PENJELASAN BAHWA ALLAH TA’ALA TIDAK BERANAK DAN TIDAK DIPERANAKKAN
بسم الله
الر حمان الر حسم
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan
mereka berkata, ‘Tuhan Yang Mahapemurah mengambil (mempunyai) anak,’
Sesungguhnya kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat munkar.’” (Maryam; 88-89)
“Hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh,
karena mereka mendakwa Allah Yang Mahapemurah mempunyai anak. Dan tidaklah layak bagi Tuhan Yang
Mahapemurah mengambil (mempunyai) anak.
Tidak ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi (melainkan) akan
datang kepada Tuhan Yang Mahapemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah
mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam; 90-95)
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta, Pengatur,
dan Penguasa segala sesuatu di Jagat
Raya ini. Dan seluruh penghuni Langit
dan Bumi adalah hamba dan makhluknya, yang senantiasa membutuhkan dan
bergantung pada-Nya. Dan kelak mereka
akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa saja yang mereka ucapkan dan perbuat,
bahkan apa saja yang terbetik di dalam hati mereka - meskipun sebesar dzarrah. Dan sesungguhnya, Dia Mahamengetahui segala sesuatu,
seperti firman-Nya (artinya),
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui
(yang kalian lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Mahahalus lagi
Mahamengetahui.” (Al-Mulk; 14)
Apakah manusia itu tidak memikirkan, bahwa penciptaan langit
dan bumi serta apa-apa yang terdapat di dalamnya, itu jauh lebih sulit daripada
penciptaan manusia? Sedangkan mereka (tujuh
lapis langit, Bumi dan gunung-gunung) itu tunduk-patuh, dan takut kepada Rabb-nya.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
Dia dapat melihat semua penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus lagi
Mahamengetahui.” (Al-An’am; 100-103)
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits mutawatir
yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari
berbagai jalan, yang ditegaskan dalam kitab-kitab Shahih, maupun Musnad
serta Sunan para ‘ulama Salaf, dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu’anha,
“Barangsiapa beranggapan bahwa Muhammad melihat
Tuhan-nya, berarti ia telah berdusta.”
Dan Jumhur para ‘ulama telah pula menjelaskan maksud dari
perkataan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melihat Rabb-nya sebanyak dua kali, yang dimaksudkan adalah melihat
dengan hati, bukan dengan mata-kepala Beliau. Hal ini sesuai dengan jawaban Beliau ketika
ditanya tentang hal tersebut,
“Cahaya, bagaimana mungkin aku bisa melihat-Nya,” dan
hadits lain (artinya),
“Ketahuilah, sesungguhnya seorang di antara kalian tidak
akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia mati.” (HR. Muslim)
Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Pencipta langit dan
bumi, maksudnya Yang menginovasikan dan menciptakan keduanya tanpa ada contoh
sebelumnya. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mujahid dan Al-Sadi, dan dari sana pula diambil istilah Bid’ah,
bagi sesuatu yang diada-adakan yang belum pernah ada sebelumnya (dalam Agama).
Bagaimana mungkin Dia mempunyai anak, sedangkan Dia tidak
mempunyai isteri. Karena anak itu akan
lahir dari dua pasangan yang setara, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai-Nya – apalagi menyamai-Nya (setara),
karena Dia adalah Pencipta segala sesuatu.
Segala sesuatu adalah rendah dan hina dihadapan-Nya, sehingga tidak ada
yang layak untuk menjadi isteri dan anak-Nya.
Firman-Nya (artinya),
“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada satu pun yang setara
dengan-Nya.” (Al-Ikhlash; 1-4)
Dengan demikian Allah ‘Azza wa Jalla telah
menetapkan, bahwa Dia itu Esa, yang tiada tandingan bagi-Nya, baik dalam Sifat,
Dzat, maupun Perkataan atau Perbuatan-Nya.
“Tempat bergantung,” yakni, Dia merupakan Dzat Yang
mempunyai kesempurnaan Ilmu, Hikmah, Rahmat serta keseluruhan
Sifat-Sifat-Nya, semuanya Maha Sempurna. “Tidak beranak,” artinya,
tidak pernah lahir dari-Nya seorang anak pun.
“Dan tidak diperanakkan,” yakni, tidak ada sesuatupun dzat
yang melahirkan-Nya. “Dan tidak
ada seorang pun yang setara dengan-Nya,” maksudnya, Dia adalah Dzat
Yang tidak mempunyai tandingan dan lawan yang sebanding. Sehingga dengan demikian, Dia tidak mungkin
mempunyai anak, karena tidak mungkin seorang anak itu lahir kecuali ada yang
melahirkannya, dan tidak ada yang melahirkan melainkan setelah terjadi
percampuran antara dua unsur yang seimbang, setara, dan sebanding. Dan Allah ‘Azza wa Jalla Mahatinggi,
lagi Mahasuci dari semua tuduhan tersebut.
Dalam surat yang lain Allah berfirman (artinya),
“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian melampaui batas
dalam Agama[1], dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar. Sesungguhnya
Al-Masih, Isa Putera Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan dengan
kalimat-Nya, yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan dengan tiupan ruh dari-Nya,
maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya, dan janganlah kalian mengatakan, ‘Tuhan
itu Tiga.’ Berhentilah dari ucapan
tersebut. Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian. Sesungguhnya
Allah Tuhan Yang Mahaesa, Mahasuci Allah
dari mempunyai anak. Segala yang ada di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai
Pemelihara.”
Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba Allah,
dan tidak pula enggan Malaikat-Malaikat yang terdekat kepada Allah[2]. Barangsiapa yang enggan menyembah-Nya dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.”
“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih,
maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian
karunia-Nya. Adapun orang-orang yang
enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan
yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka Pelindung dan
Penolong selain Allah.” (An-Nisaa’; 171-173)
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang Ahlul Kitab
berlaku secara berlebih-lebihan dan melampaui batas.
Dan hal ini banyak dilakukan oleh kaum Nasrani, karena mereka berlaku
melampaui batas dalam masalah Isa ‘Alaihissalam, hingga mereka
mengangkat Isa melebihi derajat yang semestinya, yang diberikan Allah. Mereka meninggikan Isa Putera Maryam ‘Alaihissalam
melebihi derajat kenabian, kepada derajat tuhan selain Allah. Mereka menyembahnya seperti menyembah Allah. Bahkan mereka berlaku berlebih-lebihan dalam
menghormati para pengikut Isa yang dianggap seAgama dengan mereka. Mereka mengatakan, bahwa para pengikut Isa
itu ma’shum (terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan), sehingga
semua perkataannya diikuti (ditelan mentah-mentah) , baik perkataan itu benar atau salah. Sehubungan dengan hal tersebut Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman-Nya (artinya),
“Mereka menjadikan para Pendetanya dan para Rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah.”
Sehubungan dengan hal itu juga, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Hai sekalian manusia, janganlah ucapan kalian dan jangan
pula (sampai) syaithan menjerumuskan kalian.
Aku adalah Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka kalian
meninggikanku melebihi kedudukanku yang telah ditetapkan Allah bagiku.”
Isa Putera Maryam itu tidak sombong dan tidak pula menolak “Untuk
menjadi hamba Allah, tidak pula para Malaikat Muqarrabin.” Disebutkannya para Malaikat Muqarrabin
(yang didekatkan kepada Allah) disini, karena mereka juga menjadikan para
Malaikat tersebut sebagai tuhan bersama Allah, seperti halnya mereka menjadikan
Al-Masih sebagai tuhan. Sebenarnya para
Malaikat tersebut bukan anak Allah, melainkan hamba yang dimuliakan-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman, “Barangsiapa
yang enggan menyembah Allah dan sombong, maka Dia akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya,” artinya, Dia akan mengumpulkan mereka
kepada-Nya pada Hari Kiamat kelak, lalu memberikan keputusan di antara mereka
dengan Hukum-Nya yang Adil, yang tidak menyimpang dan berat sebelah.
Firman-Nya selanjutnya (artinya), “Maka, berimanlah
kepada Allah dan para Rasul-Nya. Dan
janganlah kalian mengatakan ‘Tiga’.” Maksudnya,
benarkanlah bahwa Allah itu Satu (Maha Esa) dan tunggal, tidak memiliki teman perempuan
dan tidak memiliki anak, bahwa Isa merupakan hamba sekaligus Rasul-Nya. Dan janganlah kalian menjadikan Isa dan
Ibunya sebagai mitra dan sekutu selain Allah, Yang Mahatinggi dan Mahamulia
(dari semua itu).
Di kalangan kaum Nasrani sendiri masih terdapat perbedaan pandangan
terhadap Isa. Ada di antara mereka yang
meyakini Isa sebagai tuhan, ada juga yang meyakininya sebagai mitra Allah, dan
ada pula yang meyakininya sebagai anak Allah.
Mereka terdiri atas beberapa kelompok, pandangan mereka pun
berbeda-beda, dan pendapat mereka juga tidak padu. Pendek kata, Jika sepuluh orang Nasrani
sepakat, maka pendapat mereka akan berbeda dengan orang yang kesebelas.
Salah seorang ulama Nasrani yang terkenal Said bin Bathiq
Peter di Iskandariyah menuturkan, bahwa mereka pernah mengadakan Kongres
Besar pada zaman Raja Constantin. Dalam
kongres itu terjadi perselisihan yang tidak dapat dikendalikan. Jumlah mereka lebih Dari 2000 uskup. Mereka merupakan kelompok yang banyak; 50 orang mempertahankan satu pendapat, 20
orang mempertahankan pendapat yang lain, 100 orang mempertahankan suatu
pendapat, dan 70 orang mempertahankan pendapat yang lain lagi. Ketika Constantin melihat jumlah mereka
berkembang menjadi 318 kelompok, dan mereka bersepakat atas satu pendapat, maka
Raja menyetujui pendapat itu, mendukung dan mengukuhkannya serta menghapus
pendapat-pendapat lainnya. Kemudian Raja
mendirikan sejumlah Gereja untuk mereka, menyusun Kitab dan Undang-Undang bagi
mereka. Pengikut mereka disebut Paham
Mukaniyah. Kemudian mereka mengadakan
Kongres kedua dan terbentuklah Paham Nestoriah. Masing-masing dari ketiga paham tersebut
menegaskan ketiga pokok Al-Masih. Namun
mereka berselisih mengenai kaitan ketiga pokok itu, ihwal (asal-usul) ketuhanan,
dan alam manusia sesuai dengan pandangannya masing-masing; Apakah ketiga
pokok itu bersatu, atau tidak bersatu, atau bercampur baur, atau terpisah
menjadi tiga pandangan. Masing-masing
pandangan yang dianut oleh suatu kelompok, dan mengkafirkan kelompok yang lain.
Dan kami (Orang Islam) mengkafirkan ketiganya. Oleh karena itu Allah berfirman (artinya),
“Maka
berhentilah, yang demikian itu lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Satu,
Mahasuci Dia dari keberadaan-Nya memiliki anak, kepunyaan-Nyalah apa-apa yang
ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, dan cukuplah Allah sebagai wakil.” Dan,
“Dan
janganlah kalian mengatakan terhadap Allah melainkan kebenaran,” maksudnya, janganlah kalian membuat
kebohongan terhadap Allah, memberi Dia teman perempuan (isteri) dan anak. Mahatinggi dan Mahaagung Allah dari yang
demikian. Mahasuci, Mahaqudus, dan Mahatunggal
dalam Kemuliaan, Kebesaran dan Keagungan-Nya, tiada Tuhan melainkan Dia.
Isa ‘Alaihissalam
diciptakan melalui sebuah kata “Kun” yang disampaikan oleh Jibril
‘Alaihissalam kepada Maryam, kemudian Jibril meniupkan sebagian Ruh
ciptaan-Nya kepada Maryam dengan seidzin Allah, maka terjadinya Isa pun dengan
seidzin-Nya pula. Tiupan itulah yang
dihembuskan Jibril ke bawah lengan baju Maryam, kemudian Ruh itu turun dan
sampai ke Farji (kemaluannya) dan menetap di rahimnya. Kejadian seperti ini mirip dengan seorang
suami membuahi isterinya. Semua itu
diciptakan karena Allah ‘Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, Isa ‘Alaihissalam dikatakan sebagai kalimat
Allah dan Ruh dari-Nya, sebab ia tidak terlahir melalui pembuahan seorang
bapak. Dia bermula dari kalimat yang
diucapkan-Nya, yaitu kalimat “Kun”, maka Isa pun tercipta. Dan Ruh itu dibawa oleh Jibril kepada Maryam.
Penyandaran
Ruh kepada Allah dimaksudkan sebagai pemuliaan dan penghormatan, dimana ia
(Ruh) itu merupakan salah satu dari makhluk Allah Ta'ala juga, seperti penyandaran
unta dan rumah kepada Allah dalam firman-Nya, “Naaqatallahi” dan “Waththahhir
baitiya lithaa’ifiin.” (Unta Allah dan Rumah Allah).
Firman Allah
Ta’ala (artinya),
“Mereka
bertanya kepadamu tentang Ruh, katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kalian diberi pengetahuan (tentangnya) melainkan sedikit.’” (Al-Isra’; 85), dan
“Mereka,
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Allah mempunyai anak.’ Mahasuci Allah, Dialah Yang Mahakaya. Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Kalian tidak
mempunyai hujjah tentang hal ini.
Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?”
“Bagi
mereka kesenangan sementara di dunia, kemudian kepada Kami mereka akan
dikembalikan. Kemudian Kami rasakan kepada
mereka siksan yang berat akibat kekafiran mereka.” (Yunus; 68-70)
Karena
memang orang-orang Nasrani yang paling sering dan tersohor melontarkan hal itu,
maka mereka pun sering dan banyak disebut di dalam Al-Qur’an guna menolak dan
membantah pernyataan serta kebathilan yang mereka perbuat tersebut. Ungkapan kekufuran mereka itu beraneka ragam,
karena memang kebathilan itu mudah sekali mengembang dan menyebar, serta bercabang-cabang.
Sedangkan
kebenaran itu sama sekali tidak beragam dan tidak pula berubah-ubah.
Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Kalau
kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.[3]” (An-Nisaa’; 82)
Yang
demikian itu menunjukkan, bahwa kebenaran itu satu dan padu, sedangkan
kebathilan itu beragam, bercabang-cabang dan cenderung berubah-ubah. Sekelompok orang dari mereka ada yang
mengatakan, bahwa Isa Putera Maryam itu Allah.
Kelompok lainnya menyatakan, bahwa Ia adalah anak Allah. Sedangkan kelompok yang satu lagi menyatakan,
bahwa Ia termasuk dalam Trinitas.
Sedangkan dalam surat Al-Maidah, Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman (artinya),
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata,
‘Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Putera Maryam.’ Katakanlah, ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih Putera
Maryam itu beserta ibunya, serta seluruh manusia yang berada di bumi semuanya?’ Hanya kepunyaan Allah kerajaan langit dan
bumi serta apa yang ada di antara keduanya.
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
“Orang-orang Yahudi atau Nasrani mengatakan, ‘Kami ini
adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah, ‘Maka, kenapa Allah menyiksa kamu
karena dosa-dosamu?’ (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihnya). Tetapi kalian adalah manusia (biasa) di
antara orang-orang yang di ciptakan-Nya.
Dia memberikan ampunan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan hanya
kepunyaan Allah-lah Kerajaan Langit dan Bumi, serta apa yang ada di antara
keduanya. Dan hanya kepada Allah (segala
sesuatu) itu kembali.” (Al-Maidah; 17-18)
Dia mampu dan berkuasa melakukan segala yang
dikehendaki-Nya. Dan Dia tidak akan
dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang Dia kerjakan (perbuat) berdasarkan
Kekuasaan, Keadilan, dan Keagungan-Nya.
Yang
demikian itu merupakan bantahan terhadap orang-orang Nasrani, yang akan
senantiasa dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla sampai Hari Kiamat kelak.
Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa Putera Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?’ Isa menjawab, ‘Mahasuci Engkau,
tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, tentulah
Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada
diri-Mu. Sesungguhnya Engkau mengetahui
perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada
mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu,
sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan kalian. Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka
selama aku berada di antara mereka. Maka
setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah Yang Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Mahamenyaksikan segala
sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka,
maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni
mereka, maka sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.’” (Al-Maidah; 116-118)
Firman Allah Ta’ala dalam surat yang lain (artinya),
“Katakanlah, ‘Jika benar Tuhan Yang Mahapemurah mempunyai anak, maka
akulah (Muhammad) orang yang pertama kali memuliakan anak itu, Mahasuci
Tuhan Pemilik Langit dan Bumi, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy, dari apa yang mereka
sifatkan itu. Maka biarkanlah mereka
tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui Hari yang
dijanjikan kepada mereka.’” (Az-Zukhruf; 81-82) dan,
“Kami
biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka masuk ke
dalam siksaan yang keras.” (Lukman; 24)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
(artinya),
“Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada orang-orang
yang zhalim, hingga apabila (Dia) mengadzabnya, maka Dia tidak akan melepaskannya
lagi...”
(Bersambung, In-syaa Allah)
oOo
[1]
Maksudnya, janganlah kalian mengatakan Nabi Isa ‘Allaihissalam
itu Allah, sebagaimana yang dikatakan orang-orang Nasrani.
[2] Yaitu
Malaikat-Malaikat yang berada di sekitar ‘Arsy, seperti Jibril, Mikail,
Israfil, serta Malaikat-Malaikat lainnya yang setingkat dengan mereka.
[3] Maksudnya,
tidak satu pun terdapat di dalam Al-Qur’an itu makna-makna yang berlawanan,
serta tidak ada penyimpangan (dari kebenaran) di dalamnya.
(Disadur dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam
Ibnu Katsir rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar