Minggu, 24 November 2019

Zainul Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib


بسم الله الر حمان الر حيم

"Aku tidak melihat orang yang lebih utama dari Ali bin Husain."

(Al-Imam Adz-Dzahabi)

Tahun itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia.  Yazdajurd, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan.  Sementara seluruh harta, prajurit, dan kerabat istana menjadi tawanan kaum muslimin.  Semuanya diangkut ke Madinah Al-Munawarah.
Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah (harta rampasan perang) sebanyak dan begitu berharga seperti itu.  Di antara para tawanan tersebut terdapat tiga orang puteri kaisar Yazdajurd.

Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke Baitul maal (kas) kaum muslimin.  Tidak ada lagi yang tertinggal selain ketiga para puteri kaisar yang sangat jelita lagi masih muda belia.
Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah.  Air mata meleleh dari kedua pipi-pipi mereka.
Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu 'anhu) merasa iba melihatnya dan berharap semoga orang yang akan membeli para puteri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda  (artinya), "Kasihanilah para bangsawan yang terhina."
Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khaththab  (radhiyallahu 'anhu), dan mengusulkan, "Para puteri kaisar itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya."  Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Engkau benar, tapi bagaimana caranya?"
Ali berkata, "Umumkan harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membayarnya. "
Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar.  Puteri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, puteri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan yang ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinaan memilih Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tak lama setelah itu, puteri yang ketiga langsung memeluk Islam dan bagus keIslamannya.  Sehingga ia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan diambil isteri oleh Husain setelah sebelumnya berstatus budak.  Setelah itu, ia tanggalkan segala hal yang berkaitan dengan paham paganisme  (penyembahan terhadap berhala), dan berganti nama dari "Syah Zinaan" yang berarti "ratunya para wanita", menjadi "Ghazalah" (Matahari yang baru terbit).
Ghazalah amat bahagia menjadi isteri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendampingi puteri raja.  Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.  Beberapa waktu kemudian, Allah-pun memuliakannya, tak lama kemudian ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan.  Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Hanya saja, kebahagiaan itu tak lama dirasakan oleh Ghazalah.  Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan yang terus-menerus setelah melahirkan.  Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dan bercengkerama dengan buah hatinya.

Akhirnya anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita, yang mencintai seperti darah-dagingnya sendiri, dipelihara melebihi anaknya sendiri.  Maka, si kecil itu tumbuh tanpa mengenal ibu lain selain budak wanita itu.

Menginjak usia remaja, Ali bin Husain sangat tekun dan antusias menuntut ilmu.  Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahadanya sendiri.  Madrasah yang kedua adalah Masjid Nabawi Asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi pertama Tabi'in (Murid para Sahabat).
Mereka begitu bersemangat mendidik putera-putera Sahabat utama.  Mengajari mereka Kitabullah, fiqh, serta riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan target dan objek yang ditujunya.  Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah, tentang syair-syair Arab dan keindahannya.   Mengisi hati-hati mereka dengan kecintaan, takut, dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Sehingga, akhirnya mereka berhasil menjadi 'ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Hanya saja hati Ali bin Husain tidaklah terkait pada sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah 'Azza wa Jalla.  Tak ada hal yang lebih digandrungi dan lebih dikaguminya, sekaligus ditakutinya daripada kalimat-kalimat, janji, dan ancaman yang terdapat di dalamnya.
Jika ayat-ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang Jannah (Surga) - maka serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya.  Bila membaca ayat-ayat tentang Neraka - maka gemetarlah hati beliau seakan-akan merasakan panas api Neraka di tubuhnya.

Memasuki usia dewasa, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketakwaan.  Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda Bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketakwaannya, terhormat, luas pengetahuan dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya.  Sampai-sampai setiap kali setelah berwudhu' terlihat wajahnya pucat pasi seperti orang yang sedang ketakutan.  Bila ditanya tentang hal itu beliau menjawab, "Duhai celaka, tidakkah kalian mengetahui kepada Siapa aku akan menghadap?  Dan Siapa Yang akan aku ajak berbicara?"
Memperhatikan kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberikan julukan "Zainul Abidin" (Hiasan para Ahli Ibadah), dan julukan beliau ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya  (Ali bin Husain).  Selain itu, selain kebiasaan sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai "As-Sajjad".  Dan karena jiwanya yang bersih beliau dijuluki pula dengan "Az-Zakiy".

Zainul Abidin meyakini, bahwa sum-sum dari ibadah adalah do'a.  Beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka'bah dengan do'anya;
"Wahai Rabb-ku, Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepada ku seperti yang kurasakan, dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan,  sehingga aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut, dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu.  Wahai Rabb-ku, aku berwasiat kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba yang lemah, yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu, demi pelaksanaan kewajiban dan menunaikan hak-Mu.  Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah, asing, dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal - Akramiin..."

Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah bayang-bayang Baitul Atiq (Ka'bah), gelagapan seperti orang yang akan tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit, dan berdo'a terus-menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat.  Setelah Zainul Abidin selesai berdo'a, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata,
Thawus;  "Wahai cicit Rasulullah, kulihat engkau dalam keadaan demikian padahal engkau memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan engkau dari rasa takut."
Zainul Abidin;  "Apakah itu wahai Thawus?"
Thawus;  "Pertama, engkau adalah keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Kedua, engkau akan mendapatkan syafaat dari Kakek engkau.  Dan ketiga, rahmat Allah bagi engkau."
Zainul Abidin;  "Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah  (artinya),
"...kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu..."  
(QS. Al-Kahfi;  99)
Adapun tentang syafaat Kakekku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan firman-Nya  (artinya),
"Mereka tidaklah memberi syafaat melainkan terhadap orang yang diridhai Allah."  
(QS. Al-Anbiya;  28)
Sedangkan mengenai rahmat Allah, perhatikanlah firman-Nya  (artinya),
"Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."  
(QS. Al-A'raf;  56)

Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin benar-benar tidak terlampaui oleh orang-orang umumnya pada waktu itu.  Kebijakannya, kedermawanannya, dan sifat sabarnya.  Tidak mengherankan bila kisah hidupnya senantiasa menghiasi lembaran buku-buku sejarah, dan mengharumkannya dengan keluhuran budi pekerti.  Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan;
"Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putera pamanku Zainul Abidin.  Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya.  Aku memakinya habis-habisan, tetapi dia hanya diam dan membisu sampai akhirnya aku pulang.  Malam harinya ada orang yang mengetuk-ngetuk pintu rumahku.  Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang.  Ternyata Zainul Abidin.  Tak kusangsikan lagi dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang padanya.  Namun, ternyata ia hanya berkata, 'Wahai saudaraku, bila yang engkau katakan tadi benar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.  Dan jika yang engkau katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu...'  Kemudian dia berlalu setelah mengucapkan salam.
Karena merasa bersalah, akupun mengejarnya dan berkata, 'Sungguh, aku tidak akan mengulangi kata-kata yang tidak engkau sukai.'  Dia berkata, 'Aku telah memaafkanmu.'"

Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan;
"Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memaki-makinya.  Ternyata hal itu membuat orang-orang marah.  Mereka berkerumun hendak mengeroyokku.  Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku akan babak belur.  Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, "Biarkan orang ini."  Maka merekapun membiarkan diriku.
Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatapku dengan wajah bersahabat dan menenteramkan hati, kemudian berkata, "Engkau telah mencelaku sejauh yang engkau ketahui, padahal apa yang tidak engkau ketahui jauh lebih banyak lagi.  Adakah engkau memiliki keperluan sehingga aku bisa membantunya?"
Aku menjadi sangat malu dan tak bisa berkata apa-apa.  Begitu melihat gelagatku, beliau memberiku baju dan uang 1000  (seribu) dirham.  Sejak saat itu setiap kali melihatnya aku berkata, "Saya bersaksi bahwa engkau benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."

Kisah berikutnya dikisahkan oleh pembantunya sendiri;  "Aku adalah pembantu Ali bin Husain.  Suatu ketika aku disuruh untuk memenuhi suatu keperluannya tapi aku terlambat melakukannya.  Begitu aku datang langsung dicambuk olehnya.
Aku menangis bercampur marah padanya, sebab ia tidak pernah mencambuk siapa pun sebelum aku.  Aku berkata, 'Allah...Allah... Wahai Ali bin Husain, kenapa setelah aku melakukan keperluanmu engkau malah memukuliku?'
Beliau terkejut mendengar kata-kataku, lalu menangis.  Kemudian beliau berkata, 'Pergilah ke masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat, kemudian Berdo'alah, 'Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain.'  Bila engkau mau melakukannya, engkau akan aku merdekakan.'  Aku mengikuti kata-katanya.  Aku shalat dan berdoa seperti yang dimintanya.  Ketika kembali ke rumahnya,  diriku telah menjadi orang yang bebas merdeka.'

Allah 'Azza wa Jalla memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada Zainul Abidin.  Perdagangannya selalu untung dan tanah pertaniannya selalu subur, dikelola oleh para budaknya.  Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya, sehingga semakin bertambah banyak hartanya.
Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan kekayaannya itu.  Sikapnya tidak pernah berubah.  Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun jalan kebaikan menuju kampung Akhirat.  Begitulah, kekayaan akan menjadi indah di tangan para hamba-Nya yang shalih.  Di antara amal shalih yang gemar beliau lakukan, adalah bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi.
Di saat-saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di atas punggungnya, lalu keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang telah tertidur lelap.  Beliau berkeliling ke rumah-rumah para fakir miskin yang enggan menadahkan tangan (meminta-minta).
Tak heran jika banyak orang-orang miskin Madinah tetap dapat melangsungkan kehidupan tanpa mengetahui dari mana jatuhnya rezki yang datang pada mereka.
Setelah Ali bin Husain wafat, dan mereka tak lagi menerima rizki-rizki itu, barulah mereka menyadari siapa sebenarnya manusia yang dermawan itu.
Sewaktu jenazah beliau dimandikan, terlihatlah ada bekas menghitam di punggungnya, sehingga bertanyalah orang-orang yang memandikan jenazah,  "Bekas apakah ini?"  Sebagian orang yang hadir menjawab, "Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke 100 (seratus) rumah di Madinah ini."  Setelah wafatnya Zainul Abidin - terputuslah bantuan bagi fakir miskin tersebut.

Pembebasan budak yang dilakukan Ali bin Husain secara besar-besaran disebarluaskan oleh para perantau ke Timur dan Barat.  Tingkah-laku beliau semasa hidupnya seolah-olah seperti cerita dongeng 1001 malam yang direkayasa saja, dan banyaknya melebihi hitungan orang yang mencoba menghitungnya.
Zainul Abidin biasa memerdekakan budak yang bekerja dengan baik sebagai imbalan bagi prestasi mereka.  Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur dipukul atau dianiaya sebagai tebusannya.  Diriwayatkan bahwa beliau telah memerdekakan 1000 (seribu) orang budak, dan tidak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari setahun.  Kebanyakan dari mereka dimerdekakan pada malam Idul Fitri, malam yang penuh berkah.  Dimintanya mereka menghadap Kiblat dan berdo'a, "Ya Allah, ampunilah Ali bin Husain," Sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua kali lipat untuk berlebaran, agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat pula.

Beliau dicintai dan dihormati oleh segenap penduduk Madinah.  Bila beliau berjalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu memperhatikannya dari pinggir-pinggir jalan.
Pernah Hisyam bin Abdul Malik ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Makkah untuk berhaji.  Ketika beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawalnya memerintahkan orang-orang agar melapangkan jalan untuknya.  Namun, mereka tidak mau minggir dan tidak menghiraukan rombongan Amirul Mukminin, karena itu merupakan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua manusia adalah hamba-Nya.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara tahlil (Laa Ilaaha Illallah) dan takbir (Allahu akbar ),  di tengah-tengah kerumunan manusia terlihat seseorang yang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, tampak tenang dan berwibawa.  Dia mengenakan kain dan jubah, di dahinya tampak bekas sujud.  Orang-orang berdiri berjejer, menyambutnya dengan pandangan penuh cinta dan kerinduan.  Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.
Seorang pengawal menoleh ke arah Hisyam bin Abdul Malik, "Siapa orang yang dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?"  Hisyam berkata, "Aku tidak tahu."  Kebetulan di dekat itu ada Faradzak, lalu ia berkata, "Barangkali Hisyam tidak kenal, tetapi saya mengenalnya.  Beliau adalah Ali bin Husain."  Selanjutnya ia melantunkan syair;
Orang ini, bebatuan yang diinjaknya pun mengenalnya
Tanah haram dan Baitullah pun mengenalnya
Dialah putera terbaik di antara hamba Allah seluruhnya
Berjiwa takwa, suci, bersih, dan luas ilmunya
Dialah cucu Fatimah jika anda belum mengenalnya
Cicit dari orang yang Allah menutup para Nabi dengannya 
Pertanyaanmu, "Siapa dia" tak mengurangi ketenarannya 
Orang Arab dan Ajam mengenalnya, meski kau tak mengenalinya 
Kedua tangannya laksana hujan yang semua memanfaatkannya 
Manusia membutuhkan uluran tangannya 
Tak ada yang dikecewakan olehnya 
Tiada pernah berkata "tidak" selain dalam tasyahudnya 
Kalaulah bukan karena syahadat, niscaya hanya ada kata "iya"
Menyebarkan kebaikan di tengah-tengah manusia 
Sirnalah kezhaliman, kemiskinan, dan papa 
Jika orang Quraisy melihatnya pastilah berkata, "Setinggi itukah kemuliaannya?"
Tertunduk mata karena malu padanya 
Merasa kerdil melihat kehebatannya 
Tak pernah lupa tersenyum tatkala berkata-kata 
Di tangannya tergenggam tongkat yang harum aromanya 
Dari tangan manusia cerdas hidung mencium aroma wanginya 
Keturunan Rasulullah dia asalnya 
Alangkah mulia asalnya, akhlaknya, dan juga perangainya 
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai cicit Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini, dan Beliau pun ridha.  Sungguh, beliau adalah potret yang sebenarnya dari manusia yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik tatkala sedang sendiri maupun di tengah keramaian, memenuhi jiwanya dengan ketakutan terhadap siksa Allah, dan harapan terhadap limpahan pahala dan rahmat-Nya.

oOo 

(Disadur dari kitab, Jejak para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya, Pust. At-Tibyan)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar