Rabu, 08 Mei 2019

KEWAJIBAN BERSABAR



بسم الله الر حمان الر حيم


Sifat sabar termasuk anugerah terbesar dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada seseorang.  Barangsiapa yang berhasil meraihnya, berarti dia telah mendapatkan sesuatu yang amat besar dan berharga dalam hidupnya.

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Dan tidak ada sebuah anugerah yang lebih baik, dan lebih besar bagi seseorang daripada kesabaran”  (Shahih Al-Bukhari, Bab Ash-Shabru’an Maharimillah)
Betapa mulianya orang-orang yang mampu bersabar, lihatlah tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala berseru kepada mereka,
وبشر الصبر ين
“Wabasysyiri ash-shaabiriina”
“Dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.”   (Al-Baqarah;  155), dan makna firman-Nya,
“Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan barakah yang sempurna, dan rahmat dari Rabb mereka (Allah), dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  (Al-Baqarah;  157), dan
“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada di dalam perut ikan – ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (terhadap kaumnya).”  (Al-Qalam;  48)
Menurut Ibnu Abbas, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang Beliau menyerupai Yunus yang berada di dalam perut ikan, karena tidak sabar sebagaimana layaknya kersabaran (Rasul-Rasul) Ulul-Azmi (yang paling utama).
Di sini ada pertanyaan yang cukup menonjol, yakni unsur dalam kalimat keadaan, “Ketika ia berdoa”.  Tidak mungkin apa yang dilarang ini ialah; Janganlah kamu seperti dia dalam doanya.  Sebab Allah menyampaikan pujian-Nya dalam doa tersebut, dan juga telah mengabarkan bahwa Dia menyelamatkan Yunus, dengan firman (artinya),
“Dan ingatlah kisah Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitkannya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa, tiada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim”.  Maka Kami telah memperkenankan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan.  Dan, demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.  (Al-Ambiya’;  87)
Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan yang lainnya disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Doa saudaraku, Dzun-Nun, ketika dia berdoa dengannya di perut ikan, yang doa itu tidak dipanjatkan orang yang kesusahan melainkan Allah menghilangkan kesusahan itu darinya, yaitu; ‘Tiada Ilah melainkan Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’”
Jadi, tidak boleh ada larangan meniru pengucapan doa ini, doa yang dipanjatkan kepada Allah.  Yang dilarang adalah menyerupai sebab yang mengakibatkan Yunus memanjatkan doa ini, yaitu kemarahan yang mengakibatkannya mendekam di dalam perut ikan, lalu keadaannya menjadi susah-payah, sehingga Yunus memanjatkan doa kepada Allah.
الكظيم  /  "Al-Kazhiim" dan  الكا ظم  /  “Al-Kaazhim”, artinya orang yang sangat marah, atau bisa juga berarti orang yang susah dan sedih.
Jika ditanyakan, lalu siapa pelaku yang ada di dalam kalimat keadaan ini?  Jawabannya;  Di dalam kalimat  صاحب الحوت   /  “Shaahibul huut”  terkandung makna perbuatan.
Ada pertanyaan lagi setelah itu, jika larangan dibatasi dengan suatu pembatasan atau waktu, berarti ia masuk ke dalam jenis larangan.  Jika maknanya;  Janganlah kamu seperti orang yang ada dalam perut ikan dalam keadaan ini atau waktu itu, berarti itu merupakan larangan dari keadaan itu.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Karena doanya merupakan akibat Dari keberadaannya di dalam perut ikan, maka ada larangan menyerupainya yang membuatnya memanjatkan doa itu, yaitu kelemahan kehendak dan tidak sabar terhadap ketetapan Allah.  Di sini Allah tidak mengatakan, “Janganlah kamu seperti orang yang ada di dalam perut ikan, ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia dicaplok ikan dan dia pun memanjatkan doa”.  Tetapi kisahnya dipadatkan dan diringkas, lalu kisah ini disebutkan di tempat lain.
Boleh jadi ada yang bertanya, apa yang menghalangimu untuk mengganti kalimat keadaan dengan perbuatan yang sama dari perbuatan yang dilarang?  Dengan perkataan lain, janganlah kamu seperti dia dalam doanya, ketika dia dalam keadaan sangat marah, bersedih dan susah, tapi jadikanlah doamu doa yang penuh keridhaan terhadap apa yang ditetapkan Allah, karena Allah akan menerimanya dengan ridha pula, tidak seperti doa orang yang dalam keadaan marah.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Meskipun makna ini benar, tetapi larangan tidak tertuju kepada penyerupaan itu, tetapi larangan hanya tertuju pada penyerupaan keadaan yang membuat Yunus pergi dalam keadaan marah, hingga ia mendekam dalam perut ikan.  Hal ini ditunjukkan firman-Nya, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu”, Lalu Dia berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan”,.  Dengan perkataan lain, Janganlah kamu seperti dia dalam kelemahan kesabaran terhadap ketetapan Allah.  Keadaan yang dilarang adalah kebalikan dari keadaan yang diperintahkan.
Jika ditanyakan, apa yang menghalangimu untuk menjadi seperti apa yang diperintahkan untuk bersabar terhadap ketetapan Allah yang bersifat qadar dan yang memang sudah ditetapkan baginya, dan janganlah seperti orang yang ada dalam perut ikan, karena dia tidak bersabar terhadap ketetapan itu, tetapi toh dia berdoa juga meski dalam keadaan marah, agar kesusahannya itu disingkirkan, sehingga dengan demikian dia tidak bersabar menghadapi keadaannya itu.
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Yang menghalangi hal itu, bahwa Allah justru memuji Yunus dan juga Nabi-Nabi lainnya, karena mereka memohon kepada Allah untuk menyingkirkan mudharat yang menimpa mereka.  Allah memuji Yunus atas keadaannya itu dalam makna firman-Nya,
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempit (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tiada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim’.  Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan.  Dan, demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”  (Al-Ambiya’;  87)
Bagaimana mungkin ada larangan untuk menyerupai sesuatu yang justru dipuji?  Allah juga memuji Ayyub karena perkataannya,
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”  (Al-Ambiya’;  83)
Allah juga memuji Ya’qub karena perkataannya,
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.”  (Yusuf;  86)
Allah memuji Musa karena perkataannya,
“Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”  (Al-Qashash;  24)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengadu kepada Allah dengan sabda,
 “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku dan minimnya kiatku.”  Jadi pengaduan kepada Allah tidak menafikan kesabaran yang baik, tetapi itu justru menghindarkan hamba untuk mengadu kepada selain-Nya secara keseluruhan (permasalahan dalam hidupnya).  Menyampaikan pengaduan kepada Allah merupakan cermin kesabaran.
Allah menguji hamba-Nya, agar Dia mendengarkan pengaduannya, ketundukan dan doanya.  Allah mencela orang-orang yang tidak mau tunduk dan kembali kepada-Nya (Inaabah), serta tidak mampu menguasai diri ketika mendapat cobaan, sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.”  (Al-Mukminun;  76)
Hamba terlalu lemah untuk merasa kuat terhadap tindakan Allah atas dirinya, dan Allah (juga) tidak menghendaki hal tersebut.  Tetapi yang diinginkan Allah adalah, agar dia tunduk dan menyerahkan diri di hadapan-Nya.  Allah marah kepada hamba yang mengadu kepada makhluk-Nya, dan menyukai orang yang mengadu kepada-Nya.
Salah seorang di antara mereka pernah ditanya, “Bagaimana mungkin engkau mengadukan sesuatu kepada-Nya, padahal Dia sudah mengetahui apa yang kamu adukan (menimpamu) itu?”  Maka dia menjawab, Rabb-ku ridha jika hamba merendahkan diri kepada-Nya.”
Dengan kata lain, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar layaknya kesabaran Ulul-Azmi, yang bersabar atas inisiatifnya sendiri terhadap ketetapan Allah.  Ini merupakan kesabaran yang paling sempurna.  Karena itu kisah syafaat berkisar pada diri mereka pada Hari Kiamat, lalu mereka menyerahkannya kepada Nabi yang paling mulia, dan yang paling baik di antara mereka, serta yang paling sabar terhadap ketetapan Allah, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

oOo
(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar