بسم الله الرحمان الرحيم
Di antara manusia, ada yang tampak (seakan-akan) sebagai orang yang beriman, namun bercokol di dalam dada (qalbu)nya sifat-sifat kekufuran.
Secara lahiriyah tampak sebagai seorang muslim. Bahkan, tak jarang di antara mereka terbilang sebagai tokoh atau 'alim. Namun, di dalam qalbunya bersarang penyakit berbahaya. Qalbu mereka dengki terhadap syari'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membenci As-Sunnah, tidak suka dengan berbagai akhlak mulia yang diajarkan Rasul-Nya. Penyakit itulah yang disebut Nifaq I'tiqadi (Munafik dalam keyakinan). Orang-orang yang tertimpa penyakit Munafiq I'tiqadi ini sangat sulit disembuhkan. Bahkan, penyakit tersebut akan menggerogoti sebagian besar relung-relung hatinya, hingga ajal menjemput - tidak sempat bertobat. Maka, tempat kembalinya adalah kerak (dasar) Neraka.
"Na'udzubillahi min dzalika" (kita berlindung kepada Allah dari sifat tersebut).
(Baca artikel lain tentang; MUNAFIK)
Sadar atau tidak, sifat Nifaq I'tiqadi ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam secara totalitas.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Allah Subhanahu wa Ta'ala membeberkan ciri-ciri (sifat-sifat) mereka secara jelas di dalam Al-Qur'an. Mengungkap hakikat mereka yang sebenarnya, yaitu kafir. Meskipun mereka mengamalkan berbagai syariat Islam.
Tanpa rasa malu dan sungkan, mereka sering merendahkan, menghina, dan mengolok-olok Risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka bagaikan duri dalam daging, atau musuh dalam selimut.
Disamping itu, juga tampak kecintaan mereka yang penuh terhadap musuh-musuh Islam.
Itulah sifat dasar orang-orang Munafik. Mereka selalu ada pada setiap zaman - mendampingi setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka memanfaatkan Islam untuk mencapai berbagai keuntungan duniawi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui menelanjangi tabiat dan sifat-sifat mereka, membuka kedok mereka di dalam Kitab-Nya - sehingga, orang-orang yang beriman dapat mewaspadai sepak-terjang dan makar mereka, serta menyelamatkan diri dari cara-cara beragama mereka.
Lebih dari itu, karena jumlah mereka yang mendominasi permukaan bumi ini - menjadi Medan Jihad tersendiri bagi orang-orang yang beriman dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam yang murni dan lurus, serta bebas dari sifat-sifat Nifaq.
Kemalangan dan petaka yang sering menimpa umat Islam disebabkan oleh ulah mereka yang telah meluas dan mengglobal di seluruh permukaan bumi.
Jihad dalam memberantas sifat-sifat kemunafikan ini relatif lebih sulit dibandingkan jihad menghadapi orang-orang kafir murni (asli), karena mereka berlindung di balik tameng agama Islam.
Orang-orang awam mengganggap mereka sebagai orang yang berilmu, dan melakukan berbagai kebaikan, padahal hakikatnya mereka berada di atas kebodohan, dan orang-orang yang merusak agama Islam dari dalam.
Para 'ulama menerangkan, ada 6 (enam) macam bentuk perilaku kemunafikan;
1. Mendustakan kerasulan.
2. Mendustakan sebagian ajaran Rasul.
3. Membenci Rasul.
4. Membenci sebagian ajaran Rasul.
5. Senang dengan kemunduran dan kekalahan kaum muslimin.
6. Sedih dengan kemenangan yang diraih kaum muslimin
Sejak masa Nubuwah hingga sekarang, perilaku-perilaku di atas tetap ada (bertahan), dan jelas terlihat pada mereka.
Tercatat dalam sejarah, pada bulan Ramadhan tahun ke 8 Hijriah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan kemenangan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atas kota Mekah. Sehingga, terjadi pemisahan yang jelas dan tegas antara kebenaran dan kebathilan. Tidak menyisakan bagi bangsa Arab kebimbangan dan keraguan terhadap Risalah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Manusia berduyun-duyun masuk ke dalam agama Islam. Sejak saat itu, berakhirlah gangguan dari para kafir Quraisy. Dan, kaum muslimin pun berkosentrasi dalam mengajarkan ilmu agama dan berdakwah.
Namun, di sisi lain ada ancaman yang cukup berbahaya bagi stabilitas kehidupan ummat Islam di Jazirah Arab. Ancaman itu berasal dari kekaisaran Salibis Romawi. Sebuah kerajaan Adidaya yang terletak di negeri Syam. Mereka diperkuat oleh beberapa kabilah Arab yang beragama Kristen, seperti Ghassan, Lakham, dan lain-lain.
Ancaman itu cukup serius karena Romawi memang telah menyusun rencana dan kekuatan untuk menyerang kota Mekah dan Madinah - setelah mereka dipermalukan pasukan muslimin pada perang Mu'tah beberapa bulan sebelum Fathu Makkah.
Berita akan rencana penyerangan ini begitu santer di telinga umat Islam, sehingga hari-hari mereka dihantui kecemasan dan ketegangan. Setiap ada suara ribut-ribut dan riuh - dalam benak kaum muslimin yang terbersit adalah pasukan Salibis yang datang secara tiba-tiba.
Keadaan menjadi semakin gawat ketika orang-orang munafik membesar-besarkan keberadaan dan kehebatan pasukan musuh.
Celakalah mereka, meskipun telah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri berbagai kemenangan diraih pasukan kaum muslimin di berbagai pertempuran yang berpihak pada pasukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetap saja mereka berupaya untuk mewujudkan cita-cita terpendam di dalam qalbunya, dan merindukan kehancuran Islam.
Didorong oleh angan-angan itu, orang-orang munafik pun mendirikan sebuah bangunan masjid sebagai tipu daya - sebenarnya maksud mereka adalah mendirikan markas bagi orang-orang munafik - menciptakan perpecahan dan adu domba di kalangan umat Islam. Menghimpun mereka yang hendak memusuhi Rasul-Nya.
Dengan penuh tipu daya, mereka meminta Rasulullah berkenan shalat di masjid yang mereka bangun - semua bertujuan, agar kaum muslimin tidak menaruh curiga terhadap mereka. Namun, mereka lupa bahwa ada Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui memberitahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang rencana busuk mereka, sehingga Beliau pun dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk shalat di masjid tersebut.
Mengetahui kekuatan pasukan Romawi yang jauh lebih besar, menyebabkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkeputusan untuk tidak menunggu serangan mereka di Madinah. Beliau mengumumkan kepada seluruh penduduk Madinah, agar mempersiapkan diri untuk menghadang mereka - jauh di luar kota Mekah dan Madinah. Pengumuman itu membuat semangat jihad para Sahabat bertambah menggebu. Mereka berlomba-lomba datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar dibawa serta dalam jihad tersebut. Sebagian dari mereka terpaksa harus pulang dengan perasaan sedih, serta bercucuran air mata - karena tidak memiliki sesuatu yang dapat mereka persembahkan untuk jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka tidak memiliki bekal untuk berjihad, dan tidak pula dapat meninggalkan sesuatu untuk bekal keluarganya.
Cuaca panas yang ekstrim, dan ekonomi yang sedang krisis, dengan perbekalan yang serba terbatas mengiringi perjalanan kaum muslimin ke Medan Jihad yang berat.
Kekuatan senjata yang tidak berimbang dengan kekuatan musuh tidak mengendorkan semangat mereka yang telah terlanjur berkobar.
Berbeda halnya dengan orang-orang munafik. Mereka malah mengutarakan berbagai alasan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - agar tidak diikut sertakan dalam jihad. Rasulullah pun mengizinkan mereka untuk tidak ikut bergabung, dan tetap tinggal di Madinah. Berkenaan dengan hal ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan,
"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh, dan perjalanan yang tidak seberapa jauh - pastilah mereka mengikutimu. Akan tetapi, tempat yang hendak dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah,
'Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.' Mereka membinasakan diri mereka sendiri, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi idzin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam udzurnya), dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir - tidak akan meminta idzin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka, dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa."
Allah Subhanahu wa Ta'ala membeberkan ciri-ciri (sifat-sifat) mereka secara jelas di dalam Al-Qur'an. Mengungkap hakikat mereka yang sebenarnya, yaitu kafir. Meskipun mereka mengamalkan berbagai syariat Islam.
Tanpa rasa malu dan sungkan, mereka sering merendahkan, menghina, dan mengolok-olok Risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka bagaikan duri dalam daging, atau musuh dalam selimut.
Disamping itu, juga tampak kecintaan mereka yang penuh terhadap musuh-musuh Islam.
Itulah sifat dasar orang-orang Munafik. Mereka selalu ada pada setiap zaman - mendampingi setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka memanfaatkan Islam untuk mencapai berbagai keuntungan duniawi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui menelanjangi tabiat dan sifat-sifat mereka, membuka kedok mereka di dalam Kitab-Nya - sehingga, orang-orang yang beriman dapat mewaspadai sepak-terjang dan makar mereka, serta menyelamatkan diri dari cara-cara beragama mereka.
Lebih dari itu, karena jumlah mereka yang mendominasi permukaan bumi ini - menjadi Medan Jihad tersendiri bagi orang-orang yang beriman dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam yang murni dan lurus, serta bebas dari sifat-sifat Nifaq.
Kemalangan dan petaka yang sering menimpa umat Islam disebabkan oleh ulah mereka yang telah meluas dan mengglobal di seluruh permukaan bumi.
Jihad dalam memberantas sifat-sifat kemunafikan ini relatif lebih sulit dibandingkan jihad menghadapi orang-orang kafir murni (asli), karena mereka berlindung di balik tameng agama Islam.
Orang-orang awam mengganggap mereka sebagai orang yang berilmu, dan melakukan berbagai kebaikan, padahal hakikatnya mereka berada di atas kebodohan, dan orang-orang yang merusak agama Islam dari dalam.
Para 'ulama menerangkan, ada 6 (enam) macam bentuk perilaku kemunafikan;
1. Mendustakan kerasulan.
2. Mendustakan sebagian ajaran Rasul.
3. Membenci Rasul.
4. Membenci sebagian ajaran Rasul.
5. Senang dengan kemunduran dan kekalahan kaum muslimin.
6. Sedih dengan kemenangan yang diraih kaum muslimin
Sejak masa Nubuwah hingga sekarang, perilaku-perilaku di atas tetap ada (bertahan), dan jelas terlihat pada mereka.
Tercatat dalam sejarah, pada bulan Ramadhan tahun ke 8 Hijriah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan kemenangan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atas kota Mekah. Sehingga, terjadi pemisahan yang jelas dan tegas antara kebenaran dan kebathilan. Tidak menyisakan bagi bangsa Arab kebimbangan dan keraguan terhadap Risalah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Manusia berduyun-duyun masuk ke dalam agama Islam. Sejak saat itu, berakhirlah gangguan dari para kafir Quraisy. Dan, kaum muslimin pun berkosentrasi dalam mengajarkan ilmu agama dan berdakwah.
Namun, di sisi lain ada ancaman yang cukup berbahaya bagi stabilitas kehidupan ummat Islam di Jazirah Arab. Ancaman itu berasal dari kekaisaran Salibis Romawi. Sebuah kerajaan Adidaya yang terletak di negeri Syam. Mereka diperkuat oleh beberapa kabilah Arab yang beragama Kristen, seperti Ghassan, Lakham, dan lain-lain.
Ancaman itu cukup serius karena Romawi memang telah menyusun rencana dan kekuatan untuk menyerang kota Mekah dan Madinah - setelah mereka dipermalukan pasukan muslimin pada perang Mu'tah beberapa bulan sebelum Fathu Makkah.
Berita akan rencana penyerangan ini begitu santer di telinga umat Islam, sehingga hari-hari mereka dihantui kecemasan dan ketegangan. Setiap ada suara ribut-ribut dan riuh - dalam benak kaum muslimin yang terbersit adalah pasukan Salibis yang datang secara tiba-tiba.
Keadaan menjadi semakin gawat ketika orang-orang munafik membesar-besarkan keberadaan dan kehebatan pasukan musuh.
Celakalah mereka, meskipun telah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri berbagai kemenangan diraih pasukan kaum muslimin di berbagai pertempuran yang berpihak pada pasukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetap saja mereka berupaya untuk mewujudkan cita-cita terpendam di dalam qalbunya, dan merindukan kehancuran Islam.
Didorong oleh angan-angan itu, orang-orang munafik pun mendirikan sebuah bangunan masjid sebagai tipu daya - sebenarnya maksud mereka adalah mendirikan markas bagi orang-orang munafik - menciptakan perpecahan dan adu domba di kalangan umat Islam. Menghimpun mereka yang hendak memusuhi Rasul-Nya.
Dengan penuh tipu daya, mereka meminta Rasulullah berkenan shalat di masjid yang mereka bangun - semua bertujuan, agar kaum muslimin tidak menaruh curiga terhadap mereka. Namun, mereka lupa bahwa ada Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui memberitahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang rencana busuk mereka, sehingga Beliau pun dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk shalat di masjid tersebut.
Mengetahui kekuatan pasukan Romawi yang jauh lebih besar, menyebabkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkeputusan untuk tidak menunggu serangan mereka di Madinah. Beliau mengumumkan kepada seluruh penduduk Madinah, agar mempersiapkan diri untuk menghadang mereka - jauh di luar kota Mekah dan Madinah. Pengumuman itu membuat semangat jihad para Sahabat bertambah menggebu. Mereka berlomba-lomba datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar dibawa serta dalam jihad tersebut. Sebagian dari mereka terpaksa harus pulang dengan perasaan sedih, serta bercucuran air mata - karena tidak memiliki sesuatu yang dapat mereka persembahkan untuk jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka tidak memiliki bekal untuk berjihad, dan tidak pula dapat meninggalkan sesuatu untuk bekal keluarganya.
Cuaca panas yang ekstrim, dan ekonomi yang sedang krisis, dengan perbekalan yang serba terbatas mengiringi perjalanan kaum muslimin ke Medan Jihad yang berat.
Kekuatan senjata yang tidak berimbang dengan kekuatan musuh tidak mengendorkan semangat mereka yang telah terlanjur berkobar.
Berbeda halnya dengan orang-orang munafik. Mereka malah mengutarakan berbagai alasan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - agar tidak diikut sertakan dalam jihad. Rasulullah pun mengizinkan mereka untuk tidak ikut bergabung, dan tetap tinggal di Madinah. Berkenaan dengan hal ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan,
"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh, dan perjalanan yang tidak seberapa jauh - pastilah mereka mengikutimu. Akan tetapi, tempat yang hendak dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah,
'Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.' Mereka membinasakan diri mereka sendiri, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi idzin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam udzurnya), dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir - tidak akan meminta idzin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka, dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa."
(QS. At-Taubah; 42-44)
Tepatnya pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah berangkatlah pasukan muslimin yang berjumlah 30.000 personil menuju Tabuk. Suatu daerah yang terletak di antara Madinah dan Syam (sekarang bernama Suriah), yang pada saat itu dikuasai oleh Imperium Romawi.
Sejumlah orang munafik ternyata ada yang "mendompleng" dalam perjalanan itu.
Sudah barang tentu, kepergian mereka bukan untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tetapi untuk melanjutkan upaya makar terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Misi mereka adalah untuk melemahkan semangat kaum muslimin, menyulut keraguan, dan membuat perpecahan di kalangan pasukan, dan makar-makar lainnya.
Allah Maha Mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang tersesat, dan siapa yang mendapat petunjuk.
Ayat-ayat yang tertera dalam surat At-Taubah banyak mengungkap berbagai kedok orang-orang munafik pada kejadian perang Tabuk. Baik orang-orang munafik yang tidak ikut berperang, maupun yang menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Medan tempur. Di antara ayat itu adalah (artinya),
"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang mengungkap apa yang tersembunyi di dalam qalbu (hati) mereka. Katakanlah kepada mereka, 'Teruskanlah ejekan-ejekan kalian (terhadap Allah dan Rasul-Nya).'
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kalian takuti itu. Dan, jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka perbuat), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah (kepada mereka), 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian beralasan. Sungguh, telah nyata kekafiran kalian - setelah kalian menampakkan diri sebagai orang yang beriman.'"
Tepatnya pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah berangkatlah pasukan muslimin yang berjumlah 30.000 personil menuju Tabuk. Suatu daerah yang terletak di antara Madinah dan Syam (sekarang bernama Suriah), yang pada saat itu dikuasai oleh Imperium Romawi.
Sejumlah orang munafik ternyata ada yang "mendompleng" dalam perjalanan itu.
Sudah barang tentu, kepergian mereka bukan untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tetapi untuk melanjutkan upaya makar terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Misi mereka adalah untuk melemahkan semangat kaum muslimin, menyulut keraguan, dan membuat perpecahan di kalangan pasukan, dan makar-makar lainnya.
Allah Maha Mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang tersesat, dan siapa yang mendapat petunjuk.
Ayat-ayat yang tertera dalam surat At-Taubah banyak mengungkap berbagai kedok orang-orang munafik pada kejadian perang Tabuk. Baik orang-orang munafik yang tidak ikut berperang, maupun yang menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Medan tempur. Di antara ayat itu adalah (artinya),
"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang mengungkap apa yang tersembunyi di dalam qalbu (hati) mereka. Katakanlah kepada mereka, 'Teruskanlah ejekan-ejekan kalian (terhadap Allah dan Rasul-Nya).'
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kalian takuti itu. Dan, jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka perbuat), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah (kepada mereka), 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian beralasan. Sungguh, telah nyata kekafiran kalian - setelah kalian menampakkan diri sebagai orang yang beriman.'"
(QS. At-Taubah; 64-66)
Dikisahkan, pada perjalanan yang melelahkan - perjalanan jihad ke Tabuk, ada seorang munafik yang tiba-tiba menyeletuk, "Aku tidak pernah melihat para qura' (ahli ibadah / baca Al-Qur'an) yang perutnya lebih buncit, tidak pula lisannya lebih dusta, tidak pula jiwanya lebih penakut ketika berhadapan dengan musuh daripada orang-orang itu." Ujar prajurit itu, sembari mengarahkan isyarat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pembesar Sahabat.
Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu yang mendengar ucapan itu - spontan bereaksi menampiknya, "Bukan (begitu), kamulah yang pembohong dan pendusta! Kamu munafik! Aku akan laporkan kamu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!"
Bergegas Auf bin Malik melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun، Wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih cepat turun sebelum Auf bin Malik tiba. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam saat itu sedang berada di atas unta Beliau. Sedangkan orang munafik itu memegangi tali pengikat yang melingkari perut unta. Unta Nabi tetap berjalan, sedangkan Wadi'ah merengek-rengek meminta dihalalkan (dimaafkan) atas kejadian tadi. "Ya Rasulullah, kami hanya bergurau. Tidaklah kami bermaksud menghinamu dan sahabatmu. Tujuan kami tidak lain hanyalah untuk mengusir rasa bosan, dan membuang penat di tubuh ini," begitulah ia beralasan sambil terseok-seok, dan lututnya berbenturan dengan batu-batu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mempedulikan alasan munafik ini. Hanyalah Terucap dari lisan Beliau Wahyu Allah yang baru turun padanya, "Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan utusan-Nya kalian mengolok-olok? Tidak usah kalian beralasan. Sungguh, telah jelas kekafiran kalian - setelah kalian menampakkan diri sebagai orang yang beriman."
Jika mereka bertaubat, beristigfar, dan benar-benar menyesali - Allah akan mengampuni. Namun, karena mereka tetap di atas kekafiran dan kemunafikannya - maka Allah-pun mengadzab mereka.
Di dalam ayat ini terdapat keterangan, bahwa siapapun yang menyembunyikan sifat buruk, lebih khusus keburukan yang bersifat makar, dan ingin mencederai agama Allah (Islam), merendahkan (menghina) Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membongkar rahasia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menyiksa pelakunya dengan siksaan yang pedih.
Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang terang-terangan melakukan itu semua - seperti yang terjadi pada zaman kita sekarang???
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan kita dari sifat kemunafikan, dan membersihkan qalbu kita dari segala penyakit bathin, serta mengarahkan qalbu ini - senantiasa ta'at pada agama-Nya yang Hanif.
Karena, para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (radhiyallahu 'anhuma) pun sangat takut (khawatir) sifat Nifaq ini terselip di dalam qalbu mereka - meskipun sedikit, sementara mereka tidak menyadari.
Amiin, ya Mujibassailiin.
'
Dikisahkan, pada perjalanan yang melelahkan - perjalanan jihad ke Tabuk, ada seorang munafik yang tiba-tiba menyeletuk, "Aku tidak pernah melihat para qura' (ahli ibadah / baca Al-Qur'an) yang perutnya lebih buncit, tidak pula lisannya lebih dusta, tidak pula jiwanya lebih penakut ketika berhadapan dengan musuh daripada orang-orang itu." Ujar prajurit itu, sembari mengarahkan isyarat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pembesar Sahabat.
Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu yang mendengar ucapan itu - spontan bereaksi menampiknya, "Bukan (begitu), kamulah yang pembohong dan pendusta! Kamu munafik! Aku akan laporkan kamu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!"
Bergegas Auf bin Malik melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun، Wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih cepat turun sebelum Auf bin Malik tiba. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam saat itu sedang berada di atas unta Beliau. Sedangkan orang munafik itu memegangi tali pengikat yang melingkari perut unta. Unta Nabi tetap berjalan, sedangkan Wadi'ah merengek-rengek meminta dihalalkan (dimaafkan) atas kejadian tadi. "Ya Rasulullah, kami hanya bergurau. Tidaklah kami bermaksud menghinamu dan sahabatmu. Tujuan kami tidak lain hanyalah untuk mengusir rasa bosan, dan membuang penat di tubuh ini," begitulah ia beralasan sambil terseok-seok, dan lututnya berbenturan dengan batu-batu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mempedulikan alasan munafik ini. Hanyalah Terucap dari lisan Beliau Wahyu Allah yang baru turun padanya, "Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan utusan-Nya kalian mengolok-olok? Tidak usah kalian beralasan. Sungguh, telah jelas kekafiran kalian - setelah kalian menampakkan diri sebagai orang yang beriman."
Jika mereka bertaubat, beristigfar, dan benar-benar menyesali - Allah akan mengampuni. Namun, karena mereka tetap di atas kekafiran dan kemunafikannya - maka Allah-pun mengadzab mereka.
Di dalam ayat ini terdapat keterangan, bahwa siapapun yang menyembunyikan sifat buruk, lebih khusus keburukan yang bersifat makar, dan ingin mencederai agama Allah (Islam), merendahkan (menghina) Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membongkar rahasia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menyiksa pelakunya dengan siksaan yang pedih.
Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang terang-terangan melakukan itu semua - seperti yang terjadi pada zaman kita sekarang???
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan kita dari sifat kemunafikan, dan membersihkan qalbu kita dari segala penyakit bathin, serta mengarahkan qalbu ini - senantiasa ta'at pada agama-Nya yang Hanif.
Karena, para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (radhiyallahu 'anhuma) pun sangat takut (khawatir) sifat Nifaq ini terselip di dalam qalbu mereka - meskipun sedikit, sementara mereka tidak menyadari.
Amiin, ya Mujibassailiin.
oOo
(Disadur dari tulisan, MUNAFIK, DURI DALAM DAGING, Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini, majalah Qudwah, Edisi 6, vol. 1, 1434 H / 2013 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar