Senin, 06 Mei 2019

PERINGATAN (HANYA BERMANFAAT) BAGI YANG MEMILIKI HATI



بسم الله الر حمان الر حيم

Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Al-Qur’an, maka satukanlah hatimu ketika membacanya, buka pendengaran dan hadirkan hatimu layaknya orang yang langsung diajak berbicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Karena Al-Qur’an merupakan seruan dari Allah yang ditujukan pada dirimu – yang disampaikan lewat lisan Rasul-Nya.


Firman Allah,
ان في ذلك لذ كرى لمن كان له قلب او القى السمع وهو شهيد
“Inna fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahu qalbun aw alqaa as-sam’a wa huwa syahiidun”
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya.”   
(QS. Qaf;  37)
Allah berfirman seperti ini, karena kesempurnaan pengaruh sangat bergantung pada;

  • ·   Pemberi pengaruh (Al-Qur’an / Perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
  • ·   Sasaran, yang menerima pengaruh itu (hati hamba).
  • ·   Syarat sampainya pengaruh (menghadirkan hati, pendengaran, dan penglihatan)
  • ·   Ketiadaan penghalang yang dapat menghambat terjadinya pengaruh.
Ayat di atas mencakup penjelasan tentang kaidah-kaidah ini dengan lafazh yang singkat, namun jelas dan gamblang maksudnya.
Makna firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan”, merupakan isyarat yang tertuju kepada kandungan yang ada semenjak awal surat hingga ayat ini.  Hal inilah yang memberikan pengaruh.
Makna firman-Nya, “Bagi orang-orang yang memiliki hati”, merupakan sasaran (penerima).  Artinya, hati yang hidup, dan yang mau memikirkan tentang Allah.  Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran, dan Kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya).  
(QS. Yasin;  69-70)
Firman-Nya, والقى السمع  / “wa alqaa as-sam’a” artinya, mengarahkan pendengarannya dan mengkonsentrasikan indera pendengarannya untuk mendengarkan apa yang dikatakan kepadanya.  Ini merupakan syarat terjadinya pengaruh perkataan.
Makna firman-Nya, “Sedang dia menyaksikan”, berarti hatinya menyaksikan dan hadir tatkala membaca.  Menurut Ibnu Qutaibah, maksudnya;  Dia mendengarkan Kitab Allah, menghadirkan hatinya, dan memahaminya, tidak melupakan dan melalaikannya (tidak sekedar dibaca, pen blog.).  Hal ini merupakan isyarat tentang penghalang sampainya pengaruh, yaitu kelalaian hati dan keengganan memikirkan apa yang dikatakan kepadanya, melihat dan memperhatikannya.
Jika ada Pemberi pengaruh, yaitu Al-Qur’an (Perkataan Allah 'Azza wa Jalla), ada sasaran penerima yaitu hati yang hidup, terpenuhinya syarat yaitu mendengarkan dan menyimak, tidak ada penghalang yaitu kelalaian hati tentang makna seruan dan perhatiannya (tidak tertuju) pada yang lain, maka pengaruh akan menjadi efektif dan ada manfaat yang diambil dari Al-Qur’an dan peringatan.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Kalau pengaruh dapat efektif hanya dengan keseluruhan perkara-perkara ini – lalu kenapa digunakan kata sambung aw (atau) dalam kalimat,  او القى السمع  /  aw alqaa as-sam’a”, padahal posisi ini mestinya menggunakan wawu al-jam’ (dan) bukan aw (atau), yang berarti pilihan dari dua hal?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Perkataan (ayat) ini menggunakan aw (atau) dengan mempertimbangkan keadaan orang yang diseru.  Sebab di antara manusia ada yang hatinya hidup dan sadar serta sempurna fitrahnya.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?
Jika dia memikirkan dengan hati dan pikirannya, maka hatinya akan menuntun kepada kebenaran Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an itu adalah benar, dan hatinya mempersaksikan apa yang dikhabarkan Al-Qur’an.  Sampainya (pengaruh) Al-Qur’an ke dalam hatinya merupakan cahaya (Al-Qur’an) di atas cahaya fitrah.  Ini merupakan sifat orang-orang yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah yang benar.”  
(QS. Saba’;  6), dan
“Allah cahaya langit dan bumi.  Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.  Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.  Cahaya di atas cahaya.  Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”  
(QS. An-Nur;  35)
Inilah yang dimaksud cahaya fitrah di atas cahaya wahyu, dan inilah keadaan orang yang hatinya hidup dan sadar.
Orang yang hatinya hidup memiliki hubungan yang erat antara hatinya dengan makna-makna Al-Qur’an.  Dia mendapati hatinya seakan-akan telah tercipta sedemikian rupa.  Dia membacanya dari balik hatinya.
Sementara di antara manusia ada yang tidak memiliki kesiapan yang sempurna, dan hatinya tidak memiliki kesadaran penuh, sehingga dia memerlukan bukti bagi dirinya untuk membedakan antara kebenaran dengan kebathilan.  Kehidupan hatinya tidak mampu membuat dirinya memperhatikan dan memikirkan kandungan Al-Qur’an, sampai dia mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.
Orang yang pertama merupakan keadaan orang yang mengetahui apa yang diserukan dan dikhabarkan kepadanya.  Orang kedua merupakan keadaan orang yang mengetahui kebenaran pengabaran dan meyakininya, namun dia berkata, “Cukuplah bagiku pengabaran itu.”
Yang pertama berada pada posisi Ihsaan (Muhsinin), sedang yang kedua berada pada posisi Iman (Mukminin).  Yang pertama telah sampai pada tataran ‘ainul-yaqiin, sedangkan yang kedua baru pada tataran ‘ilmul-yaqiin.  Pembenaran itulah yang membuat mereka keluar dari kekufuran dan masuk ke dalam Al-Islam (Islam yang benar / lurus).
‘Ainul-yaqiin ada 2 (dua) macam;  Satu macam ada di dunia, dan satu macam lagi ada di Akhirat.  Yang diperoleh di dunia adalah yang dinisbatkan kepada hati, seperti penisbatan bukti yang dapat dilihat oleh mata.  
Berita ghaib yang disampaikan para Rasul (‘alaihimussalam) akan terlihat oleh mata di Akhirat.  Sementara di dunia hanya terlihat dengan mata hati.  Jadi, itulah ‘ainul-yaqiin dalam dua tataran.[1]

oOo

(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Al-Fawaa’id, hal.  3-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar