Sabtu, 30 November 2019

CARA MENGUATKAN IMAN


بسم الله الر حمان الر حيم 

Fadilatusy syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya oleh seseorang; 
"Bagaimana caranya seseorang menguatkan keimanannya dalam keadaan ia tidak merasakan pengaruh dari makna-makna ayat Al-Qur’an yang dia baca kecuali sedikit?"
Maka beliau menjawabnya dengan jawaban sebagai berikut;


"Bagaimanapun keadaannya, tampak dari orang tersebut, bahwa ia masih memiliki secercah keimanan terhadap Hari Akhir dan membenarkannya, hanya saja qalbunya sedikit keras.  Sebagaimana keadaan kebanyakan manusia di zaman kita sekarang, banyak didapati qalbu yang keras.  Sebabnya adalah, karena berpaling dari  (kesungguh-sungguhan) ibadah, dan tidak mau menghinakan diri secara totalitas kepada Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seandainya seseorang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makna yang haq dan menghinakan diri kepada-Nya dengan makna yang haq pula, niscaya ia akan merasakan dalam qalbunya kelembutan dan kekhusyu'an.
Seandainya salah seorang di antara kita menghadapkan diri kepada Al-Qur'an dan mentadaburinya, niscaya ia akan menemukan di dalam qalbunya kelembutan dan kekhusyu'an.  Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
لو أنزلنا هذا القرءان على جبل لرايته خاشعا متصدعا من خشية الله
"Lau anzalnaa hadzaa al-qur'aana 'alaa jabalin lara-aitahu khaasyi'an mutashaddi'an min khasy-yati Allahi"
"Seandainya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada gunung, niscaya kamu akan melihat gunung itu tunduk - hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah."  (Al-Hasyr;  21)
Salah satu penyebab kerasnya hati adalah, terperdaya dengan segala perhiasan dunia masa kini, terfitnah, dan sibuk dengan berbagai perkara dunia Karena itulah,  kita sering melihat seorang yang masih kecil, atau anak muda yang belum terbuka  (mengarungi) dunia ini, dan dunia pun belum terbuka padanya - bisa khusyu' dan bisa menangis melebihi orang yang sudah tua, dan sudah lama berhadapan dengan dunia.
Hal ini kita saksikan sendiri, dan kalian juga menyaksikannya di Masjidil Haram ini.  Di dalam shalat anda dapati anak-anak muda yang masih belia, berusia 18 tahun dan yang semisalnya,  mereka bisa menangis ketika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan ancaman-ancaman (Neraka), atau harapan (Surga) melebihi tangisan orang-orang yang lebih tua dari mereka.
Mengapa demikian?  Karena, qalbu anak-anak muda itu lebih lembut.  Qalbu mereka belum banyak terpaut dengan dunia.  Qalbu itu belum pernah pergi untuk melihat persoalan-persoalan yang jauh maupun yang dekat.  Karena itulah, anda dapati mereka bisa lebih khusyu', dan qalbu mereka lebih dekat kepada kelembutan dibandingkan dengan orang yang telah dibentangkan baginya dunia, dan ia pun telah membuka diri dan hati mereka terhadap dunia.  Sehingga jadilah qalbu orang yang seperti itu tercerai-berai ke sana ke mari, dan sulit untuk khusyu'.
Kami nasihatkan kepada Saudara yang bertanya, agar ia berupaya untuk menghadirkan qalbu dan pikirannya pada perkara-perkara yang berkaitan dengan agama saja sebagai prioritas utamanya.   Hendaklah ia bersemangat untuk membaca Al-Qur’an dengan tadabbur dan perlahan-lahan,  mencerna dan menghayati ayat demi ayat.  Hendaklah juga ia bersemangat untuk mengulang-ulang hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang targhib  (harapan-harapan) dan tarhib  (peringatan / ancaman), karena hadits-hadits yang demikian akan melembutkan qalbu."
(Fatawa Al-Haram Al-Makki, hal. 1150-1151)

Renungan
"Sedikit dari dunia ini akan melalaikan banyak dari Akhirat kita.  Dan setiap nikmat yang tidak lebih mendekatkanmu kepada Allah, maka akan menjadi adzab bagimu kelak."
('Ulama)


oOo

(Disadur dari majalah, Asy-Syari'ah, vol. VIII/No. 87/1433 H/2112 M)



Jumat, 29 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (44)


بسم الله الر حمان الر حيم 

"Antara sifat Malu dan Iman itu senantiasa seiring-sejalan.  Apabila hilang salah satunya, maka akan hilang pula yang lainnya."
(Sahabat yang mulia, Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu)

"Tidaklah seseorang menahan sesuatu yang lebih berat daripada berbuat santun tatkala sedang marah, dan menahan kesabaran tatkala ditimpa musibah."
(Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah)

oOo 

Kamis, 28 November 2019

HUKUM SHALAT BERJAMA'AH


بسم الله الر حمان الر حيم

"Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia.  Kemudian, pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar - menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api."
(HR.  Ibnu Majah)

Shalat merupakan rukun kedua dalam Rukun Islam, setelah ucapan (ikrar) Syahadatain.
Merupakan amalan yang pertama kali dihisab di Yaumal Qiyamah.  Jika shalatnya baik (diterima) - maka akan baik (diterima) pula amal-amal lainnya.  Namun, jika shalatnya ditolak - maka akan ditolak pulalah amalan lainnya.
Shalat adalah ciri khusus manusia-manusia yang beriman dan bertakwa.  Barangsiapa yang menjaganya - berarti dia telah menjaga agamanya, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya - berarti ia akan lebih menyia-nyiakan amalan yang lain (Sunnatullah).
Besarnya nilai Islam di dalam hati seseorang bergantung kepada seberapa besar dia memuliakan (menjaga) shalatnya.  Dan, seberapa besar kebahagiaan yang dia rasakan dalam ber-Islam, dapat diukur dari seberapa besar kebahagiaan yang dia rasakan di dalam shalat.
Banyak nash-nash yang menegaskan kufurnya orang yang meninggalkan shalat, di antaranya;
"Sesungguhnya yang membedakan seorang muslim dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat."  (HR.  Muslim), dan
"Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat.  Barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir."  (HSR.  Ahmad)
 Orang yang meninggalkan shalat, jika ia mati dalam keadaan demikian - berarti ia mati dalam keadaan kafir, maka jasadnya tidak boleh dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di tempat pemakaman kaum muslimin.  Keluarganya (yang muslim) tidak berhak (haram) menerima harta warisannya, dan hartanya harus diserahkan ke Baitul Maal.

Hukum shalat berjama'ah yang diterangkan oleh para 'ulama berkisar pada 3 (tiga) pendapat;
1.  Fardhu 'Ain
2.  Fardhu Kifayah
3. Sunnah

Pendapat Pertama; Fardhu 'Ain
Artinya, wajib atas setiap individu Muslim / Mukmin, laki-laki, telah baligh, dan mampu untuk menghadirinya.
Menurut pendapat ini (Imam Ahmad), barangsiapa yang meninggalkan shalat berjama'ah tanpa uzdur syar'i (seperti sakit, dalam keadaan safar, hujan lebat, dll.), ia mendapat dosa meskipun shalatnya tetap sah.  Inilah pendapat yang benar dan paling kuat.
Berikut, beberapa dalil yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama'ah;
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'-lah bersama orang-orang yang ruku'."  (Al-Baqarah;  43)
Kata "bersama" menunjuk kepada makna; ikut menemani, menyertai.  Sehingga, hakikatnya adalah perintah Allah 'Azza wa Jalla terhadap setiap pribadi muslim (laki-laki) untuk mendirikan shalat secara berjama'ah dengan kaum muslimin yang lainnya.
Dalil lain;
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu."  (An-Nisa';  102)
Pada kalimat, فلتقم  /  "faltaqum" / "hendaklah", huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan hukum asal sebuah perintah adalah wajib (berdosa bila ditinggalkan).  Indikasi yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para Sahabat untuk tetap melaksanakan shalat berjama'ah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan).  Sementara, pada umumnya manusia bila dalam kondisi takut  (perang) dan kekacauan - berat bagi mereka untuk berkumpul.  Karena dalam situasi yang kacau umumnya orang lebih suka untuk tetap berada di posisi masing-masing sambil memantau musuh.  Perintah itu tertera dalam makna firman-Nya,
"Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata."  (An-Nisa;  102)
Yang tampak jelas dalam hal ini adalah,  tidak ada perbedaan antara senjata ringan dan senjata berat, dalam keadaan suci dan najis.  Para 'ulama berpendapat, pada saat (kondisi) seperti ini - keadaan darurat - diperbolehkan shalat dengan menyandang senjata meskipun dalam keadaan najis.
Setelah kelompok yang pertama selesai melaksanakan shalat, sebagaimana makna firman-Nya,
"Kemudian apabila mereka  (yang shalat bersamamu) telah sujud (telah sempurna serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakang (untuk menghadapi musuh)."  (An -Nisa;  102)
Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya.  Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjama'ah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu. "
Perintah ini menunjukkan, bahwa shalat berjama'ah itu hukumnya Fardhu 'Ain Sebab, seandainya hukumnya Fardhu Kifayah - akan gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok yang pertama.
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan, bahwa hukum shalat berjama'ah itu Fardhu 'Ain adalah,
"Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami  manusia.  Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api."  (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkeinginan (membakar rumah-rumah mereka) namun tidak melaksanakannya, hal itu tidak berarti shalat berjama'ah bukan merupakan perkara yang wajib.  Seandainya bukan merupakan sesuatu yang wajib, tidakkah tepat dikatakan dengan ungkapan seperti di atas.  Ungkapan itu akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya.
Adapun faktor yang menghalangi Beliau melakukannya  (membakar rumah-rumah mereka) - ilmunya ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala - karena tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalil lain dari As-Sunnah, adalah hadits yang memberitahukan tentang seorang laki-laki buta yang meminta keringanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tidak ikut shalat berjama'ah di masjid.  Setelah terjadi pembicaraan antara Nabiyullah dengannya  (Abdullah bin Ummi Maktum, pen.), Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau mendengar suara adzan?"  Ia pun menjawab, "Ya."  Lalu Beliau bersabda, "Kalau begitu penuhilah (panggilan adzan itu)."
Demikian pula hadits lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu  (maknanya),
"Barangsiapa mendengar adzan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak Syah shalatnya kecuali karena udzur."  (HR. Ibnu Majah)
Adapun praktek (ibadah) para Sahabat seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Sungguh aku telah menyaksikan para Sahabat, tidak ada seorang yang tidak ikut shalat berjama'ah selain munafik yang jelas kemunafikannya."
Hal ini menunjukkan, bahwa mereka sangat perhatian terhadap shalat berjama'ah, serta berpandangan akan wajibnya, dan tidak ingin menyelisihinya.
Yang lebih menguatkan, bahwa hukum shalat berjama'ah itu wajib 'ain adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya.
Di antara para 'ulama yang menguatkan pendapat ini adalah;  Atha', Al-Auza'i,  Ahmad, Abu Tsaur,  Ibnu Khuzaimah,  Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abbul Abbas, madzhab Zhahiri, madzhab Hambali, salah satu pendapat madzhab Syafi'i dan Hanafi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain.

Pendapat kedua; Fardhu Kifayah
Yang menguatkan pendapat ini adalah mayoritas madzhab Syafi'i,  Hanafi, dan Maliki.   Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang dinyatakan (dipakai) oleh para 'ulama yang berpendapat tentang Fardhu 'Ain.  Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan pada makna Fardhu Kifayah.

Pendapat ketiga; Hukumnya Sunnah
Ini merupakan salah satu pendapat madzhab Syafi'i, Malik,  dan Hanafi.
Hujjah mereka adalah hadits,
"Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat."
Mereka memahami kalimat "Lebih utama" bermakna hanya lebih utama, bukan wajib.  Namun pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah.  Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjama'ah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan tentang hukum shalat berjama'ah.  Pun, penyebutan kalimat "Lebih utama" tidak menafikan  (meniadakan) hukum wajib 'Ain nya.
Kita katakan pula, "Apakah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu wajib?"  Jawabannya tidak diragukan lagi pasti wajib.   Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?  (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.  Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya."  (Ash-Shaf;  10-11)
Maksud, yang lebih baik dan lebih utama.
Apakah akan dikatakan, bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah??? (Dengan alasan kalimat, "Itulah yang lebih baik bagimu"?)  Sungguh, tidak seorangpun yang berpendapat demikian.
Kita katakan pula, "Apakah melaksanakan shalat Jum'at hukumnya sunnah karena Allah berfirman  (artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, apabila  (kamu) diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at,  maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual-beli.  Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."  (Al-Jumu'ah;  9)
Bisa dipastikan, tidak seorangpun yang berani mengatakan, bahwa shalat jum'at itu hukumnya sunnah, karena berdalil dengan kalimat, "hal itu lebih baik bagimu".
Demikian pula hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkeinginan untuk membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjama'ah.  Mereka beralasan, bahwa  (ternyata) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mewujudkan keinginannya, sehingga hal itu hanya berfungsi sebagai peringatan keras, tidak sampai pada kesimpulan bahwa shalat berjama'ah itu hukumnya Fardhu 'Ain (?)

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits,  sunnah, ijma' (kesepakatan) para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - tidak diragukan lagi , bahwa hukum shalat berjama'ah adalah WAJIB.
(Syarh Al-Bukhari, Al-Utsaimin, 3/57-58, Asy-Syarhul Al-Mumi,  2/369-370, At-Tashil, 2/406-407)
Wallahu 'a’lam.

oOo

(Disadur bebas dari tulisan, Hukum Shalat Berjama'ah, Ust.  Abu Ubaidah Syafrudin, Majalah Asy-Syariah, vol VIII/No. 87/1433 H/2012 M)


Minggu, 24 November 2019

Zainul Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib


بسم الله الر حمان الر حيم

"Aku tidak melihat orang yang lebih utama dari Ali bin Husain."

(Al-Imam Adz-Dzahabi)

Tahun itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia.  Yazdajurd, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan.  Sementara seluruh harta, prajurit, dan kerabat istana menjadi tawanan kaum muslimin.  Semuanya diangkut ke Madinah Al-Munawarah.
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah (harta rampasan perang) sebanyak dan begitu berharga seperti itu.  Di antara para tawanan tersebut terdapat tiga orang puteri kaisar Yazdajurd.

Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke Baitul maal (kas) kaum muslimin.  Tidak ada lagi yang tertinggal selain ketiga para puteri kaisar yang sangat jelita lagi masih muda belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah.  Air mata meleleh dari kedua pipi-pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu 'anhu) merasa iba melihatnya dan berharap semoga orang yang akan membeli para puteri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda  (artinya), "Kasihanilah para bangsawan yang terhina."
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab  (radhiyallahu 'anhu), dan mengusulkan, "Para puteri kaisar itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya."  Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Engkau benar, tapi bagaimana caranya?"
Ali berkata, "Umumkan harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membayarnya. "
Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar.  Puteri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, puteri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan yang ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinaan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tak lama setelah itu, puteri yang ketiga langsung memeluk Islam dan bagus keIslamannya.  Sehingga ia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil isteri oleh Husain setelah sebelumnya berstatus budak.  Setelah itu, ia tanggalkan segala hal yang berkaitan dengan paham paganisme  (penyembahan terhadap berhala), dan berganti nama dari "Syah Zinaan" yang berarti "ratunya para wanita", menjadi "Ghazalah" (Matahari yang baru terbit).
Ghazalah amat bahagia menjadi isteri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendampingi puteri raja.  Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.  Beberapa waktu kemudian, Allah-pun memuliakannya, tak lama kemudian ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan.  Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Hanya saja, kebahagiaan itu tak lama dirasakan oleh Ghazalah.  Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan yang terus-menerus setelah melahirkan.  Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dan bercengkerama dengan buah hatinya.

Akhirnya anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita, yang mencintai seperti darah-dagingnya sendiri, dipelihara melebihi anaknya sendiri.  Maka, si kecil itu tumbuh tanpa mengenal ibu lain selain budak wanita itu.

Menginjak usia remaja, Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu.  Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahadanya sendiri.  Madrasah yang kedua adalah Masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi pertama Tabi'in (Murid para Sahabat).
Mereka begitu bersemangat mendidik putera-putera Sahabat utama.  Mengajari mereka Kitabullah, fiqh, serta riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan target dan objek yang ditujunya.  Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah, tentang syair-syair Arab dan keindahannya.   Mengisi hati-hati mereka dengan kecintaan, takut, dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Sehingga, akhirnya mereka berhasil menjadi 'ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait pada sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah 'Azza wa Jalla.  Tak ada hal yang lebih digandrungi dan lebih dikaguminya, sekaligus ditakutinya daripada kalimat-kalimat, janji, dan ancaman yang terdapat di dalamnya.
Jika ayat-ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang Jannah (Surga) - maka serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya.  Bila membaca ayat-ayat tentang Neraka - maka gemetarlah hati beliau seakan-akan merasakan panas api Neraka di tubuhnya.

Memasuki usia dewasa, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan.  Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda Bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya.  Sampai-sampai setiap kali setelah berwudhu' terlihat wajahnya pucat pasi seperti orang yang sedang ketakutan.  Bila ditanya tentang hal itu beliau menjawab, "Duhai celaka, tidakkah kalian mengetahui kepada Siapa aku akan menghadap?  Dan Siapa Yang akan aku ajak berbicara?"
Memperhatikan kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberikan julukan "Zainul Abidin" (Hiasan para Ahli Ibadah), dan julukan beliau ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya  (Ali bin Husain).  Selain itu, selain kebiasaan sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai "As-Sajjad".  Dan karena jiwanya yang bersih beliau dijuluki pula dengan "Az-Zakiy".

Zainul Abidin meyakini, bahwa sum-sum dari ibadah adalah do'a.  Beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka'bah dengan do'anya;
"Wahai Rabb-ku, Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepada ku seperti yang kurasakan, dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan,  sehingga aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut, dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu.  Wahai Rabb-ku, aku berwasiat kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba yang lemah, yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu, demi pelaksanaan kewajiban dan menunaikan hak-Mu.  Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah, asing, dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal - Akramiin..."

Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah bayang-bayang Baitul Atiq (Ka'bah), gelagapan seperti orang yang akan tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit, dan berdo'a terus-menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat.  Setelah Zainul Abidin selesai berdo'a, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata,
Thawus;  "Wahai cicit Rasulullah, kulihat engkau dalam keadaan demikian padahal engkau memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan engkau dari rasa takut."
Zainul Abidin;  "Apakah itu wahai Thawus?"
Thawus;  "Pertama, engkau adalah keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Kedua, engkau akan mendapatkan syafaat dari Kakek engkau.  Dan ketiga, rahmat Allah bagi engkau."
Zainul Abidin;  "Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah  (artinya),
"...kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu..."  
(QS. Al-Kahfi;  99)
Adapun tentang syafaat Kakekku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan firman-Nya  (artinya),
"Mereka tidaklah memberi syafaat melainkan terhadap orang yang diridhai Allah."  
(QS. Al-Anbiya;  28)
Sedangkan mengenai rahmat Allah, perhatikanlah firman-Nya  (artinya),
"Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."  
(QS. Al-A'raf;  56)

Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin benar-benar tidak terlampaui oleh orang-orang umumnya pada waktu itu.  Kebijakannya, kedermawanannya, dan sifat sabarnya.  Tidak mengherankan bila kisah hidupnya senantiasa menghiasi lembaran buku-buku sejarah, dan mengharumkannya dengan keluhuran budi pekerti.  Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan;
"Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putera pamanku Zainul Abidin.  Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya.  Aku memakinya habis-habisan, tetapi dia hanya diam dan membisu sampai akhirnya aku pulang.  Malam harinya ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu rumahku.  Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang.  Ternyata Zainul Abidin.  Tak kusangsikan lagi dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang padanya.  Namun, ternyata ia hanya berkata, 'Wahai saudaraku, bila yang engkau katakan tadi benar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.  Dan jika yang engkau katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu...'  Kemudian dia berlalu setelah mengucapkan salam.
Karena merasa bersalah, akupun mengejarnya dan berkata, 'Sungguh, aku tidak akan mengulangi kata-kata yang tidak engkau sukai.'  Dia berkata, 'Aku telah memaafkanmu.'"

Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan;
"Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memaki-makinya.  Ternyata hal itu membuat orang-orang marah.  Mereka berkerumun hendak mengeroyokku.  Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku akan babak belur.  Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, "Biarkan orang ini."  Maka merekapun membiarkan diriku.
Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatapku dengan wajah bersahabat dan menenteramkan hati, kemudian berkata, "Engkau telah mencelaku sejauh yang engkau ketahui, padahal apa yang tidak engkau ketahui jauh lebih banyak lagi.  Adakah engkau memiliki keperluan sehingga aku bisa membantunya?"
Aku menjadi sangat malu dan tak bisa berkata apa-apa.  Begitu melihat gelagatku, beliau memberiku baju dan uang 1000  (seribu) dirham.  Sejak saat itu setiap kali melihatnya aku berkata, "Saya bersaksi bahwa engkau benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."

Kisah berikutnya dikisahkan oleh pembantunya sendiri;  "Aku adalah pembantu Ali bin Husain.  Suatu ketika aku disuruh untuk memenuhi suatu keperluannya tapi aku terlambat melakukannya.  Begitu aku datang langsung dicambuk olehnya.
Aku menangis bercampur marah padanya, sebab ia tidak pernah mencambuk siapa pun sebelum aku.  Aku berkata, 'Allah...Allah... Wahai Ali bin Husain, kenapa setelah aku melakukan keperluanmu engkau malah memukuliku?'
Beliau terkejut mendengar kata-kataku, lalu menangis.  Kemudian beliau berkata, 'Pergilah ke masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat, kemudian Berdo'alah, 'Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain.'  Bila engkau mau melakukannya, engkau akan aku merdekakan.'  Aku mengikuti kata-katanya.  Aku shalat dan berdoa seperti yang dimintanya.  Ketika kembali ke rumahnya,  diriku telah menjadi orang yang bebas merdeka.'

Allah 'Azza wa Jalla memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada Zainul Abidin.  Perdagangannya selalu untung dan tanah pertaniannya selalu subur, dikelola oleh para budaknya.  Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya, sehingga semakin bertambah banyak hartanya.
Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan kekayaannya itu.  Sikapnya tidak pernah berubah.  Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun jalan kebaikan menuju kampung Akhirat.  Begitulah, kekayaan akan menjadi indah di tangan para hamba-Nya yang shalih.  Di antara amal shalih yang gemar beliau lakukan, adalah bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi.
Di saat-saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di atas punggungnya, lalu keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang telah tertidur lelap.  Beliau berkeliling ke rumah-rumah para fakir miskin yang enggan menadahkan tangan (meminta-minta).
Tak heran jika banyak orang-orang miskin Madinah tetap dapat melangsungkan kehidupan tanpa mengetahui dari mana jatuhnya rezki yang datang pada mereka.
Setelah Ali bin Husain wafat, dan mereka tak lagi menerima rizki-rizki itu, barulah mereka menyadari siapa sebenarnya manusia yang dermawan itu.
Sewaktu jenazah beliau dimandikan, terlihatlah ada bekas menghitam di punggungnya, sehingga bertanyalah orang-orang yang memandikan jenazah,  "Bekas apakah ini?"  Sebagian orang yang hadir menjawab, "Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke 100 (seratus) rumah di Madinah ini."  Setelah wafatnya Zainul Abidin - terputuslah bantuan bagi fakir miskin tersebut.

Pembebasan budak yang dilakukan Ali bin Husain secara besar-besaran disebarluaskan oleh para perantau ke Timur dan Barat.  Tingkah-laku beliau semasa hidupnya seolah-olah seperti cerita dongeng 1001 malam yang direkayasa saja, dan banyaknya melebihi hitungan orang yang mencoba menghitungnya.
Zainul Abidin biasa memerdekakan budak yang bekerja dengan baik sebagai imbalan bagi prestasi mereka.  Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur dipukul atau dianiaya sebagai tebusannya.  Diriwayatkan bahwa beliau telah memerdekakan 1000 (seribu) orang budak, dan tidak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari setahun.  Kebanyakan dari mereka dimerdekakan pada malam Idul Fitri, malam yang penuh berkah.  Dimintanya mereka menghadap Kiblat dan berdo'a, "Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain," Sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua kali lipat untuk berlebaran, agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat pula.

Beliau dicintai dan dihormati oleh segenap penduduk Madinah.  Bila beliau berjalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu memperhatikannya dari pinggir-pinggir jalan.
Pernah Hisyam bin Abdul Malik ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Makkah untuk berhaji.  Ketika beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawalnya memerintahkan orang-orang agar melapangkan jalan untuknya.  Namun, mereka tidak mau minggir dan tidak menghiraukan rombongan Amirul Mukminin, karena itu merupakan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua manusia adalah hamba-Nya.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara tahlil (Laa Ilaaha Illallah) dan takbir (Allahu akbar ),  di tengah-tengah kerumunan manusia terlihat seseorang yang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, tampak tenang dan berwibawa.  Dia mengenakan kain dan jubah, di dahinya tampak bekas sujud.  Orang-orang berdiri berjejer, menyambutnya dengan pandangan penuh cinta dan kerinduan.  Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.
Seorang pengawal menoleh ke arah Hisyam bin Abdul Malik, "Siapa orang yang dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?"  Hisyam berkata, "Aku tidak tahu."  Kebetulan di dekat itu ada Faradzak, lalu ia berkata, "Barangkali Hisyam tidak kenal, tetapi saya mengenalnya.  Beliau adalah Ali bin Husain."  Selanjutnya ia melantunkan syair;
Orang ini, bebatuan yang diinjaknya pun mengenalnya
Tanah haram dan Baitullah pun mengenalnya
Dialah putera terbaik di antara hamba Allah seluruhnya
Berjiwa takwa, suci, bersih, dan luas ilmunya
Dialah cucu Fatimah jika anda belum mengenalnya
Cicit dari orang yang Allah menutup para Nabi dengannya 
Pertanyaanmu, "Siapa dia" tak mengurangi ketenarannya 
Orang Arab dan Ajam mengenalnya, meski kau tak mengenalinya 
Kedua tangannya laksana hujan yang semua memanfaatkannya 
Manusia membutuhkan uluran tangannya 
Tak ada yang dikecewakan olehnya 
Tiada pernah berkata "tidak" selain dalam tasyahudnya 
Kalaulah bukan karena syahadat, niscaya hanya ada kata "iya"
Menyebarkan kebaikan di tengah-tengah manusia 
Sirnalah kezhaliman, kemiskinan, dan papa 
Jika orang Quraisy melihatnya pastilah berkata, "Setinggi itukah kemuliaannya?"
Tertunduk mata karena malu padanya 
Merasa kerdil melihat kehebatannya 
Tak pernah lupa tersenyum tatkala berkata-kata 
Di tangannya tergenggam tongkat yang harum aromanya 
Dari tangan manusia cerdas hidung mencium aroma wanginya 
Keturunan Rasulullah dia asalnya 
Alangkah mulia asalnya, akhlaknya, dan juga perangainya 
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai cicit Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini, dan Beliau pun ridha.  Sungguh, beliau adalah potret yang sebenarnya dari manusia yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik tatkala sedang sendiri maupun di tengah keramaian, memenuhi jiwanya dengan ketakutan terhadap siksa Allah, dan harapan terhadap limpahan pahala dan rahmat-Nya.

oOo 

(Disadur dari kitab, Jejak para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya, Pust. At-Tibyan)







Senin, 18 November 2019

KEJUJURAN BERBUAH SURGA


بسم الله الر حمان الر حيم 

Al-Imam Muhammad bin Sirin Al-Bashri atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sirin, adalah seorang pemuka generasi terbaik Islam Tabi'in, seorang 'ulama Ahli Hadits dan Fiqih (Wafat Tahun 110 H / 729 M), memiliki kisah hidup yang menarik untuk diteladani.  Berikut sekelumit kisahnya.
Beliau pernah berkata;

"Carilah apa yang ditakdirkan bagimu dari jalan yang halal.  Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal - engkau tidak akan mendapatkan kecuali apa yang telah ditakdirkan bagimu."

Ibnu Sirin pernah menolak pemberian uang sebesar 3.000 dirham (sekira 11,5 juta Rupiah) dari Penguasa waktu itu - setelah beliau menasihati Penguasa tersebut.  Lalu, ada yang bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari Amir (Kepala Negara) itu?"
Beliau menjawab, "Dia memberiku uang karena mengira aku adalah orang baik.  Bila benar aku orang yang baik, tidak sepantasnya aku mengambil uang itu.  Namun, jika aku tidak seperti yang ia duga, tentu lebih tidak pantas lagi aku menerimanya."

Suatu hari, Ibnu Sirin membeli minyak satu bejana penuh seharga 40.000 dirham (sekira 154 juta Rupiah) yang dibayar belakangan.  Setelah diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang telah membusuk di dalamnya.  Dia berpikir sejenak, "Minyak ini ditampung dalam satu wadah, dan najisnya tentu tidak hanya di sekitar bangkai tikus itu.  Jika aku mengembalikan kepada penjual itu - pasti ia akan menjualnya kembali pada orang lain."  Maka, dibuangnyalah semua minyak yang ada di dalam bejana tadi, sehingga beliau mengalami kerugian besar.  Akhirnya beliau terbelit hutang kepada penjualnya.   Karena beliau tidak mampu untuk membayar, orang itu mengadukan persoalannya kepada hakim.  Akhirnya beliau dipenjarakan hingga melunasi hutangnya.  Cukup lama beliau dipenjara, hingga Sipir (penjaga penjara) merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketaqwaannya dalam ibadah.  Dia berkata, "Wahai syaikh, pulanglah kepada keluargamu bila malam tiba, dan kembalilah kemari pada pagi harinya.  Anda bisa melakukan itu sampai saat bebas nanti."
Beliau menolak, "Tidak, Demi Allah aku tidak akan melakukan hal itu."
Penjaga berkata, "Mengapa?"
Beliau menjawab, "Aku tidak akan membantumu untuk menghianati Pemerintah!"

Muhammad Ibnu Sirin meninggal pada usia 77 tahun.  Dalam wafatnya didapati beliau ringan dari beban dunia, dan penuh perbekalan untuk menempuh kehidupan yang baru setelah kematiannya.  Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita;  "Marwan Al-Mahmali, adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melakukan ketaatan-ketaatan.  Tatkala dia meninggal kami ikut bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi - dan aku bertanya kepadanya, 'Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu terhadapmu?'  Dia menjawab, 'Allah memasukkan aku ke dalam Surga-Nya.'
"Kemudian apa?' Timpalku.
Dia menjawab, 'Kemudian aku diangkat ke derajat Ash-Shabul Yamin.
Aku bertanya lagi, 'Lalu, apalagi?'
Dia menjawab, 'Lalu aku diangkat ke derajat Muqarrabin (Orang-orang yang didekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala).'
Aku bertanya, 'Siapakah yang engkau lihat di sana?'
Ia menjawab, 'Aku melihat Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.'"


Renungan;
Kejujuran yang paling berat adalah terhadap diri sendiri, meyakini bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala Sebagai Satu-satunya sumber kebenaran, Yang selalu mengawasi hamba dalam setiap keadaan.  Menjadikan-Nya sebagai tujuan hidup.  Dan, menempatkan Kebenaran tersebut di atas segala-galanya, baik di dalam hati, dalam, maupun tindakan (perbuatan), (pen blog).

oOo 



Minggu, 17 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (42)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Dunia ini diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan.  Yang halalnya akan dihisab - yang haramnya akan berujung siksa.  Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin senantiasa dalam kesusahan."
(Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah)

"Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat dengan Agama kita?  Kita telah menelantarkan Agama kita dan mensejahterakan dunia kita.  Kita merusak akhlak kita, memperbarui rumah, ranjang, serta pakaian kita..."

(Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah)

oOo 

Rabu, 13 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (41)


بسم الله الر حمان الر حيم 

"Seorang yang ikhlas kepada Rabb-nya, ibarat orang yang berjalan di atas pasir.  Tidak terdengar langkahnya namun terlihat jejaknya."
(Sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

"Laki-laki (sejati) adalah orang yang takut akan kematian hatinya, bukan kematian badannya.  Karena kebanyakan dari manusia takut akan kematian badan mereka - namun tidak peduli dengan kematian hatinya."
(Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah)

oOo 

Selasa, 12 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA ' ULAMA SALAF (40)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Apakah aku seorang yang ma'shum  (terbebas dari dosa)?  Sehingga aku tidak perlu ruju' (kembali kepada kebenaran)?  Orang-orang yang tidak mau ruju' berarti dia seorang yang fanatik (taqlid buta).  Demi Allah!  Sungguh telah ruju' kepada kebenaran orang-orang yang jauh lebih 'alim daripada diriku, dan lebih memiliki kedudukan dibandingkan aku, dan berbagai kelebihan lainnya.  Ruju' (kembali pada kebenaran) merupakan keutamaan bagi mereka.  Dan kami berupaya untuk menyerupai mereka.  Sesungguhnya, berupaya menyerupai orang-orang yang mulia adalah suatu keberuntungan."
(Al-Allamah Al-Albani)

oOo 

UNTAIAN MUTIARA PARA ' ULAMA SALAF (39)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Sesungguhnya perumpamaan seorang 'ulama adalah seperti pelita.  Siapa yang datang kepadanya akan mendapatkan ilmunya, namun tidak mengurangi ilmunya sedikit pun.  Seperti orang yang mendapatkan cahaya pelita - tidak mengurangi cahayanya sedikitpun."
(Sufyan bin Uyainah rahimahullah)

"Lelaki sejati adalah seorang yang menyimpan penderitaannya seorang diri, tanpa membuat susah keluarganya."
(Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullah)

"Seseorang yang berbakti pada kedua orangtuanya tidak akan mendapatkan kematian yang jelek."
(Sa'id bin Musayyab rahimahullah)

oOo 





UNTAIAN MUTIARA PARA ‘ULAMA SALAF (38)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Tatkala hati seorang lelaki terpaut pada seorang wanita - meski boleh-boleh saja.  Tetapi, hatinya akan menjadi tawanan wanita tersebut, ia-lah yang akan mengendalikan dan mengatur gerak-geriknya sesuai keinginannya.  Karenanya, masalah tertawannya hati jauh lebih besar daripada tertawannya jasad.  Dan, masalah perbudakan hati juga jauh lebih besar daripada perbudakan jasad."
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

"Aku pernah menguji sifat-sifat para lelaki, maka aku mendapati, bahwa yang paling mulia adalah KEJUJURAN DALAM UCAPAN.  Barangsiapa yang tidak memiliki keutamaan sifat jujur, berarti dia telah celaka karena kehilangan akhlak yang paling mulia."
(Iyyas bin Mu'awiyah rahimahullah)

"Yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah, sifat kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri."
(Amirul mukminin, Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu)

oOo 

Senin, 11 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (37)


بسم الله الر حمان الر حيم


TIGA TIPE LAKI-LAKI 

Berkata Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu,
"Ada 3 (tiga) tipe laki-laki;

Tipe Pertama;  
Laki-laki yang menjaga kehormatannya, muslim, cerdas, yang memberikan arahan-arahan yang benar pada setiap permasalahan - ketika permasalahan tersebut datang (tersamarkan bagi orang lain).  Jika ada permasalahan, maka ia mampu mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut dengan pendapatnya.

Tipe Kedua;
Laki-laki yang menjaga kehormatannya, muslim, tidak memiliki pendapat, namun jika menemukan suatu permasalahan ia mendatangi orang yang memiliki pendapat (kapasitas), dan yang pantas diajak bermusyawarah, serta meminta arahannya, kemudian ia menta'ati arahan orang tersebut.

Tipe Ketiga;
Laki-laki yang bingung dan serampangan, tidak memiliki dan tidak pula mau meminta arahan, serta tidak menta'ati orang yang memberikan arahan (yang benar) padanya."

oOo

(Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jilid 3/560, no. 17147)



Sabtu, 09 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (36)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Sesungguhnya setiap ayat dalam Al-Qur'an dapat menghidupkan hati, sebagaimana bumi yang dihidupkan oleh air (setelah kematiannya)."

(Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah)

"Niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah untuk mengangkat kebodohan dari diri sendiri."
(Al-Imam Ahmad rahimahullah)

"Wajib hukumnya bagi setiap pasangan suami-isteri untuk menunaikan hak satu sama lain, dengan kelonggaran jiwa dan kelapangan dada."
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

oOo 


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (35)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Seandainya seorang isteri mampu bersabar terhadap suaminya - dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunggu pertolongan-Nya, dan tetap menunaikan hak suaminya, meskipun suaminya kurang dalam memenuhi haknya, maka kesudahan yang baik pasti akan dia dapatkan."
(Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)


oOo 

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (34)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Para ‘ulama telah bersepakat, bahwa apabila seseorang telah mengetahui kebenaran, maka tidak diperbolehkan (haram) baginya untuk bertaqlid pada seseorang yang menyelisihi kebenaran tersebut."
(Al-'Allamah Rabi' bin Hadi)

oOo 

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (33)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Barangsiapa yang mengamalkan suatu bid’ah dalam Agama, maka syaithan akan menjadikannya bersemangat dalam beribadah, atau membuatnya khusyu' dan banyak menangis, agar syaithan bisa menyeret korbannya lebih banyak lagi melalui orang itu."
(Al-Imam Abdurrahman bin 'Amr Al-Auza'iy)


oOo 

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (32)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Bukanlah yang diinginkan Ilmu itu tersimpannya ilmu di dalam dada.  Karena ilmu itu bukanlah untukmu seorang.  Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapatkan Ilmu Syar'i, maka hendaklah dia menyebarkannya dan menjelaskannya kepada manusia."
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (31)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Tanamkanlah dalam hatimu 3 (tiga) perkara;  
Jika engkau beramal, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa mengamatimu,   
Jika engkau berbicara, ingatlah bahwa Allah mendengarmu,  
Jika engkau diam, maka ingatlah bahwa Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam hatimu."
(Al-Imam Hatim Al-'Asham rahimahullah)

oOo 


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (30)


بسم الله الر حمان الر حيم 

"Gambaran dakwah adalah, seperti sesuatu yang berlalu dengan cepat.  Tak seorangpun yang sanggup menghadangnya.  Sementara kita, adalah orang yang menggantungkan diri padanya  (Dakwah As-Salafiyyah).  Bila kita lemah menggantungkan diri, apalagi sampai terlepas, maka kita akan ditinggalkan oleh dakwah yang sedang berjalan ini."*
(Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy rahimahullah)

*  Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan tetap memenangkan Dakwah ini dengan atau tanpa kita.  Sehingga, bila kita melewatkan kesempatan yang berharga ini, yang rugi adalah diri kita sendiri, (pen blog).

oOo 

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (29)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Bukti sehatnya keimanan seseorang adalah, bila kerinduannya terhadap suatu maksiat semakin menggelora, sementara dia mampu, serta memiliki kesempatan untuk melakukannya.  Namun, dia tinggalkan karena Allah 'Azza wa Jalla, padahal dia berada di tempat yang tak seorangpun melihatnya - kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Maka, itu adalah bukti sehatnya iman seseorang."
(Al-Hafizh Ibnu Rajab)


oOo 

Jumat, 08 November 2019

ZAID BIN TSABIT


بسم  الله الر حمان الر حيم

"Siapa lagi yang akan melantunkan bait-bait sya'ir setelah Hasan dan puteranya, dan siapa yang akan menjelaskan makna-maknanya setelah Zaid bin Tsabit."
(Hasan bin Tsabit)

Tahun kedua Hijrah...
Kota Rasulullah sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi perang Badar.  Sementara itu, Yang Mulia Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan inspeksi akhir terhadap pasukan pertama yang akan bergerak di bawah komando Beliau untuk berjuang di jalan Allah, menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.
Seorang anak muda yang belum genap berusia 13 tahun, anak muda yang menyimpan kecerdasan dan kecerdikan, membawa keunggulan dan kesetiaan masuk dalam barikade pasukan yang berbaris saat itu.
Sebuah pedang tertenteng di tangannya.  Panjangnya sama tinggi dengan tinggi tubuhnya, atau bahkan lebih sedikit.  Anak muda itu mendekati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Aku akan korbankan diriku demi Anda, wahai Rasulullah!!  Izinkan aku berangkat bersama Anda.  Aku ingin berjuang dan berjihad melawan musuh Allah di bawah panji-panji Anda," pinta anak muda itu.
Rasulullah Yang Mulia memandangnya, dipenuhi rasa bahagia, sekaligus haru dan kagum.  Beliau menepuk pundaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang.  Beliau menenangkan anak muda itu, kemudian menyuruhnya pulang karena umurnya masih terlalu muda.

Pedang itu ia seret di atas tanah.  Rasa sedih dan sesal menyelimuti dirinya.  Wajar, karena ia belum bisa meraih kehormatan menyertai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam perang pertama yang Beliau lakukan.
Ibunya, An-Nawar bintu Malik menyusul anak muda tadi.  Ia tak kalah sedih dan menyesal dibandingkan anaknya.  Wanita itu berharap bisa berbahagia dengan melihat sang putera (pujaan hati) berjalan bersama pasukan kaum muslimin, untuk bertempur di bawah panji-panji Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Ia sangat berharap anaknya itu bisa meraih kedudukan yang diharapkan ayahnya - ketika masih hidup di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Akan tetapi, anak muda Anshar itu belum saatnya untuk merapat ke pasukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dalam kancah peperangan karena usianya yang terlalu muda.  Akan tetapi, kecerdikannya membuka peluang lain yang tidak terkait dengan umurnya untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Peluang itu adalah ilmu dan hapalan.  Anak muda tersebut langsung menceritakan idenya pada sang ibu.  Segurat senyum mengembang di wajah sang ibu - menanggapi inisiatif pujaan dan dambaan hatinya,  Senyum kebahagian dan kebanggaan yang sentiasa memicu semangatnya untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Lalu, An-Nawar menyampaikan tekad besar sang anak kepada kaumnya.  Ia mengutarakan gagasan itu.  Maka, serta-merta mereka bergegas menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Wahai Nabi Allah!!  Ini adalah putera kami Zaid bin Tsabit, ia sudah hapal 17 surat dalam Kitabullah.  Ia membacanya dengan benar sebagaimana yang diwahyukan ke dalam hati Anda.  Tidak hanya itu, ia juga cakap lagi mahir dalam baca-tulis.  Ia ingin sekali berada di samping Anda dengan kemampuannya itu, dan menyertaimu.  Jika Engkau bekenan, dengarkanlah bacaannya," kata mereka.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersedia mendengarkan sebagian hapalan anak muda (Zaid bin Tsabit) itu.  Ternyata bacaannya sangat lancar, pengucapannya sangat fasih.  Kalimat-kalimat Al-Qur'an yang diucapkan bercahaya di antara kedua bibirnya, laksana cahaya bintang-gemintang di hamparan langit.
Bacaan Zaid bin Tsabit ternyata memberikan pengaruh terhadap diri Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Waqaf-waqafnya (tempat-tempat jeda saat membaca, pen.) menunjukkan, bahwa anak muda itu memahami, dan mengerti betul apa yang dia lantunkan.
Bukan main bahagianya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika itu, karena ternyata kemampuan Zaid lebih baik dari apa yang mereka perkirakan.  Kebahagiaan Beliau bertambah lagi dengan keahlian dan kemampuan Zaid dalam hal tulis-menulis.  Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam melayangkan pandangan Beliau ke arah Zaid, seraya bersabda,
"Wahai Zaid, pelajarilah tulisan orang-orang Yahudi, karena aku tidak percaya terhadap mereka atas apa yang aku katakan!!"  Perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Zaid.
Maka dengan bangga bercampur bahagia Zaid berkata, "Baiklah, wahai Rasulullah!!"
Sejak saat itu Zaid langsung berkonsentrasi mempelajari bahasa Ibrani.   Dan, dalam waktu singkat ia mampu menguasainya.  Dengan bahasa tersebut ia menuliskan surat-surat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk orang-orang Yahudi.  Dan Zaid pun membacakan surat-surat orang Yahudi ketika mereka membalasnya untuk Beliau.
Kemudian Zaid mempelajari bahasa Suryani(1)  atas perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana ia juga mempelajari bahasa Ibrani.  Maka, jadilah Zaid bin Tsabit sebagai penterjemah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat yakin dengan amanah, kekuatan hapalan, dan pemahaman Zaid.  Nabi mempercayakan Risalah langit yang turun kepada Beliau.  Akhirnya Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menunjuknya sebagai penulis dan pencatat wahyu.
Jika satu ayat Al-Qur’an turun, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengundang Zaid, dan bersabda,
" Tulislah, wahai Zaid!!"
Maka, Zaid pun menuliskannya.  Saat itulah ia mengambil Al-Qur'an dari Beliau.  Sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu ia pun tumbuh dan berkembang bersama ayat-ayat-Nya.
Zaid mengambil Al-Qur'an langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Dari sumber mata air yang masih bening, suci, murni lagi segar, yang berhubungan langsung dengan sebab turunnya ayat.  Jiwanya pun bersih dan bersinar karenanya, dengan cahaya hidayah.  Akalnya bercahaya dengan rahasia-rahasia syariat-Nya.
Anak muda itu tumbuh menjadi seseorang yang ahli tentang Al-Qur’an. Ia pun menjadi rujukan pertama bagi ummat setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat.  Dialah tokoh, sekaligus pelopor pengumpul Al-Qur'an di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu, dialah orang pertama yang mengawali dan penyatuan mushaf-mushaf pada zaman Utsman Radhiyallahu 'Anhu.
Adakah setelah kedudukan ini - ada kedudukan lain yang lebih tinggi dan diidam-idamkan manusia?
Adakah setelah kemuliaan ini - kemuliaan yang diidam-idamkan oleh jiwa-jiwa manusia?

Di antara keutamaan Al-Qur'an yang dirasakan oleh Zaid bin Tsabit adalah, bahwa ia senantiasa menunjukkan dan menerangi jalan kebenaran baginya - sementara orang-orang yang merasa memiliki akal-pikiran kebingungan.  Pada hari Sakifah, kaum muslimin berbeda pendapat tentang khalifah yang akan menggantikan Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam.

"Khalifah dan pengganti Rasulullah ada di tangan kami, kami berhak atasnya," kata orang-orang Muhajirin.
"Tidak, Khalifah ada di tangan kami, kami lebih berhak atasnya," kata orang-orang Anshar.
"Khalifah ada di tangan kita, dan di tangan kalian sekaligus.  Jika Rasulullah menyerahkan sebuah tugas kepada salah seorang dari kalian, Beliau menggandengkan seorang dari kami dengannya," kata yang lainnya.
Fitnah besar pun hampir-hampir saja meletus.  Sementara jasad Yang Mulia Nabi Shallallahu ' Alaihi wa Sallam masih terbujur kaku di tengah-tengah mereka, dan belum sempat dimakamkan.
Keputusan yang lurus, yang dinaungi oleh cahaya Al-Qur'an harus segera diambil.  Keputusan yang mampu memadamkan gejolak api fitnah di tengah-tengah mereka, sekaligus menerangi jalan orang-orang yang bingung.
Sebuah kalimat terucap dari lisan Zaid bin Tsabit Al-Anshari Radhiyallahu 'Anhu.
Zaid memandang kaumnya dan berkata,
"Wahai orang-orang Anshar, sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin, maka pengganti Beliau semestinya dari  (kalangan) mereka.  Kita adalah Anshar  (Para Penolong) Rasulullah, maka kita adalah penolong bagi Khalifah Pengganti, dan membantunya di atas kebenaran."
Kemudian Zaid mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar, seraya berkata, "Ini adalah Khalifah dan Pemimpin kalian, berbai'at-lah kepadanya."

Zaid menjadi puncak dan tiang bagi kaum muslimin, berkat kedekatannya, dan pemahamannya terhadap Al-Qur'an, serta lamanya menjadi Sahabat Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam.  Juga sahabat para Al Khulafa' Ar Rasyidin setelah Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam, yang meminta pendapatnya disaat menghadapi perkara-perkara sulit.  Kebanyakan kaum meminta pendapatnya tatkala menghadapi perkara-perkara yang sulit dan pelik.  Mereka merujuk kepadanya secara khusus dalam bidang Ilmu Waris, karena pada saat itu di antara kaum muslimin tidak ada yang lebih mengetahui hukum-hukum-Nya, dan lebih ahli dalam bidang pembagian warisan daripada Zaid.

Umar berkhotbah dari Al-Jabiyah di hadapan kaum muslimin, ia berkata,
"Wahai manusia, barangsiapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, maka hendaklah dia menemui Zaid bin Tsabit.  Barangsiapa yang hendak bertanya tentang Fikih, maka hendaklah dia menemui Mu'adz bin Jabal.  Barangsiapa yang hendak bertanya tentang harta, maka hendaklah dia menemuiku, karena Allah menjadikanku sebagai pembagi dan pengurusnya. "
Para penuntut ilmu dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, mereka mengakui kadar dan kedudukan, serta posisi Zaid bin Tsabit.  Mereka juga menghormatinya dan mengagungkannya karena ilmu yang bersemayam di dalam dadanya.
Adalah lautan ilmu Abdullah bin Abbas.  Suatu ketika melihat Zaid bin Tsabit hendak mengendarai hewan tunggangannya, dia berdiri di hadapannya, memegangi pelana dan tali kekangnya.  Maka Zaid bin Tsabit pun berkata, "Biarkan, wahai sepupu Rasulullah."
Ibnu Abbas berkata, "Demikianlah kami diperintahkan untuk memperlakukan 'ulama kita."
Zaid berkata kepadanya,  "Ulurkan tanganmu."
Ibnu Abbas pun mengulurkan tangannya.  Disaat itulah Zaid menciumnya dan berkata, "Demikianlah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Rasulullah."

Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ' Anhu berpulang ke hadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala, kaum muslimin menangisi kematian ilmu yang akan dikubur bersama pemiliknya.  Abu Hurairah Radhiyallahu ' Anhu berkata, "Hari ini, 'ulama besar ummat ini telah meninggal.  Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penerusnya."

Penyair andalan Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam Hasan bin Tsabit memujinya sekaligus menghibur diri,
"Siapa lagi yang akan melantunkan bait-bait sya'ir setelah Hasan dan puteranya, dan siapa lagi yang bakal menjelaskan makna-maknanya setelah Zaid bin Tsabit."


oOo

(Disadur dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)
(1) Salah satu bahasa tinggi yang digunakan berbagai bangsa.


  

Kamis, 07 November 2019

'ABBAD BIN BISYR



بسم  الله  الرحمان  الر حيم 

"Tiga orang Anshar yang tidak seorang pun melebihi keutamaannya.  Mereka adalah Sa'ad bin Mu'adz, Usaid bin Al-Hudair, dan 'Abbad bin Bisyr."
('Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anha)

'Abbad bin Bisyr, sebuah nama yang benderang, serta bercahaya dalam lembaran sejarah dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Jika engkau mencarinya dari deretan ahli ibadah, engkau akan mendapati ia termasuk di antara orang yang sentiasa menegakkan malamnya dengan berjuz-juz bacaan Al-Qur'an.
Jika engkau mencarinya di antara deretan para pahlawan, engkau akan dapati ia termasuk seorang yang gagah berani, pembela lagi rela berkorban dalam pertempuran - demi meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika engkau mencarinya dari deretan para pemimpin, engkau akan dapati ia seorang yang kuat lagi amanah, dan dapat dipercaya dalam mengurus harta-harta kaum muslimin.

Dahulu 'Abbad bin Bisyr Al-Asyhali ketika muncul di kota Yatsrib pada awal naungan dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah seorang pemuda belia.  Tampak dari wajahnya penjagaan diri dan kesucian.  Terpancarlah dari perilakunya kepandaian dan kecerdasan, padahal kala itu ia belum mencapai 25 (tahun) dari umurnya yang penuh kebahagiaan.
'Abbad bin Bisyr bergabung dengan salah seorang da'i muda di kota Makkah Mush'ab bin 'Umair.  Dengan cepat, hati keduanya pun luluh dan menyatu karena ikatan iman.  Jiwa keduanya pun bersatu karena kemuliaan dan kebagusan sifat-sifat dan perangai.
Pernah ia memperdengarkan bacaan Al-Qur'an-nya kepada Mush'ab dengan lantunan suara yang merdu - penuh kepiluan.  Maka, meluaplah kecintaannya terhadap Kalamullah.  Mengambil tempat di lubuk hatinya yang paling dalam.  Hingga, ia menjadikan kesibukan hari-hari dan kebiasaannya untuk membaca Al-Qur’an sepanjang siang dan malam, kala menetap maupun dalam perjalanan.  Sampai ia menjadi terkenal di kalangan para Sahabat Radhiyallahu'Anhuma sebagai seorang imam dan pembenar Al-Qur'an.

Suatu malam, ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengerjakan shalat tahajjud di rumah 'Aisyah radhiyallahu 'anha yang berdekatan dengan masjid, Beliau mendengar lantunan suara 'Abbad membaca Al-Qur’an, lembut dan keras, sebagaimana Malaikat Jibril mewahyukannya ke dalam hati Beliau.
"Apakah itu suara "Abbad bin Bisyr, wahai 'Aisyah?" Tanya Beliau.
"Iya," jawab 'Aisyah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melanjutkan, "Semoga Allah memberikan ampunan padanya."

'Abbad bin Bisyr senantiasa mengikuti seluruh pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dan, dalam setiap pertempuran tersebut ia senantiasa  berposisi layaknya pembawa dan pengemban Al-Qur'an.
Tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersama rombongan pulang dari salah satu pertempuran Riqa', Beliau singgah di sebuah perkampungan muslimin untuk bermalam di sana.  Salah seorang dari penduduk muslimin  berhasil menawan seorang wanita musyrik  (dalam peperangan tersebut), ketika ia sedang ditinggalkan oleh suaminya.  Tatkala sang suami datang, ia tidak menemukan isterinya.  Maka, ia bersumpah dengan nama Latta dan 'Uzza  (Nama-nama berhala mereka), akan membuntuti Muhammad beserta para Sahabatnya, dan tidak akan kembali hingga ia membunuh mereka.

Kaum muslimin tetap singgah dan tinggal di perkampungan tersebut.  Mereka menambatkan kendaraan-kendaraan mereka.  Sampai akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya kepada para Sahabat,
"Siapa yang akan berjaga-jaga pada malam ini?"
"Kami, wahai Rasulullah!" Kata 'Abbad bin Bisyr seraya bangkit - diikuti oleh 'Ammar bin Yasir.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mempersaudarakan keduanya pada saat terjadi peristiwa hijrah ke kota Madinah.
Tatkala mereka berdua keluar menuju ujung perkampungan, 'Abbad berkata kepada saudaranya - 'Ammar bin Yasir, "Engkau mau tidur kapan?  Awal malam atau akhir?"
"Aku akan tidur di awal malam," jawab 'Ammar.  Ia lalu berbaring tak jauh dari sisi 'Abbad.
Malam itu sunyi-sepi, tenang lagi lengang.  Bulan, pohon, dan bebatuan bertasbih - mensucikan Rabb mereka.  Jiwa 'Abbad pun rindu untuk beribadah.  Hatinya rindu terhadap Al-Qur'an.
Sungguh, terasa amat manis Al-Qur'an tatkala ia lantunkan dalam shalatnya.  Ia kumpulan darinya dua kesenangan dan kenikmatan sekaligus, kenikmatan shalat dan kenikmatan membaca Al-Qur’an.  Ia menghadap kiblat dan memulai shalat.  Surat Al-Kahfi ia baca dengan suaranya yang merdu, keras lagi penuh kesyahduan.
Di tengah keasyikan dan tenggelam menikmati naungan cahaya dan sinar Ilahi itu, tiba-tiba seorang penyelinap  (musuh) datang dengan cepat.   Ia melihat 'Abbad tengah asyik dalam shalatnya di ujung kampung kaum muslimin.  Laki-laki itu mengetahui, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada dalam kampung tersebut, sedangkan 'Abbad lagi berjaga-jaga.
Pelan-pelan,  ia pun mulai menarik senar busur panahnya.  Lalu, mengambil sebuah anak panah dari sarungnya, dan menancaplah anak panah tadi pada badan 'Abbad.
'Abbad dengan santai mencabut anak panah itu dari badannya dan melanjutkan shalat, tenggelam dalam kenikmatannya.
Anak panah kedua pun demikian.  Menancap dan masuk ke badannya.  Sama halnya dengan anak panah sebelumnya, ia cabut lalu asyik-masyuk lagi dengan shalatnya.
Laki-laki itu lagi-lagi membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai badan 'Abbad.  Lagi-lagi 'Abbad mencabutnya seperti kedua anak panah sebelumnya.  Kemudian, dengan merangkak dan perlahan ia berhasil mendekati 'Ammar, lalu Membangunkannya.
"Bangun, aku terluka!"  Kata 'Abbad kepada 'Ammar.
Dan, tatkala laki-laki penyusup itu melihat 'Abbad dan 'Ammar, ia pun kabur - melarikan diri.
'Ammar pun menyaksikan banyak darah bercucuran dari tubuh 'Abbad, karena tiga anak panah yang bersarang di badannya.
"Subhanallah!!  Kenapa engkau tidak membangunkanku ketika pertama kali terkena panah?"  Ucapnya iba.
"Saat itu aku sedang membaca surat kesukaanku,  dan aku tidak ingin memutusnya hingga aku menyelesaikannya," jawab 'Abbad.
Ia menambahkan, "Demi Allah, kalaulah bukan karena ketakutanku telah melalaikan penjagaan perbatasan ini - sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepadaku, niscaya aku lebih suka badanku terputus daripada memutus surat itu."

Tatkala pertempuran karena kasus murtad (keluar dari Islam) berkobar pada masa Abu Bakar, sang khalifah menyiapkan pasukan yang besar untuk memadamkan api fitnah yang dinyalakan oleh  Musailamah Al-Kadzdzab (si Nabi Palsu), dan membasmi serta memusnahkan kemunculan orang-orang yang murtad.  Lalu, mengembalikan mereka ke dalam agama Islam.  'Abbad bin Bisyr termasuk salah satu dari sederetan pasukan.
'Abbad melihat di sela-sela pertempuran yang dilakukan kaum muslimin yang hampir-hampir tidak mendapatkan pertolongan - karena kaum Anshar merasa lebih tinggi dari kaum Muhajirin.  Demikian pula kaum Muhajirin merasa lebih dari kaum Anshar.  Di dalam dada mereka penuh kemarahan dan kemurkaan.  Betapa tidak, ia mendengar mereka saling mencela dan mengejek.  Hingga pendengarannya pun gelisah lagi penuh ganjalan.  Ia yakin, bila kondisi seperti ini terus berlanjut - setiap kelompok merasa paling berjasa - tentu kemenangan dan keberhasilan tidak akan bisa diraih oleh kaum muslimin.  Dan tidak akan diketahui siapa yang benar-benar berjihad dan mampu bersabar.

Pada suatu malam di tengah-tengah peperangan 'Abbad dalam mimpinya melihat langit terbelah untuknya.  Tatkala ia masuk ke dalam langit itu - tiba-tiba tertutup dan terkuncilah ia di dalamnya.
Keesokan harinya, dia menceritakan mimpi tersebut kepada Abu Sa'id Al-Khudriy Radhiyallahu 'Anhu.
"Demi Allah, itu pertanda syahid!"  Jelasnya.
Ketika siang telah benderang dan peperangan dimulai, 'Abbad naik ke sebuah tempat yang tinggi, lalu berteriak,
"Wahai sekalian Anshar, pisahkanlah diri kalian dari manusia!!  Pecahkanlah sarung pedang kalian.  Jangan biarkan Islam binasa dan hancur karena kalian semua!!"
Ia terus mengulang-ulang panggilannya,  hingga terkumpullah sekitar 400 orang yang dipimpin oleh Tsabit bin Qais, Al-Barra' bin Azib, dan Abu Dajanah - si pemilik pedang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
'Abbad bin Bisyr pun berlalu beserta orang-orang yang menyertainya,  menerjang, menerobos, dan membelah barisan musuh dengan pedangnya, hingga Radhiyallahu terkena sabetan pedang di dadanya.  Sampai-sampai akhirnya rusaklah senjata Musailamah Al-Kadzdzab (sang Nabi palsu), lalu ia dan orang-orang yang bersamanya terkepung dalam lahan kematian.
Dan di sana 'Abbad gugur sebagai Syahid dalam keadaan bersimbah darah.  Tubuhnya pun penuh dengan sayatan pedang, tusukan tombak, dan sasaran bidikan anak panah.
Sampai-sampai, mereka tak mengenali lagi jenazah 'Abbad kecuali melalui sebuah tanda yang terdapat di tubuhnya.
Betapa harum jasadnya kelak ketika dibangkitkan di Yaumul Qiyamah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantikan darah yang melumuri tubuhnya kelak dengan minyak wangi yang paling wangi.  
In syaa Allahu.

oOo
(Disadur dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (28)


بسم الله  الرحمان  الر حيم

"Sungguh, akan binasa orang yang hatinya tak mampu mengenal kebaikan (kebenaran) dan membenci keburukan."
(Sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

"Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh Malaikat untuk ditulis, tidak diketahui oleh Syaithan untuk dirusak, dan tidak pula diketahui Hawa nafsu untuk dipalingkan."*
(Al-Junaid bin Muhammad rahimahullah)

* Berarti hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengetahuinya.  Para Nabi dan Rasul, bahkan para Malaikat pun tidak mengetahui, kecuali bila diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, (pen blog).
oOo 

Jumat, 01 November 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (27)


بسم الله الر حمأن الر حيم

"Ingatlah Allah dikala engkau lapang - niscaya Dia akan mengingatmu dikala engkau sempit."
(Sahabat yang mulia, Abud Darda radhiyallahu 'anhu)

"Jadilah engkau seorang yang 'alim, atau seorang pengajar, atau seorang pendengar.  Jangan menjadi orang yang keempat  (Jahil dan Bodoh) - niscaya engkau akan binasa."
(Sahabat yang mulia, Abud Darda radhiyallahu 'anhu)

"Abud Darda membentengi dirinya dari dunia dengan kedua tangan dan dadanya."
(Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu)


oOo