Selasa, 19 Januari 2021

CAHAYA HATI YANG TELAH PADAM

 


بسم الله الرحمان الرحيم 

Seringkali kesenangan hidup di dunia, kesehatan badan, kekuasaan,  berbagai kenikmatan yang dirasakan menjadikan seseorang lalai dalam mengingat tujuan hidup yang sesungguhnya.

Dalam istilah syar'i, kondisi seperti itu disebut dengan Istidraj (diulur) oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, membuatnya  semakin larut (mabuk) dengan kehidupan dunia, berlomba-lomba dalam kemewahan - kemegahan, kekuasaan, sehingga semakin lupa mempersiapkan bekal Akhirat. 

Berkata Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah;

"Apabila engkau melihat (merasakan) telah hilang dari hatimu kecintaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Tidak lagi berupaya mempersiapkan bekal untuk perjumpaan dengan-Nya.  Dan, di dalam hatimu telah ditempati kecintaan terhadap makhluk, ridha dengan kehidupan dunia - dan tenang dengannya.  Maka ketahuilah, sesungguhnya hatimu benar-benar telah kehilangan cahayanya (padam)."

(Badai'ul Fawaid, 3/743)

Betapa bahayanya keadaan seperti ini.  Karena ia menyangka kondisi tersebut adalah bentuk kasih sayang Allah 'Azza wa Jalla yang tercurah padanya.  Dan, pembiaran (istidraj) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak diberikan kesulitan, teguran atau musibah dianggap sebagai keridhaan-Nya.

Padahal, betapa pun banyak harta kekayaan seseorang, tingginya kedudukan, di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dia tetaplah seorang yang faqir (sangat membutuhkan pertolongan, kasih sayang, dan rahmat-Nya).

Berbeda dengan orang yang hidup dalam serba kekurangan dan kemiskinan, hatinya senantiasa bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, setiap saat bermunajat, meneteskan air mata, menghadapi setiap kesulitan hidup yang dialami, berharap dan memohon rahmat dan kasih sayang-Nya.  Khawatir dan takut akan buruknya keadaan dirinya nanti di Akhirat.

Sibuk mengumpulkan harta, berlomba-lomba dalam kemewahan, kemegahan, kekuasaan dan kemuliaan dunia adalah sebab kebinasaan seseorang.

Jadi, siapa sebenarnya yang miskin, dan siapa yang kaya?  Siapa yang merasa miskin, dan siapa pula yang merasa kaya?

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;

{ ۞ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ } فاطر:15

"Wahai sekalian manusia! Kalianlah yang fakir (miskin dan butuh) kepada Allah, dan Allah - Dialah Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji,"  (Fathir;  15)

-----------

Seorang hamba tidak akan merasa miskin (tahu diri) dan membutuhkan Allah, kecuali bila pada dirinya terkumpul (tertanam) 2 (dua) hal;

Pertama;

Sejauh mana pengetahuan (Ilmu) seorang hamba terhadap Rabb-nya.  Semakin dia mengenal Allah, maka semakin dia merasa miskin, takut, dan butuh kepada-Nya.  

Sebaliknya, semakin sedikit ilmu seorang hamba tentang Allah, maka semakin berkurang pula perasaan miskin, takut, dan ketergantungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Semakin lupa diri.  Yang makin menonjol adalah "keakuan" (keegoisan dirinya).

Perhatikan makna firman-Nya;

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah 'Ulama (orang-orang yang berilmu)."  (QS. Fathir:  28)

Kedua;

Sejauh mana seorang hamba mengenal dirinya sendiri.

Semakin dia mengenal dirinya, bahwa dia hanyalah seorang hamba, makhluk yang lemah, terlahir dalam keadaan lemah, tidak memiliki daya dan upaya, maka semakin dia merasa miskin dan butuh kepada Allah.

Ketika seorang hamba menyadari bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kaya secara mutlak, maka dia akan menyadari pula bahwa dirinya adalah makhluk yang miskin secara mutlak.

Jika dia telah mengetahui bahwa dirinya adalah seorang yang miskin, hakikatnya itu adalah kekayaan dia, kekayaan jiwanya, dan bagian dari kesuksesan dan kebahagiaan seorang hamba di dunia maupun Akhirat.

Sebagaimana makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam;

"Kekayaan yang sebenarnya itu ada di dalam hati (sambil Beliau menunjuk ke arah dada)."

Namun kebanyakan manusia adalah melampaui batas. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

{ كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ }  { أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ } العلق:7-6

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup."  (QS. Al-'Alaq;  6-7)

Ditafsirkan oleh para 'ulama, bahwa bila manusia merasa dirinya serba cukup, maka ia akan berubah menjadi manusia yang jahat (zhalim).

Firman Allah تعالى;

{ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ } { وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ } { فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ } { وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ } { وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ } { فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ } الـليـل:٥-١٠

"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (kehidupan) yang sulit,"

(QS. Al-Lail; 5-10)

Makhluk yang paling sempurna adalah orang yang paling sempurna

penghambaan dirinya terhadap Allah, dan yang paling besar persaksiannya atas kemiskinan, dan rasa butuhnya terhadap Allah, dan tidak pernah sama sekali dia merasa cukup dan kaya, meskipun sekejap mata.

Oleh karena itulah di antara do'a Rasulullah صلى الله عليه وسلم;

أصلح لي شأني كله ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين ولا إلى أحد من خلقك

"Ashlih liy sya'niy kullahu  wa laa takilniy ilaa nafsiy tharfata 'ainin  wa laa ilaa ahadin min khalqika"

"Wahai Rabb-ku, perbaikilah semua urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri - meskipun sekejap mata, dan jangan pula engkau serahkan urusanku kepada salah seorang dari makhluk-Mu,"

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita sebagai manusia yang tahu diri, sadar dengan keberadaan kita sebagai makhluk yang faqir dan lemah, tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun untuk menyelamatkan diri dari Api Neraka, kecuali dengan pertolongan, rahmat, dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Serta, menjadikan kita sebagai manusia yang memiliki cahaya hati yang kuat (terang) serta intuisi yang tajam.  Amiin.

oOo

Disadur bebas dari kitab:

طريق الهجرتين وباب السعادتين

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, hal 16.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar