Rabu, 31 Mei 2017

DUA RUKUN SYAHADAT


بسم الله الر حمان الر حيم

Rukun merupakan faktor penentu sah atau tidaknya suatu amalan.  Bila rukun terpenuhi, maka amalan tersebut dianggap sah (diterima).   Bila tidak terpenuhi, maka amalan tersebut dianggap batal (tidak diterima) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Baca juga artikel, JALAN YANG LURUS)

Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah,
"Bukanlah maksud dari pengucapan  لا اله الا الله  di lisan saja - tanpa memahami maknanya.  Engkau harus memahami apa makna  لا اله الا الله  ("Laa Ilaha illallah").  Adapun, jika hanya mengucapkan tanpa mengerti maknanya, maka engkau tidak akan meyakini kandungan yang ditunjukkannya.  Bagaimana mungkin engkau meyakini sesuatu yang tidak dimengerti (pahami) maknanya.  Sehingga, sudah merupakan suatu kewajiban bagimu mengetahui maknanya (terlebih dahulu) lalu meyakininya.  Meyakini dengan hatimu - apa yang diucapkan oleh lidahmu.  Sehingga, engkau mesti mempelajari makna, لا اله الا الله .  Karena pengucapan semata, tanpa mengetahui maknanya tidak akan memberi faidah sedikit pun."  
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.
---
Dengan ucapan, keyakinan, serta pengamalan kalimat syahadat inilah secara lahir maupun bathin orang-orang yang beriman (mukmin) membeli Surga Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibarat dua sisi dari satu mata uang yang bergambar pada kedua sisinya.  Bila salah satu sisinya kosong (tidak bergambar), maka mata uang tersebut tidak sah / tidak diterima sebagai alat pembayaran oleh siapa pun.  Demikian pula halnya dengan Dua Rukun Syahadat.
Meskipun hakikat sebenarnya jauh lebih Agung dari sekedar perumpamaan ini. Maha Suci Allah Yang membuat berbagai perumpamaan di dalam Alqur'an, untuk memudahkan pemahaman para hamba-Nya yang beriman. 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk."  (QS. Al-Baqarah;  26)
Dan dalam firman-Nya yang lain,
"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; Dan tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu."  (QS. Al-Ankabut;  43), dan
"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu..."  (QS. Al-Hajj;  73)

Dua rukun syahadat "Laa Ilaaha Illallah" tersebut adalah;
1.      1.  An-Nafyu (Peniadaan);
Meniadakan segala sesuatu sesembahan (yang diibadahi) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.  لا اله  ("Laa Ilaaha")  /  Tiada Sesembahan Yang Haq (untuk diibadahi)
2.       2.  Al-Istbatu (Penetapan);
Menetapkan satu-satunya Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang disembah (diibadahi),  الا الله ("Illa Allahu")  /  Kecuali (selain) Allah.

Keduanya;  Peniadaan dan Penetapan harus selalu seiring dan sejalan.  Tidak akan sempurna salah satunya tanpa keberadaan yang lain.  
Bila Peniadaan semata; akan menafikan penyembahan terhadap Al-Haq (Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Bila Penetapan semata; tidak akan mampu mencegah penyembahan terhadap selain-Nya (Thaghut).  
Jadi sekali lagi, dalam penerapan (pengamalan) keduanya harus selalu seiring dan sejalan.


Hikmah;
* Hal pertama yang diwajibkan bagi Bani Adam adalah kufur kepada segala macam bentuk Thaghut (segala sesuatu yang diibadahi / disembah selain Allah) / kesyirikan.  Dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata (Tauhidullah).
* Orang-orang kafir quraisy pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dahulu enggan mengikrarkan kalimat syahadat tersebut karena mereka memahami makna dan kedua rukunnya, serta tahu persis konsekwensi yang bakal mereka emban - bahwa mereka harus meninggalkan segala macam bentuk peribadatan kepada selain Allah.
Adapun kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang gampang mengucapkan, tetapi tidak mengerti (tidak paham) Rukun Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlas) tersebut, serta konsekwensi yang harus (wajib) mereka emban.
(Baca artikel, SYIRIK dan SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
                                                                        oOo

KUNCI SURGA (TUJUH SYARAT KALIMAT SYAHADAT)



بسم الله الر مان الر حيم

Seseorang bertanya kepada Al-Imam WAHB BIN MUNABBIH rahimahullah, "Bukankah Laa Ilaaha illAllah itu merupakan kunci Surga?"  
Beliau menjawab, “Benar, tetapi setiap kunci memiliki gerigi.  Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu Surga dibukakan untukmu.  Tetapi jika kuncimu tidak bergerigi, tidak akan dibukakan.”

Terdapat banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang menerangkan tentang gerigi kunci tersebut.
(Baca juga artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)    
Syarat (wajib) merupakan bagian terpenting yang harus dipenuhi, sebelum melakukan suatu amalan, agar amalan tersebut bernilai pahala dan memberi dampak (pengaruh) positif pada orang yang mengamalkannya.
Kehilangan salah satu atau lebih syarat suatu amalan akan menyebabkan berkurang / tidak bermanfaatnya amal tersebut bagi pelakunya.
Tujuh Syarat Syahadat yang telah disepakati oleh para ‘Ulama Ahlussunnah tersebut adalah;
1.       1. ILMU (PENGETAHUAN);  Pemahaman yang benar (shahih) tentang makna Kalimat Syahadat, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat radhiyallahu'anhuma adalah;  “Tiada Ilah (Sesembahan) yang diibadahi dengan Haq selain Allah.”
Adapun makna yang kurang tepat (yang umumnya dipahami oleh kaum muslimin) adalah;  “Tiada Tuhan selain Allah.”
---
Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah,
"Bukanlah maksud dari pengucapan  لا اله الا الله  di lisan saja - tanpa memahami maknanya.  Engkau harus memahami apa makna  لا اله الا الله  ("Laa Ilaha illallah").  Adapun, jika hanya mengucapkan tanpa mengerti maknanya, maka engkau tidak akan meyakini kandungan yang ditunjukkannya.  Bagaimana mungkin engkau meyakini sesuatu yang tidak dimengerti maknanya.  Sehingga, sudah merupakan suatu kewajiban bagimu mengetahui maknanya (terlebih dahulu) lalu meyakininya.  Meyakini dengan hatimu - apa yang diucapkan oleh lidahmu.  Sehingga, engkau mesti mempelajari makna, لا اله الا الله .  Karena pengucapan semata, tanpa mengetahui maknanya tidak akan memberi faidah sedikit pun."  
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.
(Baca artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)

Beberapa Catatan Penting tentang Makna yang Kurang Tepat;
*  Terdapat perbedaan makna antara Asma Ilah (Dzat Yang Diibadahi / Disembah) dengan Asma Rabb (Tuhan, Yang Menciptakan segala sesuatu, Yang Memiliki, Yang Menentukan Hukum, Yang Memelihara, Yang Menghidupkan - Mematikan), baik secara bahasa maupun secara istilah syari'at.  Meskipun lafadzh Rabb (Tuhan) terkadang juga digunakan untuk makna Sesembahan, Yang diibadahi (seperti disebutkan dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Al-Bara bin 'Azib).
*   Orang-orang kafir quraisy pun meyakini bahwa tiada Tuhan (Rabb) selain Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, Pemilik, Pemelihara, Pengatur, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan - mematikan.  Ternyata keyakinan mereka kepada itu semata belum memasukkan mereka ke dalam Islam.
Karena dalam pelaksanaan ibadah mereka enggan menunggalkan satu “Ilah” (Sesembahan) saja, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala.
*   Suatu kenyataan yang tak terbantahkan pada zaman yang penuh fitnah ini adalah, betapa banyak kaum muslimin yang menjadikan “Ilah-ilah” (sesembahan) tandingan yang lain selain Allah.  Ada yang menjadikan Hartanya sebagai “Ilah”, Atasan, Jabatan, Kedudukan, Pangkat, Partai, Para Da’i (Ustadz), Norma, Adat-istiadat, Wanita, Uang dan lain sebagainya.
(Baca artikel, DILEMA BERPARTAI DALAM ISLAM)
Yang dimaksud dengan mengadakan "Ilah" tandingan selain Allah adalah;  menempatkan aturan tandingan-tandingan tersebut lebih tinggi atau setara (sejajar) dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.  
Sedangkan sikap (keyakinan) yang benar (dituntut oleh Islam) adalah; menempatkan aturan (perintah dan larangan) Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya lebih lebih tinggi daripada aturan tandingan-tandingan tersebut, mengalahkan semua aturan makhluk.
(Baca artikel lain, SYIRIK dan PARA PENYEMBAH DA'I)
*   Tauhid Uluhiyah mencakup Tauhid Rububiyah, tetapi belum tentu sebaliknya.  
Jadi, baik secara makna yang shahih maupun fakta yang terjadi di tengah masyarakat muslim terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Orang-orang Kafir Quraisy zaman dulu juga mengakui Allah sebagai Rabb, tetapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya Ilah (sesembahan).  Jadi, disamping menyembah Allah mereka juga menyembah selain-Nya, mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.  Dan itulah salah satu bentuk Syirik Akbar; Syirik dalam Kecintaan.  Mereka meyakini, bahwa apa yang mereka sembah selain Allah itu akan mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat dekatnya.
2.       2. YAKIN;  Benar-benar yakin akan maknanya, karena kalimat ini sama sekali tidak mentolerir keraguan, prasangka dan kebimbangan.  Akan tetapi wajib bertopang pada keyakinan yang pasti, kokoh, dan bulat.  Banyak bukti-bukti yang terdapat di seluruh penjuru bumi, baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat syar’iyah-Nya yang dapat mengokohkan keyakinan orang-orang yang mengucapkan syahadat.  Sehingga tidak menyisakan sedikitpun keraguan di dalam hati, dan agar tidak terjatuh kepada Pembatal Keislaman. 
(Baca artikel,  SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN dan DUA RUKUN SYAHADAT).
Jadi, tidak cukup sekedar melafazkan (ucapan) semata.  Terkecuali bagi orang-orang yang baru memeluk agama Islam (baru belajar / mu'allaf).
3.       3. IKLASH;  Semata-mata niatnya hanya untuk mencari Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Akhirat (Kridhaan dan Surga-Nya).
4.       4.  JUJUR;  Tidak munafik (menampakkan keimanan secara lahiriyah, sementara dihatinya tersimpan ganjalan (Junnah), kekufuran, syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran), keragu-raguan, ketidak jelasan, serta penyakit kebodohan lainnya).
5.       5.  MAHABBAH (CINTA); Orang-orang beriman harus mencintai “Kalimat Tauhid” / "Kalimat Ikhlas" ini, baik dalam keyakinan maupun amalan.  Mendahulukan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya daripada kecintaan terhadap selainnya.  Sekaligus membenci lawannya (kesyirikan).
6.       6.  TUNDUK, PATUH;  Ta’at terhadap segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan suka maupun tidak,
, sesuai atau tidak dengan akal, norma, hukum buatan manusia, adat-istiadat, atau faktor penghalang lainnya).
7.       7.  MA’BUL (MENERIMA);  Menerima sepenuhnya, apa pun tuntutan kalimat tersebut dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, tanpa ada ganjalan (reserve) sedikit pun.  Karena ia merupakan konsekuensi logis dari pengikraran Dua Kalimat Syahadat.
(Baca artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN)

Meskipun ketujuh syarat ini telah terpenuhi semua, seseorang mukmin wajib senantiasa berpegang teguh dan konsisten (istiqamah) di atas Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlas) tersebut hingga Malaikat Maut datang menjemput.

(Pen blog, dari berbagai sumber)


oOo    

Sabtu, 27 Mei 2017

MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN ADALAH SYARAT WAJIB IMAN


بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya);
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam (setiap) perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”  
(QS. An-Nisa;  65).
 
Para 'ulama Ahli Tafsir, dan Ahli Hadits menerangkan, bahwa paling tidak ada 3 (tiga) helai benang merah yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang yang mengaku beriman pada ayat di atas, yang pelakunya (pemilik iman yang wajib / mutlak) ini dijanjikan masuk ke dalam Surga tanpa adzab oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala;
1.       1. Menjadikan Rasul sebagai pembuat keputusan untuk seluruh perkara yang diperselisihkan manusia hukumnya adalah wajib, baik perkara yang berkaitan dengan Agama maupun dunia, keduanya harus selaras.
2.       2. Tidak merasa keberatan sedikit pun terhadap keputusan yang  telah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan (tetapkan).
3.       3. Menerima dengan sepenuh hati semua keputusan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, tanpa ada ganjalan di hati (tanpa Reserve). 
.
(Baca juga artikel, EMPAT SYARAT SYAHADAT 'MUHAMMAD RASULULLAH' serta artikel "Ce-i... Ci + eN, Te-a... Ta, Cinta")

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya (artinya),
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin (beriman) dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka."  
(QS. Al-Ahzab; 36)  

Hikmah;
*  Pada ayat pembuka di atas (An-Nisa; 65) Allah Subhanahu wa Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya Sendiri, menafikan iman orang-orang yang tidak mau menjadikan Rasul-Nya sebagai Pembuat Keputusan, menyangkut segala permasalahan (urusan) hidup mereka, baik dunia maupun Akhirat, menunjukkan urgensi permasalahan ini.  Karena tidak banyak terdapat dalam Alqur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya Sendiri.   
* Merupakan konsekwensi logis dari pengikraran dua kalimah syahadat bagi setiap muslim yang sadar dan mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
* Barangsiapa yang enggan menerima konsekwensi tersebut - sudah barang tentu Iman-nya akan dinafikan (dianggap tidak berarti) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dan itulah wujud kemunafikan yang sesungguhnya.
(Baca artikel, MUNAFIK), (pen blog).


oOo

Jumat, 26 Mei 2017

KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN


بسم الله الر حمان الر حيم

Berkata Syaikhul Islam IBNU TAIMIYAH rahimahullah; Allah tidak mengaitkan janji Surga kecuali dengan sebutan Iman, tidak mengaitkannya dengan sebutan Islam, dengan tetap mewajibkan Islam dan mengabarkan bahwa (hanya) Islamlah agama yang diridhai-Nya, bahwa Dia tidak menerima suatu agama pun selainnya.  Meskipun demikian, Dia tetap menyatakan bahwa Surga itu disediakan bagi orang-orang Mukmin, tidak menyatakan bahwa Allah menjanjikan Surga bagi orang-orang Muslim.  Janji Surga ini hanya dinyatakan berkaitan dengan Iman, seperti firman-Nya dalam surat;
(At-Taubah; 72), (Al-Bayyinah; 7-8),  (Al-Baqarah; 25), (Al-Baqarah; 277), (An-Nisa; 173), (An-Nisa; 175), (An-Nisa; 57), (An-Nisa; 122), (Ali-Imran; 57), (Al-Maidah; 9), (Al-An’am; 48), (Al-‘Araf; 42).
(Baca juga artikel, SURGA).

Beberapa Sisi yang Membedakan antara Islam dengan Iman;   
Janji Surga, dan rahmat di Akhirat serta keselamatan dari adzab, dikaitkan dengan Iman yang Mutlak dan Amal Shalih atau yang sejenisnya.  Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang mutlak ini termasuk mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak dikaitkan dengan nama Islam.
(Baca artikel, TUJUH SYARAT KALIMAT SYAHADAT)
Siapa yang berbuat berdasarkan Iman yang disanggupinya dan dia tidak mampu mengetahui rincian-rinciannya, lalu dia disebut Muslim dan bukan Mukmin, maka dia termasuk para penghuni Surga, karena Surga patut dihuni siapa pun yang disebut Muslim meski tidak disebut Mukmin.  Tapi hakikatnya tidaklah demikian.  Surga tidak dikaitkan kecuali dengan nama Iman.  Hal ini juga dijadikan dalil oleh orang yang berkata bahwa tidak setiap Muslim termasuk golongan orang-orang Mukmin yang dijanjikan Surga.  Sebab sekiranya permasalahannya demikian, maka tentulah janji Surga itu dikaitkan dengan nama Islam, sebagaimana ia dikaitkan dengan nama Iman atau Taqwa dan Kebajikan sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya (artinya);                                                      “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai.”  (Al-Qamar; 54).
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam Surga yang penuh kenikmatan.”  (Al-Infithar; 13).
Ada pula yang dikaitkan dengan wali-wali Allah, seperti firman-Nya,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.  Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan (dalam kehidupan) akhirat.  Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.  Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”  (Yunus; 62-64). 
Karena Allah tidak memberlakukan nama Islam seperti yang disebutkan ini, maka dapat diketahui bahwa nama Islam memang tidak seperti nama Iman, seperti nama Kebajikan, Takwa, dan Wali-Wali Allah.  Memang, nama Islam mencakup orang yang mendapatkan janji itu jika Allah memberinya pahala karena keta’atan kepada-Nya.  Jika dalam hatinya terdapat Iman dan Kemunafikan, maka dia patut mendapat siksa.  Orang-orang semacam ini disiksa (diadzab) oleh Allah di dalam Neraka tetapi tidak kekal, karena di dalam hatinya terdapat Iman, seberat dzarrah atau lebih dari itu.”
Selesai kutipan.  
(“Al-Iman”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah)



Renungan:
  • "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?  Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya; 'Kapankah datangnya pertolongan Allah?'  Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amatlah dekat."  (QS. Al-Baqarah; 214).  
  • "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar."  (QS. Ali-Imran; 142)                                                                                                  oOo 

Kamis, 25 Mei 2017

PARA PENYEMBAH DA'I

 
بسم الله الر حما ن الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya);
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah..." (QS.  An-Nuur;  63).

Ady bin Hatim datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kala itu masih beragama Nasrani, lalu dia mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.  Dia menuturkan, “Aku berkata kepada Beliau, ‘Kami tidak pernah menyembah mereka’.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian ikut mengharamkannya, dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya pula ?”
“Benar”, jawabku.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu sama dengan menyembah mereka.”
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Hikmah;
Orang-orang yang menghalalkan bid’ah mengikuti pendapat para da’i mereka (setelah tegak hujjah), padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah jelas-jelas mengharamkan bid’ah, karena syari'at Islam telah sempurna - tidak memerlukan tambahan atau pengurangan sedikitpun dan pemikiran siapapun, berarti sejatinya mereka telah melakukan penyembahan (peribadatan) kepada para da’i tersebut (melakukan perbuatan Syirik).
“Na’uudzubillahi min dzaalika.”
(Baca artikel, PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
                                                                         oOo

Jumat, 19 Mei 2017

ENAM ORBIT (LINTASAN) HATI MANUSIA


بسم الله الرحمن الرحيم                                                     
Hati (Jiwa / Roh) setiap manusia memiliki 6 (enam) lintasan (orbit), tempatnya selalu melintas dan berputar-putar, melanglang buana.  Tiga orbit (lintasan) di antaranya tempat berputarnya Roh yang Mulia, dan tiga lintasan lagi tempat berputarnya Roh yang hina (rendahan).

Tiga lintasan (orbit) Roh yang Mulia adalah;
1.  Ilah (Sesembahan) yang diibadahinya.
2.  Amalan-amalan yang jelas baginya.
3.  Akal yang menuntunnya.
(Baca artikel, MANUSIA PALING CERDAS MENURUT ISLAM)

Tiga lintasan (orbit) Roh yang Hina (rendahan);
1. Dunia yang berhias dihadapannya.
2. Nafsu yang membisikinya.
3. Musuh yang senantiasa mengusiknya (Syaithan dari kalangan Jin dan manusia serta Iblis la’natullah, pen blog)

(Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah).

Penjelasan;
  • Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya); "Hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan padamu.  Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara Manusia dengan Hatinya. Dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan."  (QS. Al-Anfal (8); 24).
  •  MENGENALI HATI
    Berkata Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah,

    "ومن عرف قلبه عرف ربه، وأكثر الناس جاهلون بقلوبهم ونفوسهم، و«الله يحول بين المرء وقلبه.» [الأنفال: ٢٤] وحيلولته أن يمنعه من معرفته ومراقبته ، فمعرفة القلب وصفاته أصل الدين، وأساس طريق السالكين."

    📕 [مختصر منهاج القاصدين لابن قدامة  المقدسي صـ ١٨٥]

    "Barangsiapa mampu mengenali hatinya, maka dia akan mengenal Rabb-nya.  Namun, mayoritas manusia tidak mengenal hati dan jiwa mereka sendiri. Allah berfirman (artinya),
    "Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya." [QS. Al-Anfal: 24]

    Allah membuat batasan (dinding pemisah) dengan cara menghalangi manusia tersebut untuk mengenal-Nya, dan dari muraqabah-Nya, sehingga dia tidak lagi merasa diawasi oleh Allah (hilang rasa takut kepada-Nya.  Dan tidak tergerak hati untuk mempersiapkan bekal Akhirat, sehingga dia hanya larut dengan urusan dunia, pen blog).

    Oleh karena itu, mengenal hati dan sifat-sifatnya adalah fondasi Agama dan landasan jalan para penitinya.
    "

    📕 [Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin li Ibni Qudamah Al-Maqdisi, hlm. 185]

  • Tafsiran para 'ulama tentang kata "kehidupanpada ayat di atas (QS. Al-Anfal; 24) adalah Kehidupan Hati, bagi orang-orang yang menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya, karena hati yang hidup akan senantiasa bergerak, mendekat pada Penciptanya, sedangkan hati yang sakit dan mati akan semakin menjauh dari Rabb-nya.
  • Pendapat Sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan Jumhur Mufassirin (mayoritas ahli Tafsir) tentang makna ayat "Allah membatasi antara Manusia dengan Hatinya", yakni;
* Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalangi orang-orang mukmin (beriman) melakukan perbuatan kufur kepada-Nya.

* Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalangi orang-orang kafir melakukan keta'atan (keikhlasan) kepada-Nya.
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)

* Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalangi orang-orang yang durhaka melakukan keta'atan kepada-Nya.
Meskipun secara lahiriah mereka tampak ruku' dan sujud, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan amal-amal mereka seperti debu yang diterbangkan angin, karena tidak ikhlas dan tidak mengacu pada tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a'lam.
---

Renungan;
Jika manusia menolak seruan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, maka Allah Ta'ala akan membuat batasan (dinding pemisah) antara hati mereka dengan diri mereka sendiri, sehingga setelah itu mereka tidak lagi mampu memenuhi seruan tersebut.
Mereka akan terombang-ambing (tersibukkan) oleh berbagai persoalan duniawi, dan lupa terhadap tujuan penciptaan dirinya (Akhirat).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ.

"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya, saat menyeru kalian kepada hal-hal yang menghidupkan hati kalian.  Ketahuilah, sesungguhnya Allah akan memberi penghalang antara seseorang dengan hatinya

(QS. Al-Anfal: 24)

Yang demikian itu merupakan hukuman atas penolakan terhadap kebenaran, yang karenanya Allah 'Azza wa Jalla membuat batasan pula (dinding pemisah) antara Diri-Nya dengan mereka, memalingkan hati mereka dari-Nya, sehingga mereka tidak lagi berhasrat untuk mengenal Allahdan mengenal Risalah yang Dia sampaikan lewat Rasul-Nya.  Dan jiwa (roh) mereka hanya berputar-putar di sekitar orbit (lintasan) jiwa yang rendahan (hina).
Penyesatan yang merupakan hukuman adalah bagian dari Keadilan Allah terhadap hamba tersebut.  Karena sesungguhnya Dialah Yang paling mengetahui dimana Dia akan menempatkan Hidayah dan Taufiq-Nya, sebagaimana Dia juga Yang mengetahui kepada siapa Dia akan menitipkan Risalah-Nya, karena tidak setiap manusia siap dan mampu mengemban Risalah tersebut serta menyampaikan kepada umat manusia, dan tidak semua manusia pula mau dan mampu menerima dan mengimani Risalah tersebut.
(Baca artikel, KEHENDAK ALLAH, dan BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA DAN QADAR ALLAH, dan KENAPA ALLAH MENYESATKAN MANUSIA?)

                                                                       oOo 


Kamis, 18 Mei 2017

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (1)

                                                                        
بسم الله الرحمن الرحيم 

~  "Upaya mendekat kepada Allah 'Azza wa Jalla itu tidak ada akhirnya.  Orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah, selagi masih di dunia akan terus berjalan."

~  "Islam itu tinggi, dan tidak akan ada sesuatu yang sanggup mengunggulinya." 

                                                                        oOo




   






Minggu, 07 Mei 2017

IBADAH BUKAN KEBIASAAN

       
                       

بسم الله الر حما ن الر حيم

Al-‘Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengutip perkataan seorang 'ulama; 
“Orang-orang yang cerdas kebiasaan mereka adalah beribadah.  Dan orang-orang bodoh ibadah mereka berupa kebiasaan-kebiasaan.”

Penjelasan;
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah  mendefinisikan “Ibadah adalah sebutan yang mencakup segala yang dicintai dan diridhai Allah Ta'ala, baik berupa ucapan dan perbuatan secara zhahir maupun bathin.”  
Dan, tidak ada jalan untuk mengetahui sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala selain dari petunjuk Rasul-Nya, karena Beliaulah satu-satunya manusia yang paling mengenal Allah Tabaaraka wa Ta’ala.
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)

Terdapat beberapa perbedaan antara orang cerdas dan orang bodoh dalam melakukan suatu amalan (ibadah).  Diantaranya;
1.       1. * Orang yang cerdas meletakkan ibadahnya di atas dasar ilmu (dalil dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah), sementara orang bodoh meletakkan ibadahnya di atas dasar kebodohan.
2.       2. * Orang bodoh biasanya termotivasi melakukan suatu ibadah karena banyaknya manusia yang melakukan (ikut-ikutan), atau karena sudah terbiasa (ajaran nenek moyang), sedang orang yang cerdas melihat kepada dalil yang shahih dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sebelum melakukan suatu amalan.
3.       3. * Orang yang cerdas amal-amalnya akan menggiringnya untuk memahami Agama secara lebih baik (kaidah; balasan sesuai dengan jenis amalan), sementara orang bodoh amal-amalnya semakin menjauhkannya dari pemahaman syariat yang benar (lurus).
4.       4. * Setiap kebiasaan / kegiatan yang baik dapat bernilai ibadah bila dilakukan ikhlash karena Allah Ta’ala.  Akan tetapi setiap ibadah yang sudah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bernilai ibadah bila dilaksanakan menyimpang dari tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi, Ittiba’ (mengikuti) cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beribadah adalah jalan menuju keikhlasan.  Dan, niat karena Allah Ta’ala semata belum cukup, tanpa mengacu pada tuntunan Beliau shallallahu'alaihi wa sallam.
Mulai saat ini, mari kita ubah ritual kebiasaan menjadi ibadah yang benar sesuai petunjuk Beliau shallallahu'alaihi wa sallam sebelum terlambat.
(Baca juga artikel INGIN SELAMAT?  IKUTI PETUNJUK! dan EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAH)

Renungan;
  • Telah bersepakat para 'Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, bahwa Hukum Asal dari setiap Ibadah (Mahdhah; telah ditentukan rukun, syarat, serta tata caranya) adalah HARAM, hingga terdapat dalil yang menetapkan suatu itu merupakan ibadah.  Dan Hukum Asal dari Mu'amalah; segala sesuatu itu HALAL, hingga ada dalil yang menetapkan bahwa sesuatu itu haram.
  • Berkata Sahabat yang mulia Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu 'anhu, "Setiap Ibadah yang tidak pernah dilakukan para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, maka janganlah engkau lakukan!  Karena Generasi Pertama itu tidak memberi peluang pada Generasi berikutnya untuk berpendapat dalam masalah Agama.  Bertakwalah kepada Allah wahai para Qurra (Ahlul Qur'an) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kalian!"    
5.      

oOo