Selasa, 29 Agustus 2017

ALLAH MEMALINGKAN HATI ORANG MUNAFIK DARI MELIHAT KEBENARAN


بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Ta’ala (artinya),
“...Setelah itu mereka pun berpaling.  Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti.”  (At-Taubah;  127)
Allah mengabarkan perbuatan orang-orang munafik, yaitu berpaling, dan juga mengabarkan perbuatan-Nya, yaitu memalingkan hati mereka dari Al-Qur’an dan dari memperhatikannya, karena mereka memang orang yang tidak pantas memperhatikannya.  Jadi, tempatnya tidak layak untuk itu.  Kelayakan tempat untuk memperhatikan Al-Qur’an terjadi karena dua hal; *Pemahaman yang baik, dan *Tujuan yang baik.  Sedangkan hati orang-orang munafik itu tidak bisa memahami dan tujuan mereka pun buruk (Dunia, dunia, dan dunia...).  Hal ini telah ditegaskan Allah di dalam firman-Nya (artinya),
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.   Dan, jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).  (Al-Anfal; 23)
Allah mengabarkan penolakan iman yang ada dalam diri mereka.  Tidak ada kebaikan pada diri mereka sekalipun iman itu masuk kedalam hati mereka.  Allah tidak membuat mereka mendengar karena ketiadaan dorongan keinginan untuk memahami dan mengambil manfaat.  Seperti hasil yang diperoleh dari proses mendengar yang dilakukan oleh orang-orang mukmin tidak akan terwujud pada diri orang-orang munafik.  Padahal Allah ingin menegakkan hujjah atas mereka.  Kemudian Allah mengabarkan penghalang lain yang terdapat di dalam hati mereka, sehingga mereka tidak beriman meskipun Allah telah membuat mereka dapat mendengar.  Penghalang ini bersifat khusus, yaitu takabur dan berpaling.  Yang pertama (takabur) menghalangi pemahaman dan yang kedua (berpaling) menghalangi untuk tunduk dan patuh.  Pemahaman mereka buruk dan tujuan mereka pun hina.  Ini merupakan sifat kesesatan dan panji penderitaan, sebagaimana pemahaman yang baik dan tujuan yang lurus merupakan sifat petunjuk dan panji kebahagiaan.
Perhatikanlah firman Allah, “Setelah itu mereka pun berpaling.  Allah telah memalingkan hati mereka”, bagaimana Allah menjadikan kalimat yang kedua ini, entah bentuknya merupakan khabar ataupun pengulangan, sebagai hukuman atas perbuatan mereka yang berpaling.  Ini merupakan hukuman berupa keberpalingan yang berbeda dengan keberpalingan yang pertama.  Keberpalingan mereka terjadi karena tidak adanya kehendak Allah terhadap mereka untuk menerima iman, karena pada diri mereka tidak ada kelayakan untuk menerima iman tersebutMereka tidak mau menerima dan tidak mau tunduk-patuh, sehingga dengan kejahilan (kebodohan) dan kezalimannya, hati mereka berpaling dari Al-Qur’an.  Maka Allah menghukumi keadaan mereka itu dengan keberpalingan yang berbeda dengan keberpalingan yang pertama (lebih parah, pen.), sebagaimana difirmankan Allah di tempat lain (artinya),
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.”  (Ash-Shaf;  5)
Begitulah yang terjadi jika hamba berpaling dari Rabb-nya, yang dihukum Allah dengan memalingkan dirinya dari Dia (Allah), dan setelah itu tidak mungkin baginya untuk kembali pada-NyaSemoga engkau bisa mengambil pelajaran dari kisah Iblis yang ingkar.  Tatkala ia durhaka kepada Rabb-nya dan tidak mau tunduk kepada perintah-Nya serta dia bersikukuh dengan pendiriannya, maka Allah menghukumnya dengan menjadikannya sebagai penyeru kepada setiap kedurhakaan.  Allah menghukumnya atas kedurhakaannya yang pertama, dengan menjadikannya sebagai penyeru kepada setiap kedurhakaan dengan cabang-cabangnya, yang besar maupun yang kecil.  Keberpalingan dan kekufuran ini merupakan hukuman dari keberpalingan dan kekufuran sebelumnya.  Diantara bentuk hukuman keburukan ialah keburukan lain setelah itu, sebagaimana balasan pahala kebaikan adalah kebaikan yang lain setelahnya.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Bagaimana cara menyelaraskan pengingkaran Allah terhadap pengingkaran dan keberpalingan mereka dari-Nya, sementara Dia berfirman (artinya), ‘Maka bagaimanakah kalian dipalingkan dari kebenaran?’   Begitu pula firman-Nya, ‘Bagaimana mereka sampai berpaling?’  Juga dengan firman-Nya, ‘Maka mengapa mereka berpaling dari peringatan (Allah)?’  Kalau memang Allah yang membuat mereka berpaling?, lalu bagaimana mungkin Allah sendiri yang mensifati hal itu?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Mereka tetap berada dalam lingkup keadilan Allah dan hujjah-Nya atas diri mereka.  Allah telah memberikan peluang kepada mereka, membukakan pintu, menuntun jalan dan menyediakan berbagai sebab (keselamatan, pen.) bagi mereka.  Allah mengutus Rasul kepada mereka, menurunkan Kitab dan menyeru mereka untuk mengikuti Rasul-Nya.  Allah memberikan akal yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan manfaat dan mana yang mendatangkan mudharat, mana sebab-sebab kenistaan dan sebab-sebab keberuntungan (kemuliaan, pen.).  Allah memberikan pendengaran dan penglihatan kepada mereka.  Namun mereka lebih mementingkan hawa nafsu daripada takwa, mereka lebih suka kebutaan daripada petunjuk, dan (seakan-akan, pen.) mereka berkata, “Kami lebih suka durhaka kepada-Mu daripada ta’at, syirik lebih kami sukai daripada mentauhidkan-Mu, menyembah selain-Mu lebih bermanfaat bagi kami di dunia daripada menyembah-Mu.”  Maka tidak heran jika hati mereka berpaling dari Rabb dan Khaliq-nya, berpaling dari ketaatan dan kecintaan kepada-Nya.  Ini merupakan keadilan Allah terhadap mereka dan itulah hujjah Allah atas mereka.  Mereka menutup pintu petunjuk dihadapan diri mereka sendiri, sebagai kehendak yang murni atas pilihan mereka sendiri, sehingga Allah pun menutup pintu itu, lalu membiarkan mereka berada pada pilihan yang mereka kehendaki.  Allah berpaling dari apa yang mereka tingalkan dan memberikan kekuasaan terhadap apa yang mereka sukai.  Allah memasukkan mereka ke dalam pintu yang mereka inginkan dan menutup pintu yang mereka tinggalkan, sehingga mereka benar-benar telah berpaling.  Tidak ada yang lebih buruk daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak ada yang lebih baik daripada apa yang Allah Ta’ala perbuat.
Sekiranya Allah menghendaki, Dia bisa saja menjadikan mereka tidak seperti gambaran itu dan tidak membuat mereka dalam keadaan demikian.  Tetapi Allah-lah yang menciptakan ketinggian dan kerendahan, cahaya dan kegelapan, sesuatu yang bermanfaat dan mudharat, yang baik dan yang buruk, Malaikat dan syaithan, wanita dan lalat.  Allah-lah yang memberikan alat, sifat, kekuatan, perbuatan dan segala apapun yang bisa dipergunakan menurut ciptaan-Nya.  Sebagian ada yang menuruti tabi’atnya (fitrahnya, pen.) dan sebagian lagi ada yang memperturutkan kehendak dan keinginan (hawa nafsu).  Semua berjalan sesuai dengan Hikmah-Nya.  Hal ini menuntut adanya Pujian kepada-Nya atas segala Kesempurnaan-Nya serta Kekuasaan-Nya yang komplit.
Apa yang diketahui oleh makhluk tidak sebanding dengan apa yang belum mereka ketahui, yang bisa diibaratkan dengan patukan seekor burung di atas samudera yang membentang luas.
(Baca juga artikel, MUNAFIK
oOo


(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”, Syaikh Muhammad Uwais  An-Nadwy)

Minggu, 20 Agustus 2017

KENAPA ALLAH MENYESATKAN MANUSIA?

Gambar terkait

بسم الله الر حمان الر حيم

Di dalam buku, “Tafsir Ibnu Qayyim”, Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menguraikan Sepuluh Tingkatan Hidayah yang disampaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia.  Mulai dari Tingkatan Hidayah yang diberikan kepada para Rasul, hingga Hidayah yang diberikan kepada manusia biasa, termasuk sebab-sebab kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesatkan mereka;  

Tingkatan keenam; Tingkatan penjelasan yang bersifat umum, yaitu penjelasan kebenaran dan membedakannya dengan kebathilan berdasarkan dalil-dalil, saksi-saksi dan tanda-tandanya, sehingga kebenaran itu seakan-akan menjadi sesuatu yang bisa disaksikan hati, seperti mata yang dapat melihat objek benda secara kasat mata.  Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.  Allah tidak mengadzab atau menyesatkan seseorang melainkan setelah kebenaran itu sampai ke dalam hatinya.  Firman Allah (artinya),
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Allah memberi petunjuk kepada mereka, hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.”  
(QS. At-Taubah; 115)
Penyesatan ini merupakan hukuman dari Allah, setelah Allah memberikan penjelasan kepada mereka, namun mereka tidak mau menerima penjelasan tersebut dan tidak mau mengamalkannya.  Karena itulah Allah menyiksa mereka dengan cara menyesatkan mereka dari petunjuk (jalan yang lurus)Allah sekali-kali tidak menyesatkan seorang manusia pun, kecuali setelah menyampaikan penjelasan ini.
Jika engkau telah mengetahui hal ini, tentu engkau bisa mengetahui rahasia qadar.  Berbagai macam keraguan dan syubhat tentang masalah ini akan sirna dari pikiranmu dan engkau bisa mengetahui hikmah Allah, mengapa Dia menyesatkan orang yang disesatkan-Nya dari hamba-hamba-Nya.  Allah mengungkap masalah ini tidak hanya di satu tempat saja, seperti firman-Nya (artinya),
“Maka tatklala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka.”  
(QS. Ash-Shaf;  5) dan,
“Dan mereka mengatakan, ‘Hati kami tertutup’.  Bahkan sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafiran mereka.”  
(QS. An-Nisa; 155)
Pada ayat yang pertama disebut kufur ‘inaad (kufur berpaling), dan pada ayat kedua disebut kufur thab’ (kufur penguncian hati)Firman Allah yang lain,
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti (seakan-akan) mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.  
(QS. Al-An’am; 110)
Allah menyiksa mereka dengan cara meninggalkan keimanan terhadap Al-Qur’an pada saat seharusnya mereka meyakininya (bertambah yakin).  Caranya;  Allah memalingkan hati dan penglihatan mereka (ke arah lain), sehingga mereka tidak mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.*]
Perhatikanlah secara seksama masalah ini, karena ia merupakan masalah yang sangat besar.  Firman Allah (artinya),
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.  (QS. Fushilat; 17)
Ini merupakan petunjuk setelah adanya penjelasan dan bukti.  Penjelasan ini merupakan syarat dan tidak sekedar alasan.  Sebab jika tidak disertai petunjuk lain bersamanya, tidak akan terjadi kesempurnaan petunjuk, yaitu petunjuk Taufiq dan Ilham.
Penjelasan ini ada dua macam; *Penjelasan dengan ayat-ayat yang dapat didengar dan dibaca, *Penjelasan dengan  ayat-ayat yang disaksikan dan dilihat (Ayat Kauniyah).  Keduanya merupakan dalil dan ayat-ayat (bukti kekuasaan) tentang Tauhidullah, Asma, Sifat dan Kesempurnaan-Nya serta kebenaran dari apa yang dikhabarkan-Nya.  Karena itulah Allah menyeru hamba-hamba-Nya dengan ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca, agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan (Ayat-ayat Kauniyah).  Allah juga menganjurkan agar mereka memikirkan yang ini dan yang itu.  Karena alasan inilah Allah mengutus para Rasul, menyampaikannya kepada mereka dan kepada para ‘ulama setelah mereka.  Setelah itu Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki.  Allah berfirman (artinya),
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.  Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.  Dan Dialah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”  
(QS. Ibrahim; 4)
Para Rasul yang memberikan penjelasan, dan Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk pada siapa yang dikehendaki-Nya pula berdasarkan Kekuasaan dan Hikmah-Nya yang Maha tinggi."
Selesai kutipan.

oOo

*]  Sebuah kejadian nyata yang penulis saksikan sendiri di masmedia awal bulan Agustus 2024 di negeri tercinta ini, salah seorang petinggi Ormas Islam terbesar di Indonesia memberikan keterangan kepada media asing, bahwa hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang, karena hukum-hukum tersebut dibuat berdasarkan kejadian pada masa itu saja (tidak ada korelasinya dengan masa kini).  Sedangkan saat ini kita menghadapi permasalahan yang berbeda dengan masa lalu.  Sehingga diperlukan standar hukum yang berbeda pula dari keduanya (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Na'udzubillahi min dzalika.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengembalikan beliau ke jalan yang benar (lurus).
Dan, masih melekat kuat pula di ingatan penulis, kejadian yang sama di masa pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto), menteri Agama pada waktu itu (inisial MS) menyatakan, bahwa sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an ada yang sudah tidak relevan lagi diterapkan pada masa kini.
Tsumma na'udzubillahi.
Ada pula petinggi lain dari Ormas yang sama menyerukan Islam Nusantara - Islam versi Indonesia, yang berbeda dengan agama Islam yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di negeri Arab kepada Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.  

Betapa mudahnya Iblis laknatullah 'alaihi menggoyang dan menyimpangkan aqidah (keyakinan) manusia dari jalan yang lurus...
Tsumma na'udzubillahi.
(Baca artikel, MASALAH KEIMANAN BUKAN MASALAH SELERA, dan sya'ir SEANDAINYA, serta BATAS TIPIS ANTARA IMAN DENGAN KUFUR)
(pen blog).

(Dikutip dari “Tafsir Ibnu Qayyim”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Senin, 14 Agustus 2017

SEANDAINYA...

Gambar terkait

بسم الله الر حمان الر حيم

Seandainya... kebenaran itu tidak tunggal dan absolut 
Tak ada artinya berikrar dengan dua kalimat syahadat

Seandainya...  kebenaran itu bisa ditemukan di luar Al-Qur'an dan As-Sunnah dan segala yang mendukungnya 
Berarti manusia bisa menciptakan beberapa agama lagi - yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia maupun Akhirat

Seandainya Pencipta dan Pengatur Jagat Raya ini tidak Tunggal 
Pasti akan binasa segala-galanya

Seandainya...  kebenaran itu tidak tunggal (berbilang) 
Pasti sudah sejak lama manusia mampu menjawab tantangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur'an

Seandainya... kebenaran itu tidak tunggal
Akan sia-sialah gerakan tangan yang mulia (Rasulullah) menorehkan sebuah garis lurus di atas tanah - dan banyak garis-garis menyimpang di sebelah kanan dan kirinya 

Seandainya...  para Malaikat mampu menciptakan kebenaran 
Mungkin mereka akan "mengklaim" diri sebagai “Ilah” dan “Rabb” Jagat Raya ini

Seandainya...  akal dan perasaan manusia bisa melahirkan kebenaran
Tak ada gunanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur'an, Taurat, Zabur, Injil, serta 100 Kitab Suci lainnya dari atas langit ke tujuh

Seandainya...  akal dan perasaan manusia bisa melahirkan kebenaran 
Para Malaikat tidak perlu repot-repot mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatan Manusia dan Jin

Seandainya...  Syaithan mau membantu manusia mencari kebenaran 
Siapa yang akan menemani mereka nanti di Neraka?

Seandainya...  Iblis mengumumkan kebenaran itu tunggal dan absolut 
Pastilah mereka kan digugat oleh seluruh calon penduduk Neraka

Seandainya...  Allah Ta'ala tidak berjanji akan memenuhi Neraka Jahannam itu dengan Jin dan Manusia 
Dengan apa ia akan dipenuhi?

Seandainya...  Nanti Dajjal keluar dari tempat penyekapannya 
Pastilah Ia akan "Merekrut" seluruh manusia yang ragu akan kebenaran yang tunggal dan absolut tersebut

Seandainya...  bumi ini nanti diguncangkan oleh Allah 'Azza wa Jalla 
Akan keluarlah seluruh manusia yang meragukan kebenaran yang tunggal dan absolut tersebut dari kota Mekah dan Madinah - memenuhi seruan Dajjal sebagai Pemimpinnya

Seandainya...  Akal dan perasaan manusia bisa menciptakan kebenaran
Berapa banyak lagi manusia yang akan mengaku jadi Nabi?

Seandainya...  akal manusia mampu melahirkan kebenaran 
Mungkin orang-orang Yahudi dijadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritas penduduk Surga

Seandainya...  perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran Mungkin orang-orang Nasrani yang dijadikan mayoritas penduduk Surga

Seandainya...   akal dan perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran 
Mungkin Albert Einstein dan koleganya telah memeluk Agama Islam

Seandainya...   akal dan perasaan manusia bisa menciptakan kebenaran 
Maka para Malaikat akan “bingung”  menentukan mana catatan hitam dan putih

Seandainya...  akal dan perasaan manusia bisa menciptakan kebenaran 
Kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyombongkan Diri?

Seandainya... Iblis dulu tidak menyombongkan diri 
Mungkin mereka tidak akan kekal di dalam Neraka

Seandainya... kebenaran itu tidak tunggal 
Maka Ia tidak berhak disebut sebagai kebenaran - karena banyak yang bisa menyainginya

Seandainya...  kebenaran itu tidak absolut (berubah-ubah) 
Maka ia juga tak layak disebut sebagai kebenaran

Seandainya...  perubahan (kefanaan) itu bisa disebut sebagai kebenaran
Maka akan jungkir baliklah jagat raya ini

Seandainya...  kebenaran itu berkembang mengikuti perkembangan zaman 
Maka tidak ada hikmah ditegakkannya Hari Kiamat - karena manusia yang mengalami kiamat (manusia akhir zaman) adalah seburuk-buruk makhluk

Seandainya... kebenaran itu tidak tunggal 
Maka tidak ada nilainya jerih payah para Pendiri Negara Indonesia - yang telah menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Tauhidullah) sebagai sila pertama "PANCASILA"

Seandainya...   kebenaran itu tidak tunggal 
Dimana letak superioritasnya?

Seandainya... kebenaran itu tidak tunggal 
Dimana kan ditempatkan martabat dan maqamnya?

Seandainya...  akal dan perasaan manusia boleh menghakimi Al-Qur'an dan As-Sunnah 
Betapa lemahnya Hujjah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya!

Seandainya...  kebenaran itu bisa ditemukan manusia melalui data penelitian / angket 
Akan semakin kacaulah kehidupan di bumi yang sudah serba kacau ini

Seandainya... akal dan perasaan manusia dapat diandalkan tuk keselamatan hidup mereka di dunia dan Akhirat 
Tak ada gunanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ratusan ribu Nabi dan Rasul diutus

Seandainya... akal, perasaan, dan jiwa manusia bisa menyelamatkan kehidupan mereka di dunia dan Akhirat 
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling berhak mengutarakan akal, perasaan dan pendapat Beliau tentang Islam (Sebagai manusia terbaik yang pernah hidup di muka bumi)

Seandainya...  kebenaran Islam itu tidak tunggal dan absolut 
Mungkin Nabi 'Isa 'alaihissalam akan ragu menjadi makmum shalat Subuh di belakang Imam "Golongan yang selamat" (Setelah turun dari langit)

Seandainya...  ada Standar kebenaran yang menyamai - bahkan melebihi standar kebenaran Islam 
Pastilah banyak manusia yang akan menjadi Atheis atau Kafir tanpa disadari

Seandainya...  Standar kebenaran itu ditetapkan oleh Jibril 'alaihissalam sekalipun (Malaikat yang paling dihormati dan disegani di atas langit ketujuh, yang memiliki 600 sayap - membentang dari Timur ke Barat) 
Tetap saja Allah 'Azza wa Jalla tak menerimanya

Seandainya...  Allah 'Azza wa Jalla berkehendak 
Dia sanggup menciptakan 1000 Jibril 'alaihimussalam 

Seandainya...  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bisa membaca dan menulis 
Maka akan bertambah ragulah orang-orang yang meragukan kebenaran yang tunggal dan absolut tersebut

Seandainya...  Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berani menyandarkan pendapat peribadi Beliau terhadap Syari'at Islam 
Niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melaksanakan ancaman-Nya; Memutuskan urat tali jantung Beliau yang mulia

Seandainya...  Ada pilihan lain bagi manusia selain dari Surga atau Neraka sebagai tempat kembalinya
Alangkah entengnya hidup ini

Seandainya...  Tidak ada Neraka yang telah diciptakan 
Tak akan terasa nikmatnya masuk Surga...

Seandainya...  Tidak ada Surga yang telah diciptakan 
Maka tak akan terdengar raungan, rintihan, dan jeritan para penghuni Neraka

Seandainya...  tidak ada Surga dan Neraka yang telah diciptakan 
Maka akan sia-sialah seluruh amal perbuatan manusia

Seandainya...  tidak ada Surga dan Neraka yang telah diciptakan 
Betapa remehnya makna hidup ini

Seandainya...  akal dan perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran 
Tentu mereka tidak akan dicap Allah Ta'ala sebagai orang yang buta, bisu, dan tuli dalam Al-Qur'an

Seandainya...  akal dan perasaan manusia bisa menciptakan kebenaran 
Tentu mereka tidak akan disamakan oleh Allah Ta'ala dengan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi dari itu  

Seandainya...  kebenaran itu tidak tunggal (berbilang) 
Alangkah mudah menemukannya dan alangkah murah harganya

Seandainya...  perbuatan baik dan buruk tidak memiliki “Barometer” (Al-Qur'an dan As-Sunnah) 
Maka penduduk bumi akan bingung menetapkan perbuatan yang  diridhai dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala

Seandainya...  akal dan perasaan manusia bisa menciptakan kebenaran 
Tertutuplah seluruh jalan bagi Iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia

Seandainya...  Iblis laknatullah dan Syaithan (Dari kalangan Jin dan Manusia) tidak diciptakan oleh Allah Ta'ala
Maka tak ada gunanya tulisan ini

Seandainya...  akal dan perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran 
Mungkin tak akan berfungsi Mizan (Timbangan) Allah Ta'ala di Akhirat kelak

Seandainya...  Manusia tidak memiliki keyakinan yang bulat dari kebenaran yang dianutnya 
Apalagi yang tersisa dari dirinya?

Seandainya...  manusia mau berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-sunnah 
Maka bumi ini adalah Surga yang menjelang

Seandainya...   manusia tidak berpegang pada Al-Qur'an dan As-Sunnah 
Maka bumi ini adalah Neraka yang menjelang

Seandainya...  ada sumber Kebenaran selain Allah Subhanahu wa Ta'ala Akan binasalah jagat raya ini

Seandainya...  manusia memikirkan peringatan dari Allah Azza wa Jalla ini 
Tentulah mereka tak akan menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala

Seandainya...  Akal dan perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran 
Adam dan Hawa tak akan pernah turun dari Surga

Seandainya...  akal dan perasaan manusia mampu melahirkan kebenaran 
Tidaklah bumi ini diciptakan sebagai ujian, triliyunan Malaikat dijadikan sebagai penjaga, pengatur dan pengawas seluruh ciptaan Allah 'Azza wa Jalla, 100 Kitab Suci diturunkan dari Lauhul Mahfuzh, 124.000 Nabi dan 313 Rasul diutus, serta milyaran Wali Allah memberikan peringatan kepada manusia  

Ah... 
Seandainya... 


oOo

Senin, 07 Agustus 2017

TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (5)


بسم الله الر حمان الر حيم

Ibnu Baththah Al ‘Ukbary rahimahullah berkata, “Sungguh aku pernah melihat sekelompok manusia yang dahulunya melaknat dan mencela ahli bid’ah, kemudian mereka duduk besama ahli bid’ah itu untuk mengingkari dan membantah mereka, secara perlahan dan pasti muncul sikap bermudah-mudahan dengan mereka, sedangkan tipu daya (iblis-pen blog) itu sangat halus jalannya dan kekafiran sangat lembut merambat, sehingga akhirnya mereka mencintai ahli bid’ah tersebut.”
Muhammad bin Al ‘Ala rahimahullah berkata, “Telah bercerita kepada kami Abu Bakr, katanya dari Mughirah yang berkata, ‘Suatu kali Muhammad bin As Saib keluar dan dia sebelumnya bukanlah ahli bid’ah, kemudian dia berkata, ‘Marilah kita datangi mereka agar kita mengetahui pemikiran mereka (ahli bid’ah).  Ternyata dia tidak pernah kembali sampai akhirnya dia menerima kebid’ahan tersebut dan hatinya terikat oleh ucapan mereka.’”
Al Ashma’i rahimahullah berkata, “Telah bercerita kepada kami Mu’tamir, katanya, ‘Dari Utsman Al Butty ia berkata bahwa, ‘Imran bin Haththan sebelumnya seorang sunni (Ahli Sunnah).  Suatu ketika datanglah seorang pelayan dari penduduk ‘Amman seperti bighal , lalu dia membalikkan hatinya  (‘Imran) di tempat duduknya (berubah saat itu juga - pen).”

Sebagai penutup kutipan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Bukanlah suatu ‘aib (cacat) bagi seseorang untuk menampakkan madzhab (pemikiran) salafus shalih, menisbatkan diri dan bersandar padanya, bahkan wajib menerimanya berdasarkan kesepakataan para ‘Ulama, karena sesungguhnya madzhab salafus shalih itu tidak lain adalah kebenaran.”
Shalawat dan Salam semoga Allah limpahkan kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

oOo

Dikumpulkan oleh;  Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. 

TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (4)


بسم الله الر حمان الر حيم

Telah sedemikian banyak kerusakan dan korban sia-sia nyawa manusia disebabkan Ahli Hawa' (Ahli Bid'ah) / Sempalan Islam di muka bumi ini. Masihkah kita akan menutup mata?  Dan berganggapan bahwa hal tersebut bukan urusan kita???
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Barangsiapa meninggal dunia sementara dia belum pernah berjihad, atau meniatkan diri untuk berjihad, maka dia mati di atas salah satu cabang kemunafikan." 
(HSR. Muslim, dari Abu Hurairah);

  • Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ahlul ahwa’ itu adalah orang-orang yang sesat, dan saya tidak menganggap ada tempat kembali mereka selain Neraka.”
  • Ada seorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami berjalan di atas hawa nafsu kalian (para Sahabat).  Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu segera menimpali, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu itu.  Ia dinamakan hawa karena ia menjerumuskan pemiliknya ke dalam Neraka.”
  • Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan, bahwa orang yang paling cepat murtad (berbalik kepada kekafiran / kafir riddah, keluar dari Islam tanpa disadari, pen blog) adalah ahlul ahwa’ (ahli bid’ah).  
  • Dari Abi Ghalib dari Abi Umamah rahimahumullah yang berkata mengenai firman Allah (artinya),

“Lalu mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar).” (Ali-Imran; 7), bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang-orang Khawarij (manhaj yang tersesat) dan ahli bid’ah.
  • Dari Ayyub dari Abu Qilabah rahimahullah yang berkata, “Sesungguhnya ahli ahwa’ adalah orang-orang yang sesat.  Saya menganggap tidak ada tempat kembali mereka selain neraka.  Cobalah kalian uji mereka, maka tidak ada satupun dari mereka yang meyakini suatu pemikiran atau berpendapat dengan suatu pendapat (yang Kokoh-pen blog), lalu akhir dari urusan mereka tidak lain kecuali dengan pedang (menumpahkan darah / memberontak).  Sesungguhnya karakter kemunafikan itu beragam modelnya.  Kemudian Beliau membaca ayat (artinya), “Diantara mereka ada yang berikrar kepada Allah” (At-Taubah; 75), “Diantara mereka ada yang mencelamu dalam (pembagian) zakat.” (At-Taubah ; 58), dan “Dan diantara mereka ada yang menyakiti Nabi.” (At-Taubah; 61). Pernyataan mereka berbeda-beda, namun mereka sama-sama dalam keraguan, pendustaan, dan pedang (menumpahkan darah kaum muslimin, memberontak / demo-ed).  Saya menganggap tempat kembali mereka yang pantas tidak lain adalah Neraka.”
  • Al Auza’i rahimahullah berkata, “Tidak ada seseorang  pun yang mengada-adakan perkara bid’ah melainkan hilang sikap wara’ (menjauhkan diri dari hal-hal yang membahayakan (haram) bagi kehidupan Akhirat) dari dalam dirinya.”
  • Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidak ada seseorang pun mengada-adakan suatu kebid’ahan melainkan iman akan terlepas dari dirinya.”
  • Imam Al Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya hawa (kebid’ahan) itu semuanya rendah dan selalu mengajak kepada pedang (pertumpahan darah, pemberontakan).”
  • Dari Abu ‘Amru Asy Syaibani rahimahullah yang berkata, “Selalu dikatakan bahwa Allah enggan memberikan  taubat kepada ahli bid’ah, dan dia tidak berpindah kecuali menuju bid’ah yang lebih buruk lagi.”
  • Dari Ibnu Syaudzab rahimahullah yang mengatakan, “Saya mendengar ‘Abdullah bin Al Qasim berkata, “Tidaklah seorang hamba yang berada diatas hawa (bid’ah) lalu ia meninggalkannya, melainkan berpindah kepada (bid’ah) yang lebih jelek lagi.” Kemudian saya menyebutkan hadits (artinya), “Sesungguhnya Allah menghalangi taubat para ahli bid’ah.” kepada sebagian sahabat kami, lalu kata Beliau, “Ini dipertegas lagi dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya), “Mereka lepas (keluar) dari Agama ini seperti terlepasnya anak panah dari sasarannya (tembus melewati sasaran, pen blog), dan tidak akan kembali sampai mati.” Ada  seseorang yang mempunyai suatu pemikiran bid’ah, kemudian dia rujuk dan meninggalkannya.  Maka sayapun mendatangi Muhammad (bin Sirin) dalam keadaan merasa gembira, untuk menyampaikan berita ini kepada Beliau. Saya katakan kepada Beliau, “Bagaimana perasaanmu andaikata si Fulan telah meninggalkan pemikirannya yang selama ini dianutnya?”  Beliau menjawab, “Perhatikanlah kemana dia berpindah, sesungguhnya penutup hadits ini lebih keras lagi terhadap mereka dibandingkan awalnya, yaitu; Mereka lepas dari Agama ini dan tidak akan kembali lagi padanya.”
  • Dari Mu’awiyah bin Shalih rahimahullah yang mengatakan, “Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashri berkata, ‘Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi enggan memberi idzin (taufiq) kepada ahli bid’ah untuk bertaubat.’
  • Ada seseorang yang berkata kepada Ayyub rahimahullah, “Wahai Abu Bakar sesungguhnya ‘Amru bin ‘Ubaid sudah rujuk dari pemikiran bid’ahnya.”  Ayyub mengatakan, “Sesungguhnya dia tidak akan rujuk.”  Orang itu menimpali lagi, “Benar, sungguh ia telah rujuk dari pemikiran bid’ahnya”  Kemudian Ayyub berkata lagi, “Sesungguhnya dia tidak akan kembali, dia tidak akan kembali, dia tidak akan kembali (Beliau mengulanginya tiga kali).  Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah... “Mereka lepas dari Agama ini seperti lepasnya anak panah dari buruannya (tembus setelah mengenai sasaran) yang kemudian tidak akan kembali sampai mati.”
  • ‘Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah berkata, “Wajah ahli bid’ah itu diliputi kegelapan (tidak bercahaya) meskipun ia meminyaki wajahnya 30 kali dalam sehari.”
  • Dari Ibnul Mubarak dari Al Auza’i dari ‘Atha Al Khurasani rahimahumullah  yang berkata, “Hampir-hampir Allah tidak mengizinkan ahli bid’ah itu bertaubat.”
  • Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada kemaksiatan.  Seorang yang berbuat maksiat dapat diharapkan bertaubat, sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat (diharapkan) untuk bertaubat.”


oOo

(Disadur bebas dari kitab “Cara Menyikapi Penguasa dan Penyeru Bid’ah”, Syaikh Jamal bin Furaihan Al Haritsi, Terj. Idral Harits, Pustk. An Najiah, 2003) 

TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (3)


بسم الله الر حمان الر حيم

Sungguh!  Hancurnya bumi ini dengan segala fasilitasnya lebih ringan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla daripada kerusakan Syari'at-Nya.  Karena bumi dengan segala isinya ini hanyalah sarana kehidupan, sedangkan memahami Allah Subhanahu wa Ta'ala, Agama-Nya, dan apa yang disampaikan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. 
Begitu banyak hikmah yang bisa dipetik dari perkataan para ‘Ulama (Manusia-manusia yang berilmu);


  • Ø    ‘Amru bin Qais Al Mula-i rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh pertama kali bersama ahli sunnah wal jama’ah harapkanlah kebaikannya, namun bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya.  Karena keadaan seorang pemuda itu bergantung kepada hal-hal apa yang pertama kali menumbuhkan dan membentuk kepribadiannya.”
  • Ø    Ibnu ‘Aun rahimahullah mengatakan, “Siapa pun yang duduk bersama ahli bid’ah, dia jauh lebih berbahaya bagi kita dibandingklan ahli bid’ah itu sendiri.”
  • Ø    Ibnu Baththah rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsaury, sungguh Beliau telah berbicara dengan al-hikmah, dan alangkah tepat ucapannya itu.  Beliau juga telah berkata dengan ilmu dan ternyata sesuai dengan Alqur’an dan As Sunnah serta apa-apa yang dimaukan oleh hikmah tersebut, sesuai pula dengan kenyataan dan dikenal oleh orang-orang yang mempunyai bashirah, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaaanmu orang-orang yang bukan golonganmu, (sebab) mereka senantiasa menimbulkaan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.”  (Ali-Imran; 118)

  • Ø    Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang selalu berprasangka baik (Istihsan) terhadap ahli bid’ah dan menyatakan belum mengetahui keadaan mereka, maka perkenalkanlah ahli bid’ah itu kepadanya.  Kalau dia mengenalnya namun tidak menjauhi mereka dan tidak menunjukkan pengingkaran terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah dia termasuk golongan mereka juga.
  • Ø    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Ruh-ruh itu seperti sepasukan tentara, maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan saling berselisih.” (HSR. Al-Bukhari-Muslim).
  • Ø    Dari Al A’masy dari Ibrahim rahimahumullah yang berkata, “Tidaklah dianggap ghibah menceritaakan keadaan (keburukan) ahli bid’ah.”
  • Ø    Al Hasan Al Basri rahimahullah berkata, “Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan orang yang berbuat fasik secara terang-terangan bukanlah perbuatan ghibah.”
  • Ø    Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah, maka tidak ada kehormatan baginya.”
  • Ø    Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwi rahimahullah yang berkata, “Syu’bah mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata, ‘Hari ini tidak ada (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari “ghibah”, marilah kita membicarakan keburukan-keburukan para pembohong itu.’”
  • Ø    Dari Syaudzab, dari Ktsir bin Sahal rahimahumullah yang berkata, “Ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai kehormatan.”
  • Ø    Pengarang buku (Syaikh Al Furaihan) berkata, “Sisi pengambilan dalil dari (kisah-kisah di atas)  sangat jelas sekali.  Karena apabila seseorang mendiamkan permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka, maka dia justru akan membahyakan orang lain yang bodoh (tidak mengerti) sehingga akhirnya mereka (sama-sama) terjatuh ke dalam kebid’ahan.  Dan lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari “diamnya” itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap tokoh ahli bid’ah yang mungkin pada dirinya terlihat (seolah-olah) “keshalihan” dan “ketakwaan”.
  •    Maka siapapun yang mendukung tindakan ahli bid’ah, menghormati tokoh-tokohnya, memuliakan karya-karya mereka, menyebarkannya ditengah-tengah kaum muslimin dan membanggakan serta ikut menyiarkan bid’ah dan kesesatan yang ada di dalamnya, tidak membongkar cacat dan tidak pula menjelaskan penyimpangan aqidah yang terdapat di dalamnya.  Kalau dia melakukan hal ini (dukungan dan pujian tersebut), berarti dia telah meremehkan perkara ini (Syari'at Islam).  Wajib dihentikan kejahatannya itu agar tidak menjalar kepada kaum muslimin.  Oleh sebab itu peringatkanlah (manusia) untuk menjauhi para pemimpin kebodohan, ahli bid’ah ini.  Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan para pelakunya.”
  • Ø    Rafi’ bin Asyrasy berkata, “Termasuk hukuman bagi orang yang fasik yang (juga) seorang ahli bid’ah, adalah tidak disebutkannya kebaikan-kebaikan mereka.”
  • Ø    Imam Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, “Maka sesungguhnya golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah mereka diperintahkan untuk menunjukkan permusuhan terhadap ahli bid’ah, menjauhi mereka dan menjatuhkan sanksi terhadap orang-orang yang bergabung dengan ahli bid’ah dengan hukuman mati atau yang lebih ringan dari itu.
  • Ø    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun da’i yang mengajak ummat kepada kebid’ahan sangat pantas mendapat hukuman, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.  Hukuman tersebut dapat berupa hukuman mati, dapat pula dengan hukuman yang lain.  Apabila dengan pertimbangan tertentu, seseorang ahli bid’ah belum pantas diberi sanksi atau tidak memungkinkan dijatuhkan hukuman, maka mau tidak mau haruslah dijelaskan kepada ummat tentang kebid’ahan nya dan memperingatkan mereka agar menjauhinya.  Hal ini termasuk salah satu perbuatan  amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
  • Ø    Dari Abi Qilabah rahimahullah yang berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengada-adakan suatu kebid’ahan, melainkan pada suatu sa’at ia akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkan darah kaum muslimin, atau memberontak kepada pemerintah).”
  • Ø    Ayyub rahimahullah biasa menamakan ahli bid’ah itu sebagai khawarij (manhaj sesat).  Beliau mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang khawarij itu (dengan ahli bid’ah) hanya berbeda dalam hal nama dan julukan, namun mereka bersepakat dalam menghalalkan darah kaum muslimin.”

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Cara Menyikapi Penguasa dan Penyeru Bid’ah” Syaikh Jamal bin Furaihan Al Haritsi, Terj. Idral Harits, Pust. An-Najiyah, 2003)

Minggu, 06 Agustus 2017

TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (2)


بسم الله الر حمان الر حيم

Betapa tingginya tingkat keimanan Generasi Terbaik Islam terdahulu, dan demikian berhati-hatinya mereka menjaga Iman (hati) mereka dari hal-hal yang akan merusak (menghapus)nya.  Dimana kita dibandingkan mereka?;
  
  • Abdullah bin Umar As Sarkhasi rahimahullah berkata, “Saya pernah makan siang di sisi seorang ahli bid’ah, lalu berita ini sampai ke telinga Ibnul Mubarak rahimahullah maka katanya, ‘Saya tidak akan mengajak dia (Abdullah bin Umar) berbicara selama 30 hari.’”
  • Dua orang ahli ahwa’ mendatangi rumah Ibnu Sirin rahimahullah sembari berkata, “Wahai Abu Bakar, bagaimana kalau kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”  Ia berkata, “Tidak.”  Keduanya berkata lagi, “Atau kami bacakan satu ayat dari Alqur’an kepadamu?”  Ia menjawab, “Tidak.  Kalian yang pergi dari hadapanku atau aku yang akan pergi?”  Akhirnya keduanya keluar.  Ada sebagian orang yang bertanya kepada Beliau, “Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak mengizinkan mereka membacakan ayat-ayat Alqur’an kepadamu?”  Beliau menjawab, “Sesungguhnya saya khawatir, kalau dia bacakan kepadaku satu ayat mereka menyelewengkannya, dan akhirnya akan berbekas di dalam hatiku.”
  • Salam rahimahullah berkata, “Seorang ahli ahwa’ berkata kepada Ayyub, ‘Saya ingin bertanya mengenai satu kalimat kepada anda.’  Ayyub segera berpaling dan berkata, ‘Tidak perlu, meskipun setengah kalimat, walaupun setengah kalimat.’” (Beliau memberi isyarat dengan jarinya).
  • Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Hati-hatilah kamu, jangan bermajelis dengan orang-orang yang dapat merusak hatimu.  Dan jangan bermajelis dengan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya, karena saya khawatir kamu akan terkena kemurkaan Allah.”
  • Isma’il  Ath-Thusi rahimahullah mengatakan, “Ibnul Mubarak berkata kepadaku, ‘Hendaknya majelismu itu bersama orang-orang miskin, dan berhati-hatilah, jangan kamu duduk bermajelis bersama ahli bid’ah.’”
  • Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Barang siapa yang memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah memberikan bantuan untuk meruntuhkan Islam.  Barangsiapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah, berarti dia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Barangsiapa yang menikahkan puterinya dengan  seorang ahli bid’ah, berarti dia telah memutuskan tali (hubungan) silaturahminya (kekerabatan).  Siapa yang mengiringi jenazah seorang ahli bid’ah, dia akan senantiasa berada dalam kemarahan Allah sampai dia kembali.
  • Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Saya lebih suka makan bersama Yahudi dan Nasrani, dan tidak (akan) makan bersama ahli bid’ah.”
  • Abu Musa rahimahullah berkata, “Bertetangga dengan Yahudi dan Nasrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan seorang pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah), karena hal ini akan menyebabkan hatiku berpenyakit.”
  • Abul Jauza’ rahimahullah berkata, “Seandainya tetanggaku dalam satu kampung adalah kera dan babi (Yahudi dan Nasrani), lebih aku sukai daripada ahli ahwa’ (ahli bid’ah) menjadi tetanggaku.  Dan sungguh mereka termasuk yang disebutkan dalam ayat (yang artinya);“Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata, ‘Kami beriman.’  Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu.  Katakanlah, ‘Matilah kamu karena kemarahanmu itu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.’” (Ali-Imran; 119)
  • Artha-ah bin Al Mundzir rahimahullah mengatakan, “Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasik (pelaku dosa besar) lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah).”
  • Sa’id bin Jubair rahimahullah mengatakan, “Seandainya anakku berteman dengan orang fasik (pelaku dosa-dosa besar), licik tapi dia Sunni (mengikuti dan mencintai sunnah) lebih aku sukai daripada ia berteman dengan orang yang ta’at dan rajin beribadah namun dia seorang ahli bid’ah.”
  • Imam Al Barbahari rahimahullah berkata, “Jika kamu dapati seorang sunni (Ahlus sunnah) yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasik dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat, namun dia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu.  Namun jika kamu melihat seseorang rajin beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, tapi mengikuti hawa nafsu (ahli bid’ah), maka janganlah bermajelis atau duduk bersamanya, dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan, karena saya tidak merasa aman, boleh jadi kamu akan menganggap baik jalan atau manhaj yang ditempuhnya lalu kamu ikut celaka bersamanya.”
  • Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa kecuali syirik, lebih baik daripada ia menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (kebid’ahan).”
  • Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kuburan Ahli Sunnah yang berbuat dosa besar bagaikan taman, sedang kuburan ahli bid’ah walaupun dia seorang yang zuhud bagaikan jurang (Neraka).  Orang fasik dikalangan ahli sunnah termasuk wali-wali Allah, sedang orang-orang zuhud (ahli ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.
  • Ayyub As Sikhtiani rahimahullah pernah diundang untuk memandikan jenazah, kemudian Beliau berangkat bersama beberapa orang.  Ketika penutup wajah orang itu disingkapkan Beliau segera mengenalinya, Beliau pun berkata, “Kemarilah, uruslah temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.”  

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Cara Menyikapi Penguasa dan Penyeru Bid’ah”, Syaikh Jamal bin Furaihan Al Haritsi, Terj. Idral Harits. Pust. An-Najiyah, 2003)

Sabtu, 05 Agustus 2017

TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1)


بسم الله الر حمان الر حيم

Kebanyakan manusia menyangka, bahwa orang yang bertakwa itu adalah orang yang luas pergaulannya dan cocok bergaul dengan siapapun.  Bahasa Pramukanya; “Disini senang... disana senang...”  Padahal sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak paham akan hakikat iman, dan bagaimana cara menjaganya.  Karena menjaga hati (iman) manusia dari sambaran syubhat, khurafat (tahayul), bid’ah serta pemikiran-pemikiran sesat manusia jauh lebih sulit daripada menjaga satu bataliyon pasukan tempur.  Inilah buktinya;


  • Muhammad bin Muslim rahimahullah berkata, “Allah mewahyukan kepada Nabi Musa bin ‘Imran ‘alaihissalam, ‘Hendaknya engkau jangan duduk bersama ahli ahwa’, karena engkau akan mendengar satu ucapan mereka yang akhirnya akan menyebabkan kamu ragu, lalu menyesatkan kamu dan menjerumuskanmu ke dalam Neraka.”
  • Dari Atha’ rahimahullah yang berkata, “Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa ‘alaihissalam, ‘Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’, karena mereka akan menimbulkan perkara baru yang belum pernah ada di dalam hatimu.’
  • Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang ingin memuliakan agamanya (Islam), maka tinggalkanlah bermajelis dengan ahli ahwa’ (orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam beragama), karena bermajelis bersama mereka itu lebih “lengket” dan sangat sulit lepasnya dibandingkan penyakit kulit.”
  • Muqatil bin Muhammad rahimahullah berkata, “Abdurrahman bin Mahdi berkata kepadaku, ‘Ya, Abul Hasan.  Janganlah kamu duduk dengan ahli bid’ah, sesungguhnya mereka selalu berfatwa tentang perkara yang Malaikatpun tidak sanggup untuk menulisnya.’
  • Disampaikan kepada Yahya bin Ma’in rahimahullah bahwa Husain Al Karabisi mengeluarkan kritikan terhadap Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, maka kata beliau, “Siapa Husain Al Karabisi itu?  Semoga Allah melaknatnya.  Bahwasanya yang berhak mengkritik ‘ulama adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan seperti mereka juga.  Sedangkan Husain itu rendah dan Imam Ahmad itu sangat tinggi kedudukannya.”
  • Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah juga mengatakan, “...Duduk bermajelis dengan ahli bid’ah akan melenyapkan cahaya iman dari dalam hati, menghilangkan keindahan wajah dan mewariskan kebencian ke dalam hati orang-orang mukmin (beriman).”
  • Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Jangan kamu duduk (bermajelis) dengan ahli bid’ah, karena saya khawatir kamu akan tertimpa laknat Allah.”
  • Beliau juga berkata, “Hati-hatilah kamu jangan menemui ahli bid’ah, karena sesungguhnya mereka itu selalu menghalangi orang dari al-haq (kebenaran).”
  • Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga mengatakan, “Saya telah mendapatkan, bahwa sebaik-baik manusia itu adalah Ahli Sunnah dan mereka senantiasa melarang kaum muslimin bergaul dengan ahli bid’ah.
  • Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Kalau kamu bertemu dengan ahli bid’ah di suatu jalan, maka ambillah jalan yang lain.  Seperti itu pula yang dikatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh.”
  • Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Janganlah kamu bermajelis dengan ahli ahwa’ (orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam beragama), dan jangan berdialog dengan mereka.  Karena sesungguhnya saya merasa khawatir kalau-kalau mereka menenggelamkan kamu dalam kesesatan mereka atau mengaburkan apa-apa yang telah kamu ketahui.
  • Al-Hasan Al-Basri dan Ibnu Sirin rahimahumullah berkata, “Janganlah bermajelis bersama ahli ahwa’, jangan berdialog dengan mereka dan jangan kamu dengarkan ucapan mereka.”
  • Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Janganlah bermajelis dengan ahli ahwa’, karena aku khawatir hatimu jadi berbalik (murtad).”
  • Al-Hasan Al-Basri rahimahullah berkata, “Janganlah kamu duduk bersama ahli ahwa’, karena tindakan yang demikian akan mengundang penyakit bagi hati.”
  • Mujahid rahimahullah berkata, “Janganlah kamu berada dalam satu majelis dengan ahli ahwa’, karena mereka mempunyai cacat seperti kurap.”
  • Fudhail bin Iyadh rahimahullah juga mengatakan, “Barang siapa yang duduk dengan ahli bid’ah, niscaya Allah akan mewariskan kepadanya kebutaan (hati, pen blog.).”
  • Dari Abduus bin Malik Al ‘Athar rahimahullah yang berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah (Imam) Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, ‘Prinsip-prinsip dasar As-Sunnah menurut kami adalah, (beliau sebutkan diantaranya)..., dan tidak duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ .”
  • Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya si Fulan ingin menemui anda dan dia tidak akan berbicara tentang apa pun.”  Kata Beliau, “Katakanlah kepadanya tidak!  Dia tidak perlu menemui saya.  Sesungguhnya hati anak Adam itu sangat lemah, dan saya takut mendengar satu kata saja dari dia yang kemudian menyebabkan hati saya tidak kembali kepada keadaannya semula.
  • Ma’mar rahimahullah berkata, “Suatu ketika, Ibnu Thawus sedang duduk, tiba-tiba datang seorang Mu’tazilah (manhaj yang tersesat, ed.) dan mulailah ia berbicara.  Kata rawi, Ibnu Thawus pun segera menutup telinganya dengan jari-jarinya dan berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan kuatkanlah.  Jangan kau dengar ucapannya sedikitpun.”

oOo

(Disadur bebas dari Kitab “Cara Menyikapi Penguasa dan Penyeru Bid’ah”, Syaikh Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Terj. Idral Harits, Pust. An-Najiyah, 2003)

Jumat, 04 Agustus 2017

SURGA


بسم الله الر حمان الر حيم

Salah satu janji Allah Subhanahu wa Ta’ala  yang harus (wajib) diyakini keberadaannya  oleh orang-orang beriman adalah Surga.   Ia termasuk bagian terpenting dari aqidah orang-orang mukmin.  Demi Surga tersebut orang-orang yang beriman (mukmin) rela menggadaikan / menjual dunianya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Baca juga artikel, KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN).

Surga memiliki 8 (delapan) buah pintu.  Lebih banyak satu pintu daripada pintu-pintu Neraka.  “Pintu yang dimasuki oleh penghuni Surga jaraknya adalah sejauh perjalanan pengembara dunia yang ahli tiga kali lipat...” (diriwayatkan Abu Nu’aim).  
“Jarak antara dua daun pintu Surga adalah empat puluh tahun.” (HR. Ahmad).
 Luasnya seluas langit dan bumi.  Berbagai macam kenikmatan, keindahan dan keledzatan terdapat di dalamnya.  Suatu keindahan dan keledzatan  yang tak pernah dilihat oleh mata, dirasakan, didengar oleh telinga bahkan terlintas dalam pikiran maupun hati manusia.
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berkata, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berfirman (artinya),
"Aku mempersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak terlintas di dalam hati seorang manusiapun."  (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim)  
Didalamnya mengalir sungai-sungai dari air, susu, madu dan khamr yang tidak memabukkan, dengan  keledzatan yang tiada tara dan tidak pernah berubah cita-rasa maupun aromanya.
"Di Surga terdapat sebuah sungai yang bernama Al-Kautsar, yang diperuntukkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kedua tepinya terbuat dari emas.  Saluran airnya adalah mutiara dan intan berlian.  Tanahnya lebih wangi daripada Kesturi.  Airnya lebih manis daripada Madu dan lebih putih dari es.”  (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) 
Berbagai macam pepohonan yang rindang dan segala macam buah-buahan terdapat di sana. Berkata seorang ulama, “Antara buah-buahan yang ada di dunia dengan buah-buahan Surga hanya persamaan dalam nama, tapi hakikatnya sangat jauh berbeda.”

Berkata Al-'Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah

"Allah Azza wa Jalla berfirman, 

وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَان ٍ

'Dan buah-buahan di kedua Surga itu dapat (dipetik) dari dekat.'

Ulama menjelaskan, 

'Sesungguhnya setiap kali penghuni Surga melihat buah buahan dalam keadaan dia menginginkannya, maka dahannya pun akan merunduk untuknya hingga keadaan buah-buahan itu berada dihadapannya, sehingga tidak perlu lagi dia bersusah payah dan berdiri untuk memetiknya. 

Bahkan dalam keadaan bertelekan seraya memandang kepada buah buahan yang dia dambakan, lalu buah itu pun mendekat kepadanya atas perintah Allah." 

(Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, 4/320)


Sesungguhnya di Surga terdapat satu pohon.  Penunggang kuda berjalan dibawah naungannya selama seratus tahun, namun ia tidak kuasa melewatinya.  Kalau kalian tidak keberatan, silahkan baca ayat, “Dan naungan yang terbentang luas (Al-Waqi'ah; 30).”  (HR. Al-Bukhari-Muslim).
“Tidak ada satu pohon pun di Surga, kecuali batangnya dari emas.”  (HR. Tirmidzi).  Di Surga juga terdapat pisang dengan buahnya yang bersusun-susun yang tidak pernah berhenti berbuah setiap kali penduduk Surga memetiknya,  batangnya terbuat dari batu mulia yang berwarna hijau.     
Istana serta Mahligai-mahligai yang terdapat di dalamnya terbuat dari emas, perak , mutiara putih, batu yakut merah, batu permata yang berwarna hijau, marjan dan batu-batu mulia lainnya, bertabur cahaya yang melimpah ruah, tetapi tidak menyengat penghuninya.
Tanahnya dari Kesturi dan Za’faran yang semerbak wanginya, halamannya adalah batu-batu dari kapur barus, kerikilnya adalah mutiara lu’lu’ dan mutiara yakut.
Surga memiliki 100 (seratus) tingkatan, jarak antara satu tingkat dengan tingkatan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi.  Aromanya tercium dari jarak ratusan tahun.   
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar meminta Surga Fidaus, ia merupakan Surga yang paling tinggi dan paling luas, yang atapnya berbatasan langsung dengan  ‘Arsy Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dari sanalah dialirkan sungai-sungai yang ada di dalam Surga.  Begitu istimewanya Surga yang satu ini, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menciptakan dengan Kedua Tangan-Nya. 
Rasulullahu shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia pertama yang akan memasuki Surga.  Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan Surga bagi siapapun, sebelum dimasuki oleh Kekasih-Nya yang Mulia.  Yang akan menghuni Al-Wasiilah, suatu tingkatan Surga yang paling mulia, paling utama dan paling besar cahayanya.  Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengharamkan Surga bagi ummat-ummat yang lain sebelum ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukinya.  Dan Dia menjadikan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai mayoritas penduduk Surga.
“Kalian adalah seperempat penghuni surga, kalian adalah sepertiga penghuni surga. Kalian adalah setengah penghuni surga.  Kalian adalah duapertiga penghuni surga.” (Hadits dari Abu Hurairah), yang akan mereka masuki secara bertahap.     
Allah Ta’ala menutup rapat-rapat semua jalan menuju Surga, kecuali jalan yang ditunjukkan oleh kekasih-Nya (shallallahu 'alaihi wa sallam).  Dan Dia membuka selebar-lebarnya jalan kehinaan (jalan ke Neraka) bagi siapa saja yang menyalahi, menentang dan berpaling dari Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memprioritaskan kaum muslimin yang faqir untuk lebih dahulu memasuki Surga-Nya dengan selisih waktu 500 tahun (dunia) dari penduduk surga yang lain.
“Aku menoleh ke Surga dan kulihat di dalamnya bahwa sebagian besar penghuninya adalah orang-orang faqir.  Aku juga menoleh ke arah Neraka dan kulihat di dalamnya bahwa sebagian besar penghuninya adalah orang-orang kaya dan kaum wanita.” (HR. Ahmad)
Hidangan pertama yang disuguhkan kepada penduduk Surga adalah sepotong daging dari hati ikan paus (bagian terbaik dari dagingnya), daging dari sapi jantan yang makanannya adalah rumput-rumput yang ada di surga.  Mereka mereguk kenikmatan air dari mata air Salsabila.  Mereka diberikan pakaian dari sutra yang tebal dan halus, dengan berbagai macam perhiasan yang terbuat dari emas dan perak serta mahkota dari intan berlian dan batu-batu mulia yang lainnya, layaknya seorang raja.  Dikelilingi oleh ribuan pelayan yang masih muda, rupawan dan tidak pernah bosan melayani mereka.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  (artinya),
“Dan berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan.” (Ath-Thur; 24)
Kepada mereka juga dianugerahkan istri-istri yang cantik-jelita,  yang dipingit, yang menundukkan pandangan mereka kecuali terhadap suami mereka di Surga.  Masing-masing mereka mengenakan tujuhpuluh pakaian yang sum-sum betisnya bisa terlihat dari balik dagingnya, pakaian mereka laksana minuman merah yang bisa terihat dari gelas yang putih bersih.  Suci dari segala macam kotoran wanita dunia, seperti haid, buang air besar / kecil, dahak, ingus dan ludah.  Tidak mengeluarkan mani / madzi dan tidak melahirkan.  Dan juga disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala akhlak yang buruk.  Disucikan tutur katanya dari perkataan yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan suaminya.  Disucikan cintanya sehingga ia tidak tertarik pada laki-laki lain selain suaminya di Surga.
Berkata Muqatil, Al-‘in adalah wanita yang indah bola matanya.  Wanita dikatakan cantik kalau bola matanya lebar dan ia dikatakan jelek kalau bola matanya sempit.  Mungil itu bagus bagi wanita jika ada pada empat tempat;  Mulutnya, daun telinganya, hidungnya dan bibirnya.  Lebar juga bagus pada wanita jika ada pada empat tempat; Matanya, punggung dekat lehernya, antara dua telapak tangan dan dahinya.  Putih amat bagus bagi wanita jika ada pada empat tempat;  Warna kulitnya, sigaran rambut kepalanya, giginya dan bola matanya.  Hitam amat baik bagi wanita jika ada pada empat tempat;  Matanya, alisnya, bulu matanya, dan rambut kepalanya.  Tinggi juga baik bagi wanita jika ada pada empat tempat;  Postur tubuhnya, lehernya, rambutnya dan tulang rusuknya.  Pendek secara maknawiyah juga bagus untuk wanita jika ada pada empat tempat;  Lisannya (singkat tutur katanya tidak berbicara masalah-masalah yang tidak bermutu), tangannya (tidak mengambil apa yang tidak disukai suaminya), kakinya (tidak keluar ketempat-tempat maksiat) dan pandangannya (menundukkan pandangannya kecuali terhadap suaminya).  Dan Lembut Dipandang juga baik bagi wanita jika ada pada empat tempat;  Pinggangnya, sigaran rambutnya, alisnya dan hidungnya.”
“Di dalam Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (para penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh Jin.  Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?  Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.”  (Ar-Rahman; 56-58)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapatkan kemenangan.  (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur.  Dan gadis-gadis remaja yang sebaya.”  (An-Naba; 31-33)
Kawa’iba adalah jamak dari ka’ibun yang berarti wanita yang montok payudaranya.  Qatadah, Mujahid dan para pakar hadits berkata, “Al-Kalbi berkata, ‘Mereka adalah wanita-wanita yang menonjol payudaranya dan bulat.  Asal muasal kata tersebut dari al-istidarah yang berarti bulat.  Maksudnya bahwa payudara mereka montok laksana buah delima dan tidak menjulur kebawah.  Mereka digelari nawahid dan kawa’ib (wanita-wanita yang montok payudaranya).’”
Bagaimana tanggapan anda terhadap seorang wanita yang jika tersenyum dihadapan suaminya, maka Surga bersinar karena senyumannya.  Jika ia pindah dari Istana satu ke Istana lainnya, Anda berkata, “Matahari ini pindah ke orbitnya!”  Jika ia berbicara dengan suaminya, maka alangkah bagusnya nada bicaranya.  Jika ia menggandeng tangan suaminya, maka alangkah enaknya rangkulannya dan gandengannya.
Jika ia bernyanyi, maka mata dan telinga mendengarkan kepuasan.   Jika ia menghibur, maka alangkah baiknya cara dia menghibur.  Jika ia mencium, maka tidak ada ciuman yang lebih mesra dan hangat dari ciumannya.  Jika ia memberi sesuatu, maka tidak ada sesuatu yang lebih baik dari pemberiannya.           
Penduduk Surga diberikan kemampuan makan dan minum serta syahwat melebihi kekuatan 💯 (seratus) orang dari manusia di dunia.  Setiap kali mereka bangun dari istrinya, maka istrinya langsung perawan lagi.
Di Surga juga diperdengarkan suara-suara yang indah luar biasa, seperti suara Malaikat Israfil, Suara Nabi Daud dan suara Allah Tabaaraka wa Ta’alaDi dalam Surga tidak ada keledzatan dan keindahan yang melebihi dua kenikmatan ini, yaitu memandang Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendengarkan Firman-Nya.
Para penghuni Surga juga mempunyai kendaraan yang akan mengangkut mereka kemanapun mereka kehendaki,
“Wahai Rasulullah, apakah di Surga terdapat kuda?  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah memasukkan engkau ke dalam Surga, maka jika engkau mau engkau menunggang kuda dari mutiara yakut merah lalu kuda tersebut terbang kemanapun engkau suka.”  Kata ayah Sulaiman, ‘Orang laki-laki lainnya bertanya’, “wahai Rasulullah, apakah di Surga terdapat unta?”  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan jawaban seperti jawaban yang diberikan kepada penanya pertama.’  Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Jika Allah memasukkan engkau ke dalam Surga maka semua yang engkau inginkan dan diinginkan mata engkau ada di dalamnya.’”  (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apakah penghuni Surga bisa saling mengunjungi sesama mereka?”  Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penghuni Surga kelas atas bisa mengunjungi penghuni Surga kelas bawah.  Penghuni Surga kelas bawah tidak bisa mengunjungi penghuni Surga kelas atas kecuali orang-orang yang saling mencintai karena Allah semata, mereka bebas pergi kemana saja yang mereka sukai dengan mengendarai unta.” (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya di Surga terdapat pasar yang didatangi para penghuni surga setiap hari Jum’at.  Angin dari utara berhembus menerpa wajah dan pakaian mereka hingga membuat mereka semakin tampan dan menarik.   Dalam keadaan seperti itu mereka pulang menemui istrinya masing-masing.  Istri-istri mereka berkata, ‘Demi Allah, engkau semakin tampan dan gagah.’  Jawab penghuni Surga kepada istri-istri mereka, ‘Kalian juga semakin cantik dan ayu.’”  (HR. Muslim)
“Sesungguhnya para penghuni Surga mengenakan pakaian yang indah pada pagi hari.  Pada sore harinya berganti dengan pakaian yang lain.  Sebagaimana halnya salah seorang dari kalian pada waktu pagi dan sore berganti pakaian jika ingin menghadap salah satu raja di dunia.  Para penghuni Surga juga begitu.  Setiap pagi dan petang mereka berkunjung kepada Rabb mereka ‘Azza wa Jalla.  Mereka mempunyai tanda yang dimengerti oleh mereka bahwa saat tersebut mereka harus berkunjung kepada Rabb mereka ‘Azza wa Jalla.  (HR. Abu Nu’aim)
Di Surga, para penghuni Surga juga diberi awan yang menurunkan hujan apa saja yang mereka inginkan.  Begitu juga penghuni Neraka.  Mereka diberi awan yang menurunkan siksaan sebagaimana hujan yang pernah ditimpakan kepada ummat Nabi Huud dan Nabi Syu’aib.  Awan yang menurunkan siksa yang mematikan mereka.  Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan hujan rahmat dan hujan laknat di Akhirat nanti.
Seluruh penghuni Surga adalah Raja di Kerajaannya masing-masing.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan apabila kamu melihat disana (Surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (Al-Insan; 20)
Ibnu Abu Al-Hawari berkata bahwa aku mendengar Abu Sulaiman berkata mengenai firman Allah ‘Azza wa Jalla (Al-Insan; 20).  Kata Abu Sulaiman, Yang dimaksud dengan Mulkan Kabiiran pada ayat diatas adalah Raja yang Agung.  Buktinya utusan Allah datang kepadanya dengan membawa hidangan makanan dan hadiah.  Malaikat tidak bisa bertemu dengannya hingga meminta idzin padanya terlebih dahulu.   Kata Malaikat kepada penjaga pintu Istananya, ‘Aku meminta idzin untuk bertemu dengan Wali Allah, karena aku tidak bisa bertemu dengannya tanpa idzinnya.’  Penjaga pintu tersebut menyampaikan permohonan Malaikat tersebut kepada penjaga pintu yang lain dan penjaga pintu yang terakhir menyampaikan kepada penjaga pintu lainnya.  Antara Istananya dan Darus-Salam terdapat pintu masuk kepada Rabb-nya dan ia bebas masuk kepada Rabb-nya tanpa idzin terlebih dahulu.  Jadi ia adalah Raja yang Agung.  Buktinya utusan Allah (para Malaikat) tidak bisa masuk menemuinya kecuali dengan mengajukan idzin terlebih dahulu sementara ia masuk bertemu dengan Rabb-nya tanpa idzin terlebih dahulu.”
Puncak kerinduan para pecinta Surga sekaligus merupakan puncak kompetisi diantara mereka dahulu di dunia adalah menyaksikan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, ‘Azza wa Jalla, Subhanahu wa Ta’ala dengan mata kepala mereka sendiri, dan mendengarkan Suara-Nya. Kenikmatan yang mengalahkan segala kenikmatan dan keindahan Surga.  Kenikmatan dan keindahan yang membuat para penghuni Surga lupa akan segala macam fasilitas Surga yang diperuntukkan bagi mereka.  Begitu besar dan Agungnya kenikmatan ini.  Seandainya Surga itu hanya dimiliki oleh satu orang manusia saja, maka pasti ia akan lebih memilih melihat Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada memiliki keseluruhan isi Surga seorang diri Karena tidak semua penduduk Surga diberikan “ziyadah” (tambahan) ini.  Bagi mereka, tidak bisa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan tamparan keras ketimbang siksa yang dirasakan penghuni Neraka di Neraka Jahim.  Masalah ini, disepakati oleh para Rasul, para Ambiya (Nabi), seluruh Sahabat, Tabi’in dan Generasi Terbaik Islam lainnya.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat berikut, ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang baik (al-husna) dan tambahannya’”  Kemudian sabda Beliau, “Jika penghuni Surga telah memasuki Surga dan penghuni Neraka telah memasuki Neraka, maka penyeru memanggil, ‘Wahai penghuni Surga, sesungguhnya Allah mempunyai janji untuk kalian yang ingin Dia penuhi!’  Penghuni Surga berkata, ‘Janji apa yang dimaksud?  Bukankah Allah telah memberatkan timbangan amal kami, membuat putih wajah kami, memasukkan kami ke dalam Surga dan menjauhkan kami dari Neraka?’   Lalu tirai dibuka, merekapun melihat Allah.  Mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka cintai ketimbang melihat Allah.  Itulah yang dimaksud dengan ziyadah (tambahan).’”  (Diriwayatkan Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Berkata Hasan Al-Basri rahimahullah, “Jika seandainya orang-orang yang ahli ibadah di dunia tahu bahwa mereka tidak dapat melihat Rabb mereka di Akhirat kelak, maka jiwa mereka bisa meleleh di dunia.”
Abdurrahman bin Abu Laila rahimahullah berkata, “Apabila penghuni Surga telah masuk ke dalam Surga, maka apa saja yang mereka minta langsung diberikan kepada mereka.  Allah ‘Azza wa Jalla berkata kepada mereka, ‘Ada satu dari hak kalian yang belum diberikan kepada kalian.’  Lalu Rabb mereka menampakkan Diri kepada mereka.  Mereka merasa bahwa apa yang diberikan-Nya kepada mereka selama ini (di Surga) tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan memandang Allah.’
Al-A’masy rahimahullah dan Said bin Jubair rahimahumullah berkata, “Sesungguhnya penghuni Surga yang paling mulia, pastilah orang yang bisa memandang Allah Tabaaraka wa Ta’ala setiap pagi dan petang.”
Hisyam bin Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan Diri kepada para penghuni Surga.  Ketika mereka melihat-Nya, mereka lupa akan semua nikmat Surga lainnya.”
Berkata Ibnu Majisun rahimahullah, “Demi Allah, kemuliaan terbesar yang diberikan Allah kepada para wali-Nya pada Hari Kiamat nanti adalah melihat Wajah-Nya dan Pandangan Allah kepada mereka di tempat yang disenangi disisi Rabb yang Berkuasa.  Demi Rabb-nya langit dan bumi, Allah pasti memberikan Pandangan-Nya pada Hari Kiamat pada orang-orang yang ikhlas kepada-Nya sebagai pahala bagi mereka dan membuat mereka bisa melihat-Nya serta memenangkan hujjah mereka atas para pembangkang yang pada hari itu terhalang tidak bisa melihat Allah.  Mereka tidak bisa melihat-Nya sesuai dengan pendiriannya.  Allah tidak akan berbicara dengan mereka dan tidak pula menoleh kepada mereka serta bagi mereka siksa yang pedih.”
Auza’i rahimahullah berkata, “Sekte Jahmiyah tidak mengakui adanya pahala yang terbaik yang disediakan Allah bagi para wali-Nya.”
Ibnu Abu Hatim rahimahullah menyebutkan dari Jarir bin Abdul Hamid rahimahullah bahwa ia pernah menerangkan hadits Ibnu Tsabit radhiyallahu ‘anhu tentang maksud tambahan (ziyadah) yang berarti melihat Wajah Allah kemudian hal ini dibantah oleh seorang laki-laki, lalu Sufyan bin Uyainah rahimahullah berteriak memanggil orang tersebut dan mengusirnya dari majelisnya.
Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam Surga yang penuh kenikmatan.  Doa mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma’, dan salam penghormatan mereka di dalamnya adalah, ‘Salam.’  Dan penutup do’a mereka ialah ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’.”  (Yunus; 9-10).
Hafsh bin Sulaiman bin Thalhah bin Yahya bin Thalhah berkata dari ayahnya dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu yang berkata (artinya),
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penafsiran Subhanallah.  Sabda Beliau, Subhanallah adalah menyucikan Allah dari semua keburukan / kekurangan.’”
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa do'a para penghuni Surga yang pertama kali mereka ucapkan kalau mereka menginginkan sesuatu adalah Subhanallah.  Jika permintaan mereka telah terpenuhi, maka mereka menutup do'anya dengan mengatakan Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Namun makna ayat di atas lebih luas (dari itu).  Kata da’wa pada ayat di atas berarti do’a, dan do’a berarti pujian, dan pujian juga berarti permintaan.  Dinyatakan dalam hadits (artinya),
“Do’a yang paling baik adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Do’a pada ayat di atas adalah do’a dalam arti puji-pujian dan dzikir yang diilhamkan oleh Allah pada para penghuni Surga.  Allah menerangkannya dari awal hingga akhir.  Permulaannya adalah Tasbih dan penutupnya adalah Tahmid, diilhamkan Allah pada mereka sebagaimana mereka diilhamkan untuk bernafas.
Ini menandakan bahwa instruksi untuk beribadah di Surga tidak berlaku lagi dan ibadah yang tersisa hanya do’a (pujian) yang diilhamkan Allah pada mereka.
Disebutkan dalam hadits shahih bahwa penghuni Surga diilhamkan ber-tasbih dan ber-tahmid sebagaimana mereka diilhamkan bernafas.  Jadi, do’a mereka pada ayat di atas tidak terpaku pada waktu tertentu (saja).  Pembatasan do’a tersebut pada waktu tertentu (saat meminta sesuatu) disamping tidak sesuai dengan makna ayat di atas juga tidak sesuai dengan keadaan mereka di Surga.  Wallahu a’lam bishshawab.
oOo

(Disadur bebas dari kitab “Tamasya ke Surga”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dengan beberapa tambahan dari sumber lain)