Kamis, 16 November 2017

MANHAJ


بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;
لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا
"Likullin ja'alnaa minkum syir'atan wa minhaa Jan"
"Dan, Kami jadikan untuk masing-masing kalian Syari'at dan Minhaj."  
(QS. Al-Maidah;  48)

Manhaj atau Minhaj (jamak), adalah metode atau cara yang digunakan seseorang untuk Memahami dan Mengamalkan  Syari’at Islam.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menerangkan, bahwa maknanya adalah Sunnah itu sendiri, merupakan jalan yang ditempuh dan sangat terang (jelas).
Penjelasan yang sama dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya.
Manhaj yang benar (lurus) adalah manhaj / pemahaman yang mengacu kepada Tiga Generasi Terbaik Islam Sepanjang Zaman {Generasi Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (radhiyallahu 'anhuma), Generasi Taabi’in dan Generasi Tabi’ut Taabi’in (rahimahumullah)}.  Yang telah diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah..." 
(QS. Ali-Imran; 110).
Karena itulah satu-satunya Manhaj (Metode) yang benar, dapat diterima dan dipahami Fitrah awal penciptaan umat manusia yang masih murni, terbebas dari segala bentuk penyimpangan (kesesatan).
Kajian tentang Manhaj yang lurus (benar) dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ini terasa begitu penting dan sangat mendesak, karena terpecahnya pemahaman umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Agama Islam menjadi 73 Golongan / Hadits Iftiraqul UmmahSementara yang "direkomendasikan" (diridhai) oleh Allah ‘Azza wa Jalla hanya 1 (satu) golongan saja.
Sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
"Yahudi telah terpecah menjadi 71 (tujuhpuluh satu) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.  Nashara telah terpecah menjadi 72 (tujuhpuluh dua) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.  Dan, umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuhpuluh tiga) golongan - semuanya masuk Neraka, kecuali satu.
Maka, ada Sahabat yang bertanya, 'Siapa golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?'
Maka, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Golongan yang mengamalkan apa yang aku amalkan, dan para sahabatku pada hari ini.'
Dalam riwayat lain, 'Golongan yang selamat itu adalah Al-Jama'ah.'"
(HR.  Tirmidzi, no. 2641), dan hadits;
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuhpuluhdua) golongan dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuhpuluhtiga) golongan.  Yang 72 (tujuhpuluhdua) golongan akan masuk Neraka, dan satu golongan akan masuk Surga, yaitu Al-Jama'ah." 
(HR. Abu Daud), dan hadits;
“Sebaik-baik (generasi umat) manusia adalah kurun-ku (generasi Sahabat), kemudian yang setelahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang setelahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in)”  (HSR. Al-Bukhari-Muslim).
Tuntutan akan pemahaman Manhaj yang benar dan lurus tersebut semakin terasa karena ngambangnya informasi yang beredar di tengah-tengah kaum Muslimin di berbagai belahan dunia, akibat pendapat-pendapat pribadi orang-orang (tokoh masyarakat, Ormas) / para Da'i yang dianggap orang awam memahami ajaran Agama, yang mereka sandarkan kepada Islam secara gegabah, tanpa dalil yang shahih (benar) dan rajih (kuat) dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau Ijma' (kesepakatan) Salafus Shalih, padahal sejatinya mereka adalah ‘Ulama Suu’ (‘Ulama yang buruk pemahamannya tentang Syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dengan ilmunya mereka menginginkan kenikmatan dunia serta kedudukan yang terpandang di masyarakat).
{Baca juga artikel, JAUHILAH DUA TIPE MANUSIA}.
Kengambangan informasi yang telah beredar luas di tengah-tengah masyarakat Muslim itu diperparah lagi dengan berbagai kepentingan pribadi, kelompok, politik, atau golongan tertentu, yang lebih didahulukan daripada membela (menegakkan) kebenaran (al-haq).  Lengkaplah sudah persoalan Agama umat Islam.    

CAKUPAN MANHAJ  YANG BENAR (LURUS);
Para ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah bersepakat, bahwa kebenaran itu hanya satu dan padu, baik yang menyangkut urusan dunia maupun Akhirat mereka, yaitu apa-apa yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi-Nya, serta Ijma' (kesepakatan) Salafus Shalih ('Ulama Ahlussunnah) yang meliputi persoalan Aqidah, Tauhid, Iman, Manhaj,  Metode Da’wah, dan berbagai;  "Persoalan Pokok (Ushul); Yang meliputi Ilmu tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah, Ijma' 'Ulama, Perkataan Para Sahabat, maupun Cabang (Furu’); Apa-apa yang dipahami dari Ilmu Dasar (Pokok), yang memberikan bimbingan kepada akal, sehingga mampu memahami apa yang seharusnya dipahami." (Ibnu Qudamah rahimahullah) Yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah (baku / berdasarkan Wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang bersumber dari Al-Qur'an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
(Baca juga artikel, JALAN YANG LURUS)  
Tidak diperkenankan adanya perselisihan (perbedaan pendapat) pada masalah-masalah yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah ini, hanya karena tidak mencocoki kondisi zaman (Fiqhul waqi' / Kondisi kekinian), akal dan perasaan manusia, karena hal-hal yang telah ditetapkan secara Tauqifiyah ini juga jadi Standar Acuan para ‘Ulama Jarh wa Ta’dil (Kritikan dan Pujian) utamanya, dan disiplin ilmu lainnya (Ahlul Hadits) guna mengembalikan ajaran Syari’at Islam pada kemurniannya.  Sehingga, setiap persoalan yang muncul di tengah kaum Muslimin dapat didudukkan secara Adil dan Proporsional, tidak menimbulkan bias yang mengakibatkan pecahnya pemahaman umat Islam terhadap Agama mereka.
(Baca artikel, Biografi Syaikh DR. Rabi' bin Hadi Al-Madkhali, sebagai Pemegang Bendera Jarh wa Ta'dil)
Sebab, bila tidak demikian dengan "bebasnya" setiap orang akan mengaku Ahlussunnah wal Jama'ah, tanpa merujukkan Aqidah dan Amal Ibadah mereka kepada Nara Sumber ('Ulama) yang lebih jernih Ilmu, Aqidah dan Dakwah mereka.
Di sini terlihat betapa pentingnya peran 'ulama Jarh wa Ta'dil, sebagaimana perkataan Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rahimahullah,
"Seandainya bukan karena keberadaan ('ulama Jarh wa Ta'dil) semacam ini, niscaya para manusia pendusta akan (leluasa) mempermain-mainkan As-Sunnah.  Yang ma'ruf akan bercampur aduk dengan yang mungkar, dan tidak jelas lagi mana kebenaran, dan mana kebathilan (kesalahan)."
(Daf'ur Ribah, hal. 53)

Apalagi dalam Agama Islam yang menjadi dasar penilaian utama terhadap segala sesuatu adalah hakikatnya (hujjah), bukan nama.  Sebagai contoh sederhana, nama boleh saja "Pekerja Seks Komersial", "Wanita Tuna Susila", "Kupu-kupu Malam" atau "Cabe-cabean", tetapi hakikatnya tetap saja "Pelacur", dan banyak lagi contoh-contoh lain.
Meskipun bukan merupakan 'aib - bahkan kewajiban bagi setiap individu Muslim menisbatkan dirinya kepada Manhaj Ahlussunnah, karena itulah Hakikat Kebenaran yang sebenarnya.  Akan tetapi, merujukkan Aqidah (keyakinan), Manhaj, Metode Dakwah dan Amal-Ibadah seseorang kepada sumber yang "jernih" (para 'ulama yang ahli, lebih mengetahui duduk persoalannya) lebih utama daripada sekedar pengakuan.  Dan, ke sanalah al-wala' (loyalitas) suharusnya ditujukan, sekaligus berlepas diri (al-bara') dari berbagai bentuk penyimpangan dan kesesatan.  Sebab, ketundukan hati terhadap semua perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya (kebenaran), itu jauh lebih berharga di sisi Allah 'Azza wa Jallla daripada sekedar "ketundukan anggota Jawarih" (Ibadah Fisik), dan membela "Bendera Kelompok" (Hizbiyyah).  Sebagaimana yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla di dalam Al-Qur'an (artinya),
"Yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.  Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."  
(QS. Al-Mulk (67);  2), dan
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan 'kami mendengar dan kami patuh.'  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."  
(QS. An-Nuur (24);  51), dan
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin, dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.  Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata."  
(QS. Al-Ahzaab (33);  36)       
Dengan jelas dan tegas Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan pada ayat-ayat di atas, bahwa Dia Subhanahu lebih mendahulukan aspek kualitas / kepatuhan / ketundukan (menjaga kemurnian Agama, Iman, dan Amal) daripada kuantitas (banyaknya jumlah / pengikut)?  
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an maupun Hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbicara tentang kualitas Iman. 
Jadi, bila setiap individu maupun kelompok yang bernaung di bawah bendera Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) mau mengacu pada para 'ulama (nara sumber) yang "Lebih Jernih", "Lebih berkompeten (lebih dekat pada kebenaran)", baik Ilmu, Aqidah, Manhaj dan Dakwah mereka, dengan mengenyampingkan semua kepentingan pribadi dan kelompok, diharapkan dapat memperkecil bias (perpecahan) tersebut, kendati telah menjadi Sunnatullah Rabbul 'Izzati akan terjadi perpecahan umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wallahul muwaffiq".    


Renungan
"Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (lebih mengetahui), jika kalian tidak mengetahui."  
(QS. An-Nahl;  43)

"Murnikanlah Agama-mu, niscaya cukup bagimu dengan amalan yang sedikit."  
(Makna Al-Hadits) 

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar