Rabu, 31 Mei 2017

KUNCI SURGA (TUJUH SYARAT KALIMAT SYAHADAT)



بسم الله الر مان الر حيم

Seseorang bertanya kepada Al-Imam WAHB BIN MUNABBIH rahimahullah, "Bukankah Laa Ilaaha illAllah itu merupakan kunci Surga?"  
Beliau menjawab, “Benar, tetapi setiap kunci memiliki gerigi.  Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu Surga dibukakan untukmu.  Tetapi jika kuncimu tidak bergerigi, tidak akan dibukakan.”

Terdapat banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang menerangkan tentang gerigi kunci tersebut.
(Baca juga artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)    
Syarat (wajib) merupakan bagian terpenting yang harus dipenuhi, sebelum melakukan suatu amalan, agar amalan tersebut bernilai pahala dan memberi dampak (pengaruh) positif pada orang yang mengamalkannya.
Kehilangan salah satu atau lebih syarat suatu amalan akan menyebabkan berkurang / tidak bermanfaatnya amal tersebut bagi pelakunya.
Tujuh Syarat Syahadat yang telah disepakati oleh para ‘Ulama Ahlussunnah tersebut adalah;
1.       1. ILMU (PENGETAHUAN);  Pemahaman yang benar (shahih) tentang makna Kalimat Syahadat, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat radhiyallahu'anhuma adalah;  “Tiada Ilah (Sesembahan) yang diibadahi dengan Haq selain Allah.”
Adapun makna yang kurang tepat (yang umumnya dipahami oleh kaum muslimin) adalah;  “Tiada Tuhan selain Allah.”
---
Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah,
"Bukanlah maksud dari pengucapan  لا اله الا الله  di lisan saja - tanpa memahami maknanya.  Engkau harus memahami apa makna  لا اله الا الله  ("Laa Ilaha illallah").  Adapun, jika hanya mengucapkan tanpa mengerti maknanya, maka engkau tidak akan meyakini kandungan yang ditunjukkannya.  Bagaimana mungkin engkau meyakini sesuatu yang tidak dimengerti maknanya.  Sehingga, sudah merupakan suatu kewajiban bagimu mengetahui maknanya (terlebih dahulu) lalu meyakininya.  Meyakini dengan hatimu - apa yang diucapkan oleh lidahmu.  Sehingga, engkau mesti mempelajari makna, لا اله الا الله .  Karena pengucapan semata, tanpa mengetahui maknanya tidak akan memberi faidah sedikit pun."  
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.
(Baca artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)

Beberapa Catatan Penting tentang Makna yang Kurang Tepat;
*  Terdapat perbedaan makna antara Asma Ilah (Dzat Yang Diibadahi / Disembah) dengan Asma Rabb (Tuhan, Yang Menciptakan segala sesuatu, Yang Memiliki, Yang Menentukan Hukum, Yang Memelihara, Yang Menghidupkan - Mematikan), baik secara bahasa maupun secara istilah syari'at.  Meskipun lafadzh Rabb (Tuhan) terkadang juga digunakan untuk makna Sesembahan, Yang diibadahi (seperti disebutkan dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Al-Bara bin 'Azib).
*   Orang-orang kafir quraisy pun meyakini bahwa tiada Tuhan (Rabb) selain Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, Pemilik, Pemelihara, Pengatur, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan - mematikan.  Ternyata keyakinan mereka kepada itu semua belum memasukkan mereka ke dalam Islam.
Karena dalam pelaksanaan ibadah mereka enggan menunggalkan satu “Ilah” (Sesembahan) saja, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala.
*   Suatu kenyataan yang tak terbantahkan pada zaman yang penuh fitnah ini adalah, betapa banyak kaum muslimin yang menjadikan “Ilah-ilah” (sesembahan) tandingan yang lain selain Allah.  Ada yang menjadikan Hartanya sebagai “Ilah”, Atasan, Jabatan, Kedudukan, Pangkat, Partai, Para Da’i (Ustadz), Norma, Adat-istiadat, Wanita, Uang dan lain sebagainya.
(Baca artikel, DILEMA BERPARTAI DALAM ISLAM)
Yang dimaksud dengan mengadakan "Ilah" tandingan selain Allah adalah;  menempatkan aturan tandingan-tandingan tersebut lebih tinggi atau setara (sejajar) dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.  
Sedangkan sikap dan keyakinan yang benar (dituntut oleh Islam) adalah; menempatkan aturan (perintah dan larangan) Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya lebih lebih tinggi daripada aturan tandingan-tandingan tersebut, mengalahkan semua aturan makhluk.
(Baca artikel lain, SYIRIK dan PARA PENYEMBAH DA'I)
*   Tauhid Uluhiyah mencakup Tauhid Rububiyah, tetapi belum tentu sebaliknya.  
Jadi, baik secara makna yang shahih maupun fakta yang terjadi di tengah masyarakat muslim terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Orang-orang Kafir Kuraisy zaman dulu juga mengakui Allah sebagai Rabb, tetapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya Ilah (sesembahan).  Jadi, disamping menyembah Allah mereka juga menyembah selain-Nya, mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.  Dan itulah salah satu bentuk Syirik Akbar; Syirik dalam Kecintaan.  Mereka meyakini, bahwa apa yang mereka sembah selain Allah itu akan mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat dekatnya.
2.       2. YAKIN;  Benar-benar yakin akan maknanya, karena kalimat ini sama sekali tidak mentolerir keraguan, prasangka dan kebimbangan.  Akan tetapi wajib bertopang pada keyakinan yang pasti, kokoh, dan bulat.  Banyak bukti-bukti yang terdapat di seluruh penjuru bumi, baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat syar’iyah-Nya yang dapat mengokohkan keyakinan orang-orang yang mengucapkan syahadat.  Sehingga tidak menyisakan sedikitpun keraguan di dalam hati, dan agar tidak terjatuh kepada Pembatal Keislaman. 
(Baca artikel,  SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN dan DUA RUKUN SYAHADAT).
Jadi, tidak cukup sekedar melafazkan (ucapan) semata.  Terkecuali bagi orang-orang yang baru memeluk agama Islam (baru belajar / mu'allaf).
3.       3. IKLASH;  Semata-mata niatnya hanya untuk mencari Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Akhirat (Kridhaan dan Surga-Nya).
4.       4.  JUJUR;  Tidak munafik (menampakkan keimanan secara lahiriyah, sementara dihatinya tersimpan ganjalan (Junnah), kekufuran, syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran), keragu-raguan, ketidak jelasan, serta penyakit kebodohan lainnya).
5.       5.  MAHABBAH (CINTA); Orang-orang beriman harus mencintai “Kalimat Tauhid” / "Kalimat Ikhlas" ini, baik dalam keyakinan maupun amalan.  Mendahulukan kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya daripada kecintaan terhadap selainnya.  Sekaligus membenci lawannya (kesyirikan).
6.       6.  TUNDUK, PATUH;  Ta’at terhadap segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan suka maupun tidak,
, sesuai atau tidak dengan akal, norma, hukum buatan manusia, adat-istiadat, atau faktor penghalang lainnya).
7.       7.  MA’BUL (MENERIMA);  Menerima sepenuhnya, apa pun tuntutan kalimat tersebut dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, tanpa ada ganjalan (reserve) sedikit pun.  Karena ia merupakan konsekuensi logis dari pengikraran Dua Kalimat Syahadat.
(Baca artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN)

Meskipun ketujuh syarat ini telah terpenuhi semua, seseorang mukmin wajib senantiasa berpegang teguh dan konsisten (istiqamah) di atas Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlas) tersebut hingga Malaikat Maut datang menjemput.

(Pen blog, dari berbagai sumber)


oOo    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar