بسم الله الر حمان الر حيم
Sifat sabar termasuk anugerah terbesar dari Allah
‘Azza wa Jalla kepada seseorang.
Barangsiapa yang berhasil meraihnya, berarti dia telah mendapatkan sesuatu yang
amat besar dan berharga dalam hidupnya.
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Dan
tidak ada sebuah anugerah yang lebih baik, dan lebih besar bagi seseorang
daripada kesabaran” (Shahih Al-Bukhari, Bab Ash-Shabru’an
Maharimillah)
Betapa
mulianya orang-orang yang mampu bersabar, lihatlah tatkala Allah Subhanahu
wa Ta’ala berseru kepada mereka,
وبشر الصبر ين
“Wabasysyiri
ash-shaabiriina”
“Dan
berilah khabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (Al-Baqarah;
155), dan makna firman-Nya,
“Mereka
itulah orang-orang yang mendapatkan barakah yang sempurna, dan rahmat
dari Rabb mereka (Allah), dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (Al-Baqarah; 157), dan
“Maka
bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu, dan janganlah kamu
seperti orang (Yunus) yang berada di dalam perut ikan – ketika ia berdoa sedang
ia dalam keadaan marah (terhadap kaumnya).”
(Al-Qalam; 48)
Menurut Ibnu
Abbas, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang Beliau menyerupai Yunus
yang berada di dalam perut ikan, karena tidak sabar sebagaimana layaknya
kersabaran (Rasul-Rasul) Ulul-Azmi (yang paling utama).
Di sini ada
pertanyaan yang cukup menonjol, yakni unsur dalam kalimat keadaan, “Ketika
ia berdoa”. Tidak mungkin apa
yang dilarang ini ialah; Janganlah kamu seperti dia dalam doanya. Sebab Allah menyampaikan pujian-Nya dalam doa
tersebut, dan juga telah mengabarkan bahwa Dia menyelamatkan Yunus, dengan
firman (artinya),
“Dan
ingatlah kisah Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitkannya (menyulitkannya), maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa, tiada Ilah selain Engkau,
Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang
zhalim”. Maka Kami telah
memperkenankan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan, demikianlah Kami selamatkan orang-orang
yang beriman.” (Al-Ambiya’; 87)
Di dalam
riwayat At-Tirmidzy dan yang lainnya disebutkan dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Doa
saudaraku, Dzun-Nun, ketika dia berdoa dengannya di perut ikan, yang doa itu
tidak dipanjatkan orang yang kesusahan melainkan Allah menghilangkan kesusahan
itu darinya, yaitu; ‘Tiada Ilah melainkan Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya
aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.’”
Jadi, tidak
boleh ada larangan meniru pengucapan doa ini, doa yang dipanjatkan kepada
Allah. Yang dilarang adalah
menyerupai sebab yang mengakibatkan Yunus memanjatkan doa ini, yaitu kemarahan
yang mengakibatkannya mendekam di dalam perut ikan, lalu keadaannya menjadi
susah-payah, sehingga Yunus memanjatkan doa kepada Allah.
الكظيم /
"Al-Kazhiim" dan الكا ظم / “Al-Kaazhim”,
artinya orang yang sangat marah, atau bisa juga berarti orang yang susah
dan sedih.
Jika
ditanyakan, lalu siapa pelaku yang ada di dalam kalimat keadaan ini? Jawabannya;
Di dalam kalimat صاحب الحوت / “Shaahibul
huut” terkandung makna perbuatan.
Ada
pertanyaan lagi setelah itu, jika larangan dibatasi dengan suatu pembatasan
atau waktu, berarti ia masuk ke dalam jenis larangan. Jika maknanya; Janganlah kamu seperti orang yang ada dalam
perut ikan dalam keadaan ini atau waktu itu, berarti itu merupakan larangan
dari keadaan itu.
Hal ini
dapat dijawab sebagai berikut; Karena
doanya merupakan akibat Dari keberadaannya di dalam perut ikan, maka ada
larangan menyerupainya yang membuatnya memanjatkan doa itu, yaitu kelemahan
kehendak dan tidak sabar terhadap ketetapan Allah. Di sini Allah tidak mengatakan, “Janganlah
kamu seperti orang yang ada di dalam perut ikan, ketika dia pergi dalam keadaan
marah, lalu dia dicaplok ikan dan dia pun memanjatkan doa”. Tetapi kisahnya dipadatkan dan diringkas,
lalu kisah ini disebutkan di tempat lain.
Boleh jadi
ada yang bertanya, apa yang menghalangimu untuk mengganti kalimat keadaan
dengan perbuatan yang sama dari perbuatan yang dilarang? Dengan perkataan lain, janganlah kamu seperti
dia dalam doanya, ketika dia dalam keadaan sangat marah, bersedih dan susah, tapi
jadikanlah doamu doa yang penuh keridhaan terhadap apa yang ditetapkan Allah,
karena Allah akan menerimanya dengan ridha pula, tidak seperti doa orang yang
dalam keadaan marah.
Hal ini
dapat dijawab sebagai berikut; Meskipun
makna ini benar, tetapi larangan tidak tertuju kepada penyerupaan itu, tetapi
larangan hanya tertuju pada penyerupaan keadaan yang membuat Yunus pergi dalam
keadaan marah, hingga ia mendekam dalam perut ikan. Hal ini ditunjukkan firman-Nya, “Maka
bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabb-mu”, Lalu Dia
berfirman, “Dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam
(perut) ikan”,. Dengan
perkataan lain, Janganlah kamu seperti dia dalam
kelemahan kesabaran terhadap ketetapan Allah.
Keadaan
yang dilarang adalah kebalikan dari keadaan yang diperintahkan.
Jika
ditanyakan, apa yang menghalangimu untuk menjadi seperti apa yang diperintahkan
untuk bersabar terhadap ketetapan Allah yang bersifat qadar dan yang memang sudah
ditetapkan baginya, dan janganlah seperti orang yang ada dalam perut ikan,
karena dia tidak bersabar terhadap ketetapan itu, tetapi toh dia berdoa juga
meski dalam keadaan marah, agar kesusahannya itu disingkirkan, sehingga dengan
demikian dia tidak bersabar menghadapi keadaannya itu.
Hal ini
dapat dijawab sebagai berikut; Yang
menghalangi hal itu, bahwa Allah justru memuji Yunus dan juga Nabi-Nabi
lainnya, karena mereka memohon kepada Allah untuk menyingkirkan mudharat yang
menimpa mereka. Allah memuji Yunus atas
keadaannya itu dalam makna firman-Nya,
“Dan (ingatlah
kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka
bahwa Kami tidak akan mempersempit (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam
keadaan yang sangat gelap, ‘Bahwa tiada Ilah selain Engkau, Mahasuci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim’. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan
menyelamatkannya dari kedukaan. Dan,
demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Ambiya’;
87)
Bagaimana
mungkin ada larangan untuk menyerupai sesuatu yang justru dipuji? Allah juga memuji Ayyub karena
perkataannya,
“Sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di
antara semua penyayang.” (Al-Ambiya’; 83)
Allah juga
memuji Ya’qub karena perkataannya,
“Sesungguhnya
hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf;
86)
Allah
memuji Musa karena perkataannya,
“Wahai
Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau
turunkan kepadaku.” (Al-Qashash; 24)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengadu kepada Allah dengan sabda,
“Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kelemahan
kekuatanku dan minimnya kiatku.” Jadi
pengaduan kepada Allah tidak menafikan kesabaran yang baik, tetapi itu justru
menghindarkan hamba untuk mengadu kepada selain-Nya secara keseluruhan (permasalahan dalam hidupnya). Menyampaikan pengaduan kepada Allah merupakan
cermin kesabaran.
Allah
menguji hamba-Nya, agar Dia mendengarkan pengaduannya, ketundukan dan doanya.
Allah mencela orang-orang yang tidak mau tunduk dan kembali
kepada-Nya (Inaabah), serta tidak mampu menguasai diri ketika
mendapat cobaan, sebagaimana
makna firman-Nya,
“Dan
sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka
tidak tunduk kepada Rabb mereka dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan
merendahkan diri.” (Al-Mukminun; 76)
Hamba terlalu lemah untuk merasa kuat terhadap
tindakan Allah atas dirinya, dan Allah (juga) tidak menghendaki hal
tersebut. Tetapi yang diinginkan Allah
adalah, agar dia tunduk dan menyerahkan diri di hadapan-Nya. Allah marah kepada hamba yang mengadu kepada
makhluk-Nya, dan menyukai orang yang mengadu kepada-Nya.
Salah seorang
di antara mereka pernah ditanya, “Bagaimana mungkin engkau mengadukan sesuatu
kepada-Nya, padahal Dia sudah mengetahui apa yang kamu adukan (menimpamu) itu?” Maka dia menjawab, “Rabb-ku
ridha jika hamba merendahkan diri kepada-Nya.”
Dengan kata
lain, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar layaknya kesabaran Ulul-Azmi,
yang bersabar atas inisiatifnya sendiri terhadap ketetapan Allah. Ini merupakan kesabaran yang paling
sempurna. Karena itu kisah
syafaat berkisar pada diri mereka pada Hari Kiamat, lalu mereka menyerahkannya
kepada Nabi yang paling mulia, dan yang paling baik di antara mereka, serta yang
paling sabar terhadap ketetapan Allah, yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
oOo
(Disadur
bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh
Muhammad Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar