Rabu, 30 Oktober 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (26)


بسم الله الر حمان الر  حيم

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyembunyikan tiga hal dalam tiga perkara;
1. Menyembunyikan para wali-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
2. Menyembunyikan keridhaan-Nya di antara berbagai keta'atan kepada-Nya.
3. Menyembunyikan kemurkaan-Nya di antara berbagai maksiat kepada-Nya."

('Ulama Salaf)

"Ilmu agama itu bukanlah apa yang dihapalkan, tetapi adalah apa-apa  yang bermanfaat."

(Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah)

oOo 


Selasa, 29 Oktober 2019

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (25)


بسم الله الر حمان الر  حيم

"Hendaklah seorang pemuda muslim berdiam di rumah nya, menahan jiwa dan pandangannya.  Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, karena itu akan melalaikanmu - dan membuatmu lupa (dari dzikrullah)."
(Sahabat yang mulia, Abud Darda radhiyallahu 'anhu)


oOo 


Senin, 28 Oktober 2019

SALMAN AL-FARISI


بسم الله الر حمان الر حيم

"Salman termasuk dari keluarga kami, Ahlul Bait."
(Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)

Kisah kita kali ini, adalah kisah seorang pencari kebenaran yang hakiki, kisah seorang yang mencari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kisah seorang Salman Al-Farisi - semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya.
Marilah kita simak kisahnya.  Kisah yang begitu mendalam dan terpercaya.

Salman menuturkan;
Aku adalah seorang pemuda Persia dari suku Ashbahan.  Aku berasal dari sebuah kota yang bernama Jayyan.  Ayahku dahulu adalah pemimpin kota tersebut.  Beliau adalah orang yang paling kaya dan paling tinggi kedudukannya.  Dan aku, adalah makhluk yang paling beliau sayangi dan cintai sejak aku dilahirkan.  Kecintaan kepadaku bertambah-tambah.  Sampai-sampai, karena besarnya kekhawatiran ayah terhadap diriku, beliau menahanku di dalam rumah, sebagaimana para orangtua menahan puteri-puteri mereka di dalam rumah ("dipingit").
Aku adalah penganut agama Majusi (Penyembah api) yang ta'at.  Sampai-sampai, akulah yang bertugas menyalakan api sesembahan kami.  Mereka mempercayakannya padaku, agar api itu tetap berkobar dan menyala sepanjang siang dan malam.
Ayahku juga memiliki sawah yang amat luas.  Darinya kami mendapatkan hasil bumi yang sangat banyak dan melimpah.  Ayahku sangat bergantung pada hasil bumi itu, dan memperhatikan serta merawat sawah itu.
Suatu ketika, ada sesuatu yang menyibukkan dirinya yang mengharuskan ia pergi ke kota.
"Wahai anakku, aku sedang sibuk untuk mengurus sawah-sawah itu sebagaimana yang engkau lihat.  Urusilah sawah itu untuk hari ini saja," kata ayahku.
Aku pun keluar menuju sawah ayahku.  Di tengah perjalanan, aku melihat sebuah gereja.  Darinya, aku bisa mendengar nyanyian, dan dendangan yang dilakukan oleh para penganutnya.  Perhatianku pun tersedot olehnya.

Aku tak tahu menahu soal agama Nasrani,  dan semua agama-agama lainnya, karena begitu lamanya ayahku menahan diriku di dalam rumah, serta membatasi pergaulanku dengan orang-orang.
Ketika mendengar suara-suara itu, aku masuk ke dalam gereja, penasaran terhadap apa yang mereka lakukan.
Setelah aku perhatikan, ibadah mereka membuatku takjub,  dan aku pun sangat ingin memeluk agama mereka.
Demi Allah, agama ini lebih baik dari agama kami.  Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan mereka hingga matahari tenggelam.  Aku juga tidak akan berangkat ke sawah ayahku."
"Di mana asal agama ini?"  Tanyaku.
"Di negeri Syam," jawab mereka.
Menjelang malam, aku kembali ke rumah.  Ayahku segera menyeruku,  dengan menanyakan apa yang telah aku perbuat hari ini.
"Ayahanda, aku tadi melewati sekelompok orang.  Ibadah mereka membuatku takjub.  Akupun berhenti bersama mereka hingga matahari tenggelam," kataku.
Ayahku terkejut mendengarnya.
"Wahai anakku, agama itu tidak memiliki kebaikan sama sekali.  Agamamu dan agama ayahmu lebih baik dibandingkan agama itu," kata ayahku.
"Sekali-kali tidak, sungguh agama itu lebih baik dibandingkan agama kita," jawabku berontak.
Ayahku sangat ketakutan mendengar jawabanku.  Beliau khawatir, kalau-kalau aku murtad keluar dari agama kami.  Beliau pun menahanku di dalam rumah.  Bahkan, beliau merantai kakiku.

Ketika datang sebuah kesempatan bagiku, aku mengirim seorang utusan kepada orang-orang Nashrani.
"Jika ada seorang pengendara yang ingin pergi ke negeri Syam, beritahu aku," itulah pesanku pada mereka.
Tak lama setelah itu, ada seseorang yang ingin berangkat ke negeri Syam.  Mereka memberitahuku tentang orang ini.  Aku berusaha melepaskan diri dari ikatan, sampai akhirnya aku berhasil meloloskan diri, dan berangkat bersama mereka ke negeri Syam.
(Singkat cerita), sampailah kami ke negeri tersebut.
"Siapakah orang yang paling mulia dalam agama ini?" Tanyaku.
"Uskup kepala gereja," jawab mereka.
Maka aku mendatangi sang uskup, dan berkata kepadanya,
"Aku sangat ingin memeluk agama Nasrani.  Aku bertekad untuk tinggal bersama anda, berkhidmat dan mengabdi, serta belajar untuk kemudian beribadah bersama anda."
"Masuklah," ia mempersilahkan aku masuk.
Aku pun masuk dan mulai mengabdi padanya (I)*.
Namun, tak lama setelah itu aku mengetahui dirinya yang sebenarnya.  Ia ternyata adalah seorang yang sangat jelek.  Ia memaksa para pengikutnya untuk bersedekah dan membayar sejumlah uang, dengan alasan untuk sedekah dan berinfak di jalan Allah.  Tetapi sebenarnya ia mengambilnya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan tidak memberikannya kepada kaum fakir - miskin.  Saking banyaknya harta itu,  sampai bertumpuk-tumpuk emas yang dia kumpulkan.
Marah dan benci, itulah yang aku rasakan melihat ulahnya.  Tak lama setelah itu, ia meninggal. Orang-orang Nashara berkumpul untuk menguburkannya,  maka aku katakan kepada mereka,
"Sesungguhnya teman kalian ini adalah orang yang jelek.  Dahulu ia menyuruh kalian untuk bersedekah dan menghasung kalian untuk berinfak, namun harta yang kalian infakkan ia simpan sendiri."
"Dari mana engkau tahu," tanya mereka.
"Mari aku tunjukkan tempat penyimpanan hartanya," kataku.
Mereka berkata, "Baiklah, tunjukkan kepada kami."
Aku pun memperlihatkan tempat penimbunan harta.  Akhirnya mereka berhasil mengeluarkan timbunan emas dan perak dari tempat tersebut.  Tatkala melihat ini, semua mereka berkata,
"Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya."
Mereka kemudian menyalib dan melemparinya dengan batu-batu.
Tak lama setelah itu, orang lain menggantikan posisi uskup tadi.  Aku pun tinggal bersamanya (II)*.  Tidaklah aku melihat orang yang zuhud terhadap dunia, lebih bersemangat terhadap akhirat, dan lebih tekun dalam beribadah siang dan malam daripada orang ini.  Aku pun sangat mencintainya dan tinggal bersamanya dalam waktu yang lama.  Tatkala ia di ambang kematian, aku bertanya kepadanya,
"Wahai Fulan, kepada siapa engkau berwasiat dan menasihati agar aku bersamanya setelahmu?"
Maka ia berkata, "Wahai anakku, tak pernah aku ketahui seorang pun orang yang tak pernah melenceng dan merubah kebenaran selain seseorang yang berada di daerah Maushil."
Setelah wafatnya orang ini, aku segera mencari orang yang dimaksud di daerah Maushil.  Aku pun bertemu dengannya, dan kuceritakan semua peristiwa yang terjadi.  Ku katakan padanya,
"Sesungguhnya Fulan, tatkala ajal menjemputnya berwasiat kepadaku, agar aku mengikuti anda.  Ia juga memberitahuku, bahwa anda adalah orang yang berpegang terhadap kebenaran."
"Baiklah, ikutlah bersamaku," jawabnya.
Akupun hidup bersamanya (III)*, dan aku dapati bahwa ia adalah seorang yang baik.  Namun, tak lama setelah itu, ia juga wafat.  Sebelum kematiannya, aku sempat bertanya kepadanya,
"Wahai Fulan, telah datang kepadamu keputusan Allah, sebagaimana yang engkau lihat dan engkau telah mengetahui sebagian urusanku.  Kepada siapa engkau berwasiat agar aku ikut bersamanya?"
Ia pun berwasiat kepadaku,
"Wahai anakku, demi Allah aku tidak mengetahui ada seseorang yang berada di atas agama kami, selain seorang yang berada di daerah Nashibin, ikutilah dia."
Tatkala orang ini telah dikuburkan, aku segera mencari orang yang dia maksud di daerah Nashibin.  Aku segera memberitahu dirinya dan perintah temanku sebelumnya.
"Ayo ikut bersamaku," ajaknya.
Aku pun tinggal bersamanya (IV)*.  Dan aku dapati orang ini sama dengan dua orang sebelumnya, di atas kebaikan.  Namun, lagi-lagi kematian mendatanginya.
"Sungguh, engkau telah mengetahui urusanku.  Maka, kepada siapa engkau berwasiat untukku?"  Tanyaku saat ajal akan menjemputnya.
Ia berkata, "Wahai anakku, Demi Allah aku tidak mengetahui orang yang masih tersisa di atas agama kami, selain orang yang tinggal di daerah 'Amuriyyah.  Ia adalah Fulan, ikutilah dia!"
Aku pun mengikuti orang yang ia maksud.  Aku beritahu segala peristiwa yang terjadi.
"Ikutilah bersamaku," ajaknya.
Aku pun ikut bersamanya (V)*, dan Demi Allah orang ini di atas ajaran dan petunjuk teman-temannya.  Aku juga bekerja, sehingga memiliki beberapa ekor sapi dan kambing.  Namun, lagi-lagi keputusan Allah datang sebagaimana teman-temannya.  Kematian tak dapat dielakkan.
Aku berkata kepadanya, "Engkau telah tahu urusanku, maka kepada siapa engkau berwasiat untukku?  Apa yang harus aku lakukan?"
Dia pun berwasiat, "Wahai anakku, aku tidak mengetahui masih ada orang yang tersisa di muka bumi ini, yang berpegang pada agama kami.  Namun, tak lama lagi di negeri Arab akan muncul seorang Nabi yang diutus, membawa ajaran Ibrahim.  Kemudian Nabi ini berhijrah dari negerinya ke negeri yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kurma (kota Madinah), yang terletak di antara dua batu hitam besar.  Orang ini memiliki tanda-tanda yang tidak samar.  Ia mau memakan hadiah dan tidak memakan sedekah.  Di antara kedua bahunya terdapat lingkaran tanda kenabian.  Kalau engkau bisa menuju negeri itu, maka lakukanlah."
Akhirnya ajal menjemput orang ini.  Kemudian aku tinggal di 'Amuriyyah agak lama (VI)*, hingga akhirnya ada pedagang Arab dari kabilah Kalb lewat.
"Kalau kalian bersedia membawaku ke negeri Arab, aku akan berikan semua sapi-sapi dan kambing-kambing ini untuk kalian," kataku kepada mereka.
"Baiklah, kami akan membawamu," kata mereka.
Mereka membawaku, dan aku serahkan sapi-sapi dan kambing-kambingku kepada mereka.  Hingga akhirnya kami tiba di daerah Wadil Qura - antara Syam dan Madinah.  Namun, tak disangka mereka menjualku kepada seorang Yahudi.  Aku pun terpaksa menjadi pembantu Yahudi ini (VII)*,  Tak lama setelah itu, anak pamannya datang berkunjung.  Ia berasal dari Bani Quraizhah.  Ia pun membeliku dan membawaku ke Yatsrib.  Aku melihat pohon-pohon kurma yang diceritakan temanku di Amuriyyah.  Aku tahu, kota ini adalah kota Madinah sebagaimana yang diceritakan temanku.  Akhirnya aku tinggal bersama orang ini (VIII)*.
Saat itu Nabi sedang berdakwah di kota Makkah.  Namun, aku tidak mendengar berita tentangnya karena aku sibuk dengan pekerjaanku.

Tak lama setelah itu, sang Nabi berhijrah ke kota Yatsrib.  Demi Allah, saat itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma milik majikanku.  Dia kebetulan berada di bawah pohon, ketika anak pamannya datang kepadanya.
"Semoga Allah membinasakan Bani Qailah  (Kabilah Aus dan Khazraj), mereka telah berkumpul di daerah Quba.  Hari ini mereka sedang menunggu seorang laki-laki dari Makkah yang mengaku sebagai seorang Nabi," katanya degan geram.
Sekonyong-konyong aku terserang demam.  Badanku menggigil dan bergetar keras.  Aku pun khawatir akan menjatuhi majikanku.  Perlahan-lahan aku turun dan bertanya,
"Apa yang anda katakan tadi?  Coba ulangi sekali lagi!"
Majikanku marah.  Tamparan keras dia hadiahkan kepadaku.
"Apa urusanmu.  Pergilah bekerja!"  Kata majikanku sewot.
Sore harinya aku mengambil kurma yang sebelumnya telah aku kumpulkan.  Aku berangkat ke daerah dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam singgah.  Aku segera menemui Beliau.
"Sungguh, telah sampai berita kepadaku, bahwa anda adalah seorang yang shalih.  Engkau bersama para Sahabat yang miskin, diasingkan dan dikucilkan.  Ini ada sesuatu yang aku sedekahkan untuk anda.  Karena tak ada orang yang lebih berhak menerimanya selain anda," kataku kepada Beliau.
Kemudian aku mendekat.  Beliau berkata kepada para Sahabatnya.
"Makanlah!"  Katanya.  Ia menahan tangannya, dan enggan untuk makan.
"Satu tanda," gumamku dalam hati.
Aku lalu berpaling dan mengambil setumpuk kurma yang lain.  Maka, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pindah dari Quba ke kota Madinah, aku pun mendatangi Beliau.  Aku katakan padanya,
"Aku melihat anda tidak memakan sedekah.  Ini sedikit hadiah dariku."  Beliau pun memakannya, dan memerintahkan para Sahabat untuk ikut makan bersama.
"Ya, dua tanda," gumamku lagi.
Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lagi, ketika Beliau berada di Pekuburan Baqi' Al-Gharqad.  Kala itu, Beliau menguburkan salah seorang Sahabatnya.  Aku melihat Beliau sedang duduk mengenakan dua mantel.  Aku memberi salam penghormatan kepada Beliau.  Aku mencoba melihat punggung Beliau.  Siapa tahu ada lingkaran tanda kenabian yang pernah diceritakan temanku.
Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihatku sedang memandang punggung Beliau, Beliau memahami maksudku.  Maka, Beliau membuka selendang dari punggungnya, sehingga aku dapat melihat lingkar tanda kenabian itu.  Aku meyakini, bahwa Beliaulah Nabi yang sebenarnya.  Aku langsung mendekap dan memeluk Beliau, serta mencium seraya menangis haru.
"Bagaimana kisahmu?"  Tanya Beliau kepadaku.
Aku pun menceritakan semua peristiwa yang aku alami.**  Beliau tampak terkesima dengan kisah itu.  Beliau juga sangat ingin para Sahabat mendengarkan kisah ini dariku.  Aku pun bercerita kepada mereka.  Mereka lebih terheran-heran, takjub, serta sangat gembira mendengarkannya.

Semoga keselamatan tercurah kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhu, pada hari-hari ketika ia mencari kebenaran.
Semoga keselamatan senantiasa tercurah kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhu, tatkala ia telah menemukan (beroleh) kebenaran, serta mengimaninya dengan keimanan yang kuat.
Juga, semoga keselamatan tercurah kepadanya pada hari kematian, dan pada hari ia dibangkitkan kembali.


oOo

(Disalin dengan editan dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)

*  Angka Romawi dalam kurung  (I s/d VIII), sekedar menggambarkan rantai perjalanan yang ditempuh Salman Al-Farisi radhiyallahu 'anhu , dengan kemauan yang sangat kuat - tanpa kenal lelah dan putus asa, hingga akhirnya bertemu dengan utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala - Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
**  Ada yang mengatakan, bahwa dalam pengembaraannya mencari kebenaran Salman Al-Farisi (radhiyallahu 'anhu) - sebelum bersua Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah berusia 230 tahun.  Beliau memang dikaruniai usia yang sangat panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  (hampir 400 tahun).  Namun, nyaris seluruh umurnya digunakan untuk mencari Agama yang benar (lurus), dan beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla"Wallahul musta'an" (Hanya Allah sajalah tempat memohon pertolongan), (pen blog).

Minggu, 27 Oktober 2019

ABDULLAH BIN MAS'UD


بسم الله الر حمان الر حيم

"Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana diturunkan, maka bacalah dengan qira'ah-nya Ibnu Ummi 'Abd"  (Muhammad Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam)

Saat itu ia belum mencapai baligh, mengembalakan ternak di jalan-jalan gunung, jauh dari manusia.  Mengembalakan kambing milik salah seorang pemuka Quraisy yang bernama 'Uqbah bin Mu'ith.

Dahulu orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ibnu Ummi 'Abd.  Namanya adalah Abdullah.  Ayahnya bernama Mas’ud.
Berita tentang kedatangan seorang Nabi di tengah-tengah kaumnya sampai ke telinga Abdullah bin Mas’ud.  Walaupun usianya masih sangat muda, dan jauhnya jarak antara dirinya dengan masyarakat Makkah - karena ia harus membawa kambing-kambing tuannya pada subuh buta, dan baru kembali setelah malam menjelang - tak menghalanginya untuk menerima berita itu.

Pada suatu hari pemuda Maķkah ini - Abdullah bin Mas’ud melihat dua orang paruh baya, usianya antara 30 hingga 50 tahun.  Dari kejauhan kedua orang itu mendatangi Abdullah kecil dengan tenang.  Rasa capek dan letih dirasakan oleh keduanya.  Rasa haus menyerang, hingga kering kedua bibir dan kerongkongan mereka.
Sesampainya di hadapan sang pemuda, keduanya memberi salam penghormatan.
"Wahai anak muda, perahkanlah untuk kami susu dari kambing-kambing ini.  Kami sangat kehausan.  Berikanlah susunya kepada kami, agar kami bisa mengusir rasa haus ini, dan membasahi kerongkongan kami."
"Tidak, aku tidak bisa melakukannya, kambing-kambing ini bukan milikku.  Aku hanya sekedar mengembalakan saja," jawab sang pemuda.
Kedua orang itu tidak membantah.  Rasa menerima dan ridha terpancar dari wajah keduanya.
Kemudian salah satu-nya berkata, "Kalau begitu tunjukkan kepadaku kambing yang belum mengeluarkan susu."
Pemuda itu menunjuk seekor kambing kecil di dekatnya.  Laki-laki itu maju dan mendekat ke arah kambing.  Dia menahan kambing itu, lalu mengusap puting susu kambing itu dengan tangannya - sambil menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dengan tercengang pemuda itu hanya mengamati perbuatan orang itu.
"Bagaimana mungkin kambing kecil ini akan mengeluarkan susu," pikirnya dalam hati.
Tetapi, tiba-tiba puting susu hewan kecil itu terbuka.  Terpancarlah air susu yang banyak darinya.  Laki-laki yang satunya mengambil sebuah batu cekung dari tanah, guna menampung air susu itu.  Batu itu penuh dengan air susu.  Ia bersama temannya meminumnya.  Kemudian keduanya memberikan sisanya untukku.  Sungguh, hampir-hampir aku tidak percaya dengan kejadian yang tidak masuk akal ini.
Setelah kami puas dan kenyang, laki-laki yang diberkahi itu berkata kepada puting susu kambing, "Berhentilah!"  Maka, berhentilah susu itu mengalir, dan puting susu itu kembali menutup seperti sedia kala.
"Ajarilah aku kalimat yang baru saja anda ucapkan!" Pinta sang pemuda.
"Sesungguhnya engkau adalah pemuda yang bisa diajari," jawab laki-laki itu.

Inilah awal mula Ibnu Mas’ud mengenal Islam.
Laki-laki yang diberkahi itu, tidak lain adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Dan temannya itu, adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.  Hari itu keduanya telah keluar menuju jalan-jalan di gunung.  Keduanya berlari dan menghindar dari siksaan berat, dan gangguan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy di kota Makkah.

Pemuda itu terpikat dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam beserta temannya.  Hatinya sangat bergantung dan sayang pada keduanya.  Sebaliknya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan temannya sangat takjub atas amanah dan keteguhan (hati) sang pemuda.  Keduanya melihat tanda-tanda kebaikan pada dirinya.

Tak lama berselang, Abdullah bin Mas’ud masuk Islam.  Ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, untuk berkhidmat dan mengabdi kepada Beliau.  Beliau pun menerimanya.
Semenjak itu, pemuda itu beralih profesi, dari penggembala kambing menjadi pembantu sekaligus pelayan dari Pemimpin seluruh ummat dan makhluk.

Abdullah bin Mas’ud senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai seorang sahabat.  Ia senantiasa menyertai Beliau, baik ketika mukim maupun safar, di dalam maupun di luar rumah.  Membangunkan ketika tertidur.  Menjadi tabir tatkala bersuci dan mandi.  Memakaikan sandal ketika hendak keluar dan melepaskannya ketika hendak masuk.  Membawakan tongkat dan siwak.  Masuk ke dalam kamar Beliau ketika hendak berbaring dan beristirahat.  Bahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengizinkannya masuk setiap saat.  Mengetahui rahasia-rahasia Beliau.  Sampai-sampai ia mendapat julukan "Pemegang rahasia Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam".
Abdullah bin Mas’ud dididik di rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, mengambil petunjuk dari Beliau, berhias dengan akhlak dan perangai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan meniru serta meneladani sifat-sifat Beliau.  Hingga akhirnya ia mendapat julukan "Orang yang akhlak dan perangainya paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam."

Abdullah bin Mas’ud belajar di Madrasah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Jadilah dirinya sahabat yang paling memahami dan mengerti dengan Al-Qur'an, paling mengerti tafsir dan maknanya.  Bahkan ia termasuk sahabat yang paling fakih terhadap syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal yang paling menunjukkan kondisi tersebut adalah, tatkala ada seorang lelaki menghadap Umar bin Khaththab yang sedang wuquf di Arafah.  Lelaki itu berkata kepada Umar,
"Aku datang dari Kufah, wahai Amirul Mukminin!  Meninggalkan seorang yang menulis Al-Qur’an dari dalam hatinya."
Marahlah Umar dengan kemarahan yang belum pernah terlihat.  Darahnya langsung naik, seakan akan memenuhi tubuh depan dan belakang.
"Celaka engkau, siapakah ia?"  Tanya Umar.
Lelaki itu menjawab, "Abdullah bin Mas’ud."
Setelah itu, meredalah kemarahan Umar, dan kembali ke keadaan semula.  Kemudian Umar berkata, "Celaka engkau, Demi Allah, aku tidak mengetahui masih ada orang yang tersisa di muka bumi ini yang pantas menyandang gelar itu selain dia.   Aku akan memberitahumu tentang hal itu."
Kata Umar melanjutkan;
"Pada suatu malam Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang berbincang-bincang dengan Abu Bakar.  Keduanya serius membicarakan berbagai urusan kaum muslimin.  Saat itu aku bersama mereka.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu keluar.  Kami juga keluar menyertai Beliau.  Tiba-tiba kami melihat seorang yang tidak kami kenal sedang shalat di dalam masjid.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berhenti, dan mendengar bacaan orang tersebut.  Lalu Beliau menoleh ke arah kami,
"Barangsiapa yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai dengan qira'ah Ibnu Ummi 'Abd," kata Beliau.
Kemudian Abdullah Ibnu Mas’ud duduk dan berdo'a.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata,
"Mintalah,  engkau pasti akan diberi... Mintalah, engkau pasti akan diberi..."
Umar melanjutkan;
"Aku berkata dalam hati, 'Sungguh, besok aku akan memberi khabar gembira kepadanya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengaminkan do'anya.
Keesokan harinya aku segera menemui dan memberitahu khabar gembira itu kepadanya.  Namun, ternyata Abu Bakar telah mendahuluiku.  Demi Allah, tidak pernah aku berlomba dengan Abu Bakar dalam sebuah kebaikan, melainkan pasti dia memenangkannya.

Keilmuan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu tentang Kitabullah sangatlah tinggi.  Bahkan, sampai-sampai ia berkata,
"Demi Allah, Dzat Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya.  Tidak ada satu ayat pun yang turun, melainkan aku mengetahui dengan pasti dimana dan tentang apa ayat itu turun.  Kalau saja ada orang yang lebih mengetahuinya daripada diriku, pasti aku akan mendatanginya."
Ucapan Ibnu Mas’ud di atas tidaklah berlebihan.  Suatu ketika Umar Radhiyallahu 'Anhu bertemu dengan rombongan kafilah dalam sebuah safar.  Malam itu sangatlah gelap.  Pandangan para pengendara terhalang.  Di antara pengendara itu ada Abdullah bin Mas’ud.  Umar menyuruh seseorang untuk memanggil rombongan itu.
"Dari mana kalian," tanya Umar.
Abdullah bin Mas’ud menjawab, "Kami dari Fajjil Amiiq (lembah yang dalam)."
Umar bertanya lagi, "Lantas, kalian mau kemana?"
Abdullah bin Mas’ud menjawab, "Ke Baitul Atiq  (rumah tua)."
Kata Umar, "Sesungguhnya di antara rombongan ini ada seorang 'Alim (berilmu).  Ia (Umar) memerintahkan seseorang untuk kembali bertanya, "Ayat Al-Qur’an mana yang paling Agung?"
Maka Abdullah menjawab,
الله لا إله إلا هو الحي القيوم  لاتاءخزه سنة والنوم
"Allahu laa Ilaaha Illa huwa al-hayyu al-qayyuwmu  laa ta' khudzuhu sinatun wa laa nawmun"
"Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus  (makhluk-Nya);  Tidak mengantuk dan tidak tidur."  (Al-Baqarah;  255)
Umar kembali bertanya, "Tanyakan lagi, ayat apa yang paling bijak?"
Abdullah berkata,
ان الله ياءمر بالعدل والاءحسن واءيتاىء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى يعظكم لعلكم تذكرون
"Inna Allaha yakmuru bi al-'adil wa al-ihsaani wa iytaa-iy dziy al-qurbaa wa yanhaa 'ani al-fahsyaa-i wa al-munkari wa al-baghyi  ya'idhzukum la'allakum tadzakkaruuna"
"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar engkau dapat mengambil pelajaran."  (An-Nahl;  90)
Umar berkata, "Tanyakan kembali ayat Al-Qur’an yang paling mengumpulkan?"
Maka, Abdullah berkata
 فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره  ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره
"Fa man ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahu   wa man ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahu"
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya.  Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula."  (Al-Zalzalah;  7-8)
Umar kembali berkata, "Tanyakan lagi, ayat yang paling memberi rasa takut?"
Abdullah menjawab,
ليس بامانيكم ولا أماني أهل الكتآب  من يعمل سوءا يجزبه  ولا يجدله من دون الله وليا ولا نصيرا
"Laysa biamaaniyyikum wa laa amaaniyyi ahli al-kitaabi  man ya'mal suu an yujzabihi  wa laa yajid lahu minduwni Allahi waliyyan wa laa nashiira"
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong, dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.  Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu, dan ia tidak mendapatkan pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah."  (An-Nisa';  123)
Umar berkata lagi, "Tanyakan lagi, ayat Al-Qur’an yang paling memberi harapan?"
Abdullah kembali menjawab,
قل ياعبادى الذين أشرفوا على أنفسهم لاتقنطوا من رحمة ألله  أن الله يغفر الذنوب جميعا انه هو الغفور الرحيم
"Qul yaa'ibaadiya alladziina asrafuw 'alaa anfusihim laa taq'nathuu min rahmati Allahi, inna Allaha yaghfiru adzdzunuuba jamii'an, innahu huwa al-ghafuururrahiymu."
"Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (Az-Zumar;  53)
Umar lalu berkata, "Tanyakan lagi, apakah di antara kalian ada Abdullah bin Mas’ud?"
"Iya." Jawab mereka.

Abdullah bin Mas’ud tidak hanya seorang qari', alim, ahli ibadah, orang yang zuhud.  Namun, ia juga seorang yang kuat, teguh hati lagi seorang pejuang dan mujahid yang sangat bersungguh-sungguh.
Ia adalah orang pertama di muka bumi ini - setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam - yang berani membaca Al-Qur’an dengan keras.  Suatu hari para Sahabat sedang berkumpul di kota Makkah - kala itu mereka masih sedikit dan lemah.  Mereka berkata, "Demi Allah, orang-orang Quraisy belum pernah mendengar bacaan Al-Qur'an ini secara keras.  Siapakah yang berani mengeraskan bacaannya kepada mereka."
"Saya yang akan memperdengarkannya kepada mereka," jawab Abdullah bin Mas’ud dengan mantap.
Para Sahabat berkata, "Kami mengkhawatirkan keselamatan dirimu.  Kami ingin orang yang mempunyai keluarga besar, yang akan membela dan melindunginya jika mereka hendak berbuat kejelekan terhadapnya."
"Biarkanlah diriku.  Allah Yang akan membela dan melindungiku," kata Ibnu Mas’ud.
Ia kemudian berangkat ke Masjidil Haram.  Pada waktu dhuha,  dia sampai ke maqam Ibrahim, sementara itu orang-orang Quraisy sedang duduk-duduk di sekitar Ka'bah.  Ibnu Mas’ud berdiri di maqam Ibrahim dan membaca,
بسم الله الر حمان الر حيم 
الرحمان  علم القرءان  خلق الإنسان  علمه البيان 
"Arrahmaanu  'allama al-qur'aana  khalaqa al-insaana  'allamahu al-bayaana"
"Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.  Rabb Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an.  Dia menciptakan manusia.  Mengajarnya pandai berbicara"  (Ar-Rahman;  1-4)
Terus dan terus ia membacanya, perhatian Quraisy tertuju padanya.   Mereka berkata, "Apa yang diucapkan Ibnu Ummi 'Abd.  Celaka dan binasa ia.  Sungguh ia sedang membaca sebagian ajaran yang dibawa Muhammad."
Mereka bangkit dan bergegas menuju Ibnu Mas’ud.  Dengan serta merta siksaan dan pukulan mereka layangkan ke arah wajah Ibnu Mas’ud.  Namun, ia tetap membaca dan terus membaca sampai pada ayat yang Allah kehendaki.  Lalu Ibnu Mas’ud kembali kepada para Sahabat, sementara darah masih mengalir dari lukanya.
Inilah yang kami takutkan menimpamu," kata mereka.
Ibnu Mas’ud berkata, "  Demi Allah, aku tidaklah takut kepada musuh-musuh Allah itu.  Kalau kalian mau, besok aku akan mengulanginya."
"Jangan, engkau telah memperdengarkan sesuatu yang mereka benci," cegah mereka.

Ibnu Mas’ud hidup hingga masa kekhilafahan Utsman bin Affan.  Ketika ia menderita sakit yang mengantarkannya pada kematian.  Utsman menjenguknya.
"Apa yang engkau keluhkan," tanya Utsman.
"Dosa-dosaku," jawab Abdullah.
"Apa yang engkau harapkan," tanya Utsman lagi
"Rahmat dan kasih sayang Rabb-ku," jawab Abdullah.
"Maukah engkau menerima gaji yang engkau tolak selama beberapa tahun ini?"  Kata Utsman
"Aku tidak membutuhkannya," jawab Abdullah.
Utsman berkata, "Berikan pada puteri-puterimu nanti."
Abdullah menjawab, "Apakah engkau mengkhawatirkan kemiskinan akan menimpa puteri-puteriku?  Aku telah memerintahkan mereka agar membaca Surat Al-Waqi'ah setiap malam.  Sebab, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
من قراء الواقعة كل ليلة لم تصبه فاقة ابدا
"Barangsiapa yang membaca Surat Al-Waqi'ah setiap malam, maka ia tidak akan ditimpa kemiskinan dan kemelaratan selama-lamanya." *)
Ketika malam menjelang, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara lisannya senantiasa basah dengan dzikir, dan membaca ayat-ayat-Nya.

oOo
*)  HR. Al-Baihaqiy dari Ibnu Mas’ud.  Asy-Syaikh Al-Albaniy mendhoifkannya dalam Dhoiful Jami' (5773), Adh-Dha'ifah  (289), dan Al-Fawaid Al-Majmu'ah  (973).
(Disalin dengan sedikit perubahan dari kitab, Sirah Sahabat, Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)



Kamis, 24 Oktober 2019

Kepada "Orang-orang ATHEIS"


بسم الله الر حمان الر حيم

Ada sebuah kisah nyata, yang terjadi pada zaman Al-Imam Abu Hanifah An-Nu'man rahimahullah.  Beliau adalah Imam panutan dari 4 (empat) madzhab yang terkenal di dunia Islam, selain Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik bin Anas, dan Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahumullahu Ta'ala jamii'an.
Beliau adalah sosok 'ulama besar yang terkenal dengan keluasan ilmunya, disamping kecerdasan, selalu menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, banyak diam, dan tak berhenti berpikir.


Suatu kali, Beliau berjumpa dengan orang yang menganut paham Atheisme (paham yang mengingkari eksistensi Ketuhanan).
Beliau lalu bercerita kepada mereka, agar mereka mau berpikir;
"Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal yang sarat dengan muatan, penuh dengan segala macam barang bawaannya. Kapal tersebut berlayar mengarungi samudera yang luas.  Gelombangnya kecil, anginnya tenang.  Akan tetapi, setelah kapal tersebut sampai di tengah lautan, tiba-tiba terjadi badai yang besar.  Tetapi anehnya, kapal tersebut terus berlayar dengan tenang, sampai tiba di tempat tujuannya dengan selamat, tanpa goncangan yang berarti dan berbelok arah, padahal tidak ada nahkoda yang mengendalikan di atasnya.  Bisa diterima akalkah cerita ini?"
Maka, mereka  (orang-orang Atheis tersebut) menjawab, "Tidak mungkin.  Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal (sehat), bahkan oleh khayalan sekalipun, wahai syaikh."
Lalu, Al-Imam Abu Hanifah berkata, "Subhanallah, kalian mengingkari keberadaan sebuah kapal yang berlayar sendiri, tanpa nakhoda, namun kalian mempercayai bahwa alam semesta yang memiliki lautan yang luas membentang, dengan langit yang sangat luas - penuh dengan bintang-bintang,  serta benda-benda-benda langit lainnya.  Dan berbagai jenis burung yang berterbangan - tanpa ada Yang Menciptakannya, Yang sempurna Penciptaan-Nya, dan Yang mengaturnya dengan cermat?!  Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah???"

Renungan
"Sumber segala keta'atan adalah berpikir, dan sumber segala maksiat juga dari berpikir"
('Ulama)

Orang-orang Atheis yang penulis maksud tidak terbatas pada orang-orang Atheis murni saja, tetapi juga ditujukan kepada orang-orang Islam yang terkena Pembatal Ke-Islaman, akibat perbuatan Kufur Akbar yang mereka lakukan - sehingga terlepas dari Islam.
Bedanya hanya;  Orang-orang Islam yang terkena Pembatal Ke-Islaman itu lebih memungkinkan untuk cepat bertaubat sebelum terlambat, dan memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila mereka menyadari kesalahannya
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)


oOo 


Rabu, 23 Oktober 2019

KEUTAMAAN MEMBESUK ORANG SAKIT


بسم الله الر حمان الر حيم

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda  (artinya),
"Apabila seseorang membesuk seorang muslim yang sedang sakit, maka seolah-olah ia (sedang) berjalan di Taman Surga - sampai ia duduk.  Apabila ia telah duduk, maka ia akan diliputi rahmat Allah.  Bila ia berkunjung di pagi hari, maka 70.000 Malaikat akan mendo'akannya - agar ia mendapatkan rahmat hingga sore hari.  Bila ia berkunjung di sore hari, maka 70.000 Malaikat akan mendo'akannya - agar ia diberi rahmat hingga pagi hari."
(HR.  At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Bila orang yang membesuk mendo'akan orang yang sakit, dengan do'a,
أسأل الله العظيم  رب العرش العظيم  انيشفيك
"As alullaha Al-'Adziyma  Rabba Al-Arsyi Al'Adzhiymi  an-yasyfiyaka."
"Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb 'Arsy yang Agung, agar Dia menyembuhkanmu."  (HR. At-Tirmidzi,  dan Abu Daud), dibaca 7 kali, melainkan orang itu akan disembuhkan oleh Allah 'Azza wa Jalla (biidznillah).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bila menjenguk orang sakit, Beliau juga biasa mengucapkan,
لابأس  طهور ان شاء الله
"Laa ba'sa thahuurun  in syaa Allahu"
"Tidak mengapa, semoga sakitmu ini bisa membersihkan dosa, in-syaa Allah"  (HR. Al-Bukhari)

Renungan
Sungguh, telah terdapat sunnah yang shahih - sesuatu yang mendukung kedekatan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hati orang yang mengadu pada-Nya - sebab menerima cobaan dari-Nya, hati yang sabar dan ridha terhadap takdir-Nya, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau bersabda (artinya),
"Allah berfirman pada Hari Kiamat, 'Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.'  Ia berkata, 'Wahai Rabb-ku, bagaimana aku menjenguk-Mu - sementara Engkau adalah Rabb sekalian Alam?'  Allah berfirman, 'Tidakkah engkau tahu hamba-Ku Fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya.  Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau menjenguknya - engkau akan mendapati-Ku berada di sisinya?' "

oOo


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (24)


بسم الله الر حمان الر حيم

"Bila seseorang menuntut ilmu dengan benar, maka akan tergambar pada kekhusyu'annya, pandangannya, lisannya, shalatnya, dan kezuhudannya."
(Al-Imam Al-Hasan Al-Basri rahimahullah)

"Orang yang paling berani berfatwa, adalah orang yang paling sedikit ilmunya."
(Sahnun bin Sa'id rahimahullah)

oOo 

Senin, 21 Oktober 2019

"PERSIMPANGAN JALAN" (ANTARA SURGA DAN NERAKA)


بسم الله الر حمان الر حيم

Sebagaimana halnya Surga dan Neraka, maka antara  Petunjuk dan Kesesatan pun merupakan dua hal yang saling kontradiktif (bertolak belakang) satu sama lain, yang tak akan pernah saling bertemu, berpapasan, apalagi menyatu untuk selama-lamanya.

Jadi, sadar atau tidak setiap manusia yang masih memiliki kesempatan hidup di dunia ini, hakikatnya mereka tengah berada di "persimpangan jalan", menuju ke salah satu tempat tujuan penciptaan dirinya dengan pasti (Surga atau Neraka), tidak ada pilihan ketiga.
Jalan untuk menuju keduanya (Surga atau Neraka) dipilih oleh manusia dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ 

“Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” 

(QS: Al-Baqarah; 256)

Dan berdasarkan potongan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"... Barangsiapa yang oleh Allah 'Azza wa Jalla telah diciptakan baginya salah satu dari 2 (dua) tempat (Surga dan Neraka), Dia-pun (Allah) telah menyiapkan pula AMALAN untuk mendapatkan salah satu dari dua tempat tersebut."
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan segala sesuatu, termasuk perbuatan dan sifat-sifat makhluk.  Manusia dan makhluk lainnya yang memilih dan melakukan perbuatan tersebut.
(Baca artikel, ENAM ORBIT (LINTASAN) HATI MANUSIA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang menurunkan petunjuk hidup yang lengkap dan sempurna kepada manusia (Al-Qur'an dan As-Sunnah), agar mereka mengetahui dan mengenal kebenaran dengan kedua jalan itu lebih dari cukup, layaknya keberadaan matahari di siang bolong.  Bahkan, malamnya seperti siang - terang benderang.
Akan tetapi, kenapa sedikit saja manusia yang mampu mengenali dan mengilmuinya?
Beberapa sebab yang tampak nyata, dan dapat diketahui dengan jelas, antara lain adalah;
1. Kebodohan tentang pengetahuan / Ilmu Agama yang mendominasi kaum muslimin.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA, dan KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN LANJUTAN)
2. Kelalaian manusia, sehingga lebih mengutamakan "urusan dunia" daripada "urusan Akhirat"nya.
3. Tidak memiliki niat, untuk mempelajari ilmu agama secara sungguh-sungguh (serius dan kritis).
4. Banyaknya bermunculan kelompok-kelompok sesat (sempalan Islam), dan para da'i yang menyeru ke Neraka Jahahannam.
5. Sedikitnya para da'i yang berada di atas jalan yang lurus (kebenaran), yang betul-betul mengajak ke Surga.
Dan sebab-sebab lainnya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, 
"Meskipun manusia (sama-sama) mengakui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Al-Qur'an adalah kebenaran secara global, namun dia tidak mengetahui berbagai Ilmu tentang apa-apa yang bermanfaat dan memudharatkannya.  Dia tidak mengetahui segala perintah dan larangan, berikut cabang-cabangnya secara rinci Kalaupun, ada yang telah diketahuinya, tapi sangat jauh dari pemahaman (yang benar).  Jika ditakdirkan sampai kepadanya segala perintah dan larangan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dan menyeluruh.  Tidak mungkin selainnya (lebih dari itu), tidak mungkin disebutkan segala sesuatu yang menjadi kekhususan  (kendala) setiap hamba.
Berdasarkan itu semua, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa memohon hidayah ke jalan-Nya yang lurus, termasuk di dalamnya pengetahuan tentang segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala secara rinci.  Termasuk pula mengilmui segala perintah-Nya secara menyeluruh.  Bahkan, mencakup juga Ilham untuk mengamalkan ilmu tersebut.  Karena, jika hanya mengilmui kebenaran tanpa mengamalkannya, maka itu bukanlah hidayah (yang sempurna).
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya setelah perdamaian Hudaibiyah  (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah membukakan kemenangan yang nyata bagimu, agar Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, serta agar Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberimu hidayah kepada jalan yang lurus."  
(QS. Al-Fath;  1-2)
Allah berfirman tentang Nabi Musa dan Harun 'alaihimussalam,
"Dan Kami telah memberi keduanya kitab yang jelas, dan Kami menunjuki keduanya ke jalan yang lurus."  
(QS. Ash-Shaffat;  117-118)
Akan tetapi, kaum muslimin berselisih tentang berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ilmu yang berkaitan dengan keyakinan dan amalan, padahal mereka telah  bersepakat, bahwa Muhammad adalah haq, dan Al-Qur'an adalah haq.  Jika masing-masing mereka mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus, niscaya mereka tidak akan berselisih (beda pemahaman).  Bahkan, kebanyakan dari orang mengetahui perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun mereka memaksiatinya.  Seandainya mereka mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus, niscaya mereka akan mengamalkan segala perintah tersebut dan meninggalkan segala larangan-Nya.  Orang-orang yang telah mendapatkan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala dari umat ini, merekalah wali-wali Allah yang bertakwa.  Termasuk salah satu sebab terbesar mereka mendapatkan hidayah itu adalah do'a mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap shalat.  Mereka juga mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang (sangat) membutuhkan hidayah kepada jalan yang lurus."  
(Demikian penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab, Amradhul Qulub, hal.  31-33)

Murid Beliau, Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Tunjukilah kami ke jalan yang lurus (QS. Al-Faatihah;  5), adalah hidayah al-bayan dan hidayah ad-dilalah, kemudian diikuti hidayah taufik dan ilham.  Hidayah taufik dan ilham ini datang setelah hidayah bayan dan dilalah Tidak mungkin seseorang sampai kepada hidayah ad-dilalah dan bayan, kecuali melalui informasi dari para Rasul.  Apabila telah terwujud al-bayan dan ad-dilalah, lalu diilmui - maka akan terwujudlah hidayah taufik.  Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan iman di dalam hati, mencintainya, menghiasinya,  dan menjadikan hati hamba itu mengutamakan iman tersebut, ridha, dan berloyalitas padanya.   Semua ini merupakan wujud dari dua hidayah  (al-bayan wad-dilalah, dan taufik).  Keberhasilan tidak akan pernah terwujud melainkan dengan keduanya.
Kedua hidayah ini mengandung ilmu terhadap kebenaran yang telah diketahuinya, baik secara global maupun rinci, disertai ilham terhadap kebenaran, dan menjadikannya termasuk orang-orang yang mengikuti kebenaran, baik secara lahiriyah maupun bathiniyyah.  Kemudian  (Allah Subhanahu wa Ta’ala) memberikan kepadanya (kemampuan) untuk melaksanakan konsekwensi dari petunjuk tersebut, baik melalui keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun tekad yang kuat.  Hal ini terjadi secara berkesinambungan dan kokoh hingga hamba tersebut meninggal dunia. 
(Baca artikel, EMPAT TAHAPAN / TINGKATAN HIDAYAH, dan BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)
Berdasarkan hal ini, dapat diketahui, bahwa seorang hamba itu sangat membutuhkan hidayah melalui do'a di atas ("Tunjukilah kami ke jalan yang lurus")
Dari sini pula diketahui kekeliruan orang-orang yang berkata, "Bila kita telah mendapatkan hidayah, untuk apa lagi kita memintanya (terus-menerus)?"
Sungguh, kebenaran yang belum kita ketahui jauh lebih banyak daripada yang telah kita ketahui.   Yang bisa diibaratkan dengan patukan seekor burung di atas samudera yang membentang luas.
Apa yang kita inginkan, namun tidak mampu melakukannya juga demikian.  Begitu pula apa yang belum kita ketahui secara global, dan tidak mendapatkan hidayah secara rinci tidak terhitung jumlahnya.
(Baca artikel, MANUSIA DAN HIDAYAH)
Oleh karena itu, kita membutuhkan hidayah yang sempurna.  Barangsiapa yang telah mendapatkan kesempurnaan dalam masalah ini, maka permohonan hidayahnya adalah untuk mengokohkan, dan  senantiasa berada di atasnya (hingga akhir hayat)"  
(Lihat Tafsir Al-Qayyim, karya Ibnu Qayyim, hal. 9)

oOo

(Dikutip dan disadur dari tulisan, "Menjemput Hidayah", Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman, Majalah Asy-Syariah, vol. 64/6 /1431 H/2010 M)

Minggu, 20 Oktober 2019

SUNNAH YANG TERLUPAKAN


بسم الله الر حمان الر حيم

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila melihat suatu perkara yang menakjubkan.  Maka, Beliau mengucapkan,
لبيك ان العيش عيش الاخرة
"Labbaika, innal 'aisya 'aisyul akhirah"

"Aku penuhi panggilan-Mu,  ya Allah.  Sungguh, kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat."
(HR. Al-Bukhari no. 2834)

oOo 

Jumat, 18 Oktober 2019

SIFAT-SIFAT PARA PENGHUNI SURGA


 بسم الله الر حمان الر حيم

"Siapa yang tak ingin masuk Surga?"
Rasa-rasanya,  tak ada seorang pun manusia yang tak ingin masuk Surga.  Tetapi, sudah kah kita menempuh sebab-sebabnya, agar Allah Subhanahu wa Ta'ala memasukkan kita ke dalam Surga-Nya?


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, "Di dunia ini ada Surga, barangsiapa yang tidak bisa merasakannya, maka  tidak akan memasuki Surga Akhirat."
Berikut, pemberitahuan Allah Subahanahu wa Ta’ala kepada kita tentang ciri-ciri / sifat-sifat para penghuni Surga, melalui makna firman-Nya,

"Dan didekatkanlah Surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh  (dari mereka).  Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang sentiasa kembali  (kepada Allah), lagi memelihara  (semua aturan-aturan-Nya).  (Yaitu) orang yang takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah, padahal Dia tidak kelihatan  (olehnya), dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah Surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan.  Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahannya."  (Qaf;  31-35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan, bahwa Dia mendekatkan Surga kepada orang-orang yang bertakwa, dan bahwa para Penghuninya adalah orang-orang yang memiliki 4 (empat) sifat berikut;

Pertama;  Awwab, yakni orang-orang yang selalu kembali  (Inabah), dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dari perbuatan durhaka - menjadi ta'at kepada-Nya, dan dari keadaan lalai - menjadi mengingat-Nya  (Dzikrullah)
'Ubaid bin 'Umar berkata, "Awwab, adalah orang-orang yang mengingat dosa-dosanya di masa lalu, dan beristigfar darinya."
Sa'id bin Al-Musayyib berkata, "Al-Awwab, adalah orang yang berdosa - lantas bertaubat, (meski) kemudian jatuh ke dalam dosa lagi - lalu bertaubat lagi.

Kedua;  Hafizh (menjaga).
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhu  berkata, "Yakni menjaga apa yang diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, dan yang Dia (Allah) wajibkan atasnya."
Qatadah berkata, "Menjaga apa yang dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya,  berupa hak-hak-Nya (Allah), dan nikmat-nikmat-Nya."
Jiwa manusia itu memiliki 2 (dua) kekuatan, yaitu kemampuan untuk berbuat, dan kemampuan untuk menahan diri, maka sifat Awwab menggunakan kemampuannya untuk berbuat - dalam upayanya untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada keridhaan-Nya, dan keta'atan terhadap-Nya.  Sedangkan sifat Hafizh, menggunakan kemampuan bertahannya - untuk menahan diri dari berbagai maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari larangan-larangan-Nya.   Sehingga makna Hafizh, adalah kemampuan menahan diri dari apa-apa yang diharamkan (Allah) atasnya.

Ketiga;  Orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meskipun dia tidak melihat-Nya.
Tersirat dalam ayat tersebut, bahwa orang itu mengakui dan mengimani keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sifat Rububiyyah-Nya, Kemaha-Kuasaan-Nya, Ilmu-Nya, dan Penglihatan-Nya terhadap segala sesuatu (keadaan hamba).  Tergambar pula padanya pengakuan dan keimanan terhadap kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, perintah dan larangan-Nya
Juga tersirat padanya pengakuan dan keimanan terhadap janji-Nya, ancaman-Nya, serta pertemuan dengan-Nya.  Dengan demikian, tidak dikatakan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecuali bila terpenuhi sifat-sifat ini.

Keempat;  Ia datang dengan kalbu (hati) yang bertaubat.
Berkata Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, "Bertaubat dari berbagai maksiat kepada-Nya, menghadap secara penuh untuk ta'at kepada-Nya."
Hakikat taubat adalah ketetapan hati  (kalbu) untuk ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,  dan cinta kepada-Nya, serta menghadapkan diri kepada-Nya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan balasan terhadap orang-orang yang memiliki sifat-sifat di atas dengan firman-Nya,
ادخلوها بسلام ذلك يوم الخلود لهم مايسترو فها ولدينا مزيد
"Ud khuluwhaa bisalaamin dzaalika Yaumul khuluwdi lahum maa yasyaa-uwna fiyhaa wa ladaynaa maziyd"
"Masukilah Surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan.  Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahannya."

Masih banyak sifat-sifat para penghuni Surga yang tidak disebutkan pada tulisan ini. Seperti, orang-orang yang menahan amarahnya - karena ingin meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Lebih dari itu, tentunya beberapa sifat yang telah disebutkan di atas harus berlandaskan kepada Iman dan Takwa, serta melaksanakan semua rukun-rukun yang terdapat pada Rukun Islam dan Rukun Iman dengan baik.
الحمد لله رب العالمين

*  Tambahan (Ziyadah) yang dimaksudkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut adalah melihat Wajah-Nya setiap pagi dan petang, serta mendengarkan Suara-Nya (pen blog).

oOo

(Disadur bebas dari tulisan, "Sifat Ahlul Jannah",  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Terj. Al-Ustadz Qomar ZA, dari Majalah Asy-Syariah)

Kamis, 17 Oktober 2019

KZHALIMAN ADALAH KEGELAPAN PADA HARI KIAMAT


بسم الله الر حمان الر حيم

Rasul yang Mulia shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الظلم ظلمات يوم القيامة
"Adzh-dzhulmu dzhulumaatun Yauma al-qiyaamati"

"Kezhaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat."  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ulama kita menerangkan hadits di atas, bahwa kezhaliman merupakan sebab kegelapan bagi pelakunya, hingga ia tidak mendapatkan arah (jalan) yang akan dituju pada Hari Kiamat, atau menjadi sebab kesempitan bagi pelakunya.  (Syarhu Shahih Muslim 16/350, Tuhfatul Ahwadzi kitab Al-Biru wa Shilah 'an Rasulullah, bab Mafa'a fizh Zhulum)
"Apa sih yang dimaksudkan dengan zhalim?"
Dalam bahasa Arab, zhalim bermakna;  Meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Asal kata zhalim sendiri adalah;  Kejahatan dan melampaui batas, dan juga menyimpang dari keseimbangan(An-Nihayah fi Gharibil Hadits, bab Azh-Zha' ma'a Al-Lam).
Sadar atau tidak, kita sering berbuat zhalim.  Padahal kezhaliman bukanlah perkara yang remeh.  Hukumnya haram dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak.  Bahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan bagi Diri-Nya, padahal Dia Subhanahu bebas berbuat apa saja yang Dia kehendaki dan inginkan.  Dia Yang Mahasuci berfirman dalam hadits qudsi (artinya),
"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi."  (HR. Muslim)
Mengingat pentingnya hadits di atas, kita coba membahas tentang kezhaliman dalam rubrik ini, mudah-mudahan dapat dijadikan sebagai peringatan yang bermanfaat.  Sesuai dengan perintah Allah 'Azza wa Jalla di dalam Al-Qur'an
فذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين  /  "Fsdzakkir fainna adz-dzikra tanfa'u al-mukminiina."
"Maka, berilah peringatan.  Karena, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."  (QS. Adz-Dzariyat;  55)

Bentuk-bentuk Kezhaliman;
Kezhaliman itu banyak bentuk dan ragamnya, di antaranya;
1. Berbuat Zhalim terhadap Diri  Sendiri
Manusia sering berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri dengan melakukan dosa-dosa, dan kemaksiatan.
Allah Ta’ala telah melarang perbuatan zhalim terhadap diri sendiri ini;
"Janganlah kalian menzhalimi diri-diri kalian pada bulan-bulan haram itu  (dengan melakukan perbuatan yang dilarang)."  (QS. At-Taubah;  36)
2. Berbuat Zhalim Terhadap Saudara Sendiri.  
Bisa terjadi dengan berbagai cara, di antaranya;
* Melanggar kehormatan saudaranya.
* Menyakiti tubuh saudaranya.
* Mengganggu / mengusik / merampas harta saudaranya.
Semua itu diharamkan dalam Islam.  Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda  (artinya),
"Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian  (untuk ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar), sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini."  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Mengubah Perkara yang Telah Allah Syariatkan.
Mengganti ("bongkar-pasang") aturan syariat yang telah diturunkan dari atas langit dengan aturan (undang-undang) rendahan yang dibuat manusia termasuk kezhaliman yang terbesar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang tidak mau berhukum dengan syariat-Nya,
ومن لم يحكم بما أنزل الله فاولآدم هم الظالمون  /  "Wa man lam yahkum Bima anzala Allahu faulaa-ika humu adzh-dzhaalimuwna"
"Barangsiapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim."  (QS. Al-Maidah;  45)
Mereka berbuat zhalim karena telah menempatkan suatu perkara tidak pada tempatnya (semestinya).
4. Menzhalimi Binatang / Hewan Ternak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda  (artinya),
"Ada seorang wanita yang diadzab karena seekor kucing yang diikat  (dikurung)nya hingga mati.  Wanita itu masuk Neraka karenanya.   Kucing itu tidak diberinya makan, tidak diberinya minum, tidak pula dilepaskannya hingga ia bisa memakan serangga  (mencari makan sendiri)."  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sa'id Ibnu Juraij rahimahullah berkata, "Suatu ketika, saat aku sedang berada di sisi Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu,  mereka melewati anak-anak muda atau sekumpulan orang yang menancapkan seekor ayam betina sebagai sasaran bidikan anak panah yang dilemparkan.  Ketika anak-anak muda itu melihat Ibnu 'Umar, mereka pun bubar meninggalkan ayam tersebut.
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Siapa yang melakukan hal ini?   Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan semacam ini."  (HR. Al-Bukhari)
5. Membeda-bedakan Manusia dalam Pelaksanaan Hukum Berdasarkan Status Sosial.
Perbuatan seperti ini berarti telah membuat kerusakan di muka bumi, karena akan menumbuhkan kecemburuan, kebencian, dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat yang saling berbeda status sosialnya.  Dan akan bermuara pada kebinasaan, sebagaimana keadaan umat-umat terdahulu yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Hanyalah yang membinasakan orang-orang sebelum kalian, adalah ketidak-adilan mereka.  Dimana, bila ada orang yang mulia dari kalangan mereka mencuri, mereka biarkan (tidak diberi sangsi hukum), namun bila yang mencuri itu orang yang lemah, mereka tegakkan hukum had padanya."  (HR. Ahmad, di shahihkan dalam Shahihul Jami' no. 2344)

Mahasuci Allah dari Perbuatan Zhalim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan perbuatan zhalim, dan mensucikan Diri-Nya dari sifat tersebut, sebagaimana yang diberitahukan-Nya,
"Dan sesungguhnya Allah tidaklah menzhalimi hamba-hamba-Nya."  (Ali-Imran;  182), dan
"Sesungguhnya Allah tidaklah berbuat zhalim, walau seberat semut yang kecil."  (An-Nisa;  40), dan dalam hadits qudsi Allah menyebutkan,
"Wahai hamba-hamba-Ku,  sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas Diri-Ku."  (HR.  Muslim)

Perbuatan Zhalim adalah Tabiat Manusia;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ان الانسان لظلوم كفار  /  "Inna al-insaana lazhaluumun kaffaarun"
"Sesungguhnya manusia itu sangatlah zhalim lagi kufur."  (Ibrahim;  34), dan
"Sesungguhnya Kami telah mengutarakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya.  Dan, dipikullah amanat itu oleh manusia.  Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh"  (Al-Ahzab;  72)
Dua ayat di atas cukuplah menjadi dalil, bahwa manusia memiliki tabiat suka berbuat zhalim.  Karena itu, kita wajib mencari obat penyembuh dari penyakit  (tabiat buruk) tersebut.  Bukankah Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk membersihkan diri dari tabiat jiwa yang mengotorinya?
"Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya."  (Asy-Syams;  9-10)
Penyucian jiwa tersebut hanya akan berhasil dengan cara memaksa jiwa itu agar mencocoki dan menyepakati manhaj / aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang disampaikan lewat lisan, dan perbuatan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Cara Membersihkan Jiwa dari Perbuatan Zhalim
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk bersungguh-sungguh memaksa jiwa-jiwa mereka, agar bersih dari perbuatan-perbuatan yang rendah, seperti kezhaliman, sombong  (menolak kebenaran dan merendahkan manusia lain), hasad (dengki), dan lain-lain.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji memberi petunjuk ke jalan keselamatan bagi orang-orang yang berbuat demikian (bersungguh-sungguh memaksa jiwa) demi mengharapkan keridhaan dan Wajah-Nya.  Seperti disebutkan dalam makna firman-Nya,
"Orang -orang yang bersungguh-sungguh berusaha mencari keridhaan Kami, niscaya Kami akan memberikan kepada mereka petunjuk kepada jalan-jalan Kami.  Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsaan."  (Al-Ankabut;  69)

Berikut beberapa hal yang dapat membantu seseorang agar terhindar dari perbuatan zhalim;
1. Bertakwa kepada Allah.
Taqwa sebagai Wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dari yang awal hingga yang akhir - merupakan azas agama ini.   Dengan taqwa seorang hamba akan menahan diri dari melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’alaOleh karena itu, hendaklah setiap jiwa merealisasikan taqwa dengan mengetahui keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala,
"Mereka tidaklah mengagungkan Allah dengan sebesar-besar pengagungan, padahal bumi seluruhnya berada dalam Genggaman-Nya pada Hari Kiamat, dan langit-langit dilipat dengan Tangan Kanan-Nya.  Mahasuci Dia lagi Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan."  (Az-Zumar;  67)
Seorang yang berbuat zhalim seandainya memiliki pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benar pengagungan, niscaya ia akan menarik diri dan berhenti dari kezhaliman yang diperbuatnya.
2. Tawadhu' (rendah hati)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi penekanan kepada ummat Beliau untuk bersikap tawadhu,
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepadaku, agar hendaknya kalian bersikap tawadhu, hingga seseorang tidak berbuat zhalim terhadap orang lain, dan seseorang tidak menyombongkan diri di hadapan orang lain."  (HR. Muslim)
Tawadhu adalah obat untuk kezhaliman, adapun sombong merupakan penyebab kezhaliman.  Tawadhu' ini bisa diupayakan oleh seseorang dengan cara terus-menerus melatih diri, dan membiasakan jiwanya bersikap tawadhu'.
3. Menjaga Diri dari Sifat Hasad (dengki)
Karena sifat hasad (dengki) ini merupakan sebab kezhaliman, maka Nabi melarang umatnya dari perbuatan hasad.
ولا تحاسدوا  /  "Wa laa tahaasaduw..."
"Dan janganlah kalian saling mendengki..."  (HR. Muslim)
4. Mengajak Jiwa untuk Bersemangat Meraih Apa yang Dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Orang-orang yang Berbuat Adil (tidak zhalim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Ada 7 (tujuh) golongan yang dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya..."
Di antara tujuh golongan itu disebutkan,  امام عادل  /  "Imaamun 'aadilun"
"Pemimpin yang adil"  (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (artinya),
"Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah, berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan Tangan Kanan Ar-Rahman, dan kedua Tangan-Nya kanan..."  (HR. Muslim)
Dan, kecelakaan besarlah bagi Pemimpin yang tidak adil, karena ia termasuk orang yang pertama-tama dimasukkan ke dalam Neraka, disamping orang berilmu yang tidak ikhlas dan orang berjihad yang mengharapkan pamrih dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengabulkan do'a, sebagaimana firman-Nya,
وقال ربكم ادعوني استجب لكم  /  "Wa qaala Rabbukumu  ud'uuniy astajib lakum"
"Rabb kalian telah berfirman, 'Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian..."
Maka, sudah semestinyalah seorang hamba senantiasa berdo'a, memohon pertolongan kepada-Nya,  agar dirinya terhindar dari perbuatan zhalim.
Wallahul musta'an  (Allah-lah tempat memohon pertolongan).

oOo

(Disadur dari tulisan, "Kezhaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat", Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Majalah Asy-Syariah)





Selasa, 15 Oktober 2019

"Sekali lagi, TAUHID"


بسم الله الر حمن الر حيم


Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang Nabi atau Rasul di muka bumi ini, melainkan untuk menegakkan Tauhidullah sebagai misi utamanya - yang merupakan bagian terpenting dalam Agama Islam, terutama Tauhid Uluhiyyah (meng-Esakan Allah 
Subhanahu wa Ta’ala dalam sesembahan / peribadatan).  Tanpa Tauhid Uluhiyyah yang benar, akan sia-sialah seluruh amal kebaikan manusia.
Langit dan bumi, serta apa yang ada di antara keduanya  diciptakan tidak lain agar manusia mendapatkan bukti-bukti yang nyata tentang Tauhidullah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul (pun) sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada sesembahan yang benar (haq) melainkan Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku (saja)."  (Al-Anbiya';  25), dan dalam makna firman-Nya yang lain,
"Tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah-Ku."  (Adz-Dzariyat;  56).
Dari sekian banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang Tauhid Uluhiyyah, dapat kita simpulkan beberapa faidah, di antaranya;

1. Tauhid merupakan kewajiban yang pertama, dan paling utama di dalam agama Islam, untuk dipahami  (diilmui), diamalkan, dan didakwahkan.  Sekaligus merupakan tugas yang paling mulia dan paling berat.
Allah Ta’ala berfirman,
فاعلم انه لا اله  الا الله
"Fa'lam annahu laa Ilaaha illaa Allahu"
"Maka, berilmulah kamu tentang, Laa Ilaaha Illa Allahu."  (Muhammad;  19), dan makna firman-Nya,
"Dan sungguh, Kami telah mengutus pada setiap ummat seorang Rasul, agar mereka (memerintahkan), 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut'."  (An-Nahl;  36)

2. Seluruh Nabi memulai dakwah mereka dengan Tauhid, sehingga Tauhid merupakan pondasi dan tujuan dakwah mereka.  Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam selama 13 tahun di kota Makkah menyeru kaumnya kepada Tauhidullah, dan mendirikan Aqidah para Sahabat di atasnya.

3. Al-Qur'an menjelaskan, bahwa Tauhid adalah masalah yang paling besar, menerangkan perkara Tauhid di banyak tempat dalam Al-Qur'an, serta menjelaskan pula bahaya dari lawannya (kesyirikan).  
Sebab, kesyirikanlah dengan berbagai bentuk dan ragamnya yang menjadi "biang kerok" hancurnya kehidupan manusia di dunia dan Akhirat.

4. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendidik dan mengarahkan para Sahabat, agar memulai dakwah mereka dengan menyeru manusia kepada TauhidullahSebagaimana yang Beliau perintahkan kepada Mu'az Radhiyallahu 'Anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman,
"Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka, adalah mempersaksikan bahwa tiada sesembahan yang benar melainkan Allah."
Di dalam sebuah riwayat disebutkan,
"Sampai mereka mentauhidkan Allah."

5. Tidak diperbolehkan bagi siapa pun, dan jamaah mana pun menganggap enteng, atau meremehkan persoalan Tauhid.  Karena, sebanyak apapun amal kebaikan yang dilakukan manusia - tanpa dilandasi Tauhid yang benar - semuanya hanya bagaikan debu yang berterbangan, tidak bernilai dan tidak akan membawa manfaat sama sekali.

6. Barangsiapa yang menganggap enteng persoalan Tauhid, cepat atau lambat dia pasti akan terjatuh, mengalami kegagalan dan kehancuran.

7. Kerusakan pada Aqidah dan Tauhid akan bermuara pada berbagai macam bentuk kerusakan, maksiat dan kehancuran.  Sebagaimana sumber dari segala kebaikan dunia dan Akhirat adalah baiknya Aqidah dan Tauhid.

Buah (Pengaruh) Kalimat Tauhid dalam  Kehidupan Maunusia;
PertamaMemerdekakan manusia dari berbagai bentuk perbudakan / penjajahan, menuju penghambaan diri hanya kepada Rabb alam semesta.  Karena Tauhid adalah bentuk penghambaan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan syirik adalah penghambaan kepada selain-Nya (makhluk).  Atau, menyembah Allah disertai dengan penyembahan terhadap selain-Nya.
Tauhid akan memerdekakan akal-pikiran, dan hati manusia dari segala bentuk penjajahan, yang akan mengangkat jiwa-jiwa mereka ke tempat yang tinggi dan mulia.  Sedangkan syirik akan merendahkan, membenamkan, serta menghinakan jiwa manusia ke tempat yang paling rendah dan kotor.
Tauhid Uluhiyyah inilah yang dihindari oleh kaum musyrikin Quraisy, hingga mereka memusuhi dan memerangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Kedua;  Menjadikan seluruh amal perbuatan hamba terfokus pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, termasuk gerak-gerik hatinya.  Semua aktifitas, mereka maksudkan hanya untuk meraih keridhaan-Nya.  Jiwa mereka tidak tercerai-berai (terbagi-bagi), pada penghambaan terhadap yang lain.
Berbeda dengan pelaku kesyirikan, jiwanya terbagi-bagi (tercabik-cabik), direnggut oleh para thaghut yang disembahnya, karena mengharapkan keridhaan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan keadaan ahli syirik dengan firman-Nya,
"Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang berselisih,  dan seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan (saja), apakah kedua perumpamaan itu sama?"  (Az-Zumar;  29)
Perumpamaan pertama tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan (yang menguasainya), merupakan perumpamaan terhadap seseorang yang mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lain.  Dia diliputi oleh berbagai kebimbangan, karena mengejar keridhaan tuhan-tuhan yang disembahnya (seperti harta, tahta, wanita, dan berbagai tipu-daya dunia lainnya).  Perumpamaan kedua, adalah tentang orang yang bertauhid, yang terfokus hanya pada satu Ilaah yang diibadahinya.

KetigaMenciptakan rasa aman di dalam jiwa, serta kekuatan bathin,
"...Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan  (dari malapetaka) jika kalian mengetahui?  Orang-orang yang beriman, dan tidak mencampur-adukan keimanannya dengan kezaliman  (syirik), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.(Al-An'am;  81-82)
Orang-orang yang beriman selalu akan bertawakal dan kembali  (Inaabah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena mereka mengetahui, bahwa Dia-lah Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.  Dan, dari keyakinan itulah tumbuh rasa aman, kepercayaan, dan memasrahkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hatinya menjadi tenteram.  Sementara, dia melihat manusia lainnya sebagai makhluk yang tak mampu berbuat apapun, bahkan terhadap diri mereka sendiri.
Perhatikanlah apa yang diucapkan Nabi Nuh 'Alaihissalam berikut ini,
"Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal  (bersamaku), dan peringatanku  (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah,  maka kepada Allah-lah aku bertawakal.  Karena itu, bulatkanlah keputusan kalian, dan  (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian  (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. (Yunus;  71), juga apa yang dikatakan Nabi Hud 'Alaihissalam kepada kaumnya,
"Laksanakanlah tipu-daya kalian semua terhadapku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.  Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb-kalian.  Tidak ada satu binatang melata pun, melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.  Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus."  (Hud;  55-56)
Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan, bahwa jika jiwa telah sampai pada tingkat kepercayaan, ketenteraman, serta keamanan yang tinggi, akan sirnalah segala rasa khawatir dan takut, dia akan merasakan betapa besar Kekuasaan dan Keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihi segala-sesuatu.  Dan merasakan betapa rendah kedudukan makhluk.  Mereka tidak memiliki sedikit pun kekuasaan dalam segala urusan, kecuali dengan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla.

KeempatMengokohkan dasar-dasar persaudaraan dan kebersamaan (persatuan).
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi Tauhid, menjadikan seseorang tunduk-patuh hanya kepada Rabbul 'Alamin.  Tidak menjadikan sebagian dari makhluk menjadi tuhan bagi sebagian lainnya.  Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan.  Setiap orang yang bertauhid memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada kelebihan dari yang lain, kecuali dalam hal takwa dan amal shalih.  Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, bangsa, ras, atau lainnya, sebagaimana yang disebutkan Allah Ta’ala,
أن أكر مكم عند الله أتقاكم 
"Inna akramakum 'inda Allahi at-qaakum"
"Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, adalah orang yang paling bertakwa."  (Al-Hujurat;  13)
Jadi, kesyirikanlah yang menghancurkan dasar-dasar persaudaraan dan persatuan ummat manusia.

Kelima;  Memperoleh ketinggian dan kejayaan.  Dijelaskan dalam firman Allah  (artinya),
"Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah.  Dan barangsiapa menyekutukan Allah, maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh."  (Al-Hajj;  31)
Ayat ini menunjukkan, bahwa Tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan syirik adalah kerendahan dan kehinaan.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, "Allah menyerupakan Iman dan Tauhid dengan ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit.  Langit itu merupakan tempat naik dan tempat  turun, darinya turun ke bumi, dan kepadanya naik.  Dan Allah menyamakan, bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah, dibarengi rasa sempit yang sangat, dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti oleh sambaran burung pada setiap anggota badannya.  Lalu syaithan yang dikirim oleh Allah Ta'ala mencabik-cabik tubuhnya , dan menggiring / memindahkannya menuju negeri kebinasaan.  Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh.  Itulah jelmaan hawa nafsu, yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang paling rendah dan jauh dari langit."  (I'lamul Muwaqi'in,  hal. 118)

KeenamMemelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan, bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat.  Jika mereka telah melakukannya, maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada di tangan Allah."  (HR. Al-Bukhari)

Pemahaman yang Keliru dari Kalimat 
لا اله الا الله  , "Laa Ilaaha Illa Allahu";

Kalimat لا اله الا الله  disebut juga kalimat Tauhid, kalimat Ikhlas, kalimat Taqwa, kalimat Islam, atau kalimat Urwatul Wustqa (Tali yang kokoh dan tak akan pernah putus).
Makna yang benar dari kalimat ini ialah;   "TIDAK ADA SESEMBAHAN (Ilaah) YANG BENAR  (Haq), MELAINKAN ALLAH"
Adapun makna yang kurang tepat, yang sering diucapkan oleh kaum muslimin adalah, "TIDAK ADA TUHAN (Rabb) SELAIN ALLAH"
Makna yang terakhir ini ("Tidak ada Tuhan Selain Allah") dikatakan keliru, karena kata "Tuhan" dalam bahasa Arab disebut  "Rabb", adalah Dzat Yang; Menciptakan, Memiliki, Memelihara, Mengatur alam semesta, Memberi rezki, Menghidupkan dan Mematikan.  Dan Yang membangkitkan kembali manusia pada Hari Kiamat.
Sedangkan Sesuatu Yang disembah / Dzat Yang  diibadahi dalam istilah Islam disebut "Ilaah"
Dari Asma Ilaah inilah terhimpun seluruh Nama-Nama Allah yang jumlahnya tak terhingga, termasuk Asma Rabb, dan tidak berlaku  sebaliknya.
(Baca artikel, TAUHIDULLAH, dan DUA RUKUN SYAHADAT)
Oleh sebab itulah, orang-orang kafir Quraisy menolak makna yang pertama (makna yang benar), karena mereka memiliki sesembahan (Ilaah) yang lain, selain Allah,  Yang mereka yakini sebagai sesembahan yang akan mendekatkan mereka kepada Allah sedekat-dekatnya.  Mereka hanya menerima makna yang kedua.

Konsekwensi dari makna kalimat Tauhid yang benar (lurus), yang ditolak orang-orang kafir Quraisy, antara lain;
1. Harus melepaskan segala bentuk keterikatan (penyembahan, peribadatan) pada selain Allah, seperti berhala-berhala, patung-patung, tempat-tempat yang dikeramatkan, kuburan orang - orang shalih, dan lain-lain.
2. Harus meninggalkan segala bentuk penyembahan terhadap hawa nafsu, seperti berzina, mencuri, minuman keras, membunuh jiwa manusia tanpa haq, perbuatan zhalim dan sebagainya.
3. Melepaskan segala bentuk ketundukan, kecintaan terhadap dunia dan segala fasilitasnya bila bertentangan dengan aturan syariat (Al-Qur'an dan As- Sunnah), sebagaimana aturan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

oOo

(Diringkas dan disadur dari tulisan, "Menyelewengkan Makna  لا اله الا الله Wujud Penyimpangan Aqidah", Ust. Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi,  Majalah Asy-Syariah, vol. Dan Thn. Penerbitan tidak diketahui)