بسم الله الر حمان الر حيم
Manusia tidak boleh melepaskan senjatanya dalam "peperangan", yang tidak boleh dia letakkan hingga ia meninggalkan dunia. Jika dia meletakkannya, maka dia akan ditawan
dan dikalahkan syaithan. Maka, mau tidak
mau dia harus senantiasa dalam keadaan berjihad, waspada hingga bersua dengan Allah, Rabb-nya.
Berikut 10 (sepuluh) strategi untuk memenangkan
pertempuran melawan syaithan dan Iblis laknatullahu 'alaihi;
Cara
Pertama; Memohon perlindungan kepada Allah.
Makna
firman Allah,
“Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu
gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushilat;
36)
“Dan,
jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Al-A’raf; 200)
Maksud kata
mendengar di sini adalah mendengar untuk memenuhi (mengabulkan), bukan sekedar
mendengar (secara umum).
Perhatikan
rahasia Al-Qur`an, bagaimana ia menguatkan Sifat dengan Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui, dengan menyebutkan lafazh huwa (Dia), yang menunjukkan
penguatan penisbatan (penyandaran) dan pengkhususannya.
Dua Asma
dalam surat Fushilat disebutkan dalam bentuk ma’rifah, karena untuk
penguatan. Sementara di dalam surat
Al-A’raf tidak dalam bentuk ma’rifah, karena memang hal itu tidak diperlukan
lagi. Perintah memohon perlindungan
dalam surat Fushilat disebutkan setelah adanya perintah mengerjakan sesuatu
yang paling berat bagi jiwa, yaitu membalas keburukan orang yang berbuat
jahat dengan perbuatan baik kepadanya.
Yang demikian ini merupakan perintah yang tidak akan sanggup dikerjakan,
kecuali oleh orang-orang yang sabar, dan pahalanya tidak diberikan kecuali
kepada orang yang mendapat keberuntungan yang besar. Begitulah yang difirmankan Allah.
Syaithan
tidak akan membiarkan hamba melakukan hal itu.
Maka ia menggambarkan kepadanya – bahwa hal itu merupakan kelemahan dan
kehinaan, (menghasut) bahwa dia telah dikuasai lawannya, lalu syaithan
mengajaknya untuk melancarkan balasan dan menganggap hal itu lebih baik
baginya. Jika syaithan gagal
melaksanakan aksinya, maka ia mengajaknya untuk berpaling dari orang itu,
tidak berbuat baik dan tidak pula membalas keburukannya. Tidak ada orang yang mau berbuat baik kepada
orang yang telah berbuat jahat kepadanya, kecuali orang yang (berani) menentang
kehendak syaithan dan lebih mementingkan Allah serta apa yang ada di sisi-Nya
daripada kepentingan duniawi. Maka
posisinya di sini adalah posisi penguatan dan penegasan. Maka makna firman Allah, “Dan jika
syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Fushilat)
Sedangkan
dalam surat Al-A’raf terdapat perintah untuk berpaling dari orang-orang yang
bodoh, dan tidak ada perintah untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, tetapi
berpaling (saja) darinya. Hal ini
lebih ringan bagi jiwa manusia dan lebih mudah untuk dilakukan.
Keinginan
syaithan tidak terlalu mengebu-gebu seperti keinginannya (menghalangi) orang
yang membalas keburukan dengan kebaikan.
Maka firman-Nya, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan,
maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-A’raf)
Cara
Kedua; Membaca dua surat Al-Falaq dan An-Nas, karena
keduanya memiliki pengaruh yang amat mengagumkan dalam memohon perlindungan
kepada Allah dari kejahatan syaithan, guna menolaknya, dan memelihara diri dari
gangguannya. Karena itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tiadalah
orang-orang yang memohon perlindungan seperti memohon perlindungan dengan kedua
surat ini.” Beliau biasa memohon perlindungan dengan dua
surat ini pada setiap malam menjelang tidur, dan Beliau memerintahkan kepada
umatnya untuk membacanya setiap selesai shalat.
Beliau juga
pernah bersabda (artinya),
“Sesungguhnya
siapa yang membaca dua surat ini bersama surat Al-Ikhlas 3 (tiga) kali ketika
petang hari, dan tiga kali ketika pagi hari, maka dia tidak lagi membutuhkan
segala sesuatu.”
Cara
Ketiga; Membaca Ayat Kursy. Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Muhammad bin Sirin,
dari Abu Hurairah, dia berkata (dalam hadits yang cukup panjang)..., lalu dia
menyebutkan kelanjutan hadits ini, sampai akhirnya dia berkata, “Bahwa orang
itu (syaithan) berkata, “Jika engkau beranjak tidur, maka bacalah ayat
Kursy, karena dengan begitu Allah akan senantiasa menjadi penjagamu, dan
syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”
Cara
Keempat; Membaca surat Al-Baqarah. Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Sahl bin Abdullah,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لا تجعلوا بيو تكم قبورا وان البيت الذي تقرا
فيه البقرة لا يد خله الشيطان
“Laa
taj’aluu buyuutakum qubuuran wa inna al-baita alladziy tuq`ra`u fiihi
al-baqaratu laa yadkhuluhu asy-syaithaanu”
“Janganlah
kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan.
Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tidak
akan dimasuki syaithan.”
Cara
Kelima; Membaca penutup surat Al-Baqarah. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih, hadits dari Abu Mas’ud
Al-Anshary, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (artinya),
“Siapa
yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka dua
ayat itu sudah cukup baginya.”
Di dalam
riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari An-Nu’man bin Basyir, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya
semenjak dua ribu tahun sebelum menciptakan makhluk, Allah telah menulis Kitab
dan menurunkan bersamanya dua ayat untuk menutup surat Al-Baqarah. Tidaklah dua ayat ini dibaca di suatu tempat
tinggal tiga malam, lalu syaithan (mampu) mendekatinya.”
Cara Keenam; Membaca awal surat Al-Mukmin hingga ayat ketiga beserta ayat Kursy. Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abdurrahman bin Abu Bakar, dari Ibnu Abi Malikah, dari Zurarah bin Mush’ab, dari Abu Usamah, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Siapa yang
membaca Ha’ Mim Al-Mukmin hingga ‘Ilaihi al-mashiir’ dan ayat
Kursy pada pagi hari, maka dengan keduanya dia terjaga hingga petang hari, dan
siapa yang membaca keduanya pada petang hari, maka dengan keduanya dia akan
terjaga hingga pagi hari.”
Meskipun
Abdurrahman Al-Maliky disangsikan hapalannya, toh ada beberapa penguat
lain tentang membaca ayat Kursy, yang memang memungkinkan bagi hadits ini
sebagai hadits gharib.
Cara
Ketujuh; Membaca, “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa
syariikalahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir”
sebanyak 100 (seratus) kali. Di dalam Ash-Shahihain
disebutkan dari hadits Suma, pembantu Abu Bakar, dari Abu Shalih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya),
“Barangsiapa
membaca kalimat itu 100 (seratus) kali dalam sehari, maka seakan-akan dia
memiliki sepuluh budak dan ditetapkan baginya 100 (seratus) kebaikan, dihapus
darinya 100 (seratus) kesalahan, dan dia memiliki benteng pertahanan dari
syaithan pada hari itu hingga petang hari.
Tidak ada orang lain yang membawa sesuatu lebih baik daripada apa yang
dibawanya selain dari seseorang yang mengamalkan lebih banyak dari apa yang
diamalkannya.”
Tentu saja
ini merupakan benteng pertahanan yang sangat ampuh dan sekaligus amat mudah
bagi orang yang memang diberi kemudahan oleh Allah.
Cara
Kedelapan; Cara ini yang paling bermanfaat untuk
berlindung dari syaithan, yaitu banyak mengingat Allah. Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari
hadits Al-Harits Al-Asy’ary, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (artinya),
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan Yahya bin Zakarya dengan lima kalimat dan agar dia
mengamalkannya, dan memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya, dan hampir saja
mereka tidak mengamalkannya. Lalu Isa
berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu dengan lima kalimat agar engkau
mengamalkannya, dan agar engkau juga memerintahkan Bani Israil untuk
mengamalkannya. Apakah engkau yang
memerintahkan kepada mereka atau akulah yang akan memerintahkan kepada mereka.”
Yahya
berkata, ‘Aku khawatir sekiranya engkau mendahului aku, maka aku akan diserang
atau aku akan disiksa.’ Maka dia
mengumpulkan orang-orang Baitul Maqdis hingga penuh. Mereka duduk di atas balkon. Yahya berkata, ‘Sesungguhnya Allah
memerintahkan aku dengan lima kalimat agar aku mengamalkannya dan aku
memerintahkan kalian agar juga mengamalkannya.
Yang pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan
sesuatu apapun dengan-Nya. Sesungguhnya
perumpamaan orang yang syirik kepada Allah ialah seperti seseorang yang membeli
budak dari hartanya sendiri dengan satu keping emas atau dengan beberapa lembar
uang. Orang itu berkata, ‘Ini rumahku
dan ini amalku, maka berbuatlah dan laksanakan untuk kepentinganku.’ Maka budak itu mengamalkan namun berbuat bagi
selain tuannya. Maka, mana mungkin
seseorang di antara kalian ridha jika budaknya berbuat seperti itu? Lalu, Allah memerintahkan kalian mendirikan
shalat. Jika kalian mendirikan shalat,
maka janganlah kalian menengok. Sesungguhnya
Allah mengarahkan Wajah-Nya ke wajah hamba-Nya ketika dia shalat dan tidak
menengok. Dan Allah memerintahkan
kalian berpuasa. Sesungguhnya
perumpamaannya seperti orang yang berada di tengah kumpulan manusia sambil
membawa bungkusan yang di dalamnya terdapat minyak wangi. Semua orang di antara mereka ta’ajub terhadap
dirinya atau terhadap aromanya.
Sesungguhnya bau (mulut) orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi
Allah daripada aroma minyak wangi. Dan
memerintahkan kalian mengeluarkan shadaqah.
Sesungguhnya perumpamaannya seperti orang yang ditawan musuh, mereka mengikat
tangannya ke lehernya dan menggiringnya untuk memukul tengkuknya. Maka dia berkata, ‘Aku akan memberikan
tebusan kepada kalian dengan jumlah berapapun.’
Maka dia menebus dirinya dari tangan mereka. Dan Allah memerintahkan agar kalian
berdzikir kepada-Nya. Sesungguhnya
perumpamaan orang itu seperti orang yang sedang diburu musuh dengan berlari
kencang, hingga dia tiba di sebuah benteng yang kokoh, maka dia dapat melindungi
diri dari kejaran mereka.’”
Begitu pula
hamba tidak dapat melindungi diri dari syaithan kecuali dengan dzikir kepada
Allah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sedang aku memerintahkan kalian dengan lima
perkara, Allah memerintahkan aku untuk mengamalkannya, yaitu; Mendengar dan taat, Jihad, Hijrah, dan
Jama’ah. Sesungguhnya siapa yang
meninggalkan jama’ah meskipun hanya satu jengkal, berarti dia telah melepaskan
tali dari lehernya kecuali jika dia kembali, dan barangsiapa yang menyeru dengan
seruan Jahiliyah, maka dia termasuk penghuni Neraka Jahannam.”
Ada yang
bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun dia shalat dan berpuasa?”
Beliau
menjawab, “Meskipun dia shalat dan berpuasa. Maka serulah (manusia) dengan seruan Allah yang Dia
menamakan kalian Muslimin, Mukminin, dan hamba Allah.”
Menurut
At-Tirmidzy, ini hadits hasan gharib shahih.
Menurut Al-Bukhary, Al-Harits Al-Asy’ary termasuk shahabat. Dia juga meriwayatkan hadits selain ini.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan di dalam hadits ini, bahwa hamba
tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari syaithan kecuali dengan dzikir
kepada Allah. Hal ini menunjukkan
bahwa surat An-Nas merupakan pensifatan bagi syaithan yang juga
dinamakan Al-Khannas, yaitu yang apabila hamba menyebut Asma
Allah, maka syaithan itu bersembunyi dan ngumpet, jika hamba itu lalai
menyebut Asma Allah, maka dia kembali membisikkan ke dalam hatinya, dan ini
merupakan sumber segala kejahatan. Maka
tidak ada senjata yang lebih efektif yang dapat dijadikan perlindungan oleh
hamba selain dari dzikir ini.
Cara
Kesembilan; Ber-wudhu’ dan Shalat. Ini juga termasuk perlindungan yang paling
besar, apalagi bila
sedang muncul amarah dan syahwat yang menggebu-gebu (memuncak), karena amarah
itu merupakan api yang bergolak di dalam hati hamba, seperti yang disebutkan di
dalam riwayat At-Tirmidzy dari hadits Abu Sa’id Al-Khudry, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Ketahuilah, bahwa amarah itu adalah bara
di dalam hati anak Adam. Tidakkah kalian
melihat kedua matanya yang memerah dan urat lehernya yang menegang? Siapa yang merasakan sebagian dari hal ini –
hendaklah dia menempelkan dirinya ke tanah.”
Dalam atsar
lain juga disebutkan, “Sesungguhnya syaithan itu diciptakan dari api dan api
itu hanya dapat dipadamkan dengan air.”
Tidak ada
cara bagi hamba untuk memadamkan amarah dan syahwat seperti sekiranya dia
memadamkannya dengan wudhu’ dan shalat.
Amarah adalah api, dan wudhu’ adalah air yang memadamkannya. Jika shalat dilakukan secara khusyu’, dan
menghadap kepada Allah tentu mampu menyingkirkan semua pengaruh itu. Ini merupakan masalah yang perlu dibuktikan
sendiri agar dapat menjadi bukti yang akurat.
Cara
Kesepuluh; Menahan diri dari kelebihan apa yang
dibutuhkan dalam masalah Pandangan mata, Perkataan, Makan-minum, Pergaulan
dengan manusia. Karena syaithan dapat menguasai hamba dan
berhasil melancarkan aksinya lewat 4 (empat) pintu ini. Pandangan yang berlebihan mengajak kepada
anggapan baik (melalaikan yang haram), pandangan yang terpusat kepada objek
yang dipandang dapat merasuk ke dalam hati, sehingga ia akan sibuk
memikirkannya.
Sumber
cobaan dari pandangan yang berlebih-lebihan ini seperti yang disebutkan dalam Al-Musnad,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Pandangan (mata) itu bagaikan anak panah beracun dari berbagai anak panah Iblis. Siapa yang
menahan pandangannya karena Allah, maka Allah akan mewariskan kemanisan (keledzatan) yang ia
rasakan di dalam hatinya hingga saat ia bersua dengan-Nya.”
Berbagai
kejadian besar bermula dari pandangan yang berlebih-lebihan. Berapa banyak pandangan yang sekilas yang
mengakibatkan kerugian yang tak terkira.
Intinya, bahwa pandangan yang berlebih-lebihan merupakan sumber bencana.
Sedangkan perkataan yang berlebih-lebihan pembuka
semua pintu kejahatan bagi hamba, dan menjadi jalan masuk syaithan.
Menahan
perkataan yang berlebih-lebihan dapat menutup semua pintu keburukan itu. Berapa banyak kecamuk peperangan yang
pernah terjadi hanya karena satu perkataan saja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Muadz, “Bukankah
manusia ditelungkupkan pada tengkuknya di dalam api Neraka melainkan disebabkan
lisannya?”
Di dalam
riwayat At-Tirmidzy disebutkan, Sesungguhnya ada seorang dari kalangan
Anshar yang meninggal dunia. Lalu
sebagian Sahabat ada yang berkata, ‘Keberuntungan bagi orang ini.’ Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas, ‘Apa yang engkau ketahui tentang dia? Boleh jadi dia mengucapkan perkataan yang
tidak dibutuhkannya, atau dia bakhil terhadap apa yang tidak mengurangi harta
kekayaannya.”
Mayoritas
kedurhakaan muncul dari perkataan dan pandangan yang melebihi kebutuhan. Keduanya merupakan pintu masuk yang amat luas bagi syaithan, yang tidak pernah menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.
Berbeda dengan syahwat bathin, yang apabila sudah penuh (jenuh), maka ia
tidak memiliki selera untuk makan, minum, seks dan sebagainya. Sekiranya mata dan lisan dibiarkan begitu
saja (bebas tak terkendali), maka keduanya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memandang dan
berbicara. Kejahatan keduanya memiliki
sisi yang amat luas, banyak cabang-cabangnya dan besar bencananya.
Orang-orang
salaf memperingatkan manusia terhadap kelebihan pandangan dan juga perkataan. Mereka berkata, “Tidak ada yang
menyebabkan seseorang meringkuk dalam Bui (tahanan) sekian lama selain dari
lisan.”
Sedangkan
makanan yang berlebih-lebihan juga dapat menyeret kepada beberapa pintu
kejahatan, karena ia dapat menggerakkan anggota tubuh pada kedurhakaan, dan
membuatnya berat melakukan ketaatan. Sementara dua pintu kejahatan ini
sudah cukup bagimu. Betapa banyak
kedurhakaan yang ditimbulkan akibat perut yang kenyang dan makanan yang
berlebih-lebihan? Berapa banyak ketaatan
yang tidak bisa terlaksana? Siapa yang
terlindung dari kejahatan perutnya, berarti dia telah terlindung dari kejahatan
yang amat besar.
Terlalu
mudah bagi syaithan untuk menguasai manusia yang perutnya selalu penuh dengan
makanan. Karena itu disebutkan dalam sebagian atsar,
“Sempitkanlah jalan syaithan dengan berpuasa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah anak keturunan Adam memenuhi bejana yang lebih buruk
daripada perutnya.”
Perut yang
penuh dengan makanan hanya akan membawa kepada kelalaian dalam mengingat
Allah. Jika hati melalaikan dzikir ini
sesaat saja, maka akan memungkinkan bagi syaithan mendekam di dalam dirinya,
mengobral khayalan dan janji kepadanya, memunculkan berbagai angan-angan dan
syahwat. Jika jiwa sudah kenyang,
maka ia akan berputar-putar di sekitar syahwat, dan apabila jiwa itu lapar - maka
ia akan menjadi tenang dan tunduk.[1]
Tentang
pergaulan yang berlebih-lebihan, maka itu merupakan penyakit menular yang akan
mendatangkan berbagai macam kejahatan dan bencana. Berapa
banyak nikmat (Islam, Iman dan Sunnah, pen.) yang lenyap karena pergaulan bebas
dan persahabatan yang tak mengenal batas.
Berapa banyak permusuhan yang terjadi karena pergaulan yang
berlebih-lebihan. Berapa banyak
pergaulan ini yang menanamkan dendam, yang seakan-akan mampu meruntuhkan gunung
yang kokoh, karena dendam itu tak kunjung hilang dari hati. Yang pasti
pergaulan secara berlebih-lebihan akan menimbulkan beragam kerugian di dunia
dan Akhirat. Maka setiap hamba harus
bergaul menurut kebutuhannya saja.
Ada 4
(empat) golongan manusia berkenaan dengan pergaulan ini. Jika salah satu jenis bercampur dengan yang
lain tanpa ada pembatasan antara keduanya, maka dapat dipastikan akan muncul
kejahatan;
Pertama; Bergaul
dengan orang lain (manusia) layaknya makanan yang tidak bisa ditinggalkan
dalam sehari-semalam. Jika orang lain
itu mengambil kebutuhan pokoknya, maka dia meninggalkan pergaulan, kemudian jika dia
sendiri yang membutuhkan orang lain, maka dia bergaul dengannya. Mereka ini adalah orang-orang yang
mengetahui tentang Allah dan tipu daya musuhnya, mengetahui berbagai penyakit
hati beserta obat-obatnya, mereka adalah orang-orang yang menyampaikan nasihat
karena Allah, Rasul-Nya dan makhluk-Nya.
Pergaulan semacam ini tentu akan mendatangkan keberuntungan.
Kedua;
Pergaulan
dengan orang lain seperti halnya obat, yang dia butuhkan ketika dia sedang
sakit. Tetapi selagi sehat, maka dia
tidak membutuhkan pergaulan dengannya.
Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan pergaulan dengan orang lain
dalam kemashlahatan kehidupan duniawi, dalam hal-hal yang diperlukan dari berbagai
jenis mu’amalah, persekutuan, pengobatan dan lain sebagainya.
Ketiga; Pergaulannya dengan orang lain bagaikan penyakit dengan berbagai jenisnya, kekuatan,
atau kelemahannya. Di antara mereka ada
yang bergaul dengannya seperti terkena penyakit menular yang menahun. Orang semacam ini adalah orang yang tidak
beruntung dalam masalah Agama dan dunianya, sehingga dia akan merugi - entah
dalam urusan dunia maupun Agamanya. Jika
engkau melakukan pergaulan semacam ini, maka akibatnya adalah kematian yang
mengenaskan.
Di antara
mereka ada yang pergaulan dengannya seperti orang yang sakit gigi yang amat
menyiksa. Jika sakit gigi ini hilang
maka dia tidak lagi tersiksa.
Ada yang
pergaulan dengannya seperti orang yang mengalami kelainan jiwa, yang membuat
pikiran terbebani, tidak mampu berbicara secara normal sehingga engkau tidak
dapat mengambil manfaat darinya, dan dia pun tidak bisa diam sehingga dia dapat
mengambil manfaat darimu. Dia tidak
mengenali (memahami) dirinya sendiri sehingga dapat meletakkannya di tempat
yang semestinya. Jika berkata-kata, maka
perkataannya seperti tongkat yang diletakkan di atas hati para pendengarnya,
sementara dia merasa kagum terhadap perkataannya sendiri dan menganggapnya
bagus. Dimana pun dia mengoceh,
seakan-akan perkataannya itu "minyak kesturi" yang membuat Susana sekelilingnya “harum
semerbak”. Sekiranya dia sadar, maka
seakan-akan ada batu penggiling yang membebaninya, sehingga dia tidak kuat
menahannya dan tidak pula menyeretnya.
Asy-Syafi’y berkata, “Tidaklah ada seseorang yang pikirannya berat
dan dia duduk di dekatku, melainkan aku dapat mengetahuinya dari sisi yang
lain.”
Suatu hari
kami melihat ada seseorang yang dipanggil Syaikh kami , karena ada
sesuatu yang memberatkan pikirannya.
Tetapi kemudian Syaikh kami tidak kuat lagi memanggulnya. Maka dia (Syaikh) berkata kepadaku, “Bergaul
dengan orang yang pikirannya kurang waras, bisa tertular olehnya, sehingga pikiran
kita pun menjadi berat – lalu hal itu menjadi terbiasa.”
Secara umum
dapat dikatakan, adakalanya bergaul dengan orang yang kurang beres akalnya,
merupakan keharusan yang tak terhindarkan. Yang demikian ini merupakan cobaan tersendiri. Kalaupun seseorang harus bergaul dengannya,
maka hendaklah dia memperlakukannya dengan cara yang ma’ruf, sampai
Allah memberikan jalan keluar dengan solusi yang terbaik baginya dari urusan
itu.
Keempat; Pergaulan dengan orang lain yang hanya
mendatangkan kerusakan, bergaul dengannya seperti meminum racun, kecuali bila orang yang
meminumnya memang menghendakinya, sehingga yang paling baik adalah mengucapkan
belasungkawa kepadanya. Alangkah
banyaknya jenis pergaulan ini di tengah-tengah manusia, dan hanya Allah-lah
yang tahu berapa banyaknya, karena mereka yang seperti ini sudah terlalu
banyak, seperti para Ahli bid’ah yang sesat, orang-orang yang
menghalangi Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menyeru kepada kebalikannya (menentang Sunnah), yang menghalangi dari jalan
Allah agar jalan itu menjadi bengkok dan menyimpang, mereka
menjadikan bid’ah sebagai sunnah dan menjadikan sunnah sebagai bid’ah,
menjadikan yang ma’ruf sebagai hal yang mungkar, dan menjadikan sesuatu
yang mungkar sebagai hal yang ma’ruf.
Jika
engkau memurnikan Tauhid di tengah-tengah mereka, maka mereka akan mengatakan, “Engkau
telah menyalahi para wali Allah yang shalih.”
Jika
engkau memurnikan Ittiba’ (panutan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka mereka berkata, “Engkau telah melecehkan para imam yang
selama ini menjadi panutan.”
Jika
engkau mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia tetapkan terhadap Diri-Nya,
dan seperti yang disifatkan Rasul-Nya, tanpa ada yang dilebih-lebihkan atau
dikurangi, maka mereka akan berkata, “Engkau termasuk orang yang rancu.”
Jika engkau memerintahkan hal yang ma’ruf seperti
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, jika engkau melarang kemungkaran seperti
yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, “Engkau termasuk orang yang
mendapat cobaan.”
Jika engkau mengikuti As-Sunnah dan meninggalkan
hal-hal yang bertentangan dengannya, mereka berkata, “Engkau termasuk ahli bid’ah
yang tersesat.”
Jika engkau
meninggalkan kewajibanmu dan mengikuti hawa nafsu mereka, maka engkau akan
termasuk orang-orang yang merugi di sisi Allah, dan engkau termasuk orang-orang
yang munafik di tengah-tengah manusia. Yang terpenting adalah mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, meskipun membuat
mereka marah. Maka janganlah kamu menjadi masygul
(gundah gulana) karena celaan dan olok-olok mereka. Tak perlu engkau pedulikan celaan dan
kemarahan mereka. Karena yang menjadi
inti kesempurnaanmu seperti yang dikatakan dalam syair,
Jika
ada yang mencela diriku karena sesuatu kekurangan
Itulah
bukti bahwa sebenarnya aku memiliki kelebihan
Atau
seperti dikatakan dalam bait syair yang lain,
Kecintaan
terhadap diriku sendiri semakin memuncak
Karena
kebencian setiap orang kepadaku semakin menggelegak
Siapa yang ingin membuat penjaga hati dan
pelindungnya senantiasa terjaga agar mewaspadai 4 (empat) macam penyusup ini, yang
menjadi sumber bencana dunia, yaitu berlebih-lebihan dalam pandangan, perkataan,
makanan-minuman, serta pergaulan, memperhatikan Sembilan cara
untuk mewaspadai syaithan seperti yang telah diuraikan, berarti dia telah
mengambil Taufiq menurut bagiannya, berarti dia telah menutup pintu-pintu
Neraka Jahannam, membuka pintu-pintu rahmat, menyelami zhahir dan bathinnya,
dan begitu mudah baginya untuk dipuji pada saat meninggal, karena dia sudah
mendapatkan obat yang diperlukan.
Orang-orang yang bertakwa akan mendapat pujian pada saat meninggal,
seperti pujian yang dilontarkan manusia pada pagi hari. Allah-lah pemberi Taufiq Yang tiada Rabb
selain-Nya, dan tiada Ilah selain-Nya.
oOo
(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh
Muhammad Uwais An-Nadwy)