بسم الله الر حمان الر حيم
"Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian, pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar - menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api."
(HR. Ibnu Majah)
Shalat merupakan rukun kedua dalam Rukun Islam, setelah ucapan (ikrar) Syahadatain.
Merupakan amalan yang pertama kali dihisab di Yaumal Qiyamah. Jika shalatnya baik (diterima) - maka akan baik (diterima) pula amal-amal lainnya. Namun, jika shalatnya ditolak - maka akan ditolak pulalah amalan lainnya.
Shalat adalah ciri khusus manusia-manusia yang beriman dan bertakwa. Barangsiapa yang menjaganya - berarti dia telah menjaga agamanya, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya - berarti ia akan lebih menyia-nyiakan amalan yang lain (Sunnatullah).
Besarnya nilai Islam di dalam hati seseorang bergantung kepada seberapa besar dia memuliakan (menjaga) shalatnya. Dan, seberapa besar kebahagiaan yang dia rasakan dalam ber-Islam, dapat diukur dari seberapa besar kebahagiaan yang dia rasakan di dalam shalat.
Banyak nash-nash yang menegaskan kufurnya orang yang meninggalkan shalat, di antaranya;
"Sesungguhnya yang membedakan seorang muslim dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim), dan
"Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir." (HSR. Ahmad)
Orang yang meninggalkan shalat, jika ia mati dalam keadaan demikian - berarti ia mati dalam keadaan kafir, maka jasadnya tidak boleh dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di tempat pemakaman kaum muslimin. Keluarganya (yang muslim) tidak berhak (haram) menerima harta warisannya, dan hartanya harus diserahkan ke Baitul Maal.
Hukum shalat berjama'ah yang diterangkan oleh para 'ulama berkisar pada 3 (tiga) pendapat;
1. Fardhu 'Ain
2. Fardhu Kifayah
3. Sunnah
Pendapat Pertama; Fardhu 'Ain
Artinya, wajib atas setiap individu Muslim / Mukmin, laki-laki, telah baligh, dan mampu untuk menghadirinya.
Menurut pendapat ini (Imam Ahmad), barangsiapa yang meninggalkan shalat berjama'ah tanpa uzdur syar'i (seperti sakit, dalam keadaan safar, hujan lebat, dll.), ia mendapat dosa meskipun shalatnya tetap sah. Inilah pendapat yang benar dan paling kuat.
Berikut, beberapa dalil yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama'ah;
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'-lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah; 43)
Kata "bersama" menunjuk kepada makna; ikut menemani, menyertai. Sehingga, hakikatnya adalah perintah Allah 'Azza wa Jalla terhadap setiap pribadi muslim (laki-laki) untuk mendirikan shalat secara berjama'ah dengan kaum muslimin yang lainnya.
Dalil lain;
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu." (An-Nisa'; 102)
Pada kalimat, فلتقم / "faltaqum" / "hendaklah", huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan hukum asal sebuah perintah adalah wajib (berdosa bila ditinggalkan). Indikasi yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para Sahabat untuk tetap melaksanakan shalat berjama'ah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan). Sementara, pada umumnya manusia bila dalam kondisi takut (perang) dan kekacauan - berat bagi mereka untuk berkumpul. Karena dalam situasi yang kacau umumnya orang lebih suka untuk tetap berada di posisi masing-masing sambil memantau musuh. Perintah itu tertera dalam makna firman-Nya,
"Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa; 102)
Yang tampak jelas dalam hal ini adalah, tidak ada perbedaan antara senjata ringan dan senjata berat, dalam keadaan suci dan najis. Para 'ulama berpendapat, pada saat (kondisi) seperti ini - keadaan darurat - diperbolehkan shalat dengan menyandang senjata meskipun dalam keadaan najis.
Setelah kelompok yang pertama selesai melaksanakan shalat, sebagaimana makna firman-Nya,
"Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) telah sujud (telah sempurna serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakang (untuk menghadapi musuh)." (An -Nisa; 102)
Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjama'ah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu. "
Perintah ini menunjukkan, bahwa shalat berjama'ah itu hukumnya Fardhu 'Ain. Sebab, seandainya hukumnya Fardhu Kifayah - akan gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok yang pertama.
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan, bahwa hukum shalat berjama'ah itu Fardhu 'Ain adalah,
"Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjama'ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkeinginan (membakar rumah-rumah mereka) namun tidak melaksanakannya, hal itu tidak berarti shalat berjama'ah bukan merupakan perkara yang wajib. Seandainya bukan merupakan sesuatu yang wajib, tidakkah tepat dikatakan dengan ungkapan seperti di atas. Ungkapan itu akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya.
Adapun faktor yang menghalangi Beliau melakukannya (membakar rumah-rumah mereka) - ilmunya ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala - karena tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalil lain dari As-Sunnah, adalah hadits yang memberitahukan tentang seorang laki-laki buta yang meminta keringanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tidak ikut shalat berjama'ah di masjid. Setelah terjadi pembicaraan antara Nabiyullah dengannya (Abdullah bin Ummi Maktum, pen.), Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau mendengar suara adzan?" Ia pun menjawab, "Ya." Lalu Beliau bersabda, "Kalau begitu penuhilah (panggilan adzan itu)."
Demikian pula hadits lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu (maknanya),
"Barangsiapa mendengar adzan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak Syah shalatnya kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah)
Adapun praktek (ibadah) para Sahabat seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Sungguh aku telah menyaksikan para Sahabat, tidak ada seorang yang tidak ikut shalat berjama'ah selain munafik yang jelas kemunafikannya."
Hal ini menunjukkan, bahwa mereka sangat perhatian terhadap shalat berjama'ah, serta berpandangan akan wajibnya, dan tidak ingin menyelisihinya.
Yang lebih menguatkan, bahwa hukum shalat berjama'ah itu wajib 'ain adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya.
Di antara para 'ulama yang menguatkan pendapat ini adalah; Atha', Al-Auza'i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abbul Abbas, madzhab Zhahiri, madzhab Hambali, salah satu pendapat madzhab Syafi'i dan Hanafi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain.
Pendapat kedua; Fardhu Kifayah
Yang menguatkan pendapat ini adalah mayoritas madzhab Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang dinyatakan (dipakai) oleh para 'ulama yang berpendapat tentang Fardhu 'Ain. Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan pada makna Fardhu Kifayah.
Pendapat ketiga; Hukumnya Sunnah
Ini merupakan salah satu pendapat madzhab Syafi'i, Malik, dan Hanafi.
Hujjah mereka adalah hadits,
"Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat."
Mereka memahami kalimat "Lebih utama" bermakna hanya lebih utama, bukan wajib. Namun pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah. Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjama'ah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan tentang hukum shalat berjama'ah. Pun, penyebutan kalimat "Lebih utama" tidak menafikan (meniadakan) hukum wajib 'Ain nya.
Kita katakan pula, "Apakah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu wajib?" Jawabannya tidak diragukan lagi pasti wajib. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya." (Ash-Shaf; 10-11)
Maksud, yang lebih baik dan lebih utama.
Apakah akan dikatakan, bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah??? (Dengan alasan kalimat, "Itulah yang lebih baik bagimu"?) Sungguh, tidak seorangpun yang berpendapat demikian.
Kita katakan pula, "Apakah melaksanakan shalat Jum'at hukumnya sunnah karena Allah berfirman (artinya),
"Hai orang-orang yang beriman, apabila (kamu) diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual-beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Al-Jumu'ah; 9)
Bisa dipastikan, tidak seorangpun yang berani mengatakan, bahwa shalat jum'at itu hukumnya sunnah, karena berdalil dengan kalimat, "hal itu lebih baik bagimu".
Demikian pula hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkeinginan untuk membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjama'ah. Mereka beralasan, bahwa (ternyata) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mewujudkan keinginannya, sehingga hal itu hanya berfungsi sebagai peringatan keras, tidak sampai pada kesimpulan bahwa shalat berjama'ah itu hukumnya Fardhu 'Ain (?)
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits, sunnah, ijma' (kesepakatan) para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - tidak diragukan lagi , bahwa hukum shalat berjama'ah adalah WAJIB.
(Syarh Al-Bukhari, Al-Utsaimin, 3/57-58, Asy-Syarhul Al-Mumi, 2/369-370, At-Tashil, 2/406-407)
Wallahu 'a’lam.
oOo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar