Selasa, 26 Desember 2017

ADZ-DZIKR


بسم الله الر حمان الر حيم

Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi ini memiliki beberapa nama antara lain, Al-Furqan (Pembeda), An-Nur (Cahaya), Adz-Dzikr (Peringatan), Al-‘Azhim (Keagungan), Al-Karim (Kemuliaan) dan lain-lain, yang merupakan Mu'jizat terbesar dari sekian ribu Mu'jizat yang pernah diterima oleh Rasul Muhammad shalallahu'alaihi wa sallam.


Apa pun yang dibutuhkan ummat manusia menurut kepentingannya terdapat di dalam Al-Qur’an, ada yang disebutkan secara rinci (jelas) dan ada pula yang disebutkan secara global (umum). 
Akan tetapi Al-Qur’an itu tetap menjelaskan segala sesuatu, seperti firman-Nya (artinya),
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu “  (QS. An-Nahl;  89)
Terkadang Al-Qur’an menyebutkan Dalil dalam suatu masalah, terkadang juga menyebutkan bimbingan yang mengarah kepada Dalil (As-Sunnah), seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.  Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.”  (QS. Al-Hasr;   7)
(Baca juga artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN)

BEBERAPA  MAKNA  ADZ-DZIKR
1.       1. Nasihat dan Mengambil Pelajaran. 
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Dia-lah yang memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untuk kalian rezki dari langit.  Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah."  (QS. Al-Mu'min;  13), dan
"Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah)."  (QS. Qaf;  8)
2.       2. Peringatan yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Manusia dan Jin, yang merupakan peringatan yang paling mulia, karena Al-Qur’an merupakan firman Allah ‘Azza wa Jalla.  Hanya dengan membacanya anda akan menyadari bahwa ia adalah Perkataan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, maka anda akan mengingat Keagungan Allah ‘Azza wa Jalla.  Selain itu Al-Qur’an mencakup beberapa berita yang paling akurat dan paling bermanfaat bagi hati.  Selain karena Ia mencakup berbagai kisah yang merupakan kisah yang paling bagus, paling baik dan paling sempurna.  Juga mencakup Hukum-hukum yang berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, yang mana Ia  merupakan Hukum yang paling adil dan paling lurus bagi kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia dan Akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala (artinya),
"Supaya Al-Qur'an itu memberi peringatan bagi orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan adzab) terhadap orang-orang kafir."  (QS. Yasin;  70)
Semua itu merupakan Dzikr.  Dengan demikian Al-Qur’an itu sendiri sebagai dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.  Dan karena Ia mencakup semua makna yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam seluruh Kitab Kitab-Nya.
3.       3. Ketinggian (Rif’ah) dan Kemulian bagi orang yang menjalankan dan mengamalkannya, seperti firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar suatu kemuliaan bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggung jawaban.”  (QS. Az-Zukhruf;  44)
Adz-Dzikr berarti Ketinggian dan Kemuliaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, dan juga firman-Nya (artinya),
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”  (QS. Alam Nasyrah;  4).  Artinya menyebutmu dengan Kemuliaan, Penghormatan dan Pengagungan.  Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang berpegang kepada Al-Quran, maka baginya Kemuliaan dan Kehormatan atas semua makhluk.
Oleh karena itu aku mendorong kalian untuk berpegang teguh pada Al-Qur’anul ‘Azhim.  Dan jika kalian berpegang teguh padanya sebagai Aqidah, Amal dan Petunjuk, maka kesudahan yang baik pasti akan berpihak kepada kalian.
Al-Qur’an akan mendorong orang lain tertarik mengikuti orang yang menjadikannya sebagai petunjuk, sehingga sedikit-demi sedikit mereka akan menjadi bertambah banyak, seperti batu yang dilemparkan kedalam laut dan kemudian riaknya akan meluas sehingga mencakup laut secara keseluruhan.  Tergantung pengaruh yang ditimbulkan.  Al-Hasil, jika seseorang berpegang teguh pada Al-Qur’anul Karim maka dia akan mendapat Kemuliaan dan Derajat yang Tinggi dan berada di atas sekalian makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada.
Karena, setiap kali kaum muslimin berpegang teguh pada Kitab Yang Mulia ini, maka mereka akan semakin bertambah terhormat dan mulia, demikian juga sebaliknya, setiap kali kaum muslimin menjauhkan diri dari Al-Qur’an maka akan jatuhlah harga diri mereka dan menjadi manusia yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika anda perhatikan Al-Qur’an secara seksama berulang kali, maka tidaklah diulang perhatian yang kedua itu melainkan akan tampak bagi anda makna baru selain makna yang pertama, dan tidaklah mungkin bagi seseorang untuk menguasai makna-makna Al-Qur’an itu secara keseluruhan (tuntas), tetapi setiap kali seseorang mencermatinya dalam rangka mencari kebenaran, maka ia akan mendapatkan makna yang cukup banyak, bagaikan “barang tambang” yang sangat bernilai dan tak ada habis-habisnya.  Semua itu sesuai dengan kesiapan seseorang, pemahaman dan pemikirannya.  Setiap kali seseorang mengalami penambahan iman dan taqwa, maka akan bertambah pula petunjuk dari Al-Qur’an terhadap dirinya, sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka balasan ketaqwaannya.”  (QS. Muhammad;  17), dan
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya..."  (QS. Yunus;  9), dan
"Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk."  (QS. Maryam;  76)
Perhatikan bentuk kata kerja Fi'il Mudhari' (Terus menerus / Continuous Tense) pada ayat di atas
Jadi, Ia (Al-Qur'an) merupakan petunjuk (hidayah) yang tak ada habis-habisnya. 
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia, maka Al-Qur’an pasti menjelaskannya, dan selalu Up to date (baru, aktual, dan mutakhir tidak ada usangnya).  Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala (artinya),
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah Kitab yang memberi penerangan.” (QS. Yasin;  69) Dan,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”  (QS. An-Nahl;  89).
الحمد لله رب العالمين 

oOo

(Di sadur bebas dari Kitab “Tafsiir Al-Quranil Karim”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Jumat, 08 Desember 2017

NERAKA JAHANNAM



بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),
"Setiap kali dilemparkan ke dalam Neraka sekumpulan (orang-orang kafir), para penjaga Neraka itu bertanya kepada mereka, 'Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seseorang yang memberi peringatan?'  Mereka menjawab, 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seseorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya.'  Dan kami katakan, 'Kalian tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.'"  (Al-Mulk;  8-9)

Kata "Jahannam" berasal dari kata "Al-Jahmatu", yang berarti kekelaman yang sangat pekat. 
Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),
“Jahannam akan didatangkan pada hari itu, dan dia mempunyai 70 tali kekang, dan setiap tali kekang akan ditarik oleh 70.000 Malaikat.”  (HR. Muslim no. 2842) dan hadits,
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tiba-tiba Beliau mendengar suara gemuruh.  Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apakah kalian mengetahui suara apa itu?’  Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”  Beliau bersabda, ‘Itu adalah suara batu yang dilemparkan ke dalam Neraka sejak 70 tahun yang lalu, batu itu jatuh ke dalam Neraka dan baru sekarang dia sampai di dasarnya.’”  (HR  Muslim no. 2844)
Berdasarkan Hadits pertama, berarti Neraka Jahannam itu ditarik oleh 4.900.000 (4,9 Juta) Malaikat yang sangat kuat dan perkasa.
Di atas Neraka Jahannam itulah dibentangkan Titian (Ash-Shirat) antara Bumi Mahsyar menuju Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang harus dilewati oleh setiap orang-orang yang beriman, termasuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari hadits Abu Sa'id, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda (artinya),
"Sebuah jembatan dibentangkan di atas neraka Jahannam, dan aku adalah orang pertama yang melewatinya."  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keadaannya,
“Licin dan menggelincirkan, di sana terdapat kait-kait seperti duri pohon sa’dan, lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” (HR. Muslim)
Di atas titian itulah cahaya orang-orang yang beriman akan disempurnakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kadar ketaqwaan dan amal ibadah mereka dahulu di dunia.
Yang paling tinggi diantara mereka memiliki cahaya sebesar gunung, dan yang paling rendah dari mereka  memiliki cahaya hanya seujung jempol jari kakinya yang kadang-kadang menyala dan kadang-kadang padam, nyaris tanpa cahayaNaudzubillahi min dzaalika.
Cahaya itulah yang akan membantu (membimbing) mereka melewati shirat tersebut.
Ada yang melewatinya secepat kedipan mata, ada yang berlalu seperti kilat di atasnya, ada yang secepat angin berhembus, ada yang secepat burung terbang, ada yang seperti kuda yang berlari dengan kencang, dan ada pula yang seperti unta yang ditunggangi, bahkan tidak sedikit pula yang terseok-seok dan merangkak di atasnya.
Di dalam Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud 'Alaihissalam disebutkan Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Apakah kamu tahu siapakah orang yang paling cepat berlalunya di atas Ash-Shirat?  Mereka adalah orang-orang yang ridha terhadap Hukum-Ku dan hati mereka basah karena menyebut Nama-Ku."
(Baca juga artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN, dan ADAKAH YANG LEBIH SEMPURNA DARI ISLAM?).
Gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keadaan orang-orang yang melewatinya (artinya),
“Ada yang selamat tanpa cacat, ada yang tergores tetapi selamat dan ada pula yang terjatuh ke dalam Neraka Jahannam.”  (Muttafaqun ‘Alaihi)
Orang-orang Munafik tidak mendapatkan cahaya sedikit pun dari Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu itu (Munafik Tulen), sebagaimana keadaan mereka dahulu di dunia (mereka ditimpa oleh kegelapan yang tindih bertindih) dan di atas Jahannam itu keadaan mereka jauh lebih parah lagi dibandingkan keadaan mereka dahulu di dunia.   Sehingga mereka berteriak-teriak memohon pertolongan (meminta sedikit cahaya) dari hamba-hamba Allah yang memiliki cahaya, namun dikatakan kepada mereka,
“...Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya untukmu...”  (Al-Hadid (57);  12-13)
Maka berguguranlah mereka memasuki Neraka Jahannam itu, ada yang terkait besi-besi pengait kemudian dilemparkan ke dalamnya.
"Pada hari mereka didorong ke Neraka Jahannam dengan sekuat-kuatnya."  (At-Thur;  13), yakni mereka dilemparkan ke dalamnya.
Berbagai teriakan Jin dan Manusia yang mengerikan dan memilukan terdengar di sana, namun semua suara itu tertelan oleh suara gelegar dan kegeraman Neraka Jahannam.
Sebagaimana makna firman-Nya,
"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya - mereka mendengar suara Neraka yang mengerikan, sedang Neraka itu menggelegak.  Hampir-hampir (Neraka) itu terpecah-belah lantaran sangat marah."  (Al-Mulk;  7-8)
Neraka Jahannam itu memiliki Tujuh Pintu.  Panas apinya melebihi 70 kali panas api yang paling panas di dunia ini.
Tubuh-tubuh manusia yang masuk ke dalamnya diperbesar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala beribu-ribu kali lipat, agar mereka benar-benar merasakan betapa pedihnya siksa Neraka Jahannam tersebut.  Sehingga mereka tidak mati dan tidak pula hidup di dalamnya.
"Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup."  (Al-A'la;  13)
Jarak antara kedua pundak mereka sejauh perjalanan tiga hari, kulit mereka menjadi sangat tebal, setiap kali kulit mereka hangus diganti lagi dengan kulit yang baru.  Gigi geraham mereka sebesar Gunung Uhud.
"Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab."  (An-Nisaa';  56)
Minuman mereka adalah air yang sangat panas, yang mencabik-cabik usus mereka.
"Dan mereka diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya."  (Muhammad;  15).  Sedangkan makanan mereka adalah buah dari Pohon Zaqqum (sejenis pohon yang dijadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dapat tumbuh di dalam Neraka), yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar,
"Dan dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar."  (Al-Ghasyiyah;  6-7)
Dari Abud Darda radhiyallahu 'anhu yang berkata, "Para penghuni Neraka merasakan kelaparan (yang sangat, pen.) dan itu merupakan siksaan bagi mereka.  Maka mereka berteriak-teriak meminta makanan."
Para 'Ulama menerangkan, bahwa minuman dan makanan yang diberikan kepada mereka berupa air mendidih dan pohon zaqqum tersebut merupakan ilmu dan amalan mereka dahulu di dunia yang tidak bermanfat, karena tidak sesuai dengan aturan dan tuntunan Alah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, sehingga tidak pula dapat menghilangkan rasa haus dan  lapar dari jiwa-jiwa mereka.
Mereka berteriak-teriak sambil meratap, meminta pertolongan kepada para Malaikat Penjaga Jahannam, agar mereka memohonkan keringanan adzab kepada Allah 'Azza wa Jalla, namun para Malaikat itu menjawab;
"'Dan apakah belum datang kepada kalian Rasul-Rasul kalian dengan membawa keterangan-keterangan?'  Mereka menjawab, 'Benar sudah datang'.  Penjaga-penjaga Jahannam berkata, 'Berdoalah kalian'.  Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.'" (Al-Mu'min;  50)
Para penghuni Neraka itu juga berseru kepada Malaikat Malik, "Hai Malik, biarlah Allah membunuh kami saja."  Malaikat Malik menjawab, "Kalian akan tetap tinggal di dalam Neraka."
Lalu mereka memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (lagi kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim."  (Al-Mukminun;  107).  Maka Allah 'Azza wa Jalla menjawab,
"Tinggallah dengan hina di dalamnya dan janganlah kalian berbicara dengan-Ku."  (Al-Mukminun;  108)
Jawaban Allah Ta'ala di atas menyebabkan mereka berputus asa untuk mendapatkan secercah kebaikan sekalipun.  Lalu mereka mengumpat, mencerca dan mencaci-maki.  
Darah dan Nanah (Ghislin) yang baunya sangat busuk dan kotor, bagaikan anak sungai mengalir dari daging para penghuni neraka.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Sungguh!  Penduduk Neraka akan menangis di dalam Neraka.  Seandainya perahu dijalankan di atas genangan air mata mereka - niscaya perahu tersebut akan berjalan.
Kemudian mereka akan menangis darah - sebagai ganti air mata mereka."  (HSR.  Ibnu Majah)

Di dalam Neraka Jahannam tersebut juga terdapat berbagai binatang yang berbisa dengan ukuran yang luar biasa besarnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,
"Sesungguhnya ular-ularnya seperti leher-leher onta dan kalajengkingnya seperti bagal yang dipasangi pelana."  (Diriwayatkan Ahmad)
Berbagai macam siksaan dan adzab yang sangat mengerikan, yang tak pernah terbayangkan bahkan terlintas dalam hati manusia ketika di dunia.
Berkata Al-Hasan, "Sesungguhnya api neraka itu membakar tubuh mereka dalam sehari sebanyak 70.000 kali, kemudian mereka kembali seperti sedia kala."
Siksaan yang paling ringan di dalamnya adalah, orang yang kedua telapak kakinya beralaskan bara dari api neraka yang membuat otaknya mendidih.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya);
"Sesungguhnya penduduk Neraka yang paling ringan adzabnya, adalah seseorang yang dipakaikan kedua sandal dan tali sandalnya dari api Neraka sehingga otaknya mendidih, sebagaimana mendidihnya Periuk.
Ia mengira, bahwa tidak ada seorangpun yang lebih dahsyat adzabnya daripada dirinya, padahal dialah yang paling ringan adzabnya."
(HR. Al-Bukhari no. 6562, dan Muslim no. 323)

Kulit mereka yang sangat tebal itu tidak hanya serkedar dibakar di dalamnya, tetapi ada yang dilelehkan, diseret dan dibelenggu, serta dipukuli dengan rantai-rantai yang terdapat di dalamnya.
Setiap kali penduduk Neraka dilemparkan ke dalamnya, maka dengan geramnya Neraka itu berkata, “Apakah masih ada tambahan?”  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menerangkan, bahwa kata  "Apakah" di sini maksudnya adalah meminta tambahan, yakni "tambahlah".  Demikian seterusnya berkali-kali.  Padahal dari setiap 1000 orang anak-cucu Adam ‘Alaihissalam, 999 orang telah dibenamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kedalamnya.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Allah berfirman, 'Wahai Adam,'  Adam menjawab, 'Aku memenuhi panggilan-Mu dan demi menyenangkan-Mu.' Lalu Dia (Allah) berseru dengan suara, 'Sesungguhnya Allah memerintahkanmu mengeluarkan rombongan penghuni Neraka dari keturunanmu,' (Muttafaqun 'Alaihi, diriwayatkan oleh Al-Bukhari).  Di dalam hadits yang lain Adam menjawab, "Ya Rabbi, sebanyak apa rombongan penghuni Neraka?"  Allah berfirman, "999 (Sembilanratus sembilanpuluh sembilan) orang, dari 1000 (seribu)."
Demikian terjadi berulang-ulang kali, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan Kaki-Nya di atasnya, yang menyebabkan "mulutnya" mengecil,  lalu Neraka itu pun berkata,  قط  قط  / "Qath' Qath'"  (“Cukup-cukup”).  Karena ia merasa telah penuh.

Banyak lagi sifat-sifat dari Neraka Jahannam itu yang tidak dapat kami sebutkan disini, karena akan membutuhkan uraian yang sangat panjang.  Seperti, Allah 'Azza wa Jalla tidak hanya memberi minum penduduk Neraka dengan air yang mendidih, tetapi juga dengan air yang sangat dingin, sehingga sangking dinginnya air tersebut - juga menimbulkan efek yang membakar mereka, seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Muqatil dalam menafsirkan makna firman-Nya,
"Inilah (adzab mereka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin."  (Shad;  57)

Pertanyaan pamungkasnya adalah, yakinkah kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji akan memenuhi Neraka Jahannam itu dengan timbunan Jin dan Manusia???  Kalau yakin, lakukanlah persiapan agar kita tidak menyesal, dan kelak mampu melintas di atasnya dengan selamat serta terhindar dari “terkamannya”.
(Baca juga artikel, INGIN SELAMAT?  IKUTI PETUNJUK! dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM).

Renungan
"Dan Jikalau Kami menghendaki, niscaya akan Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk baginya, akan tetapi telah tetaplah Perkataan (Ketetapan) dari-Ku, 'Sesungguhnya akan Aku penuhi Neraka Jahannam itu dengan Jin dan manusia bersama-sama.' (As-Sajdah;  13) 

oOo

Senin, 04 Desember 2017

JALAN YANG LURUS


بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberikan Petunjuk kepadanya Jalan yang Lurus.  Ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur."  
(QS. Al-Insan;  3)

Secara umum, kata At-Thariiq dan As-Sabil dalam Bahasa Arab dapat bermakna jalan-jalan kecil, yang bermuara pada Ash-Shiraat, yang bermakna Jalan yang Lurus, Luas, lagi rata, serta Tunggal. Karena kata Ash-Shirat diambil dari kata Ash-Shiratu atau Az-Ziratu yang berarti menelan sesuatu dengan cepat.  Dan suatu jalan itu tidak dikatakan jalan yang bisa dilalui dengan cepat serta mengantarkan sampai kepada tujuan dengan selamat, kecuali jika jalan itu luas dan rata serta tidak mengandung sedikit pun unsur yang dapat membahayakan / mencelakakan / meragukan  orang-orang yang melewatinya, karena ia dibawah Petunjuk, Pengawasan dan Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Ini adalah jalan-Ku yang lurus, kewajiban-Ku-lah menjaganya."  
(QS. Al-Hijr;  1) dan,
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."  
(QS. Al-Fajr;  14).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Haadza Shiraatum Mustaqiimun” 
(Yasiin; 61) yang bermakna “Inilah jalan-Ku yang lurus”
Sebagaimana Kalimat Tauhid (Kalimat Ikhlash) “Laa Ilaaha Illallahu” yang mengandung Dua unsur sekaligus yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “An-Nafyu” (Peniadaan segala sesuatu yang di Ibadahi selain Allah Subhanahu wa Tal’ala) dan unsur “Al-Itsbatu” (Menetapkan satu-satunya Allah sebagai Dzat yang diIbadahi), demikian juga dengan Al-Mustaqiim (Jalan yang Lurus) jalan yang tiada sedikit pun kebengkokan padanya.  Inilah Hakikat Tauhid yang sebenarnya. 
(Baca juga artikel, DUA RUKUN SYAHADAT)
Firman Allah Ta’ala yang mengandung unsur Penafian seperti, “Laa Ta’budus syaithan” (Janganlah kalian menyembah syaithan).  Dan kalimat yang mengandung unsur “Al-Istbatu” (Penetapan), “Wa’ Buduuni” (Dan beribadahlah / sembahlah Aku saja).
Jadi segala sesuatu yang menyuruhmu untuk melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hakikatnya adalah Syaithan, karena ia merupakan musuh yang nyata bagimu, baik engkau menyadarinya atau tidak.
Firman Allah Ta’ala,  “Mustaqiimun” (lurus).  Maka ini adalah Sifat dari jalan tersebut.  Kata Istiqamah mencakup kelurusan jalan tersebut dan kerataannya.  Dan jika dikatakan jalan itu berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri, maka ia tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus, karena sebagiannya tinggi dan sebagiannya lagi rendah.  Dan jika ada bagian yang naik dan turun, maka jalan ini juga tidak bisa disebut sebagai jalan yang lurus.  Dengan demikian, lurus berarti tidak adanya pembelokan ke kanan atau ke kiri serta tidak ada tanah yang naik dan turun (bergelombang).
Firman-Nya (artinya), “Shiraatum Mustaqiimun” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang menuju sekaligus mengantarkan seseorang sampai kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menisbatkan kata “Ash-Shiraatu” kepada Diri-Nya sendiri dan juga kepada makhluk-Nya, dimana Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi berfirman dalam surat Al-Faatihah; 7 (artinya), 
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”  
(QS. Al-Faatihah;  7).
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah menisbatkan Jalan yang Lurus tersebut kepada orang-orang yang Dia beri nikmat kepada mereka.
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Dan firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.  (Yaitu) jalan Allah Yang Kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit maupun di bumi.”  
(QS. Asy-Syuura;  52-53).
Allah Ta’ala menisbatkan Ash-Shiraath (Jalan yang Lurus) kepada orang-orang yang Dia beri kenikmatan, karena mereka telah menempuh jalan tersebut.  Dan Dia juga menisbatkan jalan tersebut kepada Diri-Nya sendiri, karena Dia-lah yang meletakkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan Dia pula yang menjaganya, dan mengantarkan sampai kepada-Nya.

BEBERAPA MANFAAT
1.       1. Dzat yang telah memerintahkan kepada kita agar tidak menyembah syaithan dan hanya menyembah Diri-Nya semata, berarti Dia telah memberikan Hujjah kepada kita, sekaligus mengemukakan alasan untuk Diri-Nya, seperti firman Allah Ta’ala (artinya),
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan (lagi) bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.  
(QS. An-Nisaa’;  165).
2.       2. Penetapan Rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada seluruh makhluk-Nya.  Dimana Dia tidak menyerahkan keikhlasan mereka pada-Nya berdasarkan akal-akal mereka, tetapi Dia perintahkan mereka melakukan keikhlasan tersebut melalui lisan para Rasul ‘alaihimussalam, karena seandainya Allah ‘Azza wa Jalla menyerahkan Ikhlash itu bersandar pada akal, niscaya akal umat manusia itu sangat berbeda-beda dan beragam, karena Hawa Nafsu itu tidak bisa diatur.  Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla menjamin hal tersebut bagi hamba-hamba-Nya (yang beriman).  
(Baca artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAHdan CELAAN TERHADAP NAFSU).
3.       3. Perlunya melakukan Tashfiyah (Pemurnian) sebelum Tahliyah (Pengisian).  Atau bisa juga dikatakan Takhliyah (Pengurangan terhadap hal-hal yang mengganggu), karena Dia telah berfirman, “Laa ta’budus syaithan.” (janganlah kalian menyembah syaithan), ini adalah Takhliyah (pengurangan), dan “Wa ani’ buduuni.”  (Dan Ibadahilah Aku saja) ini adalah Tahliyah.  Jadi, Penafian sekaligus Penetapan.  Inilah Hakikat Tauhidullah.
Dengan demikian Tauhid itu dibangun di atas 2 (dua) dasar;  Penafian dan Penetapan, karena bila Penafian semata berarti peniadaan secara murni (keseluruhan).  Sedangkan Penetapan semata tidak menghalangi keikut-sertaan yang lainnya (syirik).
Jadi, Tauhid itu tidak mungkin sempurna kecuali melalui Penafian dan Penetapan keduanya.  Dengan demikian Tauhid itu harus mencakup dua hal di atas.  Tetapi, yang mana yang harus didahulukan?
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulainya dengan Penafian, baru kemudian Penetapan.  Hal yang seperti itu cukup banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an, contoh Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi aku menyembah Rabb yang menciptakan diriku.”  
(QS. Az-Zukhruf;  26-27)
Dengan demikian hal pertama yang Beliau lakukan adalah, melepaskan diri dari segala yang disembah, untuk kemudian menetapkan Ibadah Beliau hanya untuk Allah semata Yang telah menciptakannya.
4.       4. Tidak disebut ta’at kepada syaithan, kecuali dalam berbuat maksiat kepada Allah yang merupakan suatu bentuk Ibadah seperti Firman-Nya (artinya),
“Agar kalian tidak menyembah syaithan.”
Dan Ibadah itu sendiri berarti Merendahkan Diri.  Oleh karena itu, barangsiapa menta’ati syaithan dalam bermaksiat kepada Allah, berarti dia telah menyembahnya.
5.       5. Ibadah itu tidak khusus berupa Ruku’, Sujud, Penyembelihan, Nadzar dan lain-lain, tetapi bersifat umum yang mencakup semua keta’atan yang di dalamnya disertai ketundukan yang sempurna.
(
Baca juga artikel PARA PENYEMBAH DA'I, dan PARA DA'I YANG MENGAJAK KE JAHANNAM)
6.      Allah Ta’ala telah menyebut keta’atan kepada syaithan itu sebagai Ibadah.  Dengan demikian, di dalamnya terdapat peringatan agar tidak ta’at kepada syaithan dengan berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
7.       Firman-Nya (artinya),
“Dan hendaklah kalian menyembah-Ku.  Inilah jalan yang lurus.”, yaitu adanya keharusan untuk menyembah Allah semata.
“Wa ani’ buduuniy” (Dan hendaklah kalian menyembah-Ku).”
Ibadah itu mengandung Dua Pengertian;
Pertama, Ta’abbud.
Kedua, Muta’abbad bihi.
Ta’abbud,  berarti menghinakan diri kehadirat Allah ‘Azza wa Jalla melalui perbuatan seorang hamba seperti Shalat, Zakat, Qiyamul lail, Haji dan lain sebagainya.
Muta’abbad bihi, sebutan yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah ‘Azza wa Jalla, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bathin maupun yang dzahir, yang bersifat qalbiyah (hati) maupun anggota badan (jawarih).
8.      6. Jalan yang lurus itu adalah Tauhid, yang di dasarkan pada Firman-Nya (artinya), “Inilah Jalan yang lurus.”.  “Hadza” (Inilah), berarti meninggalkan segala macam bentuk penyembahan / peribadatan terhadap syaithan dan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala semata.
“Shiraatun Mustaqiim” (Jalan yang Lurus), yakni jalan yang tidak bengkok sedikitpun.
(Baca artikel, MANHAJ)
9.       7. Jalan itu ada yang lurus dan ada yang tidak lurus (bengkok).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia.  Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.”  
(QS. Al-An’aam;  153).
Dengan demikian setiap orang dari umat manusia ini memiliki jalan masing-masing.  Jika dia berjalan di atas syari’at Allah, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang lurus.  Dan jika sebaliknya, maka berarti dia berjalan di atas jalan yang tidak lurus (bengkok) / jalan-jalan Syaithan.

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tafsiir Al-Qur’aanil Kariim”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.)

Rabu, 29 November 2017

HARAMNYA DEMO, MEMPROVOKASI MASA DAN MEMBERONTAK TERHADAP PEMERINTAH MUSLIM


بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”  (Al-Hasyr; 2)
Para ‘Ulama Ahlussunnah telah bersepakat tentang haramnya perbuatan Demo, Memprovokasi Masa serta Memberontak terhadap Pemerintah Muslim, meskipun beberapa orang diantara mereka rahimahumullah pernah terjatuh dalam permasalahan ini, akan tetapi hal tersebut seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi generasi berikutnya, dan dapat diambil hikmahnya, bukan untuk ditiru...   
Berikut beberapa Dalil (Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan Perkataan para ‘Ulama yang berkaitan dengan permasalahan ini;
1.      1. Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
Barangsiapa melihat suatu (kemungkaran) yang dia benci pada Pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari Jama’ah (Pemerintah) sejengkal saja, kemudian ia mati, maka matinya (dalam keadaan) Jahiliyah.”  (HR. Al-Bukhari-Muslim)
2.      2. “Sungguh kalian akan melihat (pada para pemimpin) kalian kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran).”  Mereka bertanya, “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Tunaikan hak mereka (pemimpin tersebut) dan mintalah hak kalian kepada Allah.”  (HR. Al-Bukhari-Muslim)
3.      3. Sahabat Yang Mulia Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhu berkata (artinya),
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyeru kami, lalu kami pun membai’at Beliau untuk senantiasa mendengar dan ta’at kepada Pemimpin, baik pada saat senang maupun susah, sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha Merebut Kekuasaan dari Pemiliknya.  Beliau bersabda, “Kecuali bila kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya,”  (HR. Al-Bukhari-Muslim)
4.      4. Berkata Imam Hasan Al-Basri rahimahullah,
“Sesungguhnya Al-Hajjaj (Penguasa Zhalim) adalah adzab dari Allah, maka janganlah kalian menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian, akan tetapi hendaklah kalian merendahkan diri karena takut pada-Nya dan tunduk berdo’a, karena Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan sungguh Kami telah timpakan kepada mereka adzab, namun mereka tidak takut kepada Rabb mereka dan tidak pula berdo’a.”  (Al-Mu’minun;  76) (Minhajus Sunnah, 4/315)
5.      5. Berkata Al-Imam Thalq bin Habib rahimahullah,
“Hadapilah fitnah (kekacauan) dengan ketakwaan.”  Maka dikatakan kepada Beliau, “Jelaskan kepada kami secara global apa itu Takwa?”  Beliau menjawab, “Takwa adalah engkau mengamalkan keta’atan kepada Allah berdasarkan Cahaya (Ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau mengharap Rahmat Allah, dan engkau tinggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan Cahaya (Ilmu) dari Allah dalam keadaan engkau takut adzab Allah.”   (Diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Abid Dunya) (Minhajus Sunnah, 4/315)
6.      6. Berkata Al-Imam Ali bin Madini rahimahullah (artinya),
“Barangsiapa yang memberontak kepada salah seorang Pemimpin Kaum Muslimin, padahal manusia telah berkumpul dibawah kepemimpinannya, dengan cara apa saja dia mendapatkan kepemimpinan itu, apakah dengan kerelaan atau dengan paksa, maka orang yang memberontak itu telah merusak Persatuan Kaum Muslimin dan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika pemberontak itu mati, maka matinya adalah Mati Jahiliyah.”  (Syarhul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah lil Laalikaai, 1/168)
7.      7. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
Para Pembesar Kaum Muslimin melarang dari pemberontakan dan peperangan dalam masa fitnah, sebagaimana Abdullah bin Umar, Said bin Al-Musayyib, Ali bin Al-Hasan dan selainnya melarang kaum muslimin dari pemberontakan terhadap Yazid dimasa Al-Harah.  Sebagaimana juga Al-Hasan Al-Basri, Mujahid dan selainnya melarang dari pemberontakan pada fitnah Ibnul Asy’ats.  Oleh karena itu telah tetap pendapat Ahlus Sunnah, bahwa tidak boleh berperang dimasa fitnah berdasarkan hadits-hadits shohih yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Dan Para ‘Ulama terus menyebutkan hal ini di dalam kitab-kitab Aqidah mereka, dan Para ‘Ulama memerintahkan ummat untuk bersabar menghadapi kezhaliman Penguasa dan tidak memerangi mereka, meskipun pernah banyak Ahli Ilmu dan Ahli Ibadah terlibat dalam peperangan dimasa fitnah (tetap saja hal itu salah).  (Minhajus Sunnah, 4/315-316)
8.      8. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Allamah Prof. DR. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah,
“Orang yang mengatakan ada perbedaan pendapat ‘ulama dalam masalah pemberontakan terhadap Pemerintah adalah “Pencari Fitnah” bukanlah penuntut Ilmu.” (Rekaman Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan).
Dan banyak lagi Dalil-dalil lain dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu di dalam artikel ini {Baca juga artikel, TA'ATLAH KEPADA PEMIMPIN, JANGAN DEMO!, dan PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-3)}.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada Rakyat dan Bangsa Indonesia, agar tidak terjatuh kembali pada kesalahan yang sama.
Meskipun pada awal mulanya mungkin punya niat "baik",
tapi karena pelaksaannya tidak sesuai dengan Aturan dan Tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah, akibatnya kerugian (mudharat) yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada perbaikan (manfaat) yang diinginkan, bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah serta korban nyawa sia-sia.
"Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki Akal"   


oOo

Senin, 27 November 2017

DUNIA = PENJARA ORANG MUKMIN = SURGA ORANG KAFIR


بسم الله الر حمان الر حيم

“Dunia ini adalah Penjara bagi orang Mukmin dan Surga bagi orang Kafir”  (HR.  Muslim)

Ketika ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu Beliau tengah berada di atas alas tidur Beliau yang dijahit dari beberapa lembaran daun kurma, tiba-tiba dia (Umar) telah berada di sampingnya, lalu dia menangis.  Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, bangsa Persi dan Romawi telah bersenang-senang dengan kenikmatan dunia yang mereka peroleh, sedang Engkau sendiri dalam keadaan seperti ini?"  Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Wahai ‘Umar, sesungguhnya orang-orang itu adalah kaum yang kebaikan mereka disegerakan di kehidupan dunia.”  (HR.  Al-Bukhari)
(Baca juga Puisi, Inilah DUNIA)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menerangkan dalam kitab “Tafsiir Al-Qur’anil Kariim”
"Bahwa orang-orang kafir itu telah dihukumi dengan kenikmatan yang mengelilingi mereka (sebagai pengikat / belenggu hati mereka, agar bertambah-tambah dosa mereka, pen.).  Dan jika mereka meninggal dunia dan langsung mendapatkan adzab, maka yang demikian itu akan lebih parah dan lebih pedih (lebih menyakitkan akibatnya, pen.) bagi mereka.  Sebab, sewaktu mereka meninggalkan dunia ini hati mereka masih terpaut erat padanya dan masih ingin bersenang-senang dengannya, pada saat itulah ditimpakan adzab (dengan tiba-tiba, pen.) pada mereka.  Kita berlindung kepada Allah 'Azza wa Jalla dari keadaan yang benar-benar merugikan dan mengerikan ini.
Dan disebutkan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, yang merupakan salah seorang Hakim di Mesir.  Pada suatu hari dia berpapasan dengan seorang Yahudi Penjual Minyak.  Dan dia telah menjual minyaknya, pakaiannya pun telah kotor.  Hakim Mesir itu berada di atas gerobak yang ditarik dengan kuda, sedangkan orang-orang berjejer di sekitarnya, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kirinya.  Lalu orang Yahudi itu menghentikannya seraya berkata, “Wahai Hakim, bagaimana Engkau bisa hidup dengan keadaan seperti itu, sedangkan aku dalam keadaan seperti ini, sementara Rasul kalian mengatakan, ‘Dunia ini penjara bagi orang Mukmin dan Surga bagi orang Kafir.’”
Maka Ibnu Hajar Asqalani rahimahullah mengatakan kepadanya, Nikmat yang aku rasakan di dunia adalah penjara jika dibandingkan dengan kenikmatan orang Mukmin di Akhirat kelak.  Dan kelelahan serta cobaan yang engkau rasakan (di Dunia) laksana Surga jika dibandingkan dengan adzab Akhirat.  Oleh karena itu engkau sekarang tengah berada di Surga, karena engkau akan berpindah kepada adzab yang tidak pernah engkau bayangkan sebelumnya.”
Mendengar Ibnu Hajar mengatakan hal tersebut, orang Yahudi itu berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”  Maka dia pun memeluk Agama Islam.
Dengan demikian, orang-orang yang bersenang-senang dengan kenikmatan mereka di dunia pada hakikatnya adalah kesengsaraan dan adzab, sekalipun tubuh-tubuh mereka menikmatinya.  Tetapi kebanyakan dari ummat manusia lalai (tidak mengetahui) akan hal itu.  Sayangnya, penyakit ini telah pula merembet ke kalangan kaum Muslimin, sehingga kebanyakan Kaum Muslimin sekarang ini tidak mengejar kecuali kenikmatan ini, yakni kenikmatan dunia serta dalam keadaan lalai terhadap kenikmatan Akhirat.  Oleh karena itu, Engkau  akan mendapati mereka senantiasa berbicara tentang Kemewahan, Kenikmatan, Senda-gurau dan semacamnya, seakan-akan mereka tidak diciptakan kecuali hanya untuk itu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.  Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir."  (At-Taubah (9);  55)
(Baca juga artikel tentang, NIKMAT).
Dan ini merupakan penghalang yang paling besar yang menghalangi seseorang dari Agamanya, dimana hatinya bergantung pada dunia dan tidak melihat, kecuali bersenang-senang dengan kenikmatan dunia.  Dan kita tidak mengingkari bahwa seseorang mendapatkan kenikmatan dunia yang dia pergunakan untuk kepentingan akhirat, bahkan jika dunia dijadikan sebagai perantara untuk mendapatkan kenikmatan Akhirat, maka yang demikian itu adalah yang sebenarnya dan dibenarkan dalam Agama.  Akan tetapi yang kita ingkari adalah jika manusia menjadikan dunia itu sebagai keinginan terbesarnya, seakan-akan dia diciptakan hanya untuk dunia saja.  Dan ini merupakan bagian dari kekurang-pahamannya terhadap Agama, juga kekurangan akalnya.  Bagaimana Anda akan menjadikan diri dan kehidupan Anda yang sangat berharga ini hanya untuk mengurus urusan yang tidak berarti (remeh) dan tidak kekal?  Allah Ta’ala berfirman seraya mengingkari Kaum Hud ‘alaihissalam (artinya), “Dan kalian membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kalian kekal (di dunia).”  (Asy-Syu’araa;  129).
Dengan demikian, Engkau tidak akan pernah kekal,  lalu bagaimana Engkau akan menjadikan lintasan yang menjadi tempat Engkau hidup ini sebagai harapan terbesar bagi dirimu?  Padahal Engkau tidak mengetahui kapan Engkau akan meninggalkannya.  Setiap orang yang bermewah-mewahan itu tidak menyadari kapan ia akan mati, sementara dia mengetahui bahwa ia akan kekal di Akhirat- jika memang ia beriman kepadanya.  Meski demikian, dia berbuat untuk dunia (memakmurkannya), padahal dia diciptakan bukan untuk tujuan itu, dan meninggalkan Akhirat yang dia diciptakan untuknya."
Demikian pembahasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah


oOo

Jumat, 24 November 2017

ZAMAN FITNAH & CARA MENYIKAPINYA


بسم الله الر حمان الر حيم


APA ITU FITNAH?
Fitnah dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti; “Perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).  Merupakan perbuatan yang tidak terpuji”  (KBBI)

Menurut Bahasa Arab
Para Ahli Bahasa Arab menjelaskan, bahwa dalam kata FITNAH terkandung makna UJIAN dan Upaya untuk menyingkap sesuatu.  Oleh karena itu kata Fitnah pada asalnya digunakan untuk pengujian kadar keaslian emas atau untuk membedakan emas yang asli atau palsu dengan cara dimasukkan kedalam api yang panas.

Beberapa Makna Fitnah yang Tertera dalam Al-qur’an dan As-Sunnah;
1.       1. Perbuatan Syirik dan Kekufuran (Baca Artikel, SYIRIK).
2.       2. Ujian dan Cobaan dalam Kehidupan Manusia dan Jin.
3.       3. Dosa-dosa yang diperbuat oleh Manusia dan Jin.
4.       4. Pembunuhan, Peperangan.
5.       5. Berpaling dari Jalan yang Lurus (Baca juga artikel, JALAN YANG LURUS).
6.       6. Musibah, Penyakit menular, Kekacauan, Adzab.  
7.       7. Dan lain-lain sebagainya (tergantung konteks kalimat dan petunjuk-petunjuk / qarinah yang ada).

TANDA-TANDA ZAMAN FITNAH
Diantaranya;
1.       1. Manusia Mengangkat Para Pemimpin Mereka dari Kalangan Orang-Orang yang Bodoh (tentang Agama Mereka). 
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sesungguhnya Allah tidak mengambil Ilmu dengan mencabutnya begitu saja dari hamba-hamba-Nya.  Akan tetapi Dia mengangkat Ilmu dengan cara mematikan Para ‘Ulama.  Sehingga apabila tidak ada seorang pun yang ‘Alim, niscaya manusia akan mengangkat Pemimpin-pemimpin yang bodoh.  Ketika ditanya, mereka akan berfatwa tanpa Ilmu, akibatnya mereka jadi sesat dan menyesatkan.”  (HSR.  Al-Bukhari dan Muslim)
2.       2. Kaum Muslimin Mengikuti / Meniru-niru Gaya Hidup Orang-Orang Yahudi dan Nasrani
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sesungguhnya kalian akan mengikuti cara hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga jika mereka masuk ke lubang dhab (sejenis kadal), pasti kalian akan mengikutinya.  Kami bertanya, ’Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud Yahudi dan Nasrani?’  Beliau menjawab, ‘Maka siapa lagi kalau bukan mereka’”  (HSR.  Al-Bukhari dan Muslim)
3.       3. Datangnya Zaman yang Penuh Tipu Daya
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan datang suatu masa yang menipu, dimana para Pendusta dibenarkan, orang-orang yang Jujur di dustakan, Para Penghianat diberi Amanat dan orang-orang yang Amanat dianggap Penghianat.  Dan dimasa itu Ruwaibidhah berbicara.  Lalu dikatakan, ‘Siapakah Ruwaibidhah itu?’  Beliau menjawab, Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan umum (umat)”  (HR. Ibnu Majah)
4.       4. Manusia Tidak Peduli Lagi Tentang Halal dan Haram
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana seseorang sudah tidak memperdulikan lagi tentang harta yang ia dapatkan, apakah dari hasil yang Halal atau dari yang Haram.”  (HSR.  Al-Bukhari)
Dan lain-lain sebagainya.

CARA MENYIKAPI / SOLUSINYA
Berpegang teguh kepada Al-qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para Sahabat radhiyallahu anhuma, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Telah aku tinggalkan bersama kalian, jika kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”  (Hadits Hasan Riwayat Imam Malik, dan Imam Hakim)

KEUNTUNGAN BERPEGANG TEGUH KEPADA  AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
1.       Digolongkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada “Ahlul Hidayah Sejati”
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar."  
(QS. Al-Hujurat;  15), dan
“...Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummiy (buta huruf) yang beriman kepada Allah dan kepada Kalimat-Kalimat-Nya (Kitab-Kitab-Nya) dan ikutilah Dia (Muhammad), agar kamu mendapat Petunjuk.  
(QS. Al-A’raaf (7);  158).  Dan banyak lagi Dalil yang lainnya.
2.       Akan Mendapatkan Ganjaran Pahala yang Besar
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya dibelakang kamu ada hari-hari yang penuh dengan kesabaran.  Pada saat itu orang-orang yang berpegang dengan apa yang kalian pegangi akan mendapatkan ganjaran pahala sebanyak 50 (limapuluh) orang dari kalian.  Mereka bertanya, ‘Wahai Nabiyullah, ataukah mendapat pahala limapuluh orang dari mereka?’  Beliau menjawab, ‘Bahkan pahala limapuluh orang dari kalian!’”  (Silsilah Hadits Shahih Syaikh Al-Albani No. 494)
3.       Terhindar dari Kehinaan dan Kehancuran
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Apa saja yang aku larang, maka jauhilah ia dan apa saja yang aku perintahkan kerjakanlah ia semampu kalianSesungguhnya hancurnya kaum sebelum kalian adalah disebabkan mereka banyak bertanya dan menyelesihi Nabinya.”  (HSR.  Al-Bukhari dan Muslim),
“...Dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang menyelisihi perintahku.  Barangsiapa yang mencontoh suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum itu.”  (HR.  Ahmad, Shahihul Jaami’  Syaikh Al-Albani no. 2831)
4.       Terjaga dari Pengaruh Kelompok-Kelompok Sesat
“...Maka barangsiapa diantara kalian yang hidup serpeninggalku nanti niscaya akan melihat perselisihan yang banyak.  Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah sepeninggalku, peganglah sunnah itu dan gigitlah ia dengan gerahammu dan hati-hatilah dengan urusan yang diada-adakan dalam Agama ini, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu adalah Bid’ah dan setiap Bid’ah itu adalah kesesatan.”  (HSR.  Abu Daud)
5.       Digolongkan kepada Umat Rasulullah yang Beruntung
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Islam itu pada mulanya adalah Asing dan ia akan kembali lagi menjadi Asing sebagaimana awal kedatangannya.  Maka beruntunglah bagi mereka yang asing itu.’”  (HSR. Muslim)


oOo

Senin, 20 November 2017

INGIN SELAMAT? IKUTI PETUNJUK!


بسم الله الر حمان الر حيم

Rahmat, Karunia, dan Nikmat terbesar yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi ini adalah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh umat manusia dengan membawa Petunjuk Hidup yang Lengkap dan Sempurna dari-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi Rahmat bagi Semesta Alam.”  (Al-Ambiya (21);  107)
“...Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti Petunjuk.”  (Thoha(20);  47)
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang benar, agar dimenangkan-Nya terhadap semua Agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.”  (At-Taubah (9);  33)

CIRI-CIRI MANUSIA YANG MENGIKUTI PETUNJUK;
1.       1. Lapang Dadanya untuk Memeluk Islam
Firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya),
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan Petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk Islam.  Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.  Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”  (Al-An’am (6);  125)
2.       2. Tidak  Menyekutukan Allah dengan Sesuatu apapun dalam Beribadah kepada-Nya
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.  Barang siapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.”  (An-Nisaa’ (4);  116)
(Baca artikel, SYIRIK)
3.       3. Tidak Melakukan Suatu Perbuatan yang Membatalkan ke-Islamannya
(Baca Artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya),
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, (padahal) mereka telah mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangan (pun) telah datang kepada mereka?  Allah tidak menunjuki orang-orang yang zhalim.”  (Ali-Imran (3);  86)
4.       4. Tidak Munafik, yaitu Orang-Orang yang Menampakkan Ke-Islamannya secara Lahiriyah, tetapi Menyimpan Sesuatu yang Mengganjal (kekufuran) di Dalam Hatinya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka mengapa kamu terpecah menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-orang Munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran disebabkan usaha mereka sendiri?  Apakah kamu bermaksud memberikan petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan AllahBarang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk memberikan petunjuk.”  (An-Nisaa’ (4);  88)
5.       5. Tidak Menentang Rasul dan Para Sahabat Beliau dalam Menjalankan Syariat Islam
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang Mukmin, Kami biarkan dia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”  (An-Nisaa’ (4);  115)
(Baca artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN, serta artikel EMPAT SYARAT SYAHADAT MUHAMMAD RASULULLAH)
6.       6. Tidak Sombong (Menolak Kebenaran dan Merendahkan Manusia)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.  Jika mereka melihat tiap-tiap Ayat-Ku mereka tidak beriman kepada-Nya.  Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk mereka tidak mau menempuhnya.  Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan Ayat-Ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.”  (Al-A’raaf (7);  146)
7.       7. Lebih Mengutamakan Islam dan Sunnah Rasul-Nya daripada yang Lainnya (Adat-istiadat, Budaya, Warisan Nenek Moyang, Akal, perasaan manusia, Politik, Organisasi dan lain-lain)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’.  Mereka menjawab, ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati Bapak-Bapak (Nenek Moyang) kami melakukannya.’  Dan apakah mereka itu akan mengikuti juga Nenek Moyang mereka itu walaupun tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat Petunjuk?”  (Al-Maidah(5);  104)
(Baca juga artikel tentang "Ce-i... Ci+eN, Te-a... Ta, Cinta").
8.       8. Tidak Memperturutkan Hawa-Nafsunya dalam Beragama
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil dan Janganlah kamu mengikuti Hawa Nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.  Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan.”  (Shaad (38);  26)
(Baca artikel, CELAAN TERHADAP NAFSU)

Kesimpulan
Barangsiapa yang menerima dan mengamalkan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya secara Lahir maupun Bathin, maka ia termasuk manusia yang dikehendaki Petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Dan, barangsiapa yang berat untuk menerimanya bahkan menolak, berarti Allah ‘Azza wa Jalla hendak menyesatkannya, dan telah menyediakan adzab yang besar. 

Renungan
"Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itu ibarat Perahu Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka ia selamat, dan barangsiapa yang enggan, maka ia akan binasa."  ('Ulama) 

oOo

Kamis, 16 November 2017

MANHAJ


بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;
لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا
"Likullin ja'alnaa minkum syir'atan wa minhaa Jan"
"Dan, Kami jadikan untuk masing-masing kalian Syari'at dan Minhaj."  
(QS. Al-Maidah;  48)

Manhaj atau Minhaj (jamak), adalah metode atau cara yang digunakan seseorang untuk Memahami dan Mengamalkan  Syari’at Islam.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menerangkan, bahwa maknanya adalah Sunnah itu sendiri, merupakan jalan yang ditempuh dan sangat terang (jelas).
Penjelasan yang sama dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya.
Manhaj yang benar (lurus) adalah manhaj / pemahaman yang mengacu kepada Tiga Generasi Terbaik Islam Sepanjang Zaman {Generasi Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (radhiyallahu 'anhuma), Generasi Taabi’in dan Generasi Tabi’ut Taabi’in (rahimahumullah)}.  Yang telah diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah..." 
(QS. Ali-Imran; 110).
Karena itulah satu-satunya Manhaj (Metode) yang benar, dapat diterima dan dipahami Fitrah awal penciptaan umat manusia yang masih murni, terbebas dari segala bentuk penyimpangan (kesesatan).
Kajian tentang Manhaj yang lurus (benar) dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ini terasa begitu penting dan sangat mendesak, karena terpecahnya pemahaman umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Agama Islam menjadi 73 Golongan / Hadits Iftiraqul UmmahSementara yang "direkomendasikan" (diridhai) oleh Allah ‘Azza wa Jalla hanya 1 (satu) golongan saja.
Sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
"Yahudi telah terpecah menjadi 71 (tujuhpuluh satu) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.  Nashara telah terpecah menjadi 72 (tujuhpuluh dua) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.  Dan, umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuhpuluh tiga) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.
Maka, ada Sahabat yang bertanya, 'Siapa golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?'
Maka, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Golongan yang mengamalkan apa yang aku amalkan, dan para sahabatku pada hari ini.'
Dalam riwayat lain, 'Golongan yang selamat itu adalah Al-Jama'ah.'"
(HR.  Tirmidzi, no. 2641), dan hadits;
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuhpuluhdua) golongan dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuhpuluhtiga) golongan.  Yang 72 (tujuhpuluhdua) golongan akan masuk Neraka, dan satu golongan akan masuk Surga, yaitu Al-Jama'ah." 
(HR. Abu Daud), dan hadits;
“Sebaik-baik (generasi umat) manusia adalah kurun-ku (generasi Sahabat), kemudian yang setelahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang setelahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in)”  (HSR. Al-Bukhari-Muslim).
Tuntutan akan pemahaman Manhaj yang benar dan lurus tersebut semakin terasa karena ngambangnya informasi yang beredar di tengah-tengah kaum Muslimin di berbagai belahan dunia, akibat pendapat-pendapat pribadi orang-orang (tokoh masyarakat, Ormas) / para Da'i yang dianggap orang awam memahami ajaran Agama, yang mereka sandarkan kepada Islam secara gegabah, tanpa dalil yang shahih (benar) dan rajih (kuat) dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau Ijma' (kesepakatan) Salafus Shalih, padahal sejatinya mereka adalah ‘Ulama Suu’ (‘Ulama yang buruk pemahamannya tentang Syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dengan ilmunya mereka menginginkan kenikmatan dunia serta kedudukan yang terpandang di masyarakat).
{Baca juga artikel, JAUHILAH DUA TIPE MANUSIA}.
Kengambangan informasi yang telah beredar luas di tengah-tengah masyarakat Muslim itu diperparah lagi dengan berbagai kepentingan pribadi, kelompok, politik, atau golongan tertentu, yang lebih didahulukan daripada membela (menegakkan) kebenaran (al-haq).  Lengkaplah sudah persoalan Agama umat Islam.    

CAKUPAN MANHAJ  YANG BENAR (LURUS);
Para ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah bersepakat, bahwa kebenaran itu hanya satu dan padu, baik yang menyangkut urusan dunia maupun Akhirat mereka, yaitu apa-apa yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi-Nya, serta Ijma' (kesepakatan) Salafus Shalih ('Ulama Ahlussunnah) yang meliputi persoalan Aqidah, Tauhid, Iman, Manhaj,  Metode Da’wah, dan berbagai;  "Persoalan Pokok (Ushul); Yang meliputi Ilmu tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, Ijma' 'Ulama, Perkataan Para Sahabat, maupun Cabang (Furu’); Apa-apa yang dipahami dari Ilmu Dasar (Pokok), yang memberikan bimbingan kepada akal, sehingga mampu memahami apa yang seharusnya dipahami." (Ibnu Qudamah rahimahullah) Yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah (baku / berdasarkan Wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang bersumber dari Al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
(Baca juga artikel, JALAN YANG LURUS)  
Tidak diperkenankan adanya perselisihan (perbedaan pendapat) pada masalah-masalah yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah ini, hanya karena tidak mencocoki kondisi zaman (Fiqhul waqi' / Kondisi kekinian), akal dan perasaan manusia, karena hal-hal yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah ini juga jadi Standar Acuan para ‘Ulama Jarh wa Ta’dil (Kritikan dan Pujian) utamanya, dan disiplin ilmu lainnya (Ahlul Hadits) guna mengembalikan ajaran Syari’at Islam pada kemurniannya.  Sehingga, setiap persoalan yang muncul di tengah kaum Muslimin dapat didudukkan secara Adil dan Proporsional, tidak menimbulkan bias yang mengakibatkan pecahnya pemahaman umat Islam terhadap Agama mereka.
(Baca artikel, Biografi Syaikh DR. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali, sebagai Pemegang Bendera Jarh wa Ta'dil)
Sebab, bila tidak demikian dengan "bebasnya" setiap orang akan mengaku Ahlussunnah wal Jama'ah, tanpa merujukkan Aqidah dan Amal Ibadah mereka kepada Nara Sumber ('Ulama) yang lebih jernih Ilmu, Aqidah dan Dakwah mereka.
Di sini terlihat betapa pentingnya peran 'ulama Jarh wa Ta'dil, sebagaimana perkataan Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rahimahullah,
"Seandainya bukan karena keberadaan ('ulama Jarh wa Ta'dil) semacam ini, niscaya para manusia pendusta akan (leluasa) mempermain-mainkan As-Sunnah.  Yang ma'ruf akan bercampur aduk dengan yang mungkar, dan tidak jelas lagi mana kebenaran, dan mana kebathilan (kesalahan)."
(Daf'ur Ribah, hal. 53)

Apalagi dalam Agama Islam yang menjadi dasar penilaian utama terhadap segala sesuatu adalah hakikatnya (hujjah), bukan nama.  Sebagai contoh sederhana, nama boleh saja "Pekerja Seks Komersial", "Wanita Tuna Susila", "Kupu-kupu Malam" atau "Cabe-cabean", tetapi hakikatnya tetap saja "Pelacur", dan banyak lagi contoh-contoh lain.
Meskipun bukan merupakan 'aib - bahkan kewajiban bagi setiap individu Muslim menisbatkan dirinya kepada Manhaj Ahlussunnah, karena itulah Hakikat Kebenaran yang sebenarnya.  Akan tetapi, merujukkan Aqidah (keyakinan), Manhaj, Metode Dakwah dan Amal-Ibadah seseorang kepada sumber yang "jernih" (para 'ulama yang ahli, lebih mengetahui duduk persoalannya) lebih utama daripada sekedar pengakuan.  Dan, ke sanalah al-wala' (loyalitas) suharusnya ditujukan, sekaligus berlepas diri (al-bara') dari berbagai bentuk penyimpangan dan kesesatan.  Sebab, ketundukan hati terhadap semua perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya (kebenaran), itu jauh lebih berharga di sisi Allah 'Azza wa Jallla daripada sekedar "ketundukan anggota Jawarih" (Ibadah Fisik), dan membela "Bendera Kelompok" (Hizbiyyah).  Sebagaimana yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla di dalam Al-Qur'an (artinya),
"Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.  Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."  
(QS. Al-Mulk (67);  2), dan
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan 'kami mendengar dan kami patuh.'  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."  
(QS. An-Nuur (24);  51), dan
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin, dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.  Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata."  
(QS. Al-Ahzaab (33);  36)       
Dengan jelas dan tegas Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan pada ayat-ayat di atas, bahwa Dia Subhanahu lebih mendahulukan aspek kualitas / kepatuhan / ketundukan (menjaga kemurnian Agama, Iman, dan Amal) daripada kuantitas (banyaknya jumlah / pengikut)?  
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an maupun Hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang kualitas Iman. 
Jadi, bila setiap individu maupun kelompok yang bernaung di bawah bendera Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) mau mengacu pada para 'ulama (nara sumber) yang "Lebih Jernih", "Lebih berkompeten (lebih dekat pada kebenaran)", baik Ilmu, Aqidah, Manhaj dan Dakwah mereka, dengan mengenyampingkan semua kepentingan pribadi dan kelompok, diharapkan dapat memperkecil bias (perpecahan) tersebut, kendati telah menjadi Sunnatullah Rabbul 'Izzati akan terjadi perpecahan umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wallahul muwaffiq".    


Renungan
"Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (lebih mengetahui), jika kalian tidak mengetahui."  
(QS. An-Nahl;  43)

"Murnikanlah Agama-mu, niscaya cukup bagimu dengan amalan yang sedikit."  
(Makna Al-Hadits) 

oOo