بسم الله الرحمن الرحيم
Persatuan dan kesatuan dalam Islam adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Hukum asal dari setiap perintah adalah wajib (berdosa bila ditinggalkan), kecuali jika ada dalil lain yang memalingkannya (Qarinah).
Namun persatuan yang dimaksud harus dibangun di atas kebenaran (al-haq), yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukan persatuan yang dibangun di atas kesamaan kepentingan, kepentingan materi, kepentingan kekuasaan (jabatan), politik (partai), dan kepentingan pragmatis (duniawi) lainnya.
Berapa banyak umat Islam yang menjadikan partai sebagai landasan perjuangannya? Terbayang, betapa sulit dan beratnya nanti menjawab pertanyaan Allah Subhanahu wa Ta'ala di Yaumal Qiyamah. Maka, pikirkanlah jawabannya dari sekarang.
(Baca juga artikel, THE POWER OF ISLAM)
Persatuan adalah prinsip yang agung dalam Islam.
Oleh karenanya, setiap perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam harus dikembalikan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dasar hukum utama. Baik permasalahan yang menyangkut urusan dunia maupun Akhirat. Semua harus dikembalikan dan diselaraskan pada keduanya, karena hanya dengan cara itulah kita dapat meniti jalan-jalan keridhaan dan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan petunjuk Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Umat Islam dilarang berpecah-belah.
Namun kenyataan yang kita lihat dan terjadi di lapangan berbeda dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"Dan berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika dahulu (masa Jahiliyah) kalian bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah itu orang-orang yang bersaudara."
(QS. Ali Imran: 103)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menafsirkan ayat ini:
"Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini; Dan berpeganglah kalian semuanya pada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan pada janji-Nya yang Dia (Allah) telah buat perjanjian atas kalian di dalam kitab-Nya, yang merupakan persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap (semua) perintah Allah."
[Jami’ul Bayan, 4/30.]
Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah (bersatu) dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang berisi larangan perpecahan dan perintah persatuan.
Namun, dilalahnya telah terjadi perpecahan pada umat ini hingga 73 firqah (kelompok), bahkan lebih. Dari sekian kelompok hanya satu firqah (kelompok) najiyah (yang selamat) menuju Surga dan selamat dari siksa Neraka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi dan para Sahabat Beliau.
[Kandungan makna dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran: 103]
Al-Imam Al-Qurthubi menerangkan tentang ayat ini;
Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan. Karena hakikat perpecahan (perselisihan / perbedaan / salah paham) adalah kebinasaan sedangkan al-jama’ah (persatuan, kebenaran / lurusnya pemahaman) adalah keselamatan.
Note; Karena di sana terdapat hadits laa as laa lahu (tidak jelas asal-usulnya) yang kerap dijadikan dalil, bahwa perbedaan (pemahaman) di kalangan umat Islam adalah Rahmat, (pen blog).
[Makna yang penulis simpulkan dari kitab, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 4/159]
Al-Imam Al-Qurthubi juga mengatakan,
“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang pada kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, serta ketika berselisih kembalikan pada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik dalam keyakinan maupun amalan. Hal itu akan menjadi sebab bersatunya kalimat dan kembalinya perpecahan menjadi persatuan, yang dengannya kemashlahatan dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan sebagaimana yang telah terjadi pada kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).”
(Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 4/164)
Beliau juga mengatakan,
“Bisa juga bermakna, janganlah kalian berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kalian bersaudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan (hubungan) dan saling membelakangi.”
[Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 4/159.]
(Baca artikel, SYIRIK, dan CELAAN TERHADAP NAFSU)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,
“Allah memerintahkan mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau di atas Al-Qur’an. Dan melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan dalam Agama.”
[Fahul Qadir, 1/367]
Dari penjelasan para 'ulama di atas dapat kita simpulkan;
Persatuan dan kesatuan umat Islam hanya akan terwujud bila mereka berpegang pada janji Allah di dalam Kitab-Nya, dimana Dia (Allah) telah berjanji pada umat Islam di dalam kitab-Nya, bersatu dan bersepakat di atas kalimat yang haq (kebenaran) serta berserah diri terhadap perintah Allah sebagai jaminan terwujudnya persatuan.
Kalimat yang haq ini sering diterjemahkan sebagai kalimat Ikhlas, kalimat Tauhid, Laa ilaaha illa Allah, tiada Ilah (Sesembahan) yang berhak diibadahi selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah.
Sepakat para 'ulama Rabbani di seluruh dunia menyatakan, bahwa keadilan yang paling adil (standar tertinggi keadilan) hanyalah Tauhidullah dengan segala manifestasinya, dan kezaliman yang paling zalim adalah kesyirikan dengan segala bentuknya, serta mengada-adakan (menyusupkan) syari'at baru ke dalam Islam.
Dengan demikian, fondasi persatuan dalam Islam adalah Tauhid dan Sunnah. Tidak akan tercipta persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Persatuan yang dibangun di atas selainnya merupakan persatuan ala orang-orang musyrik dan munafik. Persatuan yang tidak didirikan di atas As-Sunnah adalah persatuan ahli bid’ah, atau Hizbiyun (Fanatik kelompok, fanatik Partai atau golongan / Ormas), bukan Ahlus Sunnah.
Oleh karena itu keberadaan masing-masing partai, langsung ataupun tidak menjadi potensi terbelahnya persatuan umat Islam, menggiring setiap individu muslim untuk lebih mendahulukan kepentingan (komitmen) partainya daripada menegakkan kebenaran.
(Baca artikel, MUNAFIK)
Keterkaitan antara ayat yang memerintahkan pada persatuan dengan hadits firqah najiyah (Golongan yang selamat), menunjukkan bahwa persatuan yang haq (benar), adalah dengan cara mengikuti apa-apa yang ada pada diri Nabi dan para Sahabat Beliau, yaitu mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para Sahabat, menolak bid’ah (mengada-adakan syariat baru dalam amal dan, atau keyakinan). Karena seluruh bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Bid’ah adalah syariat baru yang disusupkan ke dalam Islam, yang tidak pernah diyakini dan diamalkan Rasulullah dan para Sahabatnya sebagai kebenaran.
(Baca artikel, NILAI SEBUAH KEBENARAN)
Langkah yang mengarahkan umat Islam pada persatuan ini memiliki ciri, yakni berpegang teguh pada kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya, baik dalam aqidah maupun amal. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan pada keduanya.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa."
(QS. Al-An’am: 153).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan dalam kitab Taisir Karimir Rahman,
”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya), yaitu menyesatkan dan mencerai-beraikan kalian darinya. Maka jika kalian tersesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi selain jalan yang akan mengantarkan ke Neraka Jahim.”
Demikian penjelasan Asy-Syaikh.
DILEMA PARTAI ISLAM;
Ketiadaan partai politik yang mengklaim diri sebagai partai Islam, yang mendasarkan AD-ART-nya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah di Indonesia menunjukkan bahwa jalan pendirian partai ini tidak sesuai dengan janji dan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Meskipun mereka saling berbangga dengan apa yang ada padanya.
Karena tidak memutuskan seluruh perkara mereka berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala berbunyi;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
"Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa’: 59)
Kecenderungan setiap partai untuk meraih pengikut (anggota) / pendukung sebanyak-banyaknya guna meraih kekuasaan (kedudukan) dan tujuan-tujuan pragmatis lain di setiap rezim yang berkuasa mengharuskan mereka mengorbankan (baca; melunturkan) idealisme dan kesejatian diri. Sehingga, tidak lagi mampu menyuarakan aspirasi (baca; kebenaran) kelompok masyarakat yang bernaung di bawahnya. Yang penting tujuan partai tercapai (Transaksional). Disamping itu, karena hampir setiap partai tidak mampu mandiri secara ekonomi (seperti iuran anggota), keadaan ini mendorong setiap partai melakukan korupsi yang bersifat sistemik (sogok-menyogok, dan melazimkan hal-hal yang bersifat syubhat - kebatilan yang dibungkus dengan tampilan yang menarik sehingga menyerupai kebenaran), karena subsidi pemerintah yang tidak mencukupi dana operasional mereka.
(Baca artikel, PERGESERAN)
---
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,
“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia berupa ushuluddin (pokok-pokok Agama) dan furu’ (cabang-cabang)nya – kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terkandung jalan keluar bagi seluruh perkara yang diperselisihkan. Bisa jadi secara jelas (terperinci) di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna yang serupa dengannya, dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (segala perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.”
(Taisir Karimir Rahman).
(Baca pula artikel, MASALAH KEIMANAN BUKAN MASALAH SELERA)
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari bahaya kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka."
(QS. Thaha: 123).
Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah agama; mengikuti Sunnah Rasullah, mengikuti Sunnah berdasarkan pemahaman Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam agama ini. Baik perkara aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, sosial - budaya dan seluruh sisi kehidupan manusia. Kemudian, menolak seluruh bid’ah.
Bid’ah, merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan terparah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), meskipun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa yang hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat."
(HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
IKHKLAS DALAM MUTABA'AH
Mutaba'ah berarti mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan seksama - secara lahir maupun batin.
Tatkala Nabi Yusuf 'alaihissalam mengikhlaskan seluruh amal ibadah Beliau hanya untuk Rabb-nya, Allah memalingkan darinya berbagai pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
"Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang ikhlas."
(QS. Yusuf: 24).
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Oleh karena itulah ketika Iblis menyadari bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya untuk menyesatkan dan membinasakan manusia. Iblis berkata,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
"Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas diantara mereka,"
(QS. Shad: 82-83).
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi satu-satunya uswah (suri tauladan). Adapun selain Beliau, maka perkataannya bisa diterima atau ditolak, sesuai kadar kebenarannya. Karena semua yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-haq (kebenaran), sedangkan yang menentang dan menyelisihinya adalah kebatilan dan syubhat (kebatilan yang menyerupai / berkedok kebenaran).
عَنْعَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini - apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan mengikuti al-jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena para 'ulama itulah jelmaan dari Al-Jama’ah. Maka setiap orang yang ingin menetapi kebenaran dan persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para 'ulama Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, amanah, dan terpercaya agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu dari mereka dengan manhaj (metode beragama) yang lurus merupakan langkah konkret untuk menjauhi perpecahan dan menjaga persatuan. Dan para 'ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sesuai yang Allah kehendaki. Mereka itulah Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah), bukan dengan jalan mendirikan kelompok (Ormas) / partai yang memiliki tujuan beragam, sehingga makin menjauh dari bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena sumber kebenaran itu hanya satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka tidak ada cara lain untuk menegakkan dan mencapai kebenaran itu selain dari menempuh jalan yang telah digariskan-Nya. Sebagaimana firman Allah;
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, (dengan) kesesatan yang nyata."
(QS. Al-Ahzab; 36)
Dalil di atas berlaku umum mencakup seluruh permasalahan (perkara) hidup manusia, baik urusan dunia maupun Akhirat mereka, karena keduanya saling berkaitan, sebagaimana keterkaitan dan keterikatan hubungan antara sebab dengan akibat (konsekuensi) yang tidak dapat diceraikan.
Sehingga, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka tidak seorangpun diperkenankan menentangnya, dan tidak boleh ada pilihan lain, atau pendapat lain, atau ucapan lain selain dari apa yang telah ditetapkan itu, jika memang mereka betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Akhirul Kalam Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui,"
(QS. An-Nahl: 43)
(pen blog, dari berbagai sumber)
oOo