Selasa, 31 Juli 2018

AL-FATIHAH SEBAGAI PENYEMBUH PENYAKIT HATI DAN BADAN


بسم الله الر حمان الر حيم


Cakupan surat Al-Fatihah terhadap kesembuhan penyakit-penyakit hati merupakan cakupan yang paling sempurna.  Sementara, inti dari penyakit hati dan penderitaannya terfokus pada dua pokok persoalan;    
1. Kerusakan Ilmu.
2. Kerusakan Maksud dan Tujuan.

Penyakit ini (Kerusakan Ilmu dan Tujuan) disusul oleh dua penyakit yang mematikan, yaitu Kesesatan dan Amarah.  Kesesatan merupakan akibat dari kerusakan Ilmu, dan amarah merupakan akibat dari kerusakan Maksud (Tujuan).  Kedua penyakit tersebut merupakan induk dari semua penyakit-penyakit hati.
Petunjuk  Ash-Shirath Al-Mustaqim (jalan yang lurus) menjamin kesembuhan dari segala penyakit Kesesatan.  Oleh karena itu, memohon petunjuk ini merupakan do’a yang paling wajib untuk dipanjatkan oleh setiap hamba, dan harus dilakukan setiap saat, siang dan malam, pada setiap shalat yang mereka lakukan, mengingat urgensi dan kebutuhannya terhadap petunjuk yang memang harus selalu dicarinya.  Tidak ada yang bisa menggantikan kedudukan permohonan ini.
Mewujudkan Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan) dari sisi Ilmu, Ma’rifat, Amal dan Keadaan menjamin kesembuhan dari penyakit kerusakan hati dan maksud.  Kerusakan maksud  berkaitan dengan tujuan dan sarana.  Barangsiapa yang mencari tujuan “yang terputus”, lemah dan fana (Duniawi), menggapainya dengan berbagai sarana yang mengantarkan kepadanya, maka masing-masing dari dua jenis maksud itu (tujuan dan sarana) sama-sama rusak.  Inilah keadaan orang-orang yang maksudnya adalah selain Allah - dan menyembahnya, dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, yaitu mereka yang tidak mempunyai maksud selain itu.  Juga termasuk dari golongan ini adalah, para penguasa dan pemimpin yang menjadi panutan - yang menegakkan kekuasaannya dengan cara apa pun, baik benar ataupun bathil.  Jika datang kebenaran yang menghadang jalan kekuasaannya, maka dia melindasnya dan menendang dengan kedua kakinya.  Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka mereka mengenyahkannya seperti binatang jalang yang suka menerkam.  Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka mereka menahannya di tengah jalan lalu meniti jalan lain.  Mereka selalu siap untuk mengenyahkan kebenaran itu menurut kesanggupannya.
(Baca artikel, KESAMAAN ANTARA MANUSIA DENGAN BINATANG)
Jika tidak ada lagi kesanggupan itu, mereka siap menyodorkan uang kepadanya dan kesempatan untuk berpidato[*], mereka menjauhkannya dari hukum dan penerapannya.
Jika datang kebenaran yang mendukung mereka, maka seketika itu juga mereka melompat ke arahnya dan mendatanginya dengan patuh, bukan karena kebenaran itu merupakan kebenaran (tunduk pada kebenaran, pen blog), melainkan karena kesesuaian maksud dan hawa nafsu mereka dengan kebenaran itu.  Sebagaimana firman Allah (artinya),
“Dan, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.  Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh.  Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) di dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu, ataukah takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka?  Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim.”  
(QS. An-Nur;  48-50)
Dengan perkataan lain, maksud mereka itu rusak, baik tujuan maupun sarananya.  Jika tujuan yang mereka cari itu gagal, melemah dan bahkan berakhir, berarti mereka hanya mendapatkan kerugian yang amat besar.  Mereka adalah orang-orang yang amat menyesal dan merugi – jika yang benar menjadi benar dan yang bathil menjadi bathil, jika faktor-faktor yang menunjang pencapaiaan tujuan terputus, dan mereka pun yakin akan ketinggalan dari prosesi keberuntungan dan kebahagiaan.  Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia.  Yang tampak lebih jelas pada diri orang yang menempuh jalan tersebut, dan ketika menghadap Allah.  Kedatangan dan kehadirannya di Alam Barzakh (nanti) akan menjadi lebih keras lagi.   Semuanya akan terungkap pada Hari Kiamat, karena semua hakikat akan tersibak.  Saat itulah orang-orang yang benar akan beruntung, dan orang-orang yang bathil akan merugi.  Saat itulah mereka baru benar-benar menyadari bahwa ternyata mereka adalah para pendusta, mereka adalah orang-orang yang tertipu dan terkecoh.  Tetapi orang-orang yang baru mengetahuinya pada saat itu – tidak lagi dapat terbantu oleh ilmunya, begitu pula oleh keyakinannya.
Demikian pula keadaan orang yang mencari tujuan tertinggi dan puncak objek pencarian, tetapi dia tidak dapat mencapainya dengan sarana yang (seharusnya) mengantarkannya kepada tujuan itu, tetapi dia menggunakan sarana yang dikiranya dapat mengantarkan dirinya.  Ini juga termasuk pemutus tujuan yang paling besar.  Keadaannya tidak berbeda jauh dengan keadaan sebelumnya. Tujuan keduanya sama-sama rusak.  Tidak ada kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.
Komposisi obat ini ada enam macam;
1.     1. Beribadah kepada Allah semata, dan bukan kepada selain-Nya.
2.     2. Dengan perintah dan Syari’at-Nya (sesuai petunjuk Rasul-Nya, pen.)
3.     3. Bukan dengan Hawa Nafsu (Bid’ah, pen.)
4.     4. Bukan dengan pendapat, konsep, gambaran, dan pemikiran manusia.
5.     5. Memohon pertolongan untuk beribadah kepada-Nya (Dengan apa-apa yang diridhai dan dicintai-Nya, pen).
6.     6. Bukan dengan diri hamba, kekuatan dan keadaannya, bukan pula dengan selain-Nya (Perwujudan dari dzikir “Laa haulaa wa laa quwwata ilaa billah”, Tiada daya dan upaya manusia melainkan hanya dengan pertolongan Allah, pen.)
Inilah partikel-partikel iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.  Jika seorang dokter yang peka dan bisa mendeteksi jenis penyakit ini, kemudian meramu obatnya dan menyerahkan kepada pasien, tentu dia akan sembuh total.  Kalaupun tidak sembuh total, berarti ada salah satu atau lebih dari komposisi obatnya yang tertinggal.
Hati manusia bisa terjangkiti dua macam penyakit ganas, yang jika keduanya tidak terdeteksi dari awal, tentu lama-kelamaan akan melemparkan orang tersebut pada kebinasaan, dan itu pasti terjadi.  Kedua penyakit ganas tersebut adalah Riya dan Takabur.  Adapun obat Riya adalah Iyyaaka na’budu, dan obat Takabur ialah iyyaaka nasta’iin
Seringkali saya (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah) mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Iyyaaka na’budu menghilangkan Riya, dan iyyaaka nasta’iin menghilangkan Takabur.”
Jika seseorang bisa disembuhkan dari penyakit Riya dengan “Iyyaaka na’budu”, dan dari penyakit Takabur dan Ujub dengan “wa iyyaaka nasta’iin”, dan dari penyakit Kesesatan dan Kebodohan dengan “Ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim, berarti dia sembuh dari segala penyakit hati dan penderitannya, dia akan berada pada keadaan “Pahala Afiat”, mendapatkan kenikmatan yang sempurna, dan dia termasuk orang-orang yang dianugerahi nikmat, dan bukan termasuk orang-orang yang dimurkai – yaitu orang-orang yang tujuannya rusak, yang mengetahui kebenaran namun ia menyimpang darinya.  Serta orang-orang yang sesat, yaitu mereka yang ilmunya rusak, yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengenalnya.
(Baca artikel tentang, NIKMAT)
Sudah selayaknya jika satu surat yang mencakup dua kesembuhan ini mampu menyembuhkan setiap penyakit (hati).  Karena itu, ketika Al-Fatihah mencakup kesembuhan ini (dua macam kesembuhan penyakit besar), maka ia lebih layak untuk menyembuhkan penyakit yang lebih ringan (penyakit badan).
Tidak ada sesuatu yang yang lebih mampu menyembuhkan penyakit-penyakit hati daripada memikirkan Allah (dzikir) dan Kalam-Nya, memahami tentang Allah dengan pemahaman yang khusus (benar) – selain dari memahami makna-makna surat ini (Al-fatihah).

oOo

[*] Yang dimaksud Pengarang adalah para Khulafa' (Pemimpin) pada zamannya yang tidak memegang Khilafah (Pemerintahan) kecuali gambar ("bayangan").  Sedangkan pelaksanaan Hukum dalam berbagai urusan berada di tangan selain mereka.

(Disadur dari kitab  “Tafsir Ibnu Qayyim”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Jumat, 27 Juli 2018

KESAMAAN ANTARA MANUSIA DENGAN BINATANG


بسم الله الر حمان الر حيم


Hanya orang-orang Kafir, Zhalim, dan Fasiklah yang mengingkari (Tidak meyakini) kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak mau menerima hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya (Makna yang tercantum dalam surat Al-Maidah, ayat; 44, 45 dan 47).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman di dalam Al-Qur’an (yang artinya),
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi ini, dan juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kalian.  Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab[1], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun.  Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah Tuli, Bisu, dan berada dalam gelap gulita.  Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya akan disesatkan-Nya[2].  Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.”  
(Al-An’am;  38-39)
Berkaitan dengan hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Kalau anjing-anjing itu bukan merupakan salah satu umat, niscaya aku telah perintahkan untuk membunuhnya.”[3]
Pada hadits di atas terkandung dua kemungkinan.  Pertama, dimaksudkan sebagai pemberitahuan mengenai suatu hal yang tidak mungkin dikerjakan.  Yaitu, bahwa anjing-anjing itu juga merupakan suatu komunitas umat juga, sehingga tidak mungkin dibinasakan begitu saja.  Kalau dimungkinkan pembinasaannya dari muka bumi ini, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk membunuh mereka.  Kedua, hal itu dimaksudkan sama seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya),
“Apakah karena gigitan seekor semut, engkau akan membakar salah satu komunitas umat yang selalu bertasbih?”[4]
Dengan demikian, anjing-anjing tersebut juga termasuk suatu komunitas umat yang diciptakan dengan membawa hikmah dan kemaslahatan tersendiri, sehingga pembinasaannya akan bertentangan dengan tujuan penciptaannya.
Mengenai makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Melainkan umat-umat juga seperti kalian,” Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat Atha’ mengatakan, “Allah mengemukakan, bahwa binatang-binatang itu semuanya memahami dan mengetahui (mengenal) diri-Ku, mengesakan, bersujud, dan memuji-Ku.”  Hal itu sama seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya),
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.”  
(QS. Al-Isra’;  44), juga seperti firman-Nya (artinya),
“Tidakkah kamu mengetahui, bahwa semua yang ada di langit maupun di bumi bertasbih kepada Allah, dan demikian pula burung-burung dengan mengembangkan sayapnya.  Masing-masing telah mengetahui cara shalat dan tasbihnya.  
(QS. An-Nur;  41)
Yang demikian itu juga didasarkan pada makna firman-Nya;
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa saja yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon-pohonanan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari manusia?”  
(QS. Al-Hajj;  18)
Demikian pula makna firman-Nya,
“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit, dan semua makhluk yang melata di bumi, dan juga para Malaikat.”  
(QS. An-Nahl;  49), dan
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami.   (Allah  berfirman), ‘Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.’”  
(QS. Saba’;  10)
Sufyan bin Uyainah berkata, Tidak ada seorang pun di muka bumi ini melainkan pada dirinya terdapat suatu kesamaan dengan hewan.  Ada di antara manusia yang suka menerkam seperti halnya singa.  Ada juga yang meloncat menyerupai loncatan serigala.  Ada juga yang menggonggong menyerupai anjing.  Ada juga yang menyerupai babi, yang jika diberi makanan yang baik-baik dia tidak mau memakannya dan lebih suka menjilati kotoran.  Oleh karena itu, jangan heran jika anda menemukan ada manusia yang jika mendengarkan hal-hal yang baik tidak akan hafal satupun, tetapi jika mendengar kesalahan (hal-hal yang buruk), maka ia akan segera (cepat) menghafalnya.”
Al-Khutabi mengatakan,  “Penafsiran Sufyan bin Uyainah terhadap ayat di atas sungguh-sungguh menakjubkan, dimana ia berhasil menyimpulkan hal-hal yang sangat bermanfaat tersebut.  Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan mengenai adanya persamaan antara manusia dengan burung dan binatang lainnya dalam hal Karakter dan Moral.  Jika demikian halnya, ketahuilah bahwa jika anda bergaul dan berhubungan dengan binatang buas, maka berhati-hatilah terhadapnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan sebagian binatang bekerja keras mencari rezekinya, tetapi sebagian yang lain hanya berserah diri kepada Allah, tanpa bekerja keras.  Sebagian hewan ada yang menyimpan makanan sebagai persediaan untuk waktu satu tahun, sedang yang lainnya tidak demikian.  Sebagian ada yang sangat perhatian terhadap anak-anaknya, tetapi sebagian yang lainnya sama sekali tidak mengenal anak-anaknya.  Sebagian hewan ada yang tahu berterimakasih dan bersyukur, tetapi ada juga yang sama sekali tidak mengenal hal itu.  Sebagian lainnya ada yang lebih mengutamakan kepentingan hewan lainnya, tetapi ada juga yang suka berbuat kerusakan.  Ada juga yang tidak beraktivitas dalam setahun kecuali sekali saja.  Sebagian ada yang menggoda dan bercumbu pada pasangannya saja dan tidak pada yang lain, tetapi sebagian lagi menggoda dan mencumbui pasangan lain dalam jumlah yang tidak terbatas.  Sebagian ada yang jinak kepada manusia dan sebagian lagi tidak pernah mau jinak.  Sebagian ada yang suka makan makanan yang baik-baik saja, tapi ada juga yang suka makanan yang buruk-buruk.  Sebagian ada yang tetap (tidak berubah-ubah) penampilannya, dan sebagian yang lain berubah-ubah sesuai keadaan lingkungannya.  Sebagian ada yang pintar meniru ucapan manusia, tanpa mengerti (paham) apa yang diucapkan. Sebagian ada yang bisa berpura-pura mati untuk mengelabui musuhnya.  Sebagian ada yang berburu secara sendiri-sendiri, tetapi yang lainnya tidak bisa berburu kecuali berkelompok.  Dan lain-lain sebagainya.
Semua hal di atas merupakan dalil paling kongkrit, yang menunjukkan Keseriusan, Ketekunan (Keaktifan) dalam Penciptaan, Kesungguh-sungguhan dalam memberikan Pemeliharaan, Kelembutan dan Hikmah-Nya.  Setiap orang yang berakal, tentu akan memahami bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak menciptakan semuanya itu dalam keadaan sia-sia belaka.  Tetapi Dia menciptakan semua itu disertai Hikmah yang Agung, dan tanda-tanda kekuasaan yang sangat nyata, disertai bukti-bukti konkrit, bahwa Dia-lah Tuhan dan Raja Yang Memelihara segala sesuatu, dan Dia-lah Yang Mahakuasa dan Mahamengetahui atas segala sesuatu.
Adakah manusia yang mau mengambil pelajaran?

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Qadha’ dan Qadar”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

[1]  Sebagian Mufassir menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul Mahfuz, dalam arti setiap makhluk telah dituliskan (ditetapkan) takdirnya di Lauhul Mahfuz.  Ada juga yang menafsirkan dengan Al-Qur’an, dalam arti bahwa di dalam Al-Qur’an itu telah ada pokok-pokok Agama, norma-norma hukum, hikmah-hikmah, dan bimbingan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, serta makhluk lain secara umum.
[2]  Disesatkan Allah berarti, bahwa orang tersebut sesat karena keingkarannya, dan tidak mau memahami, dan tunduk-patuh pada petunjuk-petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
[3]  Diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad.  Syaikh Al-Albani mengatakan, bahwa hadits ini shahih.
[4]  Diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Nasa’i, dan Ahmad.

Selasa, 24 Juli 2018

BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA



بسم الله الر حمان الر حيم

Meyakini Qadha’ dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rukun Iman yang ke-enam, setelah beriman kepada Allah, beriman kepada para Malaikat-Nya, beriman kepada Kitab-Kitab Suci-Nya, beriman kepada para Nabi dan Rasul-Nya, serta beriman kepada Hari Akhir (Kiamat).

Salah, dalam memahami salah satu dari Rukun Iman tersebut, menyebabkan menyimpang pula Manhaj (Metode, Jalan yang ditempuh) seseorang dalam memahami dan mengamalkan Syari’at Islam, seperti keyakinan orang-orang Qadariyah dan Jabariyah, serta 70 (tujuhpuluh) kelompok sempalan lainnya.

(Baca juga artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)

Secara Istilah Syari'at, Qadha' dapat diartikan sebagai Ketentuan / Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala sejak zaman azali terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya, sesuai dengan Iradah (Kehendak)-Nya, yang meliputi persoalan baik atau buruk, hidup - mati, bahagia - celaka, rezeki, sifat-sifat makhluk, Surga-Neraka, dan lain-lain sebagainya.  Sedangkan Qadar, adalah Perwujudan dari Ketetapan Qadha' tersebut.
Jadi, beriman kepada Qadha' dan Qadar berarti meyakini dengan sepenuh hati adanya Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berlaku bagi seluruh makhluk-Nya, tanpa terkecuali.
Kesempurnaan Qadha’ dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala ini meliputi beberapa perkara, diantaranya;

1.     1. Mahasempurna Allah dengan ILMU-NYA  terhadap segala sesuatu.  50.000 tahun sebelum penciptaan segala sesuatu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan Qalam (“Pena”) dan menuliskan takdir segala sesuatu secara bersamaan di Lauhul Mahfudz;  Mulai dari makhluk Allah yang paling besar (‘Arsy Allah ‘Azza wa Jalla) – hingga makhluk yang paling kecil - sebesar atom, atau yang lebih kecil lagi dari itu. Baik dalam keadaan basah atau kering.  Secara zhahir maupun bathin, yang berada di langit maupun di bumi.   Dia pasti mengetahuinya, dan telah dituliskan takdirnya.  Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya.
Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah Qalam (pena), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tulislah.’  Ia menjawab, ‘Ya Tuhan-ku, apa yang harus aku tulis?’  Dia (Allah) menjawab, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga Hari Kiamat tiba.’
Jadi, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan (belum) terjadi.
Dengan demikian, betapa zhalim, bodoh, dan "beraninya" orang-orang yang menyatakan, bahwa segala sesuatu itu belum ditetapkan, dan tidak pula diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala! (Keyakinan orang-orang Qadariyah dan kelompok menyimpang lainnya)
Pokok ini benar-benar harus dipegang teguh.  Perlu diketahui, bahwa Akal, Pengetahuan, dan Ilmu Umat Manusia tidak akan pernah sanggup menjangkau dan meliputi Hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terdapat pada makhluk-Nya yang paling kecil sekali pun.

2.      2. Mahasempurna Allah dalam KEHIDUPAN-NYA (Mahadinamis).  Allah  Subhanahu wa Ta’ala Yang menciptakan segala sesuatu, sekaligus menciptakan sifat-sifat, dan apa saja yang mereka perbuat.  Mulai dari makhluk yang pertama kali diciptakan - hingga makhluk terakhir yang diciptakan-Nya.  Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya (artinya),
“Allah Yang menciptakan kamu, dan apa (saja) yang kamu perbuat.”  (Ash-Shaffat (37);  96)
Dengan demikian Allah telah menciptakan manusia serta makhluk-makhluk lainnya, sekaligus menciptakan semua perbuatan-perbuatan mereka.  Jadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Menciptakan perbuatan-perbuatan, dan manusia serta makhluk-makhluk lainnya yang memilih, dan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut (tanpa ada paksaan sedikit pun dari-Nya).
Hal ini membuktikan bahwa Dia benar-benar Hidup, dengan Kehidupan Yang Paling Sempurna.
Setiap Kehidupan Yang Paling Sempurna, maka sebagai konsekwensi logisnya adalah Perbuatan-Nya pasti akan lebih Kuat dan lebih Sempurna.
Imam Al-Bukhari pernah meriwayatkan dalam kitab "Penciptaan Perbuatan", dari Na'im bin Hamad, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah besabda (artinya),
"Kehidupan itu adalah perbuatan, dan setiap yang hidup itu pasti berbuat."
Antara orang yang hidup dengan orang yang mati, tidak dapat dibedakan kecuali dengan perbuatan dan perasaan.
Betapa sering Allah Subhanahu wa Ta'ala "Unjuk Kebolehan (Perbuatan)" dalam menyelamatkan para Wali-Nya pada saat-saat yang sangat genting.  Ketika, Rasul Ibrahim 'alaihissalam telah menggesekkan pedang Beliau yang sangat tajam keleher Isma'il, dalam rangka melaksanakan perintah-Nya, seketika itu juga gesekan pedang tersebut beralih ke leher Qibas (domba) yang besar lagi gemuk, dalam keadaan terikat.  Ketika, Rasul Musa 'alaihissalam telah terdesak ke pinggir laut untuk menghindari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya, dalam kondisi yang sangat kritis tersebut Musa diperintahkan untuk memukulkan tongkatnya ke laut, maka seketika itu juga laut tersebut terbelah, dan membentanglah "Jalan Tol" di dasar laut, sehingga Musa bersama orang-orang yang mengikutinya lolos dari kejaran Fir'aun.  Ketika, Rasul-Nya Ibrahim dilemparkan ke dalam api unggun yang sangat besar oleh Raja Namrud, seketika itu juga api tersebut berubah menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim, sehingga tidak melukai Beliau seujung rambut pun.  Ketika para pemuda Ashabul Kahfi lari ke dalam gua untuk menyelamatkan Agama mereka dari kejaran penguasa zhalim, maka Allah 'Azza wa Jalla melindungi ,dan menidurkan mereka di dalam gua tersebut selama 309 tahun, hingga telah berganti generasi ummat manusia pada saat mereka bangun.  Banyak lagi kejadian-kejadian lain yang dialami oleh para wali-Nya, yang menunjukkan seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta'ala "mempermain-mainkan waktu" - dalam unjuk KeMahakuasaan-Nya atas segala sesuatu. 

3.     3. Mahasempurna Allah dalam QUDRAH (KEKUASAAN) dan IRADAH (KEHENDAK)-NYA atas segala sesuatu di Jagat Raya ini.  Jadi, segala sesuatu yang ada, dan segala peristiwa yang terjadi di Jagat Raya ini adalah atas Kekuasaan dan Kehendak-Nya, dan dengan Kesendirian-Nya.
Tidaklah dapat disebut sebagai suatu perbuatan, bagi sesuatu tanpa adanya Qudrah (kemampuan berbuat) dan Iradah (kehendak) meskipun ia memunculkan pengaruh.  Misalnya, pengaruh api terhadap pembakaran, pengaruh matahari terhadap panas, hembusan angin yang menggoyang tanam-tanaman, bahkan hantaman ombak (Tsunami) yang pernah meluluh-lantakkan negara Jepang, dan lain-lain.  Semua itu merupakan pengaruh yang muncul dari pisik (dzat) dan bukan sebagai sebuah perbuatan, meskipun semuanya itu bertumpu pada kekuatan yang diberikan Allah Tabaraka wa Ta'ala padanya.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan makhluk hidup itu tidaklah akan pernah terjadi, kecuali dengan adanya Qudrah dan Kehendak Allah 'Azza wa Jalla.
Setiap Rasul dan Kitab-Kitab yang diturunkan kepada Mereka telah bulat menyatakan, bahwa Allah 'Azza wa Jalla itu Mahahidup, Mahadinamis, Memiliki Pilihan, dan Maha Berkehendak.
Tidak ada sesuatu pun yang bisa lepas dari Kekuasaan dan Kehendak-Nya, seperti makna firman-Nya,
"Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia (Yang) memelihara segala sesuatu."  (Az-Zumar;  62)
Kemampuan serta keinginan seluruh makhluk-Nya, berada di bawah kendali Kekuasaan dan Keinginan-Nya.  Jadi, kemampuan maupun keinginan seluruh makhluk-Nya itu tidak berdiri sendiri (Tidak Independen), meskipun sifat-sifat dan perbuatan makhluk itu "Hakiki", bukan "Majaz" (kiasan) seperti yang diyakini oleh orang-orang Jabariyah dan Sufiyah, serta kelompok-kelompok menyimpang lainnya.           
4.     
4. Mahasempurna Allah dalam memperhitungkan SEBAB – AKIBAT dari segala sesuatu, dengan hitungan yang Mahateliti.  Seperti firman-Nya (artinya),
“Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka, dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti.”  (Maryam (19);  94)
Allah Jalla wa 'Alaa telah mengaitkan antara sebab dan musabnya secara teliti.  Dia jadikan berbagai sebab sebagai tempat Hikmah-Nya, baik yang menyangkut urusan Syar'i-Diniy (Ketentuan Syari'at -Agama), maupun Kauniy-Qadariy (Ketentuan Alam).
Bahkan Jiwa, Sifat, dan Perbuatan manusia itu sendiri merupakan sebab yang muncul darinya (Syar'i-diniy dan Kauniy-Qadariy).  Dan segala sesuatu itu mempunyai sebab dan musabab (akibat).  Dan Syari'at Islam secara keseluruhan merupakan sebab-musabab (akan adanya, dan berdirinya Jagat Raya ini).  Dan takdir pun mempunyai sebab-musabab.  Al-Qur'an sendiri sarat dengan uraian tentang sebab-musabab ini, seperti makna firman Allah Ta'ala,
"Maka rasakanlah siksaan, karena apa yang telah kalian perbuat."  (Al-A'raf;  39), dan
"Yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu.  Dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya."  (Al-Hajj;  10), dan
"Makan, dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah berlalu."  (Al-Haaqah;  24), dan
"Sebagai pembalasan yang setimpal."  (An-Naba';  26), dan
"...Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang Kafir di antara mereka itu siksa yang pedih."  (An-Nisaa';  161), dan
"Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah..."  (An-Nisaa';  155), dan
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, maka Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu...  Dan engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sedikit dari mereka yang tidak berkhianat."  (Al-Maidah;  13), dan
"Karena masing-masing mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, maka Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras."  (Al-Haaqah; 10), dan
"Maka tetaplah mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan."  (Al-Mukminun;  48), dan lain-lain.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki Sebab dan Musababnya (akibat).
Jika kita kemukakan semua ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas tentang sebab-musabab (akibat) ini, maka akan mencapai puluhan ribu ayat.
Dan mengenai Dzulqarnain, Allah Subhanahu wa Ta'ala pernah berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya sebab (jalan untuk mencapai) segala sesuatu."  (Al-Kahfi;  84)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "sababan berarti 'ilman (ilmu)."
Qatadah, Ibnu Zaid, Ibnu Juraij, dan Ad-Dhahak mengatakan, "Diberi Ilmu, yang dengannya dapat mencapai apa yang dia inginkan."
Al-Mubaarad berkata, "Segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu dengan yang lainnya disebut sebagai sebab."     
5.    
 5. Mahasempurna Allah dalam segala KEBIJAKSANAAN-NYA terhadap segala sesuatu, dengan HIKMAH yang Mahatinggi.  
Kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut menjamin, bahwa tiada satupun (sekecil apa pun) Perbuatan-Nya yang sia-sia, tanpa makna, tanpa mengandung kemashlahatan dan hikmah.  Semua perbuatan Allah Ta'ala itu bersumber dari Hikmah yang sangat Besar dan Tinggi. Terdapat banyak ayat  di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan, bahwa Allah itu Maha ‘Alim (Maha Mengetahui) dan Maha Hakim (Maha Bijaksana).  Al-Imam Al-Hakim mengatakan, artinya Yang memiliki Hikmah yang Tinggi dalam Penciptaan dan Perintah-Perintah-Nya.  Yang memperbagus semua ciptaan-Nya.
Seperti firman-Nya (artinya),
"Itulah hikmah yang sempurna..."  (Al-Qamar;  5), dan
"Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.  Dan barangsiapa dianugerahi hikmah itu, maka ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.  Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)"  (Al-Baqarah;  269)
Hikmah berarti Ilmu yang bermanfaat dan Amal Shalih.  Disebut hikmah, karena Ilmu dan Amal yang bermanfaat tersebut dapat mengantarkan kepada tujuan penciptaan manusia (Keridhaan dan Surga-Nya).
Wallahu A’lam.

oOo
        (Disadur bebas dari kitab “QADHA DAN QADAR”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

CINTA DARI LUAR JERUJI

بسم الله الرحمان الرحيم


Bila kau mencintai dia, tunjukkan padanya kesalahannya agar ia bertaubat dan selamat dari Neraka Allah ‘Azza wa Jalla
Apakah dikatakan cinta, jika engkau senantiasa mengalinginya melihat kesalahan – dan “menina-bobokkannya” dengan kesenangan?

Apakah dikatakan cinta, bila engkau tak pernah membangunkannya dari tidur yang berkepanjangan?
Jangan katakan cinta, jika engkau tidak khawatir kekasihmu akan mati suri!

Orang yang arif paham, apa yang berkecamuk di dalam dada dan kepalamu.  Tapi, bukankah cobaan hidup layaknya Ujian kenaikan kelas?  Bukan menghabiskan masa liburan, atau malah memainkan gitar dengan banyak lagu!
Adakah cobaan lain di atas Agama?  Adakah kebahagiaan lain di atas mengenal-Nya?

Bagaimana dikatakan cinta, sementara engkau membiarkannya tetap bodoh merasakan pahitnya kehidupan?  Sekali-sekali jewerlah kupingnya, atau pukul pantatnya dengan kasih sayang

Sungguh aneh...
Kenapa manusia enggan belajar dari cinta Allah terhadap hamba? Padahal buku-Nya setebal tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi!

oOo

(Untuk seseorang yang tidak dikenal)

Selasa, 10 Juli 2018

Kisah Nabi ISA 'Alaihissalam (4)


بسم الله الر حمان الر حيم

PENJELASAN TENTANG TURUNNYA EMPAT KITAB SUCI


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan.”  (Al-Qadar;  1), dan
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.”  (Ad-Dukhan;  3)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yang artinya),
“Lembaran-lembaran Ibrahim itu diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan setelah berlalu enam malam bulan Ramadhan, Injil diturunkan setelah 13 malam berlalu dari bulan Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan setelah 24 malam berlalu dari bulan Ramadhan.”  (HR.  Ahmad)
Lembaran-lembaran Ibrahim, kitab Taurat, Zabur dan Injil diturunkan kepada Nabi yang menerimanya dalam satu kitab sekaligus.  Sedangkan Al-Qur’an diturunkan secara utuh dalam bentuk satu kitab ke Baitul ‘Izzah di atas langit, hal itu terjadi di bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadar.
Setelah itu, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap (bagian demi bagian) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesuai dengan peristiwa yang terjadi di bumi.  Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir menerangkan dalam kitab tarikhnya, bahwa kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa ‘Alaihissalam ketika Beliau berusia 30 tahun.  Setelah itu, ia menetap beberapa tahun di bumi, hingga akhirnya diangkat Allah ke langit ketika Beliau berusia 33 tahun.
Ishaq bin Basyar bercerita, Said bin Abi ‘Urubah memberitahu kami, dari Qatadah dan Muqatil, dari Qatadah, dari Abdurrahman bin Adam, dari Abu Hurairah bahwasanya dia telah bercerita, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Isa Putera Maryam (artinya),
“Hai Isa, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakan perintah-Ku, dan jangan mempermudah, dengarkan dan patuhilah hai anak seorang wanita perawan yang suci.  Sesungguhnya, kamu lahir tanpa bapak, dan Aku menciptakanmu sebagai tanda kekuasaan(Ku) bagi sekalian Alam.  Sembahlah Aku, dan hanya kepada-Ku kamu berserah diri.  Ambillah kitab Injil ini dengan kuat dan terangkanlah kepada kaum Suryani.  Sampaikan kepada mereka, bahwa sesungguhnya Aku adalah Mahabenar, Mahahidup, Mahaberdiri-sendiri, dan Aku tidak akan binasa.  Yakinkanlah mereka untuk percaya kepada Nabi yang ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) yang berasal dari suku Arab, si pengendara unta, yang mengenakan mahkota di kepalanya – yaitu sorban, yang mengenakan pakaian besi, dua sandal, dan memegang tongkat besar.  Kedua belah matanya besar, berdahi licin, kedua belah pipinya putih bersih, berambut ikal, berjenggot tebal, beralis mata indah, bergigi seri jarang, dan yang tampak bulu halus antara bibir dan janggutnya.  Tengkuknya laksana teko yang terbuat dari perak, dan seakan-akan emas berjalan pada tulang-tulang di atas dadanya.  Bulu-bulu tumbuh subur dari dada sampai ke pusat perut, hingga menyerupai tongkat, serta kulit telapak tangan dan kakinya tebal.  Apabila ia menoleh, maka seluruh anggota tubuhnya ikut berpaling.  Jika berjalan, seolah-olah ia berjalan di atas batu karang dan turun dari pancuran air.  Keringat di wajahnya bagaikan mutiara yang beraroma harum mewangi, belum pernah ada manusia sebelum dan sesudahnya seperti dia.  Postur tubuhnya bagus dan harum mewangi.  Menikah dengan para wanita yang mempunyai sedikit keturunan, tetapi banyak membawa berkah.
Salah satu isterinya (Khadijah), mempunyai sebuah rumah di Surga yang terbuat dari bambu, yang tidak ada kepenatan atau kebisingan di dalamnya.  Ia (Khadijah) membantu perjuangan suaminya (Muhammad), sebagaimana Nabi Zakarya ‘Alaihissalam memelihara ibumu.  Hai Isa, ia mempunyai dua keturunan darinya (Khadijah binti Khaulah) yang meninggal dunia sebagai seorang Syahid, tidak ada seorang pun yang dapat menyamai posisinya di samping-Ku.  Ucapannya adalah Al-Qur’an, Agamanya Islam, dan ia memberikan kedamaian.  Maka, berbahagialah orang yang hidup pada masanya dan mendengarkan semua ucapannya."
Isa Putera Maryam bertanya, “apa itu Thuuba?”  Allah Ta’ala menjawab, “Menanam sebuah pohon yang Aku tanam dengan Kedua Tangan-Ku Sendiri.  Pohon itu disediakan untuk ditanam di Surga.  Asalnya dari Surga Ridwan, airnya dari Surga Tasnim, kesejukkannya sesejuk kafur barus, rasanya seperti rasa jahe, dan harumnya seperti minyak misik. Barangsiapa meminumnya, walau hanya seteguk, maka ia tidak akan merasa haus untuk selama-lamanya.
Isa Putera Maryam berkata, “Wahai Rabb-ku, idzinkanlah aku untuk mereguknya.”  Allah ‘Azza wa Jalla menjawab,  “Dilarang bagi para Nabi lain untuk meneguknya, sebelum Nabi tersebut meminumnya, dan juga dilarang bagi ummat yang lain untuk meneguknya sebelum ummat Nabi tersebut meminumnya.”
Kemudian Allah Ta’ala berkata, “Hai Isa, Aku ingin mengangkatmu ke langit, kepada-Ku.”  Nabi Isa Putera Maryam bertanya, “Wahai Rabb-ku, kenapa Engkau ingin mengangkatku ke langit?”  Allah Ta’ala menjawab, “Aku akan mengangkatmu ke langit, lalu Aku akan menurunkanmu lagi ke bumi pada akhir zaman, agar ummat Nabi tersebut melihat berbagai macam keajaiban, dan membantu mereka untuk memerangi Dajjal yang terlaknat.  Aku akan menurunkanmu pada waktu shalat (Subuh), lalu kamu dan Nabi yang lainnya tidak dapat ikut shalat bersama mereka, karena shalat itu hanya khusus untuk mereka.
Hisyam bin ‘Ammar berkata, dari Walid bin Muslim, dari Abdurrahman bin Zaid, dari bapaknya, bahwasanya Nabi Isa telah berkata, “Ya Rabb-ku, beritahukanlah kepadaku tentang ummat yang disayangi itu.”  Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata, “Mereka itu adalah ummatnya Ahmad.  Mereka adalah para ‘ulama yang Arif Bijaksana, bagaikan para Ambiya (para Nabi).  Mereka menerima pemberian yang sedikit dari-Ku, dan Aku menerima amal perbuatan mereka yang mudah dan gampang.  Aku akan memasukkan mereka ke dalam Surga-Ku dengan kalimat  ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada Ilah (sesembahan) yang haq (benar) selain Allah).  Hai Isa, ketahuilah olehmu, bahwa mereka adalah penduduk Surga yang paling banyak, karena lidah-lidah suatu kaum tidak akan menjadi hina dengan kalimat ‘Laa Ilaaha Illallah’, sebagaimana lidah-lidah kaum yang lain menjadi hina.  Dan leher-leher suatu kaum tidak akan  menjadi hina karena sujud kepada Allah, sebagaimana leher-leher ummat yang lain menjadi hina karena sujud kepada Tuhan yang lain.”  (HR.  Ibnu Asakir)
Enamratus (600) tahun sebelum Muhammad Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diutus, Nabi dan Rasul Isa Putera Maryam 'Alaihissalam telah berpesan ("mewanti-wanti") Bani Israil.  Hal ini diabadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an (artinya),
"Dan (ingatlah) ketika Isa Putera Maryam berkata, 'Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan Kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang bernama Ahmad (Muhammad).'  Maka, tatkala Rasul tersebut datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, 'Ini adalah sihir yang nyata.'"  (As-Shaff;  6)
Meskipun Isa Putera Maryam seorang Nabi Allah, tetapi Beliau tidak memiliki rumah untuk berteduh, akan tetapi ia selalu mengembara di muka bumi ini, tanpa adanya tempat dan tujuan yang pasti. 
Dikisahkan, bahwa pertama kali ia menghidupkan orang yang telah meninggal dunia - Pada suatu hari ia berjalan melewati seorang perempuan yang sedang duduk di atas sebuah kuburan sambil menangis.  Lalu, ia mendekati  wanita itu seraya bertanya, “Ada apa gerangan denganmu, wahai ibu?”  Si ibu menjawab, “Wahai Nabi Allah Isa Putera Maryam.  Anak perempuanku satu-satunya telah meninggal dunia, maka kini aku tidak mempunyai anak lagi selain dirinya.  Dan aku telah berjanji kepada Tuhan-ku, bahwa aku akan tetap berada di tempat ini hingga ajal menjemputku, atau Tuhan menghidupkannya kembali bagiku, hingga akhirnya aku dapat melihatnya kembali.”  Lalu Nabi Isa bertanya, “Kalau seandainya kamu dapat melihatnya lagi, apakah kamu akan pulang ke rumahmu?”  Sang ibu menjawab, “Ya, saya akan pulang jika saya telah melihatnya kembali.”  Kemudian Nabi Isa ‘Alaihissalam shalat dua raka’at, lalu Beliau duduk di atas kuburan tersebut seraya memanggil, “Hai Fulanah, bangun dan keluarlah kamu, dengan idzin Allah Yang Mahapengasih, dari kuburmu.”  Maka, kuburan tersebut bergerak sedikit.  Lalu, Beliau memanggil untuk kedua kalinya.  Maka dengan idzin Allah, kuburan tersebut terbelah.  Kemudian Beliau memanggil untuk ketiga kalinya.  Maka, dengan idzin Allah, ia keluar dari kuburnya  seraya membersihkan kepalanya dari tanah.
Setelah itu Nabi Isa ‘Alaihissalam bertanya kepadanya, “Kenapa engkau begitu lamban memenuhi panggilanku?”   Ia menjawab, “Ketika seruan pertama datang kepadaku, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang Malaikat untuk menyusun kembali tubuhku.  Lalu seruan yang kedua datang kepadaku, maka ruhku kembali ketubuhku.  Kemudian seruan yang ketiga datang kepadaku, maka ketika itu aku merasa takut, bahwa itu adalah Terompet Hari Kiamat.  Tiba-tiba rambutku, kedua alis mata dan bulu-bulu mataku berubah menjadi putih (uban) karena takutnya dengan Hari Kiamat itu.  Lalu, ia menghadap ke ibunya seraya berkata, “Wahai ibunda tersayang, apa yang membuatmu menginginkanku untuk merasakan susahnya kematian dua kali?  Ibundaku yang tersayang, besabarlah, dan bertawakallah kepada Allah, karena aku tidak ingin hidup kembali di dunia.  Wahai Nabi Allah Putera Maryam, mohonkanlah kepada Tuhanku, agar mengembalikanku kembali ke Alam Akhirat, dan memudahkanku dalam menghadapi Sakaratul Maut.”  Kemudian Nabi Isa ‘Alaihissalam berdo’a dan memohon kepada Allah untuk mencabut ruh anak perempuan itu, serta mengembalikannya ke dalam tanah seperti semula.  
Ketika berita itu sampai kepada kaum Yahudi, maka bertambah kesal dan marahlah mereka kepada Nabi Isa Putera Maryam ‘Alaihissalam.
Diceritakan, bahwa Bani Israil pernah meminta Nabi Isa ‘Alaihissalam untuk menghidupkan kembali Sam bin Nuh ‘Alaihissalam.  Kemudian Nabi Isa ‘Alaihissalam memohon dan berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menghidupkan Sam bin Nuh kembali.  Maka, ketika Allah mengembalikan ruh kepada Sam bin Nuh - ia pun menceritakan kepada mereka tentang kapal yang digunakan untuk mengangkut para makhluk ketika terjadi banjir besar.  Kemudian setelah itu, Beliau (Nabi Isa) pun memohon kepada Allah untuk mengembalikannya lagi menjadi tanah.
Al-Sadi pernah meriwayatkan dari  Abu Shalih dan Abu Malik, dari Ibnu Abbas mengenai suatu khabar berita yang pernah diceritakannya, bahwa ada seorang Raja dari Bani Israil yang telah meninggal dunia, dan disemayamkan di atas kasurnya.  Kemudian Nabi Isa ‘Alaihisslam mendatanginya dan berdo’a serta memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali.  Maka, ketika mayat Raja itu hidup kembali, orang-orang merasa takjub dan terheran-heran dibuatnya.
Dan firman Allah Ta’ala, “Dan ingatlah ketika Aku mengajar kamu menulis, hikmah,” yakni mengerti dan memahami  Taurat, yaitu kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa bin Imran Al-Kalim.  Dan ada juga lafadz Taurat yang disebutkan dalam hadits dengan maksud yang lebih umum dari hal itu.
Abu Bakr bin Abi Dunya berkata, “Al-Fadhl bin Musa Al-Bashri telah menceritakan kepada kami, aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata, pada suatu saat Isa Putera Maryam pernah bertemu dengan Iblis.  Kemudian Iblis berkata kepadanya, “Ya Isa Putera Maryam, yang aku tahu tentang keagungan sifat ketuhananmu, adalah ketika kamu dapat berbicara ketika masih bayi, sementara belum pernah ada seorang pun yang berbicara ketika masih bayi sepertimu.”  Iblis melanjutkan perkataannya, “Bukankah dengan sifat ketuhananmu, kamu dapat menghidupkan orang-orang yang telah meninggal dunia.”   Nabi Isa Putera Maryam ‘Alaihissalam menjawab, “sebenarnya hanya Allah-lah Yang dapat menghidupkan dan mematikan.  Lalu Iblis berkata lagi, “Demi Tuhan, Ya Isa Putera Maryam.  Sesungguhnya kamu adalah Tuhan, Sang Penguasa Langit dan Bumi.  Tiba-tiba Malaikat Jibril memukul Iblis tersebut dengan kedua belah sayapnya, hingga akhirnya Iblis itu terpental jauh, sejauh pancaran sinar Matahari.  Kemudian dipukulnya lagi dengan kedua belah sayapnya, hingga sang Iblis terpental, masuk ke dalam mata air yang panas.  Hingga akhirnya ia ditenggelamkan ke dalam laut tujuh.  Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa akhirnya sang Iblis dapat merasakan rasa lumpur hitam, dan keluar darinya seraya berkata, “Tidak ada seorang pun yang bertemu dengan orang lain, sebagaimana aku bertemu denganmu hai anak Maryam.”
Pada riwayat lain disebutkan, Pada suatu ketika Isa Putera Maryam baru selesai melaksanakan shalat di Baitul Maqdis dan hendak kembali ke rumah (ibunya).  Namun ketika ia berada pada suatu jalan yang menanjak naik, tiba-tiba Iblis menghadangnya, seraya berkata, “Wahai  Isa Putera Maryam, tidak layak bagimu untuk menjadi seorang hamba.”  Akan tetapi Nabi Isa ‘Alaihissalam tidak memperdulikan ucapannya, dan berusaha untuk menghindar darinya.  Namun, sang Iblis terus saja berusaha untuk menggoda dan memperdayainya dengan ucapan, “Wahai Isa, tidak layak bagimu untuk menjadi seorang hamba.”  Kemudian Nabi Isa berdo’a kepada Allah untuk memohon bantuan-Nya.  Tiba-tiba muncullah Malaikat Jibril dan Mikail di hadapannya.  Melihat kehadiran kedua Malaikat tersebut, sang Iblis terkejut dan menghentikan godaannya terhadap Nabi Isa ‘Alaihissalam.  Setelah itu kedua Malaikat tersebut melindungi Nabi Isa, sedangkan Malaikat Jibril memukul Iblis itu dengan sayapnya seraya melemparkannya ke dalam jurang yang amat dalam.
Tak lama kemudian, sang Iblis muncul kembali untuk menemui Nabi Isa ‘Alaihissalam, dan ia telah mengetahui bahwa kedua Malaikat itu hanya diperintahkan untuk itu.  Sang Iblis berkata, “Sudah aku katakan kepadamu, Hai anak Maryam perawan yang suci, bahwasanya kamu tidak layak untuk menjadi seorang hamba.  Karena kemarahanmu itu tidak seperti marahnya seorang hamba.  Aku telah mengetahui apa yang akan aku terima darimu ketika kamu sedang marah, akan tetapi, bagaimanapun, aku akan tetap menyerukan kepadamu suatu hal yang memang itu adalah hakmu.  Aku telah memerintahkan kepada semua Syaithan dan Iblis untuk patuh dan ta’at kepadamu.  Jika semua manusia mengetahui , bahwasanya syaithan-syaithan itu mematuhimu, maka tentu saja mereka akan menyembahmu.  Aku tidak mengatakan, bahwa hanya kamu satu-satunya Tuhan, dan tidak ada Tuhan selain kamu di Alam semesta ini.  Akan tetapi, yang aku inginkan adalah, bahwa Allah Ta’ala itu menjadi Tuhan di langit, sedangkan engkau menjadi Tuhan di Muka Bumi ini.”
Setelah Nabi Isa Putera Maryam mendengar ucapannya itu, Beliau langsung berdo’a dan memohon kepada Allah, seraya berteriak dengan suara yang amat keras.  Tanpa diduga-duga Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil, sontak muncul di hadapannya seraya memandang tajam ke arah Iblis.  Tak ayal lagi Malaikat Jibril langsung memukul sang Iblis dengan sayapnya yang lebar, hingga menutupi sinar matahari.  Lalu disusul lagi dengan satu pukulan telak yang mendarat di tubuhnya, hingga akhirnya sang Iblis terjerembab jatuh ke tanah.  Kemudian sang Iblis berkata kepada Isa Putera Maryam, “Wahai Isa, pada hari ini aku telah berjumpa denganmu dalam keadaan yang sangat lelah.”  Setelah itu Malaikat Israfil melemparkannya ke mata air yang sangat panas.  Di dalam mata air yang panas itu, sang Iblis melihat ada tujuh Malaikat yang berupaya untuk menenggelamkannya ke dalam lumpur hitam, setiap kali ia berusaha keluar darinya.  Hingga akhirnya sang Iblis menjadi jera dan tidak pernah lagi kembali kepadanya.  
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganjurkan kepada para hamba-Nya yang beriman, agar membela Agama Islam, para pemeluknya dan para Nabi-nya dalam menegakkan dan mensyiarkan Agama Islam.  Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (Agama) Allah, sebagaimana Isa Putera Maryam berkata kepada para pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku  untuk ( menegakkan Agama) Allah?”  Pengikut-pengikutnya yang setia berkata, “Kamilah penolong-penolong Agama Allah.”  (Ash-Shaff;  14)
Para pengikut setia Nabi Isa ‘Alaihissalam kaum Nasrani (Nashara), berasal dari nama sebuah desa di Palestina, yaitu Nazaret.
Ketika Nabi Isa ‘Alaihissalam mengajak Bani Israil dan kaum lainnya untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ada sebagian mereka yang beriman dan percaya kepada seruan tersebut, dan ada pula sebagian dari mereka yang tetap dalam kekufuran. Sebagian dari Bani Israil yang kufur dan tidak percaya kepada seruan tersebut, yaitu kelompok orang-orang Yahudi.
Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong orang-orang yang beriman kepada-Nya, dari segala ancaman dan cercaan orang-orang kafir dan tidak beriman kepada-Nya, sehingga akhirnya orang-orang yang beriman berada di atas orang-orang kafir tersebut.  Hal ini telah disebutkan Allah dalam kitab suci-Nya (artinya),
“Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang kafir hingga Hari Kiamat.’”  (Ali-Imran;  55)
Maka, barangsiapa yang lebih dekat kepada Allah, niscaya ia akan berada di atas yang lainnya.  Karena ucapan dan keyakinan orang-orang Islam itu haq, dan tidak ada keragu-raguan di dalamnya, yaitu bahwa Isa Putera Maryam ‘Alaihissalam itu adalah hamba dan utusan Allah, maka mereka lebih tinggi derajatnya daripada kaum Nasrani yang sangat berlebih-lebihan dalam memposisikan Nabi Isa ‘Alaihissalam - menandingi posisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Tamat)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Sabtu, 07 Juli 2018

Kisah Nabi ISA 'alaihissalam (3)


KISAH PERTUMBUHAN DAN PENDIDIKAN ISA PADA WAKTU KECIL

بسم الله الر حمان الر حيم

Isa Putera Maryam dilahirkan di Baitu Lahm, suatu tempat yang dekat dengan Baitul Maqdis.
Wahab bin Munabbih menyebutkan, setelah patung-patung yang terdapat di belahan penjuru Barat dan Timur berjatuhan pada hari kelahiran Isa.  Sementara syaithan sendiri merasa kebingungan menyaksikan hal itu, sampai iblis menyingkapkan kepada mereka tentang kelahiran Isa, hingga mereka mendapati Isa berada di dalam kamar ibunya, sementara para Malaikat berkeliling di sekitarnya.  Kemudian tampak sebuah bintang besar di langit, bahkan Raja Persi pun sempat pingsan karena kemunculannya.  Kemudian Raja Persi tersebut bertanya kepada para Dukun.  Maka mereka pun menjawab, “Inilah kelahiran yang sangat Agung di permukaan bumi.”  Kemudian Raja mengutus beberapa utusan dengan membawa emas dan berbagai hadiah kepada Isa ‘alaihissalam.  Ketika sampai di daerah Syam, mereka ditanya oleh Raja Syam perihal kedatangan mereka.  Lalu mereka pun menceritakan hal itu kepada Raja Syam, sampai ke masalah kelahiran Isa Putera Maryam di Baitul Maqdis, yang membuatnya terkenal karena kemampuannya berbicara ketika masih dalam buaian.  Kemudian Raja Syam mengutus orang untuk membunuh Isa ‘alaihissalam, namun mereka tidak sangup mencapainya.
Tatkala utusan Raja Persi menyampaikan hadiah kepada Maryam, dan hendak kembali pulang, dikatakan kepada Maryam, “Sesungguhnya utusan Raja Syam itu datang untuk membunuh puteramu.”
Mendengar hal tersebut, Maryam langsung membawa Isa, puteranya ke Mesir.  Lalu ia menetap di sana sampai Isa berumur 12 tahun.  Lalu tampaklah pada diri Isa berbagai kemuliaan dan mukjizat pada usia yang masih anak-anak tersebut.  Di antara mukjizat yang dimilikinya adalah, ketika para saudagar yang singgah di tempatnya itu bercerita, bahwa ada salah seorang di antara mereka yang kehilangan uang di rumahnya.  Rumah itu hanya ditempati oleh orang-orang miskin, orang-orang lemah dan kaum gembel, tetapi dia tidak mengetahui siapa di antara mereka yang telah mengambil uangnya.
Begitu Isa Putera Maryam mengetahui permasalahan tersebut, ia langsung berangkat menemui seorang buta di sebuah bangku.  Isa berkata kepada orang buta itu, “Bawalah bangku ini, dan berjalanlah.”  Maka orang buta itu menjawab, “Sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya.”  Kemudian Isa berkata, “Lakukan saja seperti kamu melakukannya - ketika kamu mengambil uang yang ada di dalam kantong di rumah itu.”  “Setelah menjelaskan duduk perkaranya, orang-orang mempercayai Isa Putera Maryam.  Kemudian orang buta itu membawa kembali uang itu, dan menyerahkan kepada pemiliknya.  Sehingga dengan kejadian itu, nama Isa semakin terkenal dan mendapatkan kedudukan terhormat dalam pandangan masyarakat, padahal ketika itu ia masih sangat kecil.
Ishaq bin Basyar menceritakan, dari Juwaibir dan Muqatil, dari Ad-Dhahak, dari Ibnu Abbas, bahwa Isa Putera Maryam menahan diri berbicara, setelah ia berbicara kepada mereka ketika masih dalam buaian, sampai ia berusia anak-anak.  Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya berbicara dengan penuh hikmah dan bayan (penjelasan).  Sehingga orang-orang Yahudi banyak berbicara tentang dirinya dan juga ibunya (Maryam).  Mereka menyebut Isa sebagai anak pelacur.  Dan itulah makna Dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),
“Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan yang besar (zina).”  (QS. An-Nisaa’;  156)
Ibnu Lahi’ah menceritakan, dari Abdullah bin Hubairah, ia bercerita, Abdullah bin Umar pernah bercerita;  Ketika masih kecil, Isa Putera Maryam pernah bermain-main dengan anak-anak kecil lainnya.  Lalu ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah kamu mau aku beritahu apa yang disembunyikan ibumu (untukmu)?”  Anak tersebut menjawab, “Mau.”  Isa melanjutkan, “Ibumu menyimpan sesuatu, ini dan itu untukmu.”  Maka anak itupun berlari pulang menuju ibunya, dan berkata, “Berikan kepadaku apa yang engkau simpan untukku.”  Ibunya pun bertanya, “Memangnya apa yang aku simpan untukmu?”  “Sesuatu, ini dan itu,” jawab anak tersebut.  “Siapakah yang memberitahumu?” Tanya ibunya.  “Isa Putera Maryam,” jawab anaknya.
Orang-orang berkata, “Demi Allah, jika kalian membiarkan anak-anak itu bersama Putera Maryam, niscaya ia akan merusak mereka.  Kemudian mereka mengumpulkan anak-anak mereka di sebuah rumah, dan menutup pintu.  Lalu Isa keluar untuk mencari mereka, tetapi ia tidak menemukannya.  Kemudian ia (Isa) mendengar suara gaduh mereka di dalam sebuah rumah.  Selanjutnya ia (Isa) bertanya mengenai mereka, maka mereka menjawab, “Sesungguhnya mereka itu kera dan babi.”  Maka, Isa Putera Maryam berkata,  “Ya Allah, jadikan demikian.”  Maka, mereka pun (berubah) menjadi kera dan babi.  (HR. Ibnu Asakir)
Firman Allah Subahanhu wa Ta’ala (artinya),
Dan telah Kami jadikan Isa Putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata dari Kekuasaan Kami, dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar, yang banyak terdapat padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.”  (QS. Al-Mu’minun;  50)
Para ‘ulama tafsir masih berbeda pendapat mengenai “tanah tinggi yang datar”, yang oleh Allah disifati sebagai tempat yang banyak memiliki “padang rumput dan sumber air yang bersih dan mengalir”.  Dan ini merupakan sifat yang sangat aneh sekali, dimana ia merupakan tempat yang berada di dataran tinggi, dan dengan ketinggian itu terdapat sumber air yang bersih dan mengaliri seluruh bagian bumi.  Lalu dikatakan, bahwa yang dimaksud itu adalah tempat dimana Maryam melahirkan Isa ‘alaihissalam, yaitu Baitul Maqdis.  Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka JIbril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhan-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu...”  (QS. Maryam;  24)
Yang dimaksud dengan kata sirriya, adalah sungai kecil.  Demikian menurut jumhur ‘ulama Salaf.  Dan Ibnu Abbas dengan sanad jayyid, bahwa semuanya itu merupakan sungai-sungai Damaskus.  Mungkin saja ia bermaksud menyerupakan sungai-sungai itu dengan sungai-sungai di Damaskus.
Ishak bin Basyar menceritakan, Idris pernah bercerita kepada kami dari kakeknya, dari Wahab bin Munabbih, ia berkata, bahwa ketika Isa berumur 13 tahun,  Allah ‘Azza wa Jalla menyuruhnya pulang ke Baitu Iliya.  Diceritakan, lalu datang kepadanya Yusuf bin Khaal, yang kemudian membawa mereka berdua naik keledai menuju ke Iliya dan menetap di sana, hingga Allah menurunkan kepadanya kitab Injil, dan juga diajari kitab Taurat, diberi kemampuan menghidupkan orang yang sudah meninggal, menyembuhkan orang yang berpenyakit kusta dan orang buta, mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang mereka simpan di dalam rumah mereka masing-masing.  Orang-orang banyak membicarakan kedatangannya, dan merasa terheran-heran atas berbagai keajaiban yang terdapat pada dirinya.  Maka mereka benar-benar takjub padanya, sehingga ia (Isa) mengajak mereka ke jalan Allah Ta’ala.
Kisah Ihwal Kaum Yahudi, semoga laknat Allah selalu menimpa mereka, menyebutkan, bahwa ketika Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Isa Putera Maryam dengan membawa penjelasan dan petunjuk, maka Kaum Yahudi itu iri hati terhadap apa yang telah diberikan Allah kepada Beliau, seperti Kenabian, berbagai Mukjizat yang cemerlang, seperti kemampuan Isa Putera Maryam yang bisa menyembuhkan orang yang buta karena bawaan (dari lahir), orang yang berpenyakit kusta, menghidupkan orang yang telah meninggal dunia dengan idzin Allah, membuat sebentuk burung (dari tanah, QS. Al-Maidah; 110) dan meniupkan ruh ke padanya, hingga ia bisa terbang sebagai burung atas idzin Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Walaupun demikian kaum Yahudi tetap mendustakan Beliau, menyalahi, dan berupaya menyakiti Beliau dengan segala muslihat yang dapat mereka lakukan, hingga Nabi Isa ‘alaihissalam tidak diberi kesempatan menetap di suatu negeri, melainkan ia dan ibunya banyak berkelana ke berbagai daerah.  Hal itu, ternyata belum memuaskan kaum Yahudi juga.  Kemudian mereka berupaya melancarkan muslihat, dengan mengadukan Isa kepada Raja Damaskus.  Pada saat itu Sang Raja adalah orang musyrik, yang dikenal sebagai penyembah bintang.  Para pemeluk agama sang Raja disebut Yunan.  Kemudian kaum Yahudi menyampaikan berita kepada Raja itu, bahwa di Baitul Maqdis terdapat seorang laki-laki yang menghasut, dan menyesatkan manusia, serta merong-rong kekuasaan Raja melalui rakyatnya.  Maka, Raja pun murka, lalu ia menulis surat kepada wakilnya di Baitul Maqdis, supaya membunuh orang tersebut, menyalibnya, dan menancapkan duri di atas kepalanya.
(Baca juga artikel, Benarkah Nabi ISA ‘alaihissalam disalib?)
Demikianlah kondisi orang-orang yang berbahagia (Wali Allah), dalam pandangan Penguasa Pemerintah pada masa kapan pun.  Mereka berburuk sangka pada orang-orang yang mengadakan perbaikan, bahwa mereka menghasut rakyat untuk meruntuhkan sang penguasa, agar setiap orang menjadikan mereka (para Nabi, dan orang-orang yang mengadakan perbaikan) tersebut sebagai musuh.  Kemudian muncullah amarah sang Penguasa, dan dari balik “kekeruhan” tersebut,  penguasa dapat mencapai tujuannya, dengan melarang mereka berdakwah, membunuhnya, atau tidakan yang lain.
Setelah surat itu sampai, maka Gubernur Baitul Maqdis segera menjalankan perintah Raja.  Ia bersama sekelompok orang Yahudi pergi ke rumah dimana Isa berada.  Pada waktu itu, Nabi Isa ‘alaihissalam tengah berada bersama para Sahabatnya yang berjumlah 12 atau 13 orang.  Ada yang mengatakan, waktu itu hari Jum’at sore, menjelang tengah malam Sabtu.  Mereka mengepung Isa di sana.  Setelah Isa mengetahui kedatangan mereka, dan mereka tidak menyerang dirinya, sedangkan dirinya tidak dapat melepaskan diri dari mereka, maka Ia berkata kepada para Sahabatnya, “Siapakah di antara kalian yang bersedia diserupakan denganku, dengan imbalan ia menjadi temanku di Surga?”  Maka, salah seorang pemuda di antara mereka menawarkan diri.
Isa merasa iba kepada pemuda itu, sehingga ia mengajukan tawaran tersebut dua-hingga tiga kali.  Namun tidak ada seorang pun yang tampil, kecuali pemuda tersebut.  Maka Isa Putera Maryam akhirnya berkata, “Engkaulah yang akan diserupakan denganku.”
Maka, Allah ‘Azza wa Jalla menyerupakannya dengan Isa, seolah-olah ia adalah Isa yang sebenarnya.  Kemudian dibukalah ventilasi di atas rumah tersebut, dan Isa pun dilanda rasa kantuk, kemudian ia diangkat ke atas langit sebagaimana adanya.  Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkatmu kepada-Ku.”  (QS. Ali-Imran;  55)
Setelah Isa diangkat, maka para Sahabatnya keluar, Tatkala para pengepung melihat pemuda itu, mereka menduga bahwa ia adalah Isa, sehingga pemuda itu pun ditangkap, kemudian disalib, dan dipasangkan mahkota duri di atas kepalanya.
Kaum Yahudi kelihatan bernafsu sekali dalam upaya penyalibannya, dan mereka bersuka-ria karenanya.  Beberapa kelompok Nasrani dengan kedunguan dan kebodohan mereka memberi salam kepada kaum Yahudi, padahal sebelumnya mereka berada di dalam rumah tersebut bersama Isa, bahkan mereka menyaksikan langsung pengangkatan Isa ke atas langit.
Kaum yang lain juga menduga seperti dugaan orang-orang Yahudi, bahwa yang disalib adalah Isa Putera Maryam ‘alaihissalam.  Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, menerangkan , dan memperlihatkan persoalan tersebut di dalam Al-Qur’an, yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang Mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu Allah berfirman (maknanya), Mereka tidak yakin, bahwa yang dibunuh itu adalah Isa.  Justru Allah mengangkat Isa kepada-Nya.  Adalah Allah, Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Tujuan dari penegasan mengenai pengangkatan Isa Putera Maryam (kehidupannya yang berlanjut di atas langit), dan akan turun ke bumi sebelum Hari Kiamat tiba, adalah untuk mendustakan kaum Yahudi dan Nasrani, mengenai pendapat keduanya tentang Isa yang berbeda-beda, kontradiktif, dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.  Sehingga, keadaan kaum Yahudi yang berlebih-lebihan - diperburuk lagi oleh orang-orang Nasrani.  Lalu, orang-orang Yahudi mengurangi sikap berlebih-lebihanan (keAgungan yang melampaui batas) yang disematkan oleh orang-orang Nasrani terhadap Isa dan ibunya.  Lalu, orang-orang Nasrani membalas dengan memojokkan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berdua saling menyandarkan hal-hal dusta yang pada kenyataannya tidak ada pada diri Nabi-nya.
Mereka menaikkan derajat Nabi mereka kepada derajat ketuhanan. Mahsuci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua yang dilontarkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.  Tiada Tuhan melainkan Dia semata.

(Bersambung, In-syaa Allah)
oOo

(Disadur dari kitab “Kisah Para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)