بسم الله الرحمان الرحيم
Semangat beribadah semata belumlah cukup - tanpa bimbingan (tuntunan) ilmu pengetahuan agama yang shahih (benar), dan memadai.
Para 'ulama Salaf (Generasi Islam pertama yang terbaik) sering menyatakan, "Barangsiapa yang beramal (beribadah) tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada yang dia perbaiki".
Islam adalah agama yang dibangun di atas ilmu yang shahih (benar) - sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalamnya, dipecahkan dan diselesaikan secara ilmiah, sehingga dapat dipertanggung jawabkan di dunia maupun akhirat.
Di tengah merebaknya "serangan" virus Corona di seluruh penjuru dunia, seorang muslim membutuhkan dasar keyakinan yang kuat, agar mampu menepis gelombang syubhat (kebathilan yang berkedok kebenaran / kerancuan / keragu-raguan) yang muncul setiap saat, sehingga ia dapat beribadah dengan tenang, penuh keyakinan, dan khusyuk di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Para 'ulama Salaf telah mengeluarkan fatwa yang sejalan, selaras, dan saling menguatkan dengan himbauan Pemerintah Indonesia khususnya. Antara lain, untuk (sementara, in syaa Allah) beribadah di rumah, termasuk shalat Jum'at dan shalat berjamaah 5 (lima) waktu dikerjakan di rumah. Sedangkan shalat Jum'at diganti dengan shalat zhuhur 4 (empat) raka'at di rumah.
Timbul beberapa hal yang mengganjal di hati sebagian kaum muslimin, bahkan tidak jarang muncul kerancuan dalam bersikap, bagaimanakah sebenarnya?
Maka, untuk menjawab berbagai kerancuan tersebut, ada baiknya kita simak beberapa kaidah yang mendasari terbitnya fatwa-fatwa 'ulama di atas;
* Kerancuan Pertama;
Ketika pecah perang, ada perasaan takut yang muncul di hati, dan itu adalah kenyataan dan realita - namun kewajiban shalat berjamaah tidak serta-merta gugur dalam keadaan tersebut.
Kenapa shalat berjamaah "digugurkan" hanya karena kekhawatiran virus Corona yang masih bersifat kemungkinan (belum tentu menerpa setiap orang)?
Jawaban;
Justru ancaman (wabah) virus Corona lebih nyata!
Di dalam kondisi perang, musuh dapat terlihat - sedangkan virus Corona tidak terlihat.
Ketika perang posisi musuh dapat diperkirakan dan diperhitungkan - sementara virus Corona sulit sekali untuk ditebak keberadaannya.
Wabah virus Corona bukan lagi merupakan sebuah kekhawatiran tanpa dasar, karena korban yang meninggal dunia telah banyak berjatuhan.
Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan yang berstatus suspect (terduga) pun meningkat tajam.
Banyak negara yang telah menerapkan lockdown (Isolasi wilayah), karena wabah virus Corona merupakan sesuatu yang nyata.
Terkait praktek shalat khauf (shalat saat perang), ada juga opsi lain - yaitu shalat secara sendiri-sendiri tidak berjamaah ketika situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (Tafsir 2/398) telah mengulasnya;
"Praktek shalat khauf itu banyak caranya, terkadang musuh dari arah Kiblat, bisa juga dari belakang Kiblat.
(Kewajiban) shalat wajib sendiri ada yang 4 (empat) raka'at, 3 (tiga) raka'at seperti shalat Maghrib, 2 (dua) raka'at seperti shalat Subuh, dan shalat musafir. Kadang-kadang dikerjakan secara berjamaah.
Saat perang berkecamuk - kadang-kadang mereka tidak bisa menerapkan shalat berjamaah, maka shalatlah sendiri-sendiri, menghadap ke arah Kiblat - maupun tidak ke arah Kiblat."
* Kerancuan Kedua;
Wabah virus Corona diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah karena dosa-dosa hamba. Kenapa justru kita meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at di masjid?
Jawaban:
Benar, apapun yang terjadi pada diri kita disebabkan oleh Dosa-Dosa kita sendiri. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk banyak-banyak bertaubat dan beristighfar.
Apakah taubat dan istighfar tersebut harus dilakukan di masjid (tidak bisa dilakukan di rumah)?
Dalam situasi - kondisi semacam ini (khusus) shalat yang dikerjakan di rumah justru semakin membantu semangat taubat dan istighfar (dengan ikhlas), kenapa?
Bagi orang yang mencintai masjid (terbiasa shalat fardhu di masjid) - dengan shalat wajib di rumah terasa berat dan susah di hatinya. Namun, ia dapat menghayati betapa besar dampak buruk dan menakutkan dari dosa-dosa manusia.
Beberapa kondisi memiliki rukhshah (keringanan) dalam syariat Islam. Dan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengambilnya (memanfaatkan) rukhshah (keringanan) tersebut melalui sabda Beliau (artinya),
"Itu adalah sedekah yang diberikan Allah terhadap kalian, terimalah keringanan yang Allah berikan."
(Hadits Umar bin Khaththab, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Ta'liqaatul Hisan, no. 2729)
Telah disepakati, bahwa shalat (wajib) di masjid memiliki keutamaan yang besar. Sebagian 'ulama mengatakan hukumnya Sunnah Mu'aqadah, dan sebagian lainnya menegaskan bahwa hukumnya wajib.
Namun demikian, para 'ulama juga menjelaskan adanya udzur (alasan-alasan syar'i) yang membolehkan pelaksanaannya di rumah - antara lain ketika tersebarnya wabah penyakit.
Al-Mardaawi Al-Hanbali (Al-Inshaf, 4/464) menjelaskan,
"Ada udzur untuk meninggalkan shalat Jum'at dan shalat berjamaah bagi orang yang sedang sakit - tidak ada perselisihan dalam hal ini. Ada udzur juga untuk tidak ikut shalat Jum'at dan shalat wajib berjamaah karena khawatir tertular penyakit."
* Kerancuan Ketiga;
Kita beriman kepada Qadha dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, kita tidak boleh meninggalkan kewajiban karena khawatir terhadap wabah penyakit - sebab telah ditetapkan dalam Qadha dan Qadar Allah.
Jawaban;
Beriman kepada Qadha dan Qadar tidak menafikan ikhtiar (usaha). Berusaha justru merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan terhadap Qadha dan Qadar.
Orang yang sakit diperintahkan untuk berobat, bahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya,
"Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat ketika sakit?"
Beliau menjawab, "Wahai hamba-hamba Allah berobatlah! Sungguh, tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit - melainkan Allah (juga) menurunkan obatnya, kecuali satu jenis penyakit."
Yang Beliau maksudkan adalah penyakit pikun (pelupa), penyakit ketuaan yang tidak dapat diobati.
(HR. Al-Bukhari, dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh Al-Albani).
Adapun keterangan yang menjelaskan secara khusus terkait wabah penyakit, adalah ketika kita membaca riwayat Khalifah Umar bin Khaththab, yang disebutkan oleh Al-Bukhari (5729) dan Muslim (2219);
"Beliau bersama rombongan sedang menuju Syam. Di tengah perjalanan, ada informasi bahwa wabah penyakit tha'un sedang menjangkit di negeri Syam. Khalifah Umar lalu meminta pendapat kaum Muhajirin, Sahabat Anshar, dan sesepuh-sesepuh Quraisy. Setelah mendengar berbagai pendapat, Khalifah Umar memutuskan untuk kembali (pulang), tidak melanjutkan perjalanan.
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertanya,
"Apakah untuk menghindari takdir Allah?"
Khalifah Umar menjawab,
"Kalau saja bukan engkau yang bertanya wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran, pen.)
Ya, kita lari dari satu takdir menuju takdir Allah yang lain.
Apa pendapatmu, seandainya engkau memiliki seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki 2 (dua) lereng - salah satunya subur dan yang keduanya tandus. Jika engkau mengembalakannya di tempat yang subur - bukankah engkau mengembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pula sebaliknya, jika engkau mengembalakannya di tempat yang tandus - bukankah engkau mengembalakannya juga dengan takdir Allah?"
Dengan demikian, usaha yang dilakukan dengan membatasi kontak fisik (physical distancing) dengan orang banyak pun termasuk takdir yang kita jalani, termasuk tidak shalat Jum'at dan shalat wajib berjamaah.
* Kerancuan Keempat;
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah menjelaskan cara penanganan saat wabah penyakit menyebar, yaitu Karantina, namun Beliau tidak pernah mengajarkan kepada ummatnya untuk meninggalkan shalat Jum'at dan shalat wajib berjamaah akibat wabah virus.
Jawaban;
"Janganlah karena tidak adanya keterangan eksplisit (langsung) - lantas disimpulkan demikian! Bimbingan Rasulullah adalah menempuh sistem Isolasi dan konsep Karantina. Apa tujuannya? Tentunya mencegah penyebaran wabah. Jika di suatu daerah dipastikan wabah penyakit telah masuk - bukankah bimbingan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk Isolasi harus dilakukan? Isolasi itu mencakup Isolasi individu dengan tetap tinggal di rumah.
Cobalah berlapang dada, dengan menyimak fatwa-fatwa 'ulama yang menunjukkan bahwa shalat Jum'at dan shalat berjamaah dapat ditinggalkan ketika wabah penyakit menyebar.
(Bersambung, In syaa Allah)
oOo
(Disadur dari, https://t.me/inibukanfitnah/4217)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar