Jumat, 01 November 2019

ABDULLAH BIN ABBAS


بسم الله الر حمان الر حيم

"Pemuda ini, layaknya seorang dewasa yang lisannya penuh pertanyaan, dan hatinya penuh dengan ide dan ilmu."
(Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu)

Sahabat yang mulia ini telah mengumpulkan berbagai keutamaan dari berbagai sisi.  Tidak ada satu pun keutamaan yang luput darinya.
Sungguh, telah terkumpul pada dirinya keutamaan bersahabat  (dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam), walau kelahirannya "tertinggal", namun tidak membuatnya kehilangan keutamaan dari salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Begitu juga keutamaan kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, karena ia adalah anak paman Beliau.
Dalam keutamaan ilmu, ia adalah "tinta" ummat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dengan lautan ilmu yang sangat luas.
Demikian pula keutamaan taqwa yang ada pada dirinya.  Sungguh, ia adalah seorang yang gemar berpuasa di siang hari, dan shalat tahajjud di malam harinya.  Seorang yang selalu beristigfar di waktu sahur, seorang yang selalu menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala - hingga pipinya berkerut disebabkan seringnya menangis.
Dialah Abdullah bin Abbas, pembimbing ummat Muhammad, orang yang paling mengerti tentang Kitabullah (Al-Qur'an), yang paling fakih tentang tafsirnya, yang paling mampu menjelaskan kandungan ayat-ayat-Nya, serta yang paling paham rahasia dan hikmah yang tersembunyi di balik ayat-ayat-Nya.
Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum peristiwa hijrah.  Umurnya bertahan hingga tiga tahun setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Namun demikian, ia telah menghapal 1660 (seribu enamratus enampuluh) hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk kaum muslimin.  Hadits-hadits tersebut disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shohih keduanya.

Tatkala bayi kecil Abdullah bin Abbas lahir, sang ibu membawanya kehadapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun mentahniknya dengan ludah suci yang penuh berkah.  Jadilah ludah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai dzat pertama yang masuk ke dalam mulut Abdullah bin Abbas - seiring dengan masuknya ketakwaan dan hikmah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ومن يوءت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا
"Wa man yukta al-hikmata  faqad' uwtiya khairan katsiyran"
"Dan barangsiapa diberi hikmah, maka ia telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak."  (Al-Baqarah;  269)
Ketika pemuda Hasyim ini telah tumbuh dewasa dan mencapai usia tamyiz, ia pun senantiasa menemani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Layaknya satu mata yang senantiasa bersama pasangannya.  Ia selalu menyiapkan air wudhu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika Beliau ingin berwudhu.  Ia juga berdiri di belakang Beliau ketika shalat.  Sebagai teman, dan yang dibonceng tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bepergian dan safar.  Sampai-sampai ia layaknya bayang-bayang yang senantiasa menaungi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kemanapun Beliau pergi.  Ia selalu berada di sekitar Beliau kemana pun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam beranjak.
Dalam setiap kesempatan itu, Abdullah bin Abbas senantiasa membawa hatinya yang siap menerima ilmu, dan kesucian pikiran yang siap ditulis dengan ilmu.  Dengan demikian, ia menghapal dan menyimpan semua ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tanpa membutuhkan alat-alat perekam modern.

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu  menceritakan kisah hidupnya;
Sekali waktu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak mengambil air wudhu.  Segera aku siapkan air untuk Beliau.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat gembira dengan apa yang aku perbuat.
Kemudian tatkala hendak shalat, Beliau memberi isyarat padaku agar aku berdiri di samping.  Namun, aku berdiri di belakang.  Seusai shalat Beliau menoleh kepadaku,
"Apa yang menghalangimu untuk shalat di sampingku, wahai Abdullah?" Tanya Beliau kepadaku.
"Anda terlalu terhormat di mataku, dan terlalu mulia untuk diriku, wahai Rasulullah," jawabku.
Seketika itu juga Beliau mengangkat kedua tangan ke atas langit sambil melantunkan sebuah do'a,
"Ya Allah, karuniakanlah hikmah kepadanya."
Dan, benar.  Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima dan mengabulkan do'a Nabi-Nya.  Abdullah bin Abbas, pemuda Hasyimiy itu kini mendapatkan hikmah dan ilmu melebihi para pembesar dan tokoh lainnya.
Tak diragukan lagi, anda pasti penasaran dengan sosok, dan kisah penuh hikmah dari Abdullah bin Abbas ini.  Marilah kita simak kisahnya.  Kisah yang sangat sangat diinginkan dan didambakan.
Ketika sebagian pengikut Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu  (Amirul Mukminin) meninggalkan dirinya, karena adanya perselisihan antara dirinya dengan Mu'awiyah.  Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu,
"Ijinkan diriku untuk berdialog dengan mereka, wahai Amirul Mukminin!"
"Tapi, aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu," jawab Ali.
"Tidak apa-apa, in syaa Allah," jawab Ibnu Abbas.
Ia pun akhirnya berangkat menemui mereka.  Sesampainya di tempat mereka, belum pernah Ibnu Abbas mendapati suatu kaum yang lebih bersemangat untuk beribadah dibandingkan mereka.  Mereka berkata menyambut Ibnu Abbas,
"Selamat datang, wahai Ibnu Abbas.  Apa yang membuatmu datang ke sini?"
"Aku ingin berbincang-bincang dengan kalian," jawab Ibnu Abbas.
Sebagian dari mereka berkata, "Jangan kalian melayaninya."
Namun, sebagian yang lain mengatakan, "Silahkan bicara, kami akan mendengarkannya."
Ibnu Abbas berkata, "Sampaikan kepadaku, kenapa kalian memusuhi dan membenci anak paman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, suami dari puteri Beliau, dan orang yang pertama kali beriman kepadanya?"
"Karena 3 (tiga) hal," jawab mereka.
"Apa itu," kata Ibnu Abbas.
Mereka menjawab, "Pertama, ia berhukum dengan hukum manusia dalam agama Allah..."(1)
Kedua, ketika ia berperang dengan A'isyah dan Mu'awiyah, ia tidak mau mengambil ghanimah mapun tawanan...
Yang ketiga, karena ia menghapus gelar "Amirul Mukminin" dari dirinya, padahal kaum muslimin telah sepakat membaiatnya, dan mengangkatnya sebagai Amir dan Pemimpin."
Ibnu Abbas berkata,
"Bagaimana jika aku bacakan Kitabullah dan hadits  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang tidak kalian ingkari, apakah kalian akan kembali?"
"Pasti," jawab mereka.
"Adapun pernyataan kalian, bahwa Ali telah menerima keputusan seseorang dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur'an,
يأيها الذين ذاتها لا تقتلوا الصيد وانتم حرم  ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل مقتل من النعم يحكم به  ذوالفقار عدل منكم
"Yaa aiyuhaa al-ladziyna aamanuw laa taqtuluw ash-shaida wa antum hurumun   wa man qatalahu minkum muta'ammidan fajazaa-un mitslumaa qatala mina anna'ami yahkumubihi  dzawaa 'adlin minkum"
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang ihram.  Barangsiapa yang membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian."  (Al-Maidah;  95)
Aku bersumpah Demi Allah, apakah keputusan seseorang dalam rangka menjaga dan menahan darah mereka, serta memperbaiki hubungan di antara mereka lebih berhak, ataukah keputusan mereka tentang seekor kelinci dengan harga seperempat dirham?"
Mereka menjawab, "Tentu menjaga darah kaum muslimin dan memperbaiki hubungan mereka yang lebih utama."
"Bagaimana?  Apakah jelas perkaranya?"  Lanjut Ibnu Abbas.
"Ya," jawab mereka.
Ibnu Abbas berkata lagi, "Sedangkan pernyataan kalian yang kedua, bahwa ketika Ali berperang (melawan Mu'awiyah dan A'isyah), ia tidak mengambil ghanimah dan tawanan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa SallamApakah kalian rela menjadikan ibunda kalian - 'Aisyah sebagai tawanan dan menghalalkannya?  Kalau kalian menjawab 'ya', maka kalian telah kafir.  Namun, bila kalian menjawab bahwa dia bukan ibunda kalian, maka kalian juga telah kafir.  Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
إنبي أولى بالموءمنين من أنفسهم  وازواجه  امهاتهم
"Annabiyyu aulaa bilmu'miniyna min anfusihim   wa-azwaajuhu ummahaatuhum"
"Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin  (beriman) daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka."  (Al-Ahzab;  6)
"Silahkan kalian tentukan pilihan semau kalian!  Apakah kalian menerimanya?"
"Ya," jawab mereka.
Kemudian Ibnu Abbas berkata, "Yang terakhir, bahwa Ali telah menghapus gelar "Amirul Mukminin" dari dirinya.  Maka dahulu, tatkala terjadi perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah  meminta kaum musyrikin untuk mencantumkan dalam kertas perjanjian itu, "Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah", namun mereka  (orang-orang Quraisy) menjawab, "Jika demikian, berarti kami telah beriman bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan menghalangimu dari Masjidil Haram, dan kami tidak akan memerangimu.  Akan tetapi tulislah, 'Muhammad bin Abdullah'."  Seketika itu Beliau mengalah dan menuruti permintaan mereka seraya mengatakan, "Demi Allah, aku ini benar-benar Rasulullah,  meskipun kalian mendustakanku."
"Apakah kalian menerimanya?"  Kata Ibnu Abbas.
"Tentu, kami menerima," jawab mereka.

Hasil yang gemilang diperoleh dari pertemuan dan dialog itu.  Di dalamnya Abdullah bin Abbas mengeluarkan dan memperlihatkan ilmunya yang sangat dalam, serta hujjahnya yang mematahkan argumentasi lawan.  Kembalilah sebanyak 20.000 orang ke dalam barisan keta'atan.  Mereka kembali tunduk dan ta'at kepada Ali bin Abi Thalib.  Sedangkan 4.000 sisanya tetap keras kepala dan berpaling dari kebenaran.

Pemuda Abdullah bin Abbas ini, senantiasa menempuh jalan apa saja demi mendapatkan ilmu.  Segala daya dan upaya serta kesungguh-sungguhan pun ia curahkan dan kerahkan.
Ia senantiasa menemani dan mereguk mata air ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya.  Sehingga, ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat menuju negeri kekekalan, Abdullah telah menjadi sesosok pribadi yang kokoh, dan menjadi salah seorang 'ulama  (ahli ilmu) dari kalangan para Sahabat.  Mulailah orang-orang mengambil dan belajar ilmu darinya.

Kembali Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu bercerita;
Ketika sampai padaku berita, bahwa ada sebuah hadits melalui salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, pasti aku mendatangi pintu rumahnya.  Aku mendatangi Sahabat tersebut pada siang hari.  Aku hamparkan selendangku di depan pintu rumahnya.   Hempasan debu berterbangan terbawa angin, menerpa dan menghampiriku.  Kalau saja aku meminta ijin untuk masuk dan menemui penghuni rumah, pasti dia akan mengijinkanku.  Namun, aku enggan melakukannya agar tidak mengganggu istirahat siangnya.
Saat ia keluar dan melihat kondisiku, ia bertanya dengan heran kepadaku,
"Wahai anak paman Rasulullah, apa yang membawamu ke sini?  Tidakkah engkau mengirim utusan saja?"
"Aku lebih berhak mendatangimu, karena ilmu itu didatangi, bukan datang dengan sendirinya."  Kemudian aku menanyakan sebuah hadits kepada Sahabat tersebut.

Walaupun Ibnu Abbas merendahkan dirinya demi mendapatkan sebuah ilmu, tetapi tetap saja dirinya tinggi, layaknya seorang 'ulama.
Adalah Zaid bin Tsabit, sang pencatat wahyu, tokoh penduduk Madinah dalam bidang Qadha', dan Ilmu Waris, serta Qira'ah.  Ia bermaksud menaiki kendaraannya, maka pemuda Hasyimiy (Bani Hasyim) Abdullah bin Abbas berdiri di hadapannya layaknya seorang budak ketika menghadap majikannya.  Kendaraan ia tahan dan ia pegang tali kekangnya.
"Jangan engkau seperti itu, wahai anak paman Rasulullah!"  Pinta Zaid.
"Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati para 'ulama," jawab Ibnu Abbas.
"Perlihatkan tanganmu," pinta Zaid.
Abdullah bin Abbas pun menjulurkan tangannya.  Maka Zaid mendekat dan mengambil tangan itu, lalu menciumnya.
"Demikianlah kami diperintahkan untuk memuliakan keluarga Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam," kata Zaid.
Sungguh, menuntut ilmu telah menjadi jalan hidup Abdullah bin Abbas Radhiyallahu.  Oleh karena itu ia tampil dan menjadi seorang 'ulama yang mencengangkan dan menakjubkan.
Masruq bin Ajda', salah seorang tokoh bercerita tentang Abdullah bin Abbas;
"Dahulu, ketika melihat paras dan kepribadian Abdullah bin Abbas, aku selalu mengatakan ia adalah manusia yang paling tampan.
Dan tatkala aku mendengarkan ia berbicara, aku mengambil kesimpulan bahwa ia adalah manusia yang paling fasih lidahnya.  Dan, ketika beliau menyampaikan ilmu, sungguh ia adalah orang yang paling fakih dan paling mengerti.

Ketika telah genap dan sempurna berbagai ilmu yang ada pada diri Ibnu Abbas, ia mulai mengajarkannya pada segenap orang.  Rumahnya menjadi sebuah universitas bagi para penuntut ilmu.  Sebagai sebuah universitas atau kampus - seperti istilah masa kini.
Namun, universitas Ibnu Abbas dan universitas kita sangat jauh berbeda.  Kalau universitas pada masa kini didukung oleh puluhan bahkan ratusan tenaga pengajar atau dosen.  Sedang universitas Ibnu Abbas hanya berdiri di atas satu orang tenaga pengajar saja, yakni  Ibnu Abbas Radhiyallahu.
Salah seorang muridnya bercerita;
Aku pernah melihat sebuah majelis ilmu di rumah Ibnu Abbas.  Apabila orang-orang Quraisy mau berbangga dengannya, cukuplah itu sebagai sebuah kebanggaan.
Orang-orang memadati jalan menuju rumah Ibnu Abbas, hingga jalan itu menjadi padat dan merayap.  Jalan itu tertutup rapat karena banyaknya orang yang mendatangi rumahnya.  Maka aku segera memberitahu Ibnu Abbas, bahwa orang-orang telah memenuhi depan rumahnya.
"Ambilkan aku air wudhu," kata Ibnu Abbas.
Berwudhu'lah Ibnu Abbas, kemudian ia duduk.
Katakan kepada mereka, barangsiapa yang ingin belajar Al-Qur’an beserta huruf-hurufnya, maka perintahkan masuk."
Aku lalu keluar, dan mengatakannya pada orang-orang.  Masuklah mereka ke dalam rumah hingga memenuhinya, bahkan sampai ke kamar-kamar.  Mereka bertanya tentang Al-Qur’an, lalu Ibnu Abbas menjawabnya.  Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti disampaikan padanya.  Hingga akhirnya Ibnu Abbas berkata,
"Beri jalan bagi saudara-saudara kalian yang lain!"
Maka sebagian mereka keluar dan sebagian lainnya masuk.  Silih berganti berdatangan dan bertanya kepada Abdullah bin Abbas.
Kemudian dia berkata kepadaku,
"Keluarlah, dan katakan kepada orang-orang, barangsiapa yang ingin bertanya, belajar tafsir dan makna Al-Qur’an persilakan masuk.
Aku pun keluar mengatakannya, hingga mereka kembali masuk dan memenuhi rumah serta kamar Ibnu Abbas.  Setiap pertanyaan yang diajukan padanya selalu dijawabnya.  Terus demikian, pertanyaan silih berganti berdatangan, dan semakin bertambah banyak.
"Beri jalan untuk saudara kalian yang lain," kata Ibnu Abbas.
Maka sebagian orang yang sudah bertanya keluar, digantikan oleh orang-orang yang belum bertanya.
Kemudian ia berkata lagi kepadaku,
"Keluarlah, dan katakan kepada mereka, barangsiapa yang ingin bertanya tentang halal dan haram, serta permasalahan fikih, maka persilakan masuk.
Orang-orang pun masuk, memenuhi ruangan dan kamarnya.  Mereka kembali bertanya dan dijawab.
Pertanyaan demi pertanyaan dilayani.   Demikian pula jawaban atas setiap pertanyaan itu juga mengalir dari Ibnu Abbas.
"Beri jalan bagi saudara kalian yang lain," kata Ibnu Abbas.
Mereka akhirnya keluar.
Kembali Ibnu Abbas memerintahkanku untuk keluar dan mengatakan, siapa yang ingin bertanya seputar ilmu waris maka persilakan masuk.  Rumah dan kamar-kamar kembali penuh dengan para penuntut ilmu.  Pertanyaan dan jawaban silih berganti bersahutan.
"Beri kesempatan kepada saudara-saudara kalian yang lain," kata Ibnu Abbas mengulang.
Sekali lagi ia minta diriku untuk keluar dan memberitahu orang-orang, siapa yang ingin bertanya tentang bahasa Arab dan syair, serta berbagai istilah asing bahasa Arab, maka persilakan masuk.  Lagi-lagi kamar dan rumah itu penuh dengan manusia.  Pertanyaan dan jawaban kembali mewarnai majelis itu.
Perawi mengatakan;
"Seandainya orang-orang Quraisy mau berbangga dengan majelis itu, tentu mereka dapat berbangga dengannya."
Begitu besar keinginan Ibnu Abbas menyebarkan ilmu, namun ia tak ingin mengulang metode belajar seperti di atas.  Akhirnya ia memutuskan untuk menjadikan satu hari dengan pelajaran fikih.  Kemudian hari berikutnya pelajaran tentang peperangan, hari setelahnya pelajaran syair, dan hari selanjutnya pelajaran bahasa Arab.
Tak seorang 'alim pun yang duduk di hadapan Ibnu Abbas, melainkan ia merendahkan diri, dan menaruh rasa hormat kepadanya.
Tak seorang penanya pun ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, melainkan ia pasti mendapatkan jawaban ilmu darinya.
Dengan keutamaan ilmu dan hikmah yang ada pada dirinya, Ibnu Abbas pernah ditunjuk sebagai salah seorang Mufti  (Dewan dan Juru Fatwa) oleh Khalifah, padahal ketika itu usianya masih sangat muda.
Setiap ada permasalahan dan persoalan yang dihadapi, Khalifah Umar bin Al-Khaththab mengundang para pembesar dan tokoh dari kalangan Sahabat.  Tak lupa, ia pasti menyertakan Ibnu Abbas Raadhiyallahu - yang masih muda belia duduk bersama mereka.
Ketika Ibnu Abbas Raadhiyallahu hadir, Khalifah meninggikan tempat duduknya, dan justru merendahkan tempat duduknya sendiri, seraya berkata kepadanya,
"Kami sedang menghadapi sebuah permasalahan, dan engkau mengetahui jalan keluarnya."
Suatu ketika, ia duduk bersama para tokoh dan pembesar, serta orang-orang tua, kala itu Ibnu Abbas masih sangat belia.
"Pemuda ini layaknya seorang dewasa, yang lisannya penuh pertanyaan dan hatinya penuh dengan ide dan ilmu," kata Umar kepada para tokoh dan pembesar itu.

Seiring dengan majelis-majelis khusus yang diadakan oleh Ibnu Abbas untuk mengajari mereka, ia juga tak melupakan khalayak ramai.  Ia tetap mengadakan majelis-majelis nasihat dan Wasiat terhadap mereka.
Dalam sebuah nasihat dan wasiat yang ia tujukan kepada para pelaku dosa, ia berkata;
"Wahai para pelaku dosa, janganlah engkau merasa aman dari hukuman dan adzab atas dosamu itu.  Ketahuilah, dibalik sebuah dosa yang engkau perbuat, ada sesuatu yang lebih besar dan mengerikan dibandingkan dosa itu sendiri.
Sungguh, ketiadaan rasa malu kepada para Malaikat pencatat di sebelah kanan maupun kirimu ketika engkau bergelimang dengan dosa adalah sebuah dosa juga.
Tawamu,  saat engkau bergelimang dengan dosa - sementara engkau tidak mengetahui apa yang akan ditimpakan Allah kepadamu adalah dosa yang lebih besar.
Kegembiraan atas dosa yang engkau lakukan adalah sebuah dosa yang lebih besar  (pula).
Kekecewaanmu atas dosa yang tidak bisa (luput) engkau lakukan, adalah sebuah dosa yang lebih besar  (lagi).
Ketakutanmu terhadap angin yang akan menyingkap dan menguak tabir penutup dosa yang engkau lakukan, namun engkau tetap saja menggeluti dosa-dosa tersebut, padahal hatimu tidak lepas dari pengetahuan, dan penglihatan Allah adalah dosa yang lebih besar  (lagi).
Wahai orang-orang yang bergelimang dengan dosa, tidakkah engkau mengetahui, bahwa dosa Nabi Ayyub - sebagai ujian baginya dari Allah - yang menimpa badan dan hartanya?
Dosa itu hanya karena ia enggan menolong orang miskin yang meminta perlindungan dan pembelaan dari sebuah kezhaliman."


Ibnu Abbas bukanlah tipe orang yang hanya bisa berbicara saja tanpa mengamalkannya.  Ia bukan termasuk orang yang melarang kemudian melanggarnya.  Bahkan, Ibnu Abbas adalah pribadi yang banyak melakukan puasa pada siang hari, dan bangun untuk shalat pada malam harinya.

Abdullah bin Mulaikah mengisahkan;
"Suatu ketika, aku menemani Ibnu Abbas dalam sebuah perjalanan dari kota Makkah ke Madinah.  Tatkala kami singgah pada suatu tempat, Ibnu Abbas berdiri di pertengahan malam.  Ia tegakkan shalat sementara manusia terlelap tidur karena kelelahan yang mengalahkan mereka.
Suatu malam, aku mendengar ia membaca ayat,
وجاءت سكرة الموت يلحق   ذلك ماكنت منه تحيد
"Wa jaaa-at sakratu al-mawti bil-haqqi   dzaalika maa kunta minhu tahiidu"
"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.  Itulah, yang engkau selalu lari daripadanya."  (Qaf;  19)
Ia mengulang-ulang ayat ini.  Ia menangis dengan kerasnya.  Demikian hingga fajar.

Ibnu Abbas Radhiyallahu telah mencapai puncak kemuliaan dan keutamaan ilmu.

Pada saat khalifah Mu'awiyah hendak mengerjakan ibadah haji, Abdullah bin Abbas juga mengerjakan haji.  Tak ada perbedaan antara kedua orang ini.
Mu'awiyah memiliki kedudukan karena sebagai tokoh penguasa.  Sedangkan Abdullah bin Abbas memiliki kedudukan juga.  Bahkan, kedudukannya lebih tinggi di mata para penuntut ilmu.
Tujuhpuluh tahun kurang lebih umur Ibnu Abbas di dunia ini.  Ia penuhi kehidupannya dengan ilmu, hikmah, pemahaman, dan ketakwaan.
Ketika ajal menjemputnya, Muhammad bin Al-Hanafiyah(2) menyalatkannya bersama para Sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang masih tersisa, ditambah para pembesar dan tokoh Tabi’in.
Ketika mereka melemparkan tanah untuk mengubur Ibnu Abbas Radhiyallahu, terdengar sayup-sayup suara bacaan,
ياءيتها النفس المطمءنه  ارجعى  إلى  ربك  راضية  مرضية   فادخلى فى عبادى   وادخلى  جنتى 
"Yaa ayyatuhaa an-nafsu al-muth'mainnatu   irji'iy ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyatan   fad'khuliy fii 'ibaadiy wad'khuliy jannatiy"
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai.  Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku"  (Al-Fajr;  27-30)

oOo
(Disadur dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)
(1) Isyarat kepada sikap Ali ketika berselisih dengan Mu'awiyah - menerima keputusan yang diambil masing-masing perwakilan mereka, yaitu Abu Musa Al-'Asy'ari, dan Amr bin Al-'Ash.
(2) Dia bernama Muhammad bin 'Ali bin Abi Thalib.  Ia dinisbatkan kepada ibunya untuk membedakan antara Hasan dan Husain.  Karena keduanya beribu Fathimah bintu Muhammad, sedangkan ibu Muhammad berasal dari bani Hanifah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar