بسم الله الر حمان الر حيم
(Hasan bin Tsabit)
Tahun kedua Hijrah...
Kota Rasulullah sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi perang Badar. Sementara itu, Yang Mulia Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan inspeksi akhir terhadap pasukan pertama yang akan bergerak di bawah komando Beliau untuk berjuang di jalan Allah, menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.
Seorang anak muda yang belum genap berusia 13 tahun, anak muda yang menyimpan kecerdasan dan kecerdikan, membawa keunggulan dan kesetiaan masuk dalam barikade pasukan yang berbaris saat itu.
Sebuah pedang tertenteng di tangannya. Panjangnya sama tinggi dengan tinggi tubuhnya, atau bahkan lebih sedikit. Anak muda itu mendekati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Aku akan korbankan diriku demi Anda, wahai Rasulullah!! Izinkan aku berangkat bersama Anda. Aku ingin berjuang dan berjihad melawan musuh Allah di bawah panji-panji Anda," pinta anak muda itu.
Rasulullah Yang Mulia memandangnya, dipenuhi rasa bahagia, sekaligus haru dan kagum. Beliau menepuk pundaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Beliau menenangkan anak muda itu, kemudian menyuruhnya pulang karena umurnya masih terlalu muda.
Pedang itu ia seret di atas tanah. Rasa sedih dan sesal menyelimuti dirinya. Wajar, karena ia belum bisa meraih kehormatan menyertai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam perang pertama yang Beliau lakukan.
Ibunya, An-Nawar bintu Malik menyusul anak muda tadi. Ia tak kalah sedih dan menyesal dibandingkan anaknya. Wanita itu berharap bisa berbahagia dengan melihat sang putera (pujaan hati) berjalan bersama pasukan kaum muslimin, untuk bertempur di bawah panji-panji Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ia sangat berharap anaknya itu bisa meraih kedudukan yang diharapkan ayahnya - ketika masih hidup di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Akan tetapi, anak muda Anshar itu belum saatnya untuk merapat ke pasukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dalam kancah peperangan karena usianya yang terlalu muda. Akan tetapi, kecerdikannya membuka peluang lain yang tidak terkait dengan umurnya untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Peluang itu adalah ilmu dan hapalan. Anak muda tersebut langsung menceritakan idenya pada sang ibu. Segurat senyum mengembang di wajah sang ibu - menanggapi inisiatif pujaan dan dambaan hatinya, Senyum kebahagian dan kebanggaan yang sentiasa memicu semangatnya untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Lalu, An-Nawar menyampaikan tekad besar sang anak kepada kaumnya. Ia mengutarakan gagasan itu. Maka, serta-merta mereka bergegas menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Wahai Nabi Allah!! Ini adalah putera kami Zaid bin Tsabit, ia sudah hapal 17 surat dalam Kitabullah. Ia membacanya dengan benar sebagaimana yang diwahyukan ke dalam hati Anda. Tidak hanya itu, ia juga cakap lagi mahir dalam baca-tulis. Ia ingin sekali berada di samping Anda dengan kemampuannya itu, dan menyertaimu. Jika Engkau bekenan, dengarkanlah bacaannya," kata mereka.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersedia mendengarkan sebagian hapalan anak muda (Zaid bin Tsabit) itu. Ternyata bacaannya sangat lancar, pengucapannya sangat fasih. Kalimat-kalimat Al-Qur'an yang diucapkan bercahaya di antara kedua bibirnya, laksana cahaya bintang-gemintang di hamparan langit.
Bacaan Zaid bin Tsabit ternyata memberikan pengaruh terhadap diri Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Waqaf-waqafnya (tempat-tempat jeda saat membaca, pen.) menunjukkan, bahwa anak muda itu memahami, dan mengerti betul apa yang dia lantunkan.
Bukan main bahagianya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika itu, karena ternyata kemampuan Zaid lebih baik dari apa yang mereka perkirakan. Kebahagiaan Beliau bertambah lagi dengan keahlian dan kemampuan Zaid dalam hal tulis-menulis. Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam melayangkan pandangan Beliau ke arah Zaid, seraya bersabda,
"Wahai Zaid, pelajarilah tulisan orang-orang Yahudi, karena aku tidak percaya terhadap mereka atas apa yang aku katakan!!" Perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Zaid.
Maka dengan bangga bercampur bahagia Zaid berkata, "Baiklah, wahai Rasulullah!!"
Sejak saat itu Zaid langsung berkonsentrasi mempelajari bahasa Ibrani. Dan, dalam waktu singkat ia mampu menguasainya. Dengan bahasa tersebut ia menuliskan surat-surat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk orang-orang Yahudi. Dan Zaid pun membacakan surat-surat orang Yahudi ketika mereka membalasnya untuk Beliau.
Kemudian Zaid mempelajari bahasa Suryani(1) atas perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana ia juga mempelajari bahasa Ibrani. Maka, jadilah Zaid bin Tsabit sebagai penterjemah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat yakin dengan amanah, kekuatan hapalan, dan pemahaman Zaid. Nabi mempercayakan Risalah langit yang turun kepada Beliau. Akhirnya Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menunjuknya sebagai penulis dan pencatat wahyu.
Jika satu ayat Al-Qur’an turun, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengundang Zaid, dan bersabda,
" Tulislah, wahai Zaid!!"
Maka, Zaid pun menuliskannya. Saat itulah ia mengambil Al-Qur'an dari Beliau. Sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu ia pun tumbuh dan berkembang bersama ayat-ayat-Nya.
Zaid mengambil Al-Qur'an langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari sumber mata air yang masih bening, suci, murni lagi segar, yang berhubungan langsung dengan sebab turunnya ayat. Jiwanya pun bersih dan bersinar karenanya, dengan cahaya hidayah. Akalnya bercahaya dengan rahasia-rahasia syariat-Nya.
Anak muda itu tumbuh menjadi seseorang yang ahli tentang Al-Qur’an. Ia pun menjadi rujukan pertama bagi ummat setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam wafat. Dialah tokoh, sekaligus pelopor pengumpul Al-Qur'an di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu, dialah orang pertama yang mengawali dan penyatuan mushaf-mushaf pada zaman Utsman Radhiyallahu 'Anhu.
Adakah setelah kedudukan ini - ada kedudukan lain yang lebih tinggi dan diidam-idamkan manusia?
Adakah setelah kemuliaan ini - kemuliaan yang diidam-idamkan oleh jiwa-jiwa manusia?
Di antara keutamaan Al-Qur'an yang dirasakan oleh Zaid bin Tsabit adalah, bahwa ia senantiasa menunjukkan dan menerangi jalan kebenaran baginya - sementara orang-orang yang merasa memiliki akal-pikiran kebingungan. Pada hari Sakifah, kaum muslimin berbeda pendapat tentang khalifah yang akan menggantikan Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam.
"Khalifah dan pengganti Rasulullah ada di tangan kami, kami berhak atasnya," kata orang-orang Muhajirin.
"Tidak, Khalifah ada di tangan kami, kami lebih berhak atasnya," kata orang-orang Anshar.
"Khalifah ada di tangan kita, dan di tangan kalian sekaligus. Jika Rasulullah menyerahkan sebuah tugas kepada salah seorang dari kalian, Beliau menggandengkan seorang dari kami dengannya," kata yang lainnya.
Fitnah besar pun hampir-hampir saja meletus. Sementara jasad Yang Mulia Nabi Shallallahu ' Alaihi wa Sallam masih terbujur kaku di tengah-tengah mereka, dan belum sempat dimakamkan.
Keputusan yang lurus, yang dinaungi oleh cahaya Al-Qur'an harus segera diambil. Keputusan yang mampu memadamkan gejolak api fitnah di tengah-tengah mereka, sekaligus menerangi jalan orang-orang yang bingung.
Sebuah kalimat terucap dari lisan Zaid bin Tsabit Al-Anshari Radhiyallahu 'Anhu.
Zaid memandang kaumnya dan berkata,
"Wahai orang-orang Anshar, sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin, maka pengganti Beliau semestinya dari (kalangan) mereka. Kita adalah Anshar (Para Penolong) Rasulullah, maka kita adalah penolong bagi Khalifah Pengganti, dan membantunya di atas kebenaran."
Kemudian Zaid mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar, seraya berkata, "Ini adalah Khalifah dan Pemimpin kalian, berbai'at-lah kepadanya."
Zaid menjadi puncak dan tiang bagi kaum muslimin, berkat kedekatannya, dan pemahamannya terhadap Al-Qur'an, serta lamanya menjadi Sahabat Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam. Juga sahabat para Al Khulafa' Ar Rasyidin setelah Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam, yang meminta pendapatnya disaat menghadapi perkara-perkara sulit. Kebanyakan kaum meminta pendapatnya tatkala menghadapi perkara-perkara yang sulit dan pelik. Mereka merujuk kepadanya secara khusus dalam bidang Ilmu Waris, karena pada saat itu di antara kaum muslimin tidak ada yang lebih mengetahui hukum-hukum-Nya, dan lebih ahli dalam bidang pembagian warisan daripada Zaid.
Umar berkhotbah dari Al-Jabiyah di hadapan kaum muslimin, ia berkata,
"Wahai manusia, barangsiapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an, maka hendaklah dia menemui Zaid bin Tsabit. Barangsiapa yang hendak bertanya tentang Fikih, maka hendaklah dia menemui Mu'adz bin Jabal. Barangsiapa yang hendak bertanya tentang harta, maka hendaklah dia menemuiku, karena Allah menjadikanku sebagai pembagi dan pengurusnya. "
Para penuntut ilmu dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, mereka mengakui kadar dan kedudukan, serta posisi Zaid bin Tsabit. Mereka juga menghormatinya dan mengagungkannya karena ilmu yang bersemayam di dalam dadanya.
Adalah lautan ilmu Abdullah bin Abbas. Suatu ketika melihat Zaid bin Tsabit hendak mengendarai hewan tunggangannya, dia berdiri di hadapannya, memegangi pelana dan tali kekangnya. Maka Zaid bin Tsabit pun berkata, "Biarkan, wahai sepupu Rasulullah."
Ibnu Abbas berkata, "Demikianlah kami diperintahkan untuk memperlakukan 'ulama kita."
Zaid berkata kepadanya, "Ulurkan tanganmu."
Ibnu Abbas pun mengulurkan tangannya. Disaat itulah Zaid menciumnya dan berkata, "Demikianlah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Rasulullah."
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ' Anhu berpulang ke hadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala, kaum muslimin menangisi kematian ilmu yang akan dikubur bersama pemiliknya. Abu Hurairah Radhiyallahu ' Anhu berkata, "Hari ini, 'ulama besar ummat ini telah meninggal. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penerusnya."
Penyair andalan Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam Hasan bin Tsabit memujinya sekaligus menghibur diri,
"Siapa lagi yang akan melantunkan bait-bait sya'ir setelah Hasan dan puteranya, dan siapa lagi yang bakal menjelaskan makna-maknanya setelah Zaid bin Tsabit."
oOo
(Disadur dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)
(1) Salah satu bahasa tinggi yang digunakan berbagai bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar