بسم الله الر حمان الر حيم
Firman Allah Ta’ala
(artinya),
“...Setelah itu mereka pun berpaling.
Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang
tidak mengerti.” (At-Taubah; 127)
Allah mengabarkan perbuatan orang-orang munafik, yaitu berpaling, dan juga mengabarkan
perbuatan-Nya, yaitu memalingkan hati
mereka dari Al-Qur’an dan dari memperhatikannya, karena mereka memang orang yang tidak pantas memperhatikannya. Jadi, tempatnya tidak layak untuk
itu. Kelayakan tempat untuk
memperhatikan Al-Qur’an terjadi karena dua hal; *Pemahaman yang baik, dan *Tujuan
yang baik. Sedangkan hati
orang-orang munafik itu tidak bisa memahami dan tujuan mereka pun buruk (Dunia, dunia, dan dunia...). Hal ini telah ditegaskan Allah di dalam
firman-Nya (artinya),
“Kalau kiranya Allah
mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat
mendengar. Dan, jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka
pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka
dengar itu).” (Al-Anfal; 23)
Allah mengabarkan
penolakan iman yang ada dalam diri mereka.
Tidak ada kebaikan pada diri mereka sekalipun iman itu masuk kedalam hati
mereka. Allah tidak membuat mereka
mendengar karena ketiadaan dorongan keinginan untuk memahami dan mengambil manfaat. Seperti
hasil yang diperoleh dari proses mendengar yang dilakukan oleh orang-orang
mukmin tidak akan terwujud pada diri orang-orang munafik. Padahal Allah ingin menegakkan hujjah atas
mereka. Kemudian Allah mengabarkan
penghalang lain yang terdapat di dalam hati mereka, sehingga mereka tidak
beriman meskipun Allah telah membuat mereka dapat mendengar. Penghalang ini bersifat khusus, yaitu takabur dan berpaling. Yang pertama (takabur) menghalangi
pemahaman dan yang kedua (berpaling) menghalangi untuk tunduk dan patuh. Pemahaman mereka buruk dan tujuan mereka pun
hina. Ini merupakan sifat
kesesatan dan panji penderitaan, sebagaimana pemahaman yang baik dan tujuan
yang lurus merupakan sifat petunjuk dan panji kebahagiaan.
Perhatikanlah firman Allah, “Setelah itu mereka pun
berpaling. Allah telah memalingkan hati
mereka”, bagaimana Allah menjadikan kalimat yang kedua ini, entah
bentuknya merupakan khabar ataupun pengulangan, sebagai hukuman atas perbuatan
mereka yang berpaling. Ini merupakan hukuman berupa keberpalingan
yang berbeda dengan keberpalingan yang pertama.
Keberpalingan mereka terjadi karena tidak adanya kehendak Allah terhadap
mereka untuk menerima iman, karena pada diri mereka tidak ada kelayakan untuk
menerima iman tersebut. Mereka tidak mau
menerima dan tidak mau tunduk-patuh, sehingga dengan kejahilan (kebodohan) dan
kezalimannya, hati mereka berpaling dari Al-Qur’an. Maka
Allah menghukumi keadaan mereka itu dengan keberpalingan yang berbeda dengan
keberpalingan yang pertama (lebih parah, pen.), sebagaimana difirmankan Allah
di tempat lain (artinya),
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati
mereka.” (Ash-Shaf; 5)
Begitulah yang
terjadi jika hamba berpaling dari Rabb-nya,
yang dihukum Allah dengan memalingkan dirinya dari Dia (Allah), dan setelah itu tidak
mungkin baginya untuk kembali pada-Nya.
Semoga engkau bisa mengambil pelajaran dari kisah Iblis yang
ingkar. Tatkala ia durhaka kepada Rabb-nya dan tidak mau tunduk kepada
perintah-Nya serta dia bersikukuh dengan pendiriannya, maka Allah menghukumnya
dengan menjadikannya sebagai penyeru kepada setiap kedurhakaan. Allah
menghukumnya atas kedurhakaannya yang pertama, dengan menjadikannya sebagai
penyeru kepada setiap kedurhakaan dengan cabang-cabangnya, yang besar maupun
yang kecil. Keberpalingan dan kekufuran
ini merupakan hukuman dari keberpalingan dan kekufuran sebelumnya. Diantara bentuk hukuman keburukan ialah
keburukan lain setelah itu, sebagaimana balasan pahala kebaikan adalah kebaikan yang
lain setelahnya.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Bagaimana cara menyelaraskan
pengingkaran Allah terhadap pengingkaran dan keberpalingan mereka dari-Nya,
sementara Dia berfirman (artinya), ‘Maka
bagaimanakah kalian dipalingkan dari kebenaran?’ Begitu pula firman-Nya, ‘Bagaimana mereka sampai berpaling?’
Juga dengan firman-Nya, ‘Maka
mengapa mereka berpaling dari peringatan (Allah)?’ Kalau memang Allah yang membuat mereka
berpaling?, lalu bagaimana mungkin Allah sendiri yang mensifati hal itu?”
Dapat dijawab sebagai berikut; Mereka tetap berada dalam lingkup keadilan
Allah dan hujjah-Nya atas diri mereka.
Allah telah memberikan peluang kepada mereka, membukakan pintu, menuntun
jalan dan menyediakan berbagai sebab (keselamatan, pen.) bagi mereka. Allah mengutus Rasul kepada mereka,
menurunkan Kitab dan menyeru mereka untuk mengikuti Rasul-Nya. Allah memberikan akal yang bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan manfaat dan mana
yang mendatangkan mudharat, mana sebab-sebab kenistaan dan sebab-sebab
keberuntungan (kemuliaan, pen.). Allah memberikan
pendengaran dan penglihatan kepada mereka. Namun mereka lebih mementingkan hawa nafsu
daripada takwa, mereka lebih suka kebutaan daripada petunjuk, dan
(seakan-akan, pen.) mereka berkata, “Kami lebih suka durhaka kepada-Mu daripada
ta’at, syirik lebih kami sukai daripada mentauhidkan-Mu, menyembah selain-Mu
lebih bermanfaat bagi kami di dunia daripada menyembah-Mu.” Maka tidak heran jika hati mereka berpaling
dari Rabb dan Khaliq-nya, berpaling dari ketaatan dan kecintaan kepada-Nya. Ini
merupakan keadilan Allah terhadap mereka dan itulah hujjah Allah atas mereka. Mereka menutup pintu petunjuk dihadapan diri
mereka sendiri, sebagai kehendak yang murni atas pilihan mereka
sendiri, sehingga Allah pun menutup pintu itu, lalu membiarkan mereka berada
pada pilihan yang mereka kehendaki.
Allah berpaling dari apa yang mereka tingalkan dan memberikan kekuasaan
terhadap apa yang mereka sukai. Allah
memasukkan mereka ke dalam pintu yang mereka inginkan dan menutup pintu yang
mereka tinggalkan, sehingga mereka benar-benar telah berpaling. Tidak ada yang lebih buruk daripada apa yang
telah mereka kerjakan, dan tidak ada yang lebih baik daripada apa yang Allah Ta’ala perbuat.
Sekiranya Allah menghendaki, Dia bisa saja menjadikan mereka
tidak seperti gambaran itu dan tidak membuat mereka dalam keadaan demikian. Tetapi Allah-lah yang menciptakan ketinggian
dan kerendahan, cahaya dan kegelapan, sesuatu yang bermanfaat dan mudharat,
yang baik dan yang buruk, Malaikat dan syaithan, wanita dan lalat. Allah-lah yang memberikan alat, sifat,
kekuatan, perbuatan dan segala apapun yang bisa dipergunakan menurut
ciptaan-Nya. Sebagian ada yang menuruti
tabi’atnya (fitrahnya, pen.) dan sebagian lagi ada yang memperturutkan kehendak
dan keinginan (hawa nafsu). Semua berjalan sesuai
dengan Hikmah-Nya. Hal ini menuntut
adanya Pujian kepada-Nya atas segala Kesempurnaan-Nya serta Kekuasaan-Nya yang
komplit.
Apa yang diketahui
oleh makhluk tidak sebanding dengan apa yang belum mereka ketahui, yang bisa
diibaratkan dengan patukan seekor burung di atas samudera yang membentang luas.
(Baca juga artikel, MUNAFIK)
(Baca juga artikel, MUNAFIK)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim”, Syaikh Muhammad
Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar