Selasa, 24 Juli 2018

BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH Subhanahu wa Ta'ala



بسم الله الر حمان الر حيم

Meyakini Qadha’ dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rukun Iman yang ke-enam, setelah beriman kepada Allah, beriman kepada para Malaikat-Nya, beriman kepada Kitab-Kitab Suci-Nya, beriman kepada para Nabi dan Rasul-Nya, serta beriman kepada Hari Akhir (Kiamat).

Salah, dalam memahami salah satu dari Rukun Iman tersebut, menyebabkan menyimpang pula Manhaj (Metode, Jalan yang ditempuh) seseorang dalam memahami dan mengamalkan Syari’at Islam, seperti keyakinan orang-orang Qadariyah dan Jabariyah, serta 70 (tujuhpuluh) kelompok sempalan lainnya.

(Baca juga artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)

Secara Istilah Syari'at, Qadha' dapat diartikan sebagai Ketentuan / Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala sejak zaman azali terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya, sesuai dengan Iradah (Kehendak)-Nya, yang meliputi persoalan baik atau buruk, hidup - mati, bahagia - celaka, rezeki, sifat-sifat makhluk, Surga-Neraka, dan lain-lain sebagainya.  Sedangkan Qadar, adalah Perwujudan dari Ketetapan Qadha' tersebut.
Jadi, beriman kepada Qadha' dan Qadar berarti meyakini dengan sepenuh hati adanya Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berlaku bagi seluruh makhluk-Nya, tanpa terkecuali.
Kesempurnaan Qadha’ dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala ini meliputi beberapa perkara, diantaranya;

1.     1. Mahasempurna Allah dengan ILMU-NYA  terhadap segala sesuatu.  50.000 tahun sebelum penciptaan segala sesuatu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan Qalam (“Pena”) dan menuliskan takdir segala sesuatu secara bersamaan di Lauhul Mahfudz;  Mulai dari makhluk Allah yang paling besar (‘Arsy Allah ‘Azza wa Jalla) – hingga makhluk yang paling kecil - sebesar atom, atau yang lebih kecil lagi dari itu. Baik dalam keadaan basah atau kering.  Secara zhahir maupun bathin, yang berada di langit maupun di bumi.   Dia pasti mengetahuinya, dan telah dituliskan takdirnya.  Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya.
Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah Qalam (pena), lalu dikatakan kepadanya, ‘Tulislah.’  Ia menjawab, ‘Ya Tuhan-ku, apa yang harus aku tulis?’  Dia (Allah) menjawab, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga Hari Kiamat tiba.’
Jadi, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan (belum) terjadi.
Dengan demikian, betapa zhalim, bodoh, dan "beraninya" orang-orang yang menyatakan, bahwa segala sesuatu itu belum ditetapkan, dan tidak pula diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala! (Keyakinan orang-orang Qadariyah dan kelompok menyimpang lainnya)
Pokok ini benar-benar harus dipegang teguh.  Perlu diketahui, bahwa Akal, Pengetahuan, dan Ilmu Umat Manusia tidak akan pernah sanggup menjangkau dan meliputi Hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terdapat pada makhluk-Nya yang paling kecil sekali pun.

2.      2. Mahasempurna Allah dalam KEHIDUPAN-NYA (Mahadinamis).  Allah  Subhanahu wa Ta’ala Yang menciptakan segala sesuatu, sekaligus menciptakan sifat-sifat, dan apa saja yang mereka perbuat.  Mulai dari makhluk yang pertama kali diciptakan - hingga makhluk terakhir yang diciptakan-Nya.  Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya (artinya),
“Allah Yang menciptakan kamu, dan apa (saja) yang kamu perbuat.”  (Ash-Shaffat (37);  96)
Dengan demikian Allah telah menciptakan manusia serta makhluk-makhluk lainnya, sekaligus menciptakan semua perbuatan-perbuatan mereka.  Jadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Menciptakan perbuatan-perbuatan, dan manusia serta makhluk-makhluk lainnya yang memilih, dan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut (tanpa ada paksaan sedikit pun dari-Nya).
Hal ini membuktikan bahwa Dia benar-benar Hidup, dengan Kehidupan Yang Paling Sempurna.
Setiap Kehidupan Yang Paling Sempurna, maka sebagai konsekwensi logisnya adalah Perbuatan-Nya pasti akan lebih Kuat dan lebih Sempurna.
Imam Al-Bukhari pernah meriwayatkan dalam kitab "Penciptaan Perbuatan", dari Na'im bin Hamad, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah besabda (artinya),
"Kehidupan itu adalah perbuatan, dan setiap yang hidup itu pasti berbuat."
Antara orang yang hidup dengan orang yang mati, tidak dapat dibedakan kecuali dengan perbuatan dan perasaan.
Betapa sering Allah Subhanahu wa Ta'ala "Unjuk Kebolehan (Perbuatan)" dalam menyelamatkan para Wali-Nya pada saat-saat yang sangat genting.  Ketika, Rasul Ibrahim 'alaihissalam telah menggesekkan pedang Beliau yang sangat tajam keleher Isma'il, dalam rangka melaksanakan perintah-Nya, seketika itu juga gesekan pedang tersebut beralih ke leher Qibas (domba) yang besar lagi gemuk, dalam keadaan terikat.  Ketika, Rasul Musa 'alaihissalam telah terdesak ke pinggir laut untuk menghindari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya, dalam kondisi yang sangat kritis tersebut Musa diperintahkan untuk memukulkan tongkatnya ke laut, maka seketika itu juga laut tersebut terbelah, dan membentanglah "Jalan Tol" di dasar laut, sehingga Musa bersama orang-orang yang mengikutinya lolos dari kejaran Fir'aun.  Ketika, Rasul-Nya Ibrahim dilemparkan ke dalam api unggun yang sangat besar oleh Raja Namrud, seketika itu juga api tersebut berubah menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim, sehingga tidak melukai Beliau seujung rambut pun.  Ketika para pemuda Ashabul Kahfi lari ke dalam gua untuk menyelamatkan Agama mereka dari kejaran penguasa zhalim, maka Allah 'Azza wa Jalla melindungi ,dan menidurkan mereka di dalam gua tersebut selama 309 tahun, hingga telah berganti generasi ummat manusia pada saat mereka bangun.  Banyak lagi kejadian-kejadian lain yang dialami oleh para wali-Nya, yang menunjukkan seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta'ala "mempermain-mainkan waktu" - dalam unjuk KeMahakuasaan-Nya atas segala sesuatu. 

3.     3. Mahasempurna Allah dalam QUDRAH (KEKUASAAN) dan IRADAH (KEHENDAK)-NYA atas segala sesuatu di Jagat Raya ini.  Jadi, segala sesuatu yang ada, dan segala peristiwa yang terjadi di Jagat Raya ini adalah atas Kekuasaan dan Kehendak-Nya, dan dengan Kesendirian-Nya.
Tidaklah dapat disebut sebagai suatu perbuatan, bagi sesuatu tanpa adanya Qudrah (kemampuan berbuat) dan Iradah (kehendak) meskipun ia memunculkan pengaruh.  Misalnya, pengaruh api terhadap pembakaran, pengaruh matahari terhadap panas, hembusan angin yang menggoyang tanam-tanaman, bahkan hantaman ombak (Tsunami) yang pernah meluluh-lantakkan negara Jepang, dan lain-lain.  Semua itu merupakan pengaruh yang muncul dari pisik (dzat) dan bukan sebagai sebuah perbuatan, meskipun semuanya itu bertumpu pada kekuatan yang diberikan Allah Tabaraka wa Ta'ala padanya.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan makhluk hidup itu tidaklah akan pernah terjadi, kecuali dengan adanya Qudrah dan Kehendak Allah 'Azza wa Jalla.
Setiap Rasul dan Kitab-Kitab yang diturunkan kepada Mereka telah bulat menyatakan, bahwa Allah 'Azza wa Jalla itu Mahahidup, Mahadinamis, Memiliki Pilihan, dan Maha Berkehendak.
Tidak ada sesuatu pun yang bisa lepas dari Kekuasaan dan Kehendak-Nya, seperti makna firman-Nya,
"Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia (Yang) memelihara segala sesuatu."  (Az-Zumar;  62)
Kemampuan serta keinginan seluruh makhluk-Nya, berada di bawah kendali Kekuasaan dan Keinginan-Nya.  Jadi, kemampuan maupun keinginan seluruh makhluk-Nya itu tidak berdiri sendiri (Tidak Independen), meskipun sifat-sifat dan perbuatan makhluk itu "Hakiki", bukan "Majaz" (kiasan) seperti yang diyakini oleh orang-orang Jabariyah dan Sufiyah, serta kelompok-kelompok menyimpang lainnya.           
4.     
4. Mahasempurna Allah dalam memperhitungkan SEBAB – AKIBAT dari segala sesuatu, dengan hitungan yang Mahateliti.  Seperti firman-Nya (artinya),
“Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka, dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti.”  (Maryam (19);  94)
Allah Jalla wa 'Alaa telah mengaitkan antara sebab dan musabnya secara teliti.  Dia jadikan berbagai sebab sebagai tempat Hikmah-Nya, baik yang menyangkut urusan Syar'i-Diniy (Ketentuan Syari'at -Agama), maupun Kauniy-Qadariy (Ketentuan Alam).
Bahkan Jiwa, Sifat, dan Perbuatan manusia itu sendiri merupakan sebab yang muncul darinya (Syar'i-diniy dan Kauniy-Qadariy).  Dan segala sesuatu itu mempunyai sebab dan musabab (akibat).  Dan Syari'at Islam secara keseluruhan merupakan sebab-musabab (akan adanya, dan berdirinya Jagat Raya ini).  Dan takdir pun mempunyai sebab-musabab.  Al-Qur'an sendiri sarat dengan uraian tentang sebab-musabab ini, seperti makna firman Allah Ta'ala,
"Maka rasakanlah siksaan, karena apa yang telah kalian perbuat."  (Al-A'raf;  39), dan
"Yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu.  Dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya."  (Al-Hajj;  10), dan
"Makan, dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah berlalu."  (Al-Haaqah;  24), dan
"Sebagai pembalasan yang setimpal."  (An-Naba';  26), dan
"...Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang Kafir di antara mereka itu siksa yang pedih."  (An-Nisaa';  161), dan
"Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah..."  (An-Nisaa';  155), dan
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, maka Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu...  Dan engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sedikit dari mereka yang tidak berkhianat."  (Al-Maidah;  13), dan
"Karena masing-masing mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, maka Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras."  (Al-Haaqah; 10), dan
"Maka tetaplah mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan."  (Al-Mukminun;  48), dan lain-lain.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki Sebab dan Musababnya (akibat).
Jika kita kemukakan semua ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas tentang sebab-musabab (akibat) ini, maka akan mencapai puluhan ribu ayat.
Dan mengenai Dzulqarnain, Allah Subhanahu wa Ta'ala pernah berfirman (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya sebab (jalan untuk mencapai) segala sesuatu."  (Al-Kahfi;  84)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "sababan berarti 'ilman (ilmu)."
Qatadah, Ibnu Zaid, Ibnu Juraij, dan Ad-Dhahak mengatakan, "Diberi Ilmu, yang dengannya dapat mencapai apa yang dia inginkan."
Al-Mubaarad berkata, "Segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu dengan yang lainnya disebut sebagai sebab."     
5.    
 5. Mahasempurna Allah dalam segala KEBIJAKSANAAN-NYA terhadap segala sesuatu, dengan HIKMAH yang Mahatinggi.  
Kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut menjamin, bahwa tiada satupun (sekecil apa pun) Perbuatan-Nya yang sia-sia, tanpa makna, tanpa mengandung kemashlahatan dan hikmah.  Semua perbuatan Allah Ta'ala itu bersumber dari Hikmah yang sangat Besar dan Tinggi. Terdapat banyak ayat  di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan, bahwa Allah itu Maha ‘Alim (Maha Mengetahui) dan Maha Hakim (Maha Bijaksana).  Al-Imam Al-Hakim mengatakan, artinya Yang memiliki Hikmah yang Tinggi dalam Penciptaan dan Perintah-Perintah-Nya.  Yang memperbagus semua ciptaan-Nya.
Seperti firman-Nya (artinya),
"Itulah hikmah yang sempurna..."  (Al-Qamar;  5), dan
"Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.  Dan barangsiapa dianugerahi hikmah itu, maka ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.  Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)"  (Al-Baqarah;  269)
Hikmah berarti Ilmu yang bermanfaat dan Amal Shalih.  Disebut hikmah, karena Ilmu dan Amal yang bermanfaat tersebut dapat mengantarkan kepada tujuan penciptaan manusia (Keridhaan dan Surga-Nya).
Wallahu A’lam.

oOo
        (Disadur bebas dari kitab “QADHA DAN QADAR”, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar