Sabtu, 11 Mei 2019

10 CARA MELINDUNGI DIRI DARI KEJAHATAN SYAITHAN DAN IBLIS


بسم الله الر حمان الر حيم

Manusia tidak boleh melepaskan senjatanya dalam "peperangan", yang tidak boleh dia letakkan hingga ia meninggalkan dunia.  Jika dia meletakkannya, maka dia akan ditawan dan dikalahkan syaithan.  Maka, mau tidak mau dia harus senantiasa dalam keadaan berjihad, waspada hingga bersua dengan Allah, Rabb-nya.

Berikut  10 (sepuluh) strategi untuk memenangkan pertempuran melawan syaithan dan Iblis laknatullahu 'alaihi;

Cara Pertama;  Memohon perlindungan kepada Allah.
Makna firman Allah,
 “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan,  maka mohonlah perlindungan kepada Allah.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Fushilat;  36)
“Dan, jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Al-A’raf;  200)
Maksud kata mendengar di sini adalah mendengar untuk memenuhi (mengabulkan), bukan sekedar mendengar (secara umum).
Perhatikan rahasia Al-Qur`an, bagaimana ia menguatkan Sifat dengan Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dengan menyebutkan lafazh huwa (Dia), yang menunjukkan penguatan penisbatan (penyandaran) dan pengkhususannya.
Dua Asma dalam surat Fushilat disebutkan dalam bentuk ma’rifah, karena untuk penguatan.  Sementara di dalam surat Al-A’raf tidak dalam bentuk ma’rifah, karena memang hal itu tidak diperlukan lagi.  Perintah memohon perlindungan dalam surat Fushilat disebutkan setelah adanya perintah mengerjakan sesuatu yang paling berat bagi jiwa, yaitu membalas keburukan orang yang berbuat jahat dengan perbuatan baik kepadanya.  Yang demikian ini merupakan perintah yang tidak akan sanggup dikerjakan, kecuali oleh orang-orang yang sabar, dan pahalanya tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapat keberuntungan yang besar.  Begitulah yang difirmankan Allah.
Syaithan tidak akan membiarkan hamba melakukan hal itu.  Maka ia menggambarkan kepadanya – bahwa hal itu merupakan kelemahan dan kehinaan, (menghasut) bahwa dia telah dikuasai lawannya, lalu syaithan mengajaknya untuk melancarkan balasan dan menganggap hal itu lebih baik baginya.  Jika syaithan gagal melaksanakan aksinya, maka ia mengajaknya untuk berpaling dari orang itu, tidak berbuat baik dan tidak pula membalas keburukannya.  Tidak ada orang yang mau berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, kecuali orang yang (berani) menentang kehendak syaithan dan lebih mementingkan Allah serta apa yang ada di sisi-Nya daripada kepentingan duniawi.  Maka posisinya di sini adalah posisi penguatan dan penegasan.  Maka makna firman Allah, “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Fushilat)
Sedangkan dalam surat Al-A’raf terdapat perintah untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh, dan tidak ada perintah untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, tetapi berpaling (saja) darinya.  Hal ini lebih ringan bagi jiwa manusia dan lebih mudah untuk dilakukan.
Keinginan syaithan tidak terlalu mengebu-gebu seperti keinginannya (menghalangi) orang yang membalas keburukan dengan kebaikan.  Maka firman-Nya, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (Al-A’raf)

Cara Kedua;  Membaca dua surat Al-Falaq dan An-Nas, karena keduanya memiliki pengaruh yang amat mengagumkan dalam memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan syaithan, guna menolaknya, dan memelihara diri dari gangguannya.  Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tiadalah orang-orang yang memohon perlindungan seperti memohon perlindungan dengan kedua surat ini.”  Beliau biasa memohon perlindungan dengan dua surat ini pada setiap malam menjelang tidur, dan Beliau memerintahkan kepada umatnya untuk membacanya setiap selesai shalat.
Beliau juga pernah bersabda (artinya),
“Sesungguhnya siapa yang membaca dua surat ini bersama surat Al-Ikhlas 3 (tiga) kali ketika petang hari, dan tiga kali ketika pagi hari, maka dia tidak lagi membutuhkan segala sesuatu.”

Cara KetigaMembaca Ayat Kursy.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, dia berkata (dalam hadits yang cukup panjang)..., lalu dia menyebutkan kelanjutan hadits ini, sampai akhirnya dia berkata, “Bahwa orang itu (syaithan) berkata, “Jika engkau beranjak tidur, maka bacalah ayat Kursy, karena dengan begitu Allah akan senantiasa menjadi penjagamu, dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”

Cara Keempat;  Membaca surat Al-Baqarah.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits dari Sahl bin Abdullah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تجعلوا بيو تكم قبورا وان البيت الذي تقرا فيه البقرة لا يد خله الشيطان
“Laa taj’aluu buyuutakum qubuuran wa inna al-baita alladziy tuq`ra`u fiihi al-baqaratu laa yadkhuluhu asy-syaithaanu”
“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan.  Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tidak akan dimasuki syaithan.”

Cara KelimaMembaca penutup surat Al-Baqarah.  Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih, hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshary, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka dua ayat itu sudah cukup baginya.”
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari An-Nu’man bin Basyir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya semenjak dua ribu tahun sebelum menciptakan makhluk, Allah telah menulis Kitab dan menurunkan bersamanya dua ayat untuk menutup surat Al-Baqarah.  Tidaklah dua ayat ini dibaca di suatu tempat tinggal tiga malam, lalu syaithan (mampu) mendekatinya.”

Cara KeenamMembaca awal surat Al-Mukmin hingga ayat ketiga beserta ayat Kursy.  Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abdurrahman bin Abu Bakar, dari Ibnu Abi Malikah, dari Zurarah bin Mush’ab, dari Abu Usamah, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Siapa yang membaca Ha’ Mim Al-Mukmin hingga ‘Ilaihi al-mashiir’ dan ayat Kursy pada pagi hari, maka dengan keduanya dia terjaga hingga petang hari, dan siapa yang membaca keduanya pada petang hari, maka dengan keduanya dia akan terjaga hingga pagi hari.”
Meskipun Abdurrahman Al-Maliky disangsikan hapalannya, toh ada beberapa penguat lain tentang membaca ayat Kursy, yang memang memungkinkan bagi hadits ini sebagai hadits gharib.

Cara KetujuhMembaca, “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir” sebanyak 100 (seratus) kali.  Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Suma, pembantu Abu Bakar, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Barangsiapa membaca kalimat itu 100 (seratus) kali dalam sehari, maka seakan-akan dia memiliki sepuluh budak dan ditetapkan baginya 100 (seratus) kebaikan, dihapus darinya 100 (seratus) kesalahan, dan dia memiliki benteng pertahanan dari syaithan pada hari itu hingga petang hari.  Tidak ada orang lain yang membawa sesuatu lebih baik daripada apa yang dibawanya selain dari seseorang yang mengamalkan lebih banyak dari apa yang diamalkannya.”
Tentu saja ini merupakan benteng pertahanan yang sangat ampuh dan sekaligus amat mudah bagi orang yang memang diberi kemudahan oleh Allah.

Cara Kedelapan;   Cara ini yang paling bermanfaat untuk berlindung dari syaithan, yaitu banyak mengingat Allah.  Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Al-Harits Al-Asy’ary, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya Allah memerintahkan Yahya bin Zakarya dengan lima kalimat dan agar dia mengamalkannya, dan memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya, dan hampir saja mereka tidak mengamalkannya.  Lalu Isa berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkanmu dengan lima kalimat agar engkau mengamalkannya, dan agar engkau juga memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya.  Apakah engkau yang memerintahkan kepada mereka atau akulah yang akan memerintahkan kepada mereka.”
Yahya berkata, ‘Aku khawatir sekiranya engkau mendahului aku, maka aku akan diserang atau aku akan disiksa.’  Maka dia mengumpulkan orang-orang Baitul Maqdis hingga penuh.  Mereka duduk di atas balkon.  Yahya berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan aku dengan lima kalimat agar aku mengamalkannya dan aku memerintahkan kalian agar juga mengamalkannya.  Yang pertama, hendaklah kalian menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.  Sesungguhnya perumpamaan orang yang syirik kepada Allah ialah seperti seseorang yang membeli budak dari hartanya sendiri dengan satu keping emas atau dengan beberapa lembar uang.  Orang itu berkata, ‘Ini rumahku dan ini amalku, maka berbuatlah dan laksanakan untuk kepentinganku.’  Maka budak itu mengamalkan namun berbuat bagi selain tuannya.  Maka, mana mungkin seseorang di antara kalian ridha jika budaknya berbuat seperti itu?  Lalu, Allah memerintahkan kalian mendirikan shalat.  Jika kalian mendirikan shalat, maka janganlah kalian menengok.  Sesungguhnya Allah mengarahkan Wajah-Nya ke wajah hamba-Nya ketika dia shalat dan tidak menengok.  Dan Allah memerintahkan kalian berpuasa.  Sesungguhnya perumpamaannya seperti orang yang berada di tengah kumpulan manusia sambil membawa bungkusan yang di dalamnya terdapat minyak wangi.  Semua orang di antara mereka ta’ajub terhadap dirinya atau terhadap aromanya.  Sesungguhnya bau (mulut) orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi.  Dan memerintahkan kalian mengeluarkan shadaqah.  Sesungguhnya perumpamaannya seperti orang yang ditawan musuh, mereka mengikat tangannya ke lehernya dan menggiringnya untuk memukul tengkuknya.  Maka dia berkata, ‘Aku akan memberikan tebusan kepada kalian dengan jumlah berapapun.’  Maka dia menebus dirinya dari tangan mereka.  Dan Allah memerintahkan agar kalian berdzikir kepada-Nya.  Sesungguhnya perumpamaan orang itu seperti orang yang sedang diburu musuh dengan berlari kencang, hingga dia tiba di sebuah benteng yang kokoh, maka dia dapat melindungi diri dari kejaran mereka.’”
Begitu pula hamba tidak dapat melindungi diri dari syaithan kecuali dengan dzikir kepada Allah.  Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedang aku memerintahkan kalian dengan lima perkara, Allah memerintahkan aku untuk mengamalkannya, yaitu;  Mendengar dan taat, Jihad, Hijrah, dan Jama’ah.  Sesungguhnya siapa yang meninggalkan jama’ah meskipun hanya satu jengkal, berarti dia telah melepaskan tali dari lehernya kecuali jika dia kembali, dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyah, maka dia termasuk penghuni Neraka Jahannam.
Ada yang bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun dia shalat dan berpuasa?”
Beliau menjawab, Meskipun dia shalat dan berpuasa.  Maka serulah (manusia) dengan seruan Allah yang Dia menamakan kalian Muslimin, Mukminin, dan hamba Allah.
Menurut At-Tirmidzy, ini hadits hasan gharib shahih.  Menurut Al-Bukhary, Al-Harits Al-Asy’ary termasuk shahabat.  Dia juga meriwayatkan hadits selain ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan di dalam hadits ini, bahwa hamba tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari syaithan kecuali dengan dzikir kepada Allah.  Hal ini menunjukkan bahwa surat An-Nas merupakan pensifatan bagi syaithan yang juga dinamakan Al-Khannas, yaitu yang apabila hamba menyebut Asma Allah, maka syaithan itu bersembunyi dan ngumpet, jika hamba itu lalai menyebut Asma Allah, maka dia kembali membisikkan ke dalam hatinya, dan ini merupakan sumber segala kejahatan.  Maka tidak ada senjata yang lebih efektif yang dapat dijadikan perlindungan oleh hamba selain dari dzikir ini.

Cara KesembilanBer-wudhu’ dan Shalat.  Ini juga termasuk perlindungan yang paling besar, apalagi bila sedang muncul amarah dan syahwat yang menggebu-gebu (memuncak), karena amarah itu merupakan api yang bergolak di dalam hati hamba, seperti yang disebutkan di dalam riwayat At-Tirmidzy dari hadits Abu Sa’id Al-Khudry, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),  
 “Ketahuilah, bahwa amarah itu adalah bara di dalam hati anak Adam.  Tidakkah kalian melihat kedua matanya yang memerah dan urat lehernya yang menegang?  Siapa yang merasakan sebagian dari hal ini – hendaklah dia menempelkan dirinya ke tanah.”
Dalam atsar lain juga disebutkan, “Sesungguhnya syaithan itu diciptakan dari api dan api itu hanya dapat dipadamkan dengan air.”
Tidak ada cara bagi hamba untuk memadamkan amarah dan syahwat seperti sekiranya dia memadamkannya dengan wudhu’ dan shalat.  Amarah adalah api, dan wudhu’ adalah air yang memadamkannya.  Jika shalat dilakukan secara khusyu’, dan menghadap kepada Allah tentu mampu menyingkirkan semua pengaruh itu.  Ini merupakan masalah yang perlu dibuktikan sendiri agar dapat menjadi bukti yang akurat.

Cara KesepuluhMenahan diri dari kelebihan apa yang dibutuhkan dalam masalah Pandangan mata, Perkataan, Makan-minum, Pergaulan dengan manusia.  Karena syaithan dapat menguasai hamba dan berhasil melancarkan aksinya lewat 4 (empat) pintu ini.  Pandangan yang berlebihan mengajak kepada anggapan baik (melalaikan yang haram), pandangan yang terpusat kepada objek yang dipandang dapat merasuk ke dalam hati, sehingga ia akan sibuk memikirkannya.
Sumber cobaan dari pandangan yang berlebih-lebihan ini seperti yang disebutkan dalam Al-Musnad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Pandangan (mata) itu bagaikan anak panah beracun dari berbagai anak panah Iblis.  Siapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka Allah akan mewariskan kemanisan (keledzatan) yang ia rasakan di dalam hatinya hingga saat ia bersua dengan-Nya.”
Berbagai kejadian besar bermula dari pandangan yang berlebih-lebihan.  Berapa banyak pandangan yang sekilas yang mengakibatkan kerugian yang tak terkira.  Intinya, bahwa pandangan yang berlebih-lebihan merupakan sumber bencana.
Sedangkan perkataan yang berlebih-lebihan pembuka semua pintu kejahatan bagi hamba, dan menjadi jalan masuk syaithan.  Menahan perkataan yang berlebih-lebihan dapat menutup semua pintu keburukan itu.  Berapa banyak kecamuk peperangan yang pernah terjadi hanya karena satu perkataan saja.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Muadz, Bukankah manusia ditelungkupkan pada tengkuknya di dalam api Neraka melainkan disebabkan lisannya?”
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan, Sesungguhnya ada seorang dari kalangan Anshar yang meninggal dunia.  Lalu sebagian Sahabat ada yang berkata, ‘Keberuntungan bagi orang ini.’  Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas, ‘Apa yang engkau ketahui tentang dia?  Boleh jadi dia mengucapkan perkataan yang tidak dibutuhkannya, atau dia bakhil terhadap apa yang tidak mengurangi harta kekayaannya.”
Mayoritas kedurhakaan muncul dari perkataan dan pandangan yang melebihi kebutuhan.  Keduanya merupakan pintu masuk yang amat luas bagi syaithan, yang tidak pernah menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.  Berbeda dengan syahwat bathin, yang apabila sudah penuh (jenuh), maka ia tidak memiliki selera untuk makan, minum, seks dan sebagainya.  Sekiranya mata dan lisan dibiarkan begitu saja (bebas tak terkendali), maka keduanya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memandang dan berbicara.  Kejahatan keduanya memiliki sisi yang amat luas, banyak cabang-cabangnya dan besar bencananya.
Orang-orang salaf memperingatkan manusia terhadap kelebihan pandangan dan juga perkataan.  Mereka berkata, “Tidak ada yang menyebabkan seseorang meringkuk dalam Bui (tahanan) sekian lama selain dari lisan.”
Sedangkan makanan yang berlebih-lebihan juga dapat menyeret kepada beberapa pintu kejahatan, karena ia dapat menggerakkan anggota tubuh pada kedurhakaan, dan membuatnya berat melakukan ketaatan.  Sementara dua pintu kejahatan ini sudah cukup bagimu.  Betapa banyak kedurhakaan yang ditimbulkan akibat perut yang kenyang dan makanan yang berlebih-lebihan?  Berapa banyak ketaatan yang tidak bisa terlaksana?  Siapa yang terlindung dari kejahatan perutnya, berarti dia telah terlindung dari kejahatan yang amat besar.
Terlalu mudah bagi syaithan untuk menguasai manusia yang perutnya selalu penuh dengan makanan.  Karena itu disebutkan dalam sebagian atsar, “Sempitkanlah jalan syaithan dengan berpuasa.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak keturunan Adam memenuhi bejana yang lebih buruk daripada perutnya.”
Perut yang penuh dengan makanan hanya akan membawa kepada kelalaian dalam mengingat Allah.  Jika hati melalaikan dzikir ini sesaat saja, maka akan memungkinkan bagi syaithan mendekam di dalam dirinya, mengobral khayalan dan janji kepadanya, memunculkan berbagai angan-angan dan syahwat.  Jika jiwa sudah kenyang, maka ia akan berputar-putar di sekitar syahwat, dan apabila jiwa itu lapar - maka ia akan menjadi tenang dan tunduk.[1]
Tentang pergaulan yang berlebih-lebihan, maka itu merupakan penyakit menular yang akan mendatangkan berbagai macam kejahatan dan bencana.  Berapa banyak nikmat (Islam, Iman dan Sunnah, pen.) yang lenyap karena pergaulan bebas dan persahabatan yang tak mengenal batas.  Berapa banyak permusuhan yang terjadi karena pergaulan yang berlebih-lebihan.  Berapa banyak pergaulan ini yang menanamkan dendam, yang seakan-akan mampu meruntuhkan gunung yang kokoh, karena dendam itu tak kunjung hilang dari hatiYang pasti pergaulan secara berlebih-lebihan akan menimbulkan beragam kerugian di dunia dan Akhirat.  Maka setiap hamba harus bergaul menurut kebutuhannya saja.
Ada 4 (empat) golongan manusia berkenaan dengan pergaulan ini.  Jika salah satu jenis bercampur dengan yang lain tanpa ada pembatasan antara keduanya, maka dapat dipastikan akan muncul kejahatan;
Pertama;  Bergaul dengan orang lain (manusia) layaknya makanan yang tidak bisa ditinggalkan dalam sehari-semalam.  Jika orang lain itu mengambil kebutuhan pokoknya, maka dia meninggalkan pergaulan, kemudian jika dia sendiri yang membutuhkan orang lain, maka dia bergaul dengannya.  Mereka ini adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan tipu daya musuhnya, mengetahui berbagai penyakit hati beserta obat-obatnya, mereka adalah orang-orang yang menyampaikan nasihat karena Allah, Rasul-Nya dan makhluk-Nya.  Pergaulan semacam ini tentu akan mendatangkan keberuntungan.
KeduaPergaulan dengan orang lain seperti halnya obat, yang dia butuhkan ketika dia sedang sakit.  Tetapi selagi sehat, maka dia tidak membutuhkan pergaulan dengannya.  Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan pergaulan dengan orang lain dalam kemashlahatan kehidupan duniawi, dalam hal-hal yang diperlukan dari berbagai jenis mu’amalah, persekutuan, pengobatan dan lain sebagainya.
Ketiga;  Pergaulannya dengan orang lain bagaikan penyakit dengan berbagai jenisnya, kekuatan, atau kelemahannya.  Di antara mereka ada yang bergaul dengannya seperti terkena penyakit menular yang menahun.  Orang semacam ini adalah orang yang tidak beruntung dalam masalah Agama dan dunianya, sehingga dia akan merugi - entah dalam urusan dunia maupun Agamanya.  Jika engkau melakukan pergaulan semacam ini, maka akibatnya adalah kematian yang mengenaskan.
Di antara mereka ada yang pergaulan dengannya seperti orang yang sakit gigi yang amat menyiksa.  Jika sakit gigi ini hilang maka dia tidak lagi tersiksa.
Ada yang pergaulan dengannya seperti orang yang mengalami kelainan jiwa, yang membuat pikiran terbebani, tidak mampu berbicara secara normal sehingga engkau tidak dapat mengambil manfaat darinya, dan dia pun tidak bisa diam sehingga dia dapat mengambil manfaat darimu.  Dia tidak mengenali (memahami) dirinya sendiri sehingga dapat meletakkannya di tempat yang semestinya.  Jika berkata-kata, maka perkataannya seperti tongkat yang diletakkan di atas hati para pendengarnya, sementara dia merasa kagum terhadap perkataannya sendiri dan menganggapnya bagus.  Dimana pun dia mengoceh, seakan-akan perkataannya itu "minyak kesturi" yang membuat Susana sekelilingnya “harum semerbak”.  Sekiranya dia sadar, maka seakan-akan ada batu penggiling yang membebaninya, sehingga dia tidak kuat menahannya dan tidak pula menyeretnya.  Asy-Syafi’y berkata, “Tidaklah ada seseorang yang pikirannya berat dan dia duduk di dekatku, melainkan aku dapat mengetahuinya dari sisi yang lain.”
Suatu hari kami melihat ada seseorang yang dipanggil Syaikh kami , karena ada sesuatu yang memberatkan pikirannya.  Tetapi kemudian Syaikh kami tidak kuat lagi memanggulnya.  Maka dia (Syaikh) berkata kepadaku, “Bergaul dengan orang yang pikirannya kurang waras, bisa tertular olehnya, sehingga pikiran kita pun menjadi berat – lalu hal itu menjadi terbiasa.”
Secara umum dapat dikatakan, adakalanya bergaul dengan orang yang kurang beres akalnya, merupakan keharusan yang tak terhindarkan.  Yang demikian ini merupakan cobaan tersendiri.  Kalaupun seseorang harus bergaul dengannya, maka hendaklah dia memperlakukannya dengan cara yang ma’ruf, sampai Allah memberikan jalan keluar dengan solusi yang terbaik baginya dari urusan itu.
Keempat;   Pergaulan dengan orang lain yang hanya mendatangkan kerusakan, bergaul dengannya seperti meminum racun, kecuali bila orang yang meminumnya memang menghendakinya, sehingga yang paling baik adalah mengucapkan belasungkawa kepadanya.  Alangkah banyaknya jenis pergaulan ini di tengah-tengah manusia, dan hanya Allah-lah yang tahu berapa banyaknya, karena mereka yang seperti ini sudah terlalu banyak, seperti para Ahli bid’ah yang sesat, orang-orang yang menghalangi Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyeru kepada kebalikannya (menentang Sunnah), yang menghalangi dari jalan Allah agar jalan itu menjadi bengkok dan menyimpang, mereka menjadikan bid’ah sebagai sunnah dan menjadikan sunnah sebagai bid’ah, menjadikan yang ma’ruf sebagai hal yang mungkar, dan menjadikan sesuatu yang mungkar sebagai hal yang ma’ruf.
Jika engkau memurnikan Tauhid di tengah-tengah mereka, maka mereka akan mengatakan, “Engkau telah menyalahi para wali Allah yang shalih.”
Jika engkau memurnikan Ittiba’ (panutan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berkata, “Engkau telah melecehkan para imam yang selama ini menjadi panutan.”
Jika engkau mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia tetapkan terhadap Diri-Nya, dan seperti yang disifatkan Rasul-Nya, tanpa ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi, maka mereka akan berkata, “Engkau termasuk orang yang rancu.”
Jika engkau memerintahkan hal yang ma’ruf seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, jika engkau melarang kemungkaran seperti yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, “Engkau termasuk orang yang mendapat cobaan.”
Jika engkau mengikuti As-Sunnah dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengannya, mereka berkata, “Engkau termasuk ahli bid’ah yang tersesat.”
Jika engkau meninggalkan kewajibanmu dan mengikuti hawa nafsu mereka, maka engkau akan termasuk orang-orang yang merugi di sisi Allah, dan engkau termasuk orang-orang yang munafik di tengah-tengah manusia.  Yang terpenting adalah mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, meskipun membuat mereka marah.  Maka janganlah kamu menjadi masygul (gundah gulana) karena celaan dan olok-olok mereka.  Tak perlu engkau pedulikan celaan dan kemarahan mereka.  Karena yang menjadi inti kesempurnaanmu seperti yang dikatakan dalam syair,
Jika ada yang mencela diriku karena sesuatu kekurangan
Itulah bukti bahwa sebenarnya aku memiliki kelebihan
Atau seperti dikatakan dalam bait syair yang lain,
Kecintaan terhadap diriku sendiri semakin memuncak
Karena kebencian setiap orang kepadaku semakin menggelegak
Siapa yang ingin membuat penjaga hati dan pelindungnya senantiasa terjaga agar mewaspadai 4 (empat) macam penyusup ini, yang menjadi sumber bencana dunia, yaitu berlebih-lebihan dalam pandangan, perkataan, makanan-minuman, serta pergaulan, memperhatikan Sembilan cara untuk mewaspadai syaithan seperti yang telah diuraikan, berarti dia telah mengambil Taufiq menurut bagiannya, berarti dia telah menutup pintu-pintu Neraka Jahannam, membuka pintu-pintu rahmat, menyelami zhahir dan bathinnya, dan begitu mudah baginya untuk dipuji pada saat meninggal, karena dia sudah mendapatkan obat yang diperlukan.  Orang-orang yang bertakwa akan mendapat pujian pada saat meninggal, seperti pujian yang dilontarkan manusia pada pagi hari.  Allah-lah pemberi Taufiq Yang tiada Rabb selain-Nya, dan tiada Ilah selain-Nya.

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

[1]  Hal ini tidak berlaku untuk semua rasa kenyang dan lapar.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan apa adanya.  Jika Beliau tidak mendapatkan apa-apa untuk dimakan, maka Beliau berpuasa
Faidah berpuasa bukan pada rasa laparnya.  Di dalam hadits disebutkan, “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki keperluan karena dia meninggalkan makanan dan minuman (puasanya).”  Hikmah puasa dan buahnya adalah kebersamaan dengan Allah dalam ibadah itu, sehingga jiwa terdidik pada kekuatan hasrat, akal menjadi tegar, memberikan kekuasaannya terhadap perikehidupan.  Allah tidak memerintahkan kita untuk beribadah dengan rasa lapar dan dahaga Simpanan Allah senantiasa penuh.  Tangan-Nya terbentang setiap siang dan malam, tidak ada yang menghambat-Nya untuk memberi.  Hanya saja orang-orang Sufi menjadikan rasa lapar dan sejenisnya sebagai ibadah Mereka itu seperti kehidupan para Rahib yang mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam Islam), tidak seperti yang ditetapkan Allah terhadap mereka (Pemahaman yang Shahih).  Oleh karena itu, mereka tidak dapat memenuhi hak ibadah dengan sempurna.  Sunnah Allah dalam kehidupan ini tidak dapat mereka ubah, mengharuskan mereka tidak mampu memenuhinya, dan bahkan mereka ditimpa berbagai kelainan kejiwaan (mis. di antara mereka ada yang mengaku sebagai Rabb / menyatu dengan Penciptanya, dan perbuatan / amalan aneh / nyeleneh lainnya.  Menari-nari sambil berputar-putar dan berdzikir sambil berteriak-teriak seperti orang mabuk, pen.), histeria, yang justru mereka anggap sebagai daya tarik tersendiri.  Maka, tidak heran jika syaithan berbicara lewat (menggunakan) lisan mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar