بسم الله الر حمان الر حيم
Islam mengajarkan dan mendidik pemeluknya agar beriman dan mengamalkan ajaran (syariat) secara utuh, totalitas (kaffah), baik yang bersumber dari Al-Qur'an, maupun As-Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sehingga dengan demikian tidak berlaku istilah "Tebang pilih", meninggalkan sebagian dan mengambil sebagiannya. Atau, mengambil yang sesuai (cocok) dengan akal, adat-istiadat, norma, dan perasaan (selera) manusia saja, meninggalkan ajaran yang tidak sesuai dengan akal dan perasaan. Karena sikap yang demikian itu ternyata sangat berbahaya, dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam (Murtad) tanpa disadari. Karena menolak satu saja hukum syari'at Islam - di sisi Allah 'Azza wa Jalla sama artinya dengan menolak semuanya (Ijma' Ulama).
Hanya Islam, satu-satunya agama di dunia ini yang menganut prinsip All or Nothing (Ambil semuanya atau tidak usah samasekali).
Allah Jalla wa 'Ala berfirman,
يأيها الذين امن ادخلوا فى السلم كافة ولاتتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدومبين
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (utuh), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah Syaithan. Sesungguhnya Syaithan itu musuh yang nyata bagimu."
(Al-Baqarah; 208)
Dan, dalam maka firman-Nya yang lain,
"...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab, dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah; 85)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan, bahwa sikap beriman kepada sebagian isi kitab yang di turunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan mengingkari sebagian lainnya merupakan sikap yang mendatangkan kehinaan atas mereka, baik dalam kehidupan dunia, dan siksaan yang lebih pedih lagi nanti di Akhirat. Tidaklah diringankan siksaan itu bagi mereka.
Ayat ini dengan tegas mengatakan, bahwa barangsiapa yang mengingkari sebagian dari ayat-ayat Allah, berarti dia telah mengingkarinya secara keseluruhan.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi rahimahullah berkata, "Tidak ada perselisihan di kalangan para 'ulama semuanya, bahwa jika seseorang membenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perkara, dan mendustakan Beliau dalam perkara lain, maka dia kafir dan tidak tergolong ke dalam Islam. Demikian pula jika ia mengimani sebagian dari Al-Qur'an dan mengingkari sebagian yang lain - laksana orang yang mengikrarkan kalimat Tauhid, tetapi mengingkari kewajiban shalat, atau mengikrarkan kalimat Tauhid dan shalat - tetapi mengingkari wajibnya zakat, atau meyakini semua itu - tetapi mengingkari kewajiban berpuasa, atau meyakini semua itu - tapi mengingkari wajibnya haji.
Tatkala sebagian manusia di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tunduk terhadap perintah haji, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya tentang mereka (artinya),
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim, barangsiapa yang memasuki (Baitullah) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali'Imran; 97)
Hukum Mengingkari Sebagian Apa yang Diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Seorang muslim diwajibkan untuk menerima seluruh yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala, tanpa membeda-bedakan satu hukum dengan hukum lainnya dengan cara mengingkari. Karena, barangsiapa mengingkari suatu hukum yang telah diturunkan Allah 'Azza wa Jalla, dalam keadaan dia mengetahui, bahwa hal tersebut berasal dari Allah, maka sungguh ia telah kafir. "Setali-tiga uang" dalam hal ini adalah, orang-orang yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, "Yang halal, adalah apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Adapun agama, adalah apa yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang keluar dari sesuatu yang telah disyariatkan Rasul-Nya, yaitu syariat yang wajib bagi setiap pemimpin untuk mewajibkan manusia mengamalkannya. Wajib bagi para Mujahidin (Pejuang di jalan Allah) untuk berjihad di atasnya, dan wajib pula atas setiap individu untuk mengikuti dan menolongnya." (Al-Ihsaan, Ibnu Hazm, 1/372)
Senada dengan itu, perkataan Ibnu Baththah, "Sekiranya ada seseorang yang mengimani semua yang datang dari para Rasul, kecuali satu perkara - maka penolakannya terhadap (satu) perkara tersebut menjadikannya kafir - menurut 'ulama secara keseluruhan (ijma')." (Al-Iban, hal. 21)
Berkata Ibnu Hazm rahimahullah, "(Allah Subahanahu wa Ta'ala) tidak memperkenankan seorang muslim yang telah meyakini Tauhid, untuk merujuk kepada selain Al-Qur'an dan berita dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pula memperkenankannya meninggalkan apa yang dia temukan pada keduanya (Al-Qur'an dan As-Sunnah, pen.).
Jika dia melakukan itu - setelah tegak hujjah padanya, maka dia adalah seorang yang fasik. Adapun, yang melakukannya dengan keyakinan menganggap halal (boleh) keluar dari keduanya, dan mengharuskan untuk taat kepada seseorang selain keduanya, maka dia kafir dan ragu (terhadap keduanya) menurut kami."
Dan beliau berhujjah dengan firman Allah (artinya),
"Maka, Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa; 65), (Al-Ihkam, 1/89)
Beliau juga mengatakan, "Mereka (para 'ulama) sepakat, bahwa barangsiapa beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan setiap apa yang Beliau bawa, dari apa yang dinukilkan dari Beliau dengan penukilan secara mutawatir - dan dia ragu tentang Tauhid, perkara kenabian, atau terhadap Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, atau satu huruf dari apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, atau satu syariat yang Beliau bawa dari apa yang dinukilkan dari Beliau secara mutawatir, maka barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari apa yang kami sebutkan, atau ragu padanya - dan mati dalam keadaan demikian - maka dia Kafir, musyrik kekal dalam Neraka selama-lamanya." (Maratib Al-Ijma', hal. 177)
Ibnu Abdilbarr rahimahullah juga mengatakan, "Mereka (para ulama, pen.) sepakat, bahwa orang yang menganggap halal khamr, perasan anggur yang memabukkan adalah kafir, karena menolak hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, dia murtad dan dimintai bertaubat dan mencabut perkataannya, jika tidak - maka dihalalkan darahnya seperti orang-orang kafir lainnya." (At-Tamhid, 1/142-143).
Allah Jalla wa 'Ala berfirman,
يأيها الذين امن ادخلوا فى السلم كافة ولاتتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدومبين
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (utuh), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah Syaithan. Sesungguhnya Syaithan itu musuh yang nyata bagimu."
(Al-Baqarah; 208)
Dan, dalam maka firman-Nya yang lain,
"...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab, dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah; 85)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan, bahwa sikap beriman kepada sebagian isi kitab yang di turunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan mengingkari sebagian lainnya merupakan sikap yang mendatangkan kehinaan atas mereka, baik dalam kehidupan dunia, dan siksaan yang lebih pedih lagi nanti di Akhirat. Tidaklah diringankan siksaan itu bagi mereka.
Ayat ini dengan tegas mengatakan, bahwa barangsiapa yang mengingkari sebagian dari ayat-ayat Allah, berarti dia telah mengingkarinya secara keseluruhan.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi rahimahullah berkata, "Tidak ada perselisihan di kalangan para 'ulama semuanya, bahwa jika seseorang membenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perkara, dan mendustakan Beliau dalam perkara lain, maka dia kafir dan tidak tergolong ke dalam Islam. Demikian pula jika ia mengimani sebagian dari Al-Qur'an dan mengingkari sebagian yang lain - laksana orang yang mengikrarkan kalimat Tauhid, tetapi mengingkari kewajiban shalat, atau mengikrarkan kalimat Tauhid dan shalat - tetapi mengingkari wajibnya zakat, atau meyakini semua itu - tetapi mengingkari kewajiban berpuasa, atau meyakini semua itu - tapi mengingkari wajibnya haji.
Tatkala sebagian manusia di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak tunduk terhadap perintah haji, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya tentang mereka (artinya),
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim, barangsiapa yang memasuki (Baitullah) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali'Imran; 97)
Hukum Mengingkari Sebagian Apa yang Diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala;
Seorang muslim diwajibkan untuk menerima seluruh yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala, tanpa membeda-bedakan satu hukum dengan hukum lainnya dengan cara mengingkari. Karena, barangsiapa mengingkari suatu hukum yang telah diturunkan Allah 'Azza wa Jalla, dalam keadaan dia mengetahui, bahwa hal tersebut berasal dari Allah, maka sungguh ia telah kafir. "Setali-tiga uang" dalam hal ini adalah, orang-orang yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, "Yang halal, adalah apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Adapun agama, adalah apa yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang keluar dari sesuatu yang telah disyariatkan Rasul-Nya, yaitu syariat yang wajib bagi setiap pemimpin untuk mewajibkan manusia mengamalkannya. Wajib bagi para Mujahidin (Pejuang di jalan Allah) untuk berjihad di atasnya, dan wajib pula atas setiap individu untuk mengikuti dan menolongnya." (Al-Ihsaan, Ibnu Hazm, 1/372)
Senada dengan itu, perkataan Ibnu Baththah, "Sekiranya ada seseorang yang mengimani semua yang datang dari para Rasul, kecuali satu perkara - maka penolakannya terhadap (satu) perkara tersebut menjadikannya kafir - menurut 'ulama secara keseluruhan (ijma')." (Al-Iban, hal. 21)
Berkata Ibnu Hazm rahimahullah, "(Allah Subahanahu wa Ta'ala) tidak memperkenankan seorang muslim yang telah meyakini Tauhid, untuk merujuk kepada selain Al-Qur'an dan berita dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak pula memperkenankannya meninggalkan apa yang dia temukan pada keduanya (Al-Qur'an dan As-Sunnah, pen.).
Jika dia melakukan itu - setelah tegak hujjah padanya, maka dia adalah seorang yang fasik. Adapun, yang melakukannya dengan keyakinan menganggap halal (boleh) keluar dari keduanya, dan mengharuskan untuk taat kepada seseorang selain keduanya, maka dia kafir dan ragu (terhadap keduanya) menurut kami."
Dan beliau berhujjah dengan firman Allah (artinya),
"Maka, Demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa; 65), (Al-Ihkam, 1/89)
Beliau juga mengatakan, "Mereka (para 'ulama) sepakat, bahwa barangsiapa beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan setiap apa yang Beliau bawa, dari apa yang dinukilkan dari Beliau dengan penukilan secara mutawatir - dan dia ragu tentang Tauhid, perkara kenabian, atau terhadap Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, atau satu huruf dari apa yang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa, atau satu syariat yang Beliau bawa dari apa yang dinukilkan dari Beliau secara mutawatir, maka barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari apa yang kami sebutkan, atau ragu padanya - dan mati dalam keadaan demikian - maka dia Kafir, musyrik kekal dalam Neraka selama-lamanya." (Maratib Al-Ijma', hal. 177)
Ibnu Abdilbarr rahimahullah juga mengatakan, "Mereka (para ulama, pen.) sepakat, bahwa orang yang menganggap halal khamr, perasan anggur yang memabukkan adalah kafir, karena menolak hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya, dia murtad dan dimintai bertaubat dan mencabut perkataannya, jika tidak - maka dihalalkan darahnya seperti orang-orang kafir lainnya." (At-Tamhid, 1/142-143).
Jadi, yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari manusia terhadap Agama Islam (Al-Qur'an dan As-sunah) adalah; All or Nothing (Ambil keseluruhannya tanpa reserve, atau Tidak sama sekali), karena itu merupakan konsekuensi logis dari pengikraran Dua Kalimat Syahadat.
Dan masih banyak lagi penukilan dari para ulama Salaf rahimahumullah, baik dari kalangan Sahabat maupun setelah mereka yang menunjukkan, bahwa hal itu sudah menjadi kesepakatan di antara mereka. Namun, dalam permasalahan ini hendaklah kita perhatikan 2 (dua) hal berikut;
Pertama; Tidak termasuk dalam kaidah di atas seseorang yang mengingkari sesuatu yang terang terdapat di dalam agama ini, namun pengingkaran-nya karena ketidak-tahuan (kebodohan), bahwa hal tersebut termasuk larangan dalam agama, bukan disebabkan sikap menentang apa yang telah shahih dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Para ulama tidak mengkafirkan orang yang menghalalkan sesuatu dari perkara-perkara yang diharamkan disebabkan karena ia baru masuk Islam, atau karena dia tinggal jauh dari pemukiman. Maka, sesungguhnya menghukumi kafir tidak dilakukan kecuali setelah sampainya risalah (tegak hujjah, pen.). Sedangkan kebanyakan dari mereka ini ada kemungkinan tidak sampai kepada mereka nash-nash yang menyelisihi pendapat mereka, dan dia tidak mengetahui bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk itu." (Majmu' Fatawa, 28/501, lihat pula 11/407).
Kedua; Ayat ini bukan pula merupakan dalil untuk membenarkan kelompok Khawarij (sempalan Islam) yang mengkafirkan setiap pelaku dosa besar, dan mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dengan alasan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Allah 'Azza wa Jalla sudah barang tentu dia menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, yang dengan itu berarti dia beriman kepada sebagian syariat dan mengkufuri sebagian lainnya, dan ini adalah kekafiran yang sebenar-benarnya.
Jawaban terhadap syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) ini adalah sebagai berikut;
Perlu diketahui, bahwa para pelaku maksiat termasuk di dalamnya orang yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah 'Azza wa Jalla - memiliki kondisi yang berbeda-beda satu sama lain. Di antara mereka ada yang melakukan kemaksiatan disebabkan kejahilan (kebodohan)nya, bahwa perkara tersebut terlarang dalam Islam. Ada juga yang melakukannya disebabkan karena kelemahan iman dan mengikuti hawa nafsu - dalam keadaan dia tetap mengakui bahwa hal tersebut dilarang oleh Islam. Di antara mereka ada yang melakukan kemaksiatan karena terpaksa melakukannya, dan berbagai macam kemungkinan lain yang menyebabkan seseorang terjatuh dalam kemaksiatan dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala. Yang tentunya berbagai kemungkinan tersebut menghalangi kita untuk serta-merta (terburu-buru, pen.) menghukumi / memvonis seseorang telah kafir dan keluar dari Islam dengan sekedar melakukan perkara haram tersebut, tanpa mengetahui apa yang menjadi latar belakang perbuatannya. Adapun bila telah jelas dan terang, serta meyakinkan bahwa ia melakukan kemaksiatan tersebut dilandasi keyakinan menghalalkannya, dalam keadaan dia mengetahui, bahwa itu datang dari Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka orang ini dapat dibinasakan, kafir dan keluar dari Islam.
Abu 'Ubaid Al-Qashim bin Sallam berkata, "Adapun atsar-atsar yang diriwayatkan, dimana menyebutkan kekufuran dan kesyirikan, serta kemaksiatan yang mengantarkan pada keduanya, maka maknanya menurut kami adalah, tidak menetapkan pada pelakunya kekufuran dan kesyirikan yang menghilangkan iman dari pelakunya itu. Namun, sesungguhnya yang dimaksud, bahwa ia termasuk di antara akhlak dan jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir dan musyrikin." (Kitab Al-Iman, Abu 'Ubaid Al-Qashim bin Sallam, hal. 86).
Wabillahittaufiq (Hanya Allah sajalah Pemberi Taufiq).
Renungan
"Bersegeralah melakukan amal shalih sebelum datang fitnah (musibah), seperti potongan malam yang gelap. Yaitu, seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman - dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula, yang sore hari dalam keadaan beriman - dan di pagi harinya dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya untuk beroleh sedikit keuntungan dunia." ( HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi penukilan dari para ulama Salaf rahimahumullah, baik dari kalangan Sahabat maupun setelah mereka yang menunjukkan, bahwa hal itu sudah menjadi kesepakatan di antara mereka. Namun, dalam permasalahan ini hendaklah kita perhatikan 2 (dua) hal berikut;
Pertama; Tidak termasuk dalam kaidah di atas seseorang yang mengingkari sesuatu yang terang terdapat di dalam agama ini, namun pengingkaran-nya karena ketidak-tahuan (kebodohan), bahwa hal tersebut termasuk larangan dalam agama, bukan disebabkan sikap menentang apa yang telah shahih dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Para ulama tidak mengkafirkan orang yang menghalalkan sesuatu dari perkara-perkara yang diharamkan disebabkan karena ia baru masuk Islam, atau karena dia tinggal jauh dari pemukiman. Maka, sesungguhnya menghukumi kafir tidak dilakukan kecuali setelah sampainya risalah (tegak hujjah, pen.). Sedangkan kebanyakan dari mereka ini ada kemungkinan tidak sampai kepada mereka nash-nash yang menyelisihi pendapat mereka, dan dia tidak mengetahui bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk itu." (Majmu' Fatawa, 28/501, lihat pula 11/407).
Kedua; Ayat ini bukan pula merupakan dalil untuk membenarkan kelompok Khawarij (sempalan Islam) yang mengkafirkan setiap pelaku dosa besar, dan mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dengan alasan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Allah 'Azza wa Jalla sudah barang tentu dia menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, yang dengan itu berarti dia beriman kepada sebagian syariat dan mengkufuri sebagian lainnya, dan ini adalah kekafiran yang sebenar-benarnya.
Jawaban terhadap syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran) ini adalah sebagai berikut;
Perlu diketahui, bahwa para pelaku maksiat termasuk di dalamnya orang yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah 'Azza wa Jalla - memiliki kondisi yang berbeda-beda satu sama lain. Di antara mereka ada yang melakukan kemaksiatan disebabkan kejahilan (kebodohan)nya, bahwa perkara tersebut terlarang dalam Islam. Ada juga yang melakukannya disebabkan karena kelemahan iman dan mengikuti hawa nafsu - dalam keadaan dia tetap mengakui bahwa hal tersebut dilarang oleh Islam. Di antara mereka ada yang melakukan kemaksiatan karena terpaksa melakukannya, dan berbagai macam kemungkinan lain yang menyebabkan seseorang terjatuh dalam kemaksiatan dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subahanahu wa Ta’ala. Yang tentunya berbagai kemungkinan tersebut menghalangi kita untuk serta-merta (terburu-buru, pen.) menghukumi / memvonis seseorang telah kafir dan keluar dari Islam dengan sekedar melakukan perkara haram tersebut, tanpa mengetahui apa yang menjadi latar belakang perbuatannya. Adapun bila telah jelas dan terang, serta meyakinkan bahwa ia melakukan kemaksiatan tersebut dilandasi keyakinan menghalalkannya, dalam keadaan dia mengetahui, bahwa itu datang dari Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka orang ini dapat dibinasakan, kafir dan keluar dari Islam.
Abu 'Ubaid Al-Qashim bin Sallam berkata, "Adapun atsar-atsar yang diriwayatkan, dimana menyebutkan kekufuran dan kesyirikan, serta kemaksiatan yang mengantarkan pada keduanya, maka maknanya menurut kami adalah, tidak menetapkan pada pelakunya kekufuran dan kesyirikan yang menghilangkan iman dari pelakunya itu. Namun, sesungguhnya yang dimaksud, bahwa ia termasuk di antara akhlak dan jalan yang ditempuh oleh orang-orang kafir dan musyrikin." (Kitab Al-Iman, Abu 'Ubaid Al-Qashim bin Sallam, hal. 86).
Wabillahittaufiq (Hanya Allah sajalah Pemberi Taufiq).
Renungan
"Bersegeralah melakukan amal shalih sebelum datang fitnah (musibah), seperti potongan malam yang gelap. Yaitu, seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman - dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula, yang sore hari dalam keadaan beriman - dan di pagi harinya dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya untuk beroleh sedikit keuntungan dunia." ( HR. Muslim)
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)
oOo
(Disadur bebas dari tulisan, "Keimanan yang Tidak Membuahkan Hasil", Ust. Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi, Majalah "Asy-Syariah",vol. VIII/No. 31/1428 H/2007 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar