar bagi seseorang daripada kesabaran”  (Shahih Al-Bukhari, Bab Ash-Shabru’an Maharimillah)
Betapa mulianya orang-orang yang mampu bersabar, lihatlah tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala berseru kepada mereka,
وبشر الصبر ين
“Wabasysyiri ash-shaabiriina”
“Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.”   (Al-Baqarah;  155), dan makna firman-Nya,
“Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan barakah yang sempurna, dan rahmat dari Rabb mereka (Allah), dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  (Al-Baqarah;  157), dan
“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada di dalam perut ikan – ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (terhadap kaumnya).”  (Al-Qalam;  48)
Menurut Ibnu Abbas, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang Beliau menyerupai Yunus yang berada di dalam perut ikan, karena tidak sabar sebagaimana layaknya kersabaran (Rasul-Rasul) Ulul-Azmi (yang paling utama).
Di sini ada pertanyaan yang cukup menonjol, yakni unsur dalam kalimat keadaan, “Ketika ia berdoa”.  Tidak mungkin apa yang dilarang ini ialah; Janganlah kamu seperti dia dalam doanya.  Sebab Allah menyampaikan pujian-Nya dalam doa tersebut, dan juga telah mengabarkan bahwa Dia menyelamatkan Yunus, dengan firman (artinya),
“Dan ingatlah kisah Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitkannya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa, tiada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim”.  Maka Kami telah memperkenankan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan.  Dan, demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.  (Al-Ambiya’;  87)
Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan yang lainnya disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Doa saudaraku, Dzun-Nun, ketika dia berdoa dengannya di perut ikan, yang doa itu tidak dipanjatkan orang yang kesusahan melainkan Allah menghilangkan kesusahan itu darinya, yaitu; ‘Tiada Ilah melainkan Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’”
Jadi, tidak boleh ada larangan meniru pengucapan doa ini, doa yang dipanjatkan kepada Allah.  Yang dilarang adalah menyerupai sebab yang mengakibatkan Yunus memanjatkan doa ini, yaitu kemarahan yang mengakibatkannya mendekam di dalam perut ikan, lalu keadaannya menjadi susah-payah, sehingga Yunus memanjatkan doa kepada Allah.
الكظيم  /  "Al-Kazhiim" dan  الكا ظم  /  “Al-Kaazhim”, artinya orang yang sangat marah, atau bisa juga berarti orang yang susah dan sedih.
Jika ditanyakan, lalu siapa pelaku yang ada di dalam kalimat keadaan ini?  Jawabannya;  Di dalam kalimat  صاحب الحوت   /  “Shaahibul huut”  terkandung makna perbuatan.
Ada pertanyaan lagi setelah itu, jika larangan dibatasi dengan suatu pembatasan atau waktu, berarti ia masuk ke dalam jenis larangan.  Jika maknanya;  Janganlah kamu seperti orang yang ada dalam perut ikan dalam keadaan ini atau waktu itu, berarti itu merupakan larangan dari keadaan itu.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Karena doanya merupakan akibat Dari keberadaannya di dalam perut ikan, maka ada larangan menyerupainya yang membuatnya memanjatkan doa itu, yaitu kelemahan kehendak dan tidak sabar terhadap ketetapan Allah.  Di sini Allah tidak mengatakan, “Janganlah kamu seperti orang yang ada di dalam perut ikan, ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia dicaplok ikan dan dia pun memanjatkan doa”.  Tetapi kisahnya dipadatkan dan diringkas, lalu kisah ini disebutkan di tempat lain.
Boleh jadi ada yang bertanya, apa yang menghalangimu untuk mengganti kalimat keadaan dengan perbuatan yang sama dari perbuatan yang dilarang?  Dengan perkataan lain, janganlah kamu seperti dia dalam doanya, ketika dia dalam keadaan sangat marah, bersedih dan susah, tapi jadikanlah doamu doa yang penuh keridhaan terhadap apa yang ditetapkan Allah, karena Allah akan menerimanya dengan ridha pula, tidak seperti doa orang yang dalam keadaan marah.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Meskipun makna ini benar, tetapi larangan tidak tertuju kepada penyerupaan itu, tetapi larangan hanya tertuju pada penyerupaan keadaan yang membuat Yunus pergi dalam keadaan marah, hingga ia mendekam dalam perut ikan.  Hal ini ditunjukkan firman-Nya, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu”, Lalu Dia berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan”,.  Dengan perkataan lain, Janganlah kamu seperti dia dalam kelemahan kesabaran terhadap ketetapan Allah.  Keadaan yang dilarang adalah kebalikan dari keadaan yang diperintahkan.
Jika ditanyakan, apa yang menghalangimu untuk menjadi seperti apa yang diperintahkan untuk bersabar terhadap ketetapan Allah yang bersifat qadar dan yang memang sudah ditetapkan baginya, dan janganlah seperti orang yang ada dalam perut ikan, karena dia tidak bersabar terhadap ketetapan itu, tetapi toh dia berdoa juga meski dalam keadaan marah, agar kesusahannya itu disingkirkan, sehingga dengan demikian dia tidak bersabar menghadapi keadaannya itu.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Yang menghalangi hal itu, bahwa Allah justru memuji Yunus dan juga Nabi-Nabi lainnya, karena mereka memohon kepada Allah untuk menyingkirkan mudharat yang menimpa mereka.  Allah memuji Yunus atas keadaannya itu dalam makna firman-Nya,
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempit (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tiada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim’.  Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan.  Dan, demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”  (Al-Ambiya’;  87)
Bagaimana mungkin ada larangan untuk menyerupai sesuatu yang justru dipuji?  Allah juga memuji Ayyub karena perkataannya,
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”  (Al-Ambiya’;  83)
Allah juga memuji Ya’qub karena perkataannya,
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.”  (Yusuf;  86)
Allah memuji Musa karena perkataannya,
“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”  (Al-Qashash;  24)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengadu kepada Allah dengan sabda,
 “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku dan minimnya kiatku.”  Jadi pengaduan kepada Allah tidak menafikan kesabaran yang baik, tetapi itu justru menghindarkan hamba untuk mengadu kepada selain-Nya secara keseluruhan (permasalahan dalam hidupnya).  Menyampaikan pengaduan kepada Allah merupakan cermin kesabaran.
Allah menguji hamba-Nya, agar Dia mendengarkan pengaduannya, ketundukan dan doanya.  Allah mencela orang-orang yang tidak mau tunduk dan kembali kepada-Nya (Inaabah), serta tidak mampu menguasai diri ketika mendapat cobaan, sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.”  (Al-Mukminun;  76)
Hamba terlalu lemah untuk merasa kuat terhadap tindakan Allah atas dirinya, dan Allah (juga) tidak menghendaki hal tersebut.  Tetapi yang diinginkan Allah adalah, agar dia tunduk dan menyerahkan diri di hadapan-Nya.  Allah marah kepada hamba yang mengadu kepada makhluk-Nya, dan menyukai orang yang mengadu kepada-Nya.
Salah seorang di antara mereka pernah ditanya, “Bagaimana mungkin engkau mengadukan sesuatu kepada-Nya, padahal Dia sudah mengetahui apa yang kamu adukan (menimpamu) itu?”  Maka dia menjawab, Rabb-ku ridha jika hamba merendahkan diri kepada-Nya.”
Dengan kata lain, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar layaknya kesabaran Ulul-Azmi, yang bersabar atas inisiatifnya sendiri terhadap ketetapan Allah.  Ini merupakan kesabaran yang paling sempurna.  Karena itu kisah syafaat berkisar pada diri mereka pada Hari Kiamat, lalu mereka menyerahkannya kepada Nabi yang paling mulia, dan yang paling baik di antara mereka, serta yang paling sabar terhadap ketetapan Allah, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

oOo
(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Selasa, 07 Mei 2019

PERUMPAMAAN DENGAN KELEDAI



بسم الله الر حمان الر حيم

Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.  Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.  Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.”  
(QS. Al-Jumu’ah;  5)
Orang yang dipikulkan kepadanya Kitab-Nya, agar dia beriman kepadanya, memperhatikan, mengamalkan, dan mengajak kepadanya, tetapi kemudian dia mungkir, dan tidak mengembannya kecuali hanya secara serampangan, membacanya tanpa memperhatikan, tidak memahami, tidak mengikutinya, tidak berhukum kepadanya dan tidak mengamalkannya, diserupakan dengan keledai yang di atas punggungnya ada tumpukan kitab-kitab tebal, yang tidak mengetahui apa isinya.  Yang dia dapatkan hanya beban di atas punggungnya.  Orang yang menghadapi Kitab Allah seperti itu ibarat keledai yang harus membawa kitab-kitab yang tebal di atas punggungnya.
Meskipun perumpamaan ini diberikan kepada orang-orang Yahudi, tetapi makna (peringatan) ini juga berlaku bagi orang-orang yang dibebani Al-Qur`an, lalu dia tidak mengamalkan, tidak memenuhi hak-haknya dan tidak memeliharanya sebagaimana mestinya.[1]

oOo

(Disalin dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  ‘Ilaam Al-Muwaqqi’iin, 1/197.

Senin, 06 Mei 2019

PERINGATAN (HANYA BERMANFAAT) BAGI YANG MEMILIKI HATI



بسم الله الر حمان الر حيم

Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an, maka satukanlah hatimu ketika membacanya, buka pendengaran dan hadirkan hatimu layaknya orang yang langsung diajak berbicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Karena Al-Qur’an merupakan seruan dari Allah yang ditujukan pada dirimu – yang disampaikan lewat lisan Rasul-Nya.


Firman Allah,
ان في ذلك لذ كرى لمن كان له قلب او القى السمع وهو شهيد
“Inna fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahu qalbun aw alqaa as-sam’a wa huwa syahiidun”
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya.”   
(QS. Qaf;  37)
Allah berfirman seperti ini, karena kesempurnaan pengaruh sangat bergantung pada;

  • ·   Pemberi pengaruh (Al-Qur’an / Perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
  • ·   Sasaran, yang menerima pengaruh itu (hati hamba).
  • ·   Syarat sampainya pengaruh (menghadirkan hati, pendengaran, dan penglihatan)
  • ·   Ketiadaan penghalang yang dapat menghambat terjadinya pengaruh.
Ayat di atas mencakup penjelasan tentang kaidah-kaidah ini dengan lafazh yang singkat, namun jelas dan gamblang maksudnya.
Makna firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan”, merupakan isyarat yang tertuju kepada kandungan yang ada semenjak awal surat hingga ayat ini.  Hal inilah yang memberikan pengaruh.
Makna firman-Nya, “Bagi orang-orang yang memiliki hati”, merupakan sasaran (penerima).  Artinya, hati yang hidup, dan yang mau memikirkan tentang Allah.  Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran, dan Kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya).  
(QS. Yasin;  69-70)
Firman-Nya, والقى السمع  / “wa alqaa as-sam’a” artinya, mengarahkan pendengarannya dan mengkonsentrasikan indera pendengarannya untuk mendengarkan apa yang dikatakan kepadanya.  Ini merupakan syarat terjadinya pengaruh perkataan.
Makna firman-Nya, “Sedang dia menyaksikan”, berarti hatinya menyaksikan dan hadir tatkala membaca.  Menurut Ibnu Qutaibah, maksudnya;  Dia mendengarkan Kitab Allah, menghadirkan hatinya, dan memahaminya, tidak melupakan dan melalaikannya (tidak sekedar dibaca, pen blog.).  Hal ini merupakan isyarat tentang penghalang sampainya pengaruh, yaitu kelalaian hati dan keengganan memikirkan apa yang dikatakan kepadanya, melihat dan memperhatikannya.
Jika ada Pemberi pengaruh, yaitu Al-Qur’an (Perkataan Allah 'Azza wa Jalla), ada sasaran penerima yaitu hati yang hidup, terpenuhinya syarat yaitu mendengarkan dan menyimak, tidak ada penghalang yaitu kelalaian hati tentang makna seruan dan perhatiannya (tidak tertuju) pada yang lain, maka pengaruh akan menjadi efektif dan ada manfaat yang diambil dari Al-Qur’an dan peringatan.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Kalau pengaruh dapat efektif hanya dengan keseluruhan perkara-perkara ini – lalu kenapa digunakan kata sambung aw (atau) dalam kalimat,  او القى السمع  /  aw alqaa as-sam’a”, padahal posisi ini mestinya menggunakan wawu al-jam’ (dan) bukan aw (atau), yang berarti pilihan dari dua hal?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Perkataan (ayat) ini menggunakan aw (atau) dengan mempertimbangkan keadaan orang yang diseru.  Sebab di antara manusia ada yang hatinya hidup dan sadar serta sempurna fitrahnya.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?
Jika dia memikirkan dengan hati dan pikirannya, maka hatinya akan menuntun kepada kebenaran Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an itu adalah benar, dan hatinya mempersaksikan apa yang dikhabarkan Al-Qur’an.  Sampainya (pengaruh) Al-Qur’an ke dalam hatinya merupakan cahaya (Al-Qur’an) di atas cahaya fitrah.  Ini merupakan sifat orang-orang yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah yang benar.”  
(QS. Saba’;  6), dan
“Allah cahaya langit dan bumi.  Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.  Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.  Cahaya di atas cahaya.  Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”  
(QS. An-Nur;  35)
Inilah yang dimaksud cahaya fitrah di atas cahaya wahyu, dan inilah keadaan orang yang hatinya hidup dan sadar.
Orang yang hatinya hidup memiliki hubungan yang erat antara hatinya dengan makna-makna Al-Qur’an.  Dia mendapati hatinya seakan-akan telah tercipta sedemikian rupa.  Dia membacanya dari balik hatinya.
Sementara di antara manusia ada yang tidak memiliki kesiapan yang sempurna, dan hatinya tidak memiliki kesadaran penuh, sehingga dia memerlukan bukti bagi dirinya untuk membedakan antara kebenaran dengan kebathilan.  Kehidupan hatinya tidak mampu membuat dirinya memperhatikan dan memikirkan kandungan Al-Qur’an, sampai dia mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.
Orang yang pertama merupakan keadaan orang yang mengetahui apa yang diserukan dan dikhabarkan kepadanya.  Orang kedua merupakan keadaan orang yang mengetahui kebenaran pengabaran dan meyakininya, namun dia berkata, “Cukuplah bagiku pengabaran itu.”
Yang pertama berada pada posisi Ihsaan (Muhsinin), sedang yang kedua berada pada posisi Iman (Mukminin).  Yang pertama telah sampai pada tataran ‘ainul-yaqiin, sedangkan yang kedua baru pada tataran ‘ilmul-yaqiin.  Pembenaran itulah yang membuat mereka keluar dari kekufuran dan masuk ke dalam Al-Islam (Islam yang benar / lurus).
‘Ainul-yaqiin ada 2 (dua) macam;  Satu macam ada di dunia, dan satu macam lagi ada di Akhirat.  Yang diperoleh di dunia adalah yang dinisbatkan kepada hati, seperti penisbatan bukti yang dapat dilihat oleh mata.  
Berita ghaib yang disampaikan para Rasul (‘alaihimussalam) akan terlihat oleh mata di Akhirat.  Sementara di dunia hanya terlihat dengan mata hati.  Jadi, itulah ‘ainul-yaqiin dalam dua tataran.[1]

oOo

(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Al-Fawaa’id, hal.  3-5