Rabu, 01 Januari 2020

CARA MENGOBATI JIWA


بسم الله الر حمان الر حيم

Setelah kita mengenal 3 (tiga) tipe jiwa manusia (pada tulisan terdahulu, KAITAN ANTARA JIWA DENGAN QALBU), yakni Jiwa Muthma'innahu, Jiwa Ammarah bis-suu', serta Jiwa Lawwaamah.  Maka, para 'ulama memberikan solusi (dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah) bagaimana cara mengatasi (mengobati) jiwa-jiwa yang bermasalah, khususnya pada Jiwa Ammarah bis-suu', dan Jiwa Lawwaamah.
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah sebagai salah seorang 'ulama yang ahli (pakar) tentang penyakit-penyakit jiwa ini menjelaskan, bahwa ada 2 (dua) cara pengobatan yang dapat ditempuh;
I.  MUHASABAH.
II.  MUKHALAFAH.

I.  MUHASABAH 
Muhasabah, maknanya senantiasa mengintrospeksi diri sendiri.
Sedangkan Mukhalafah, adalah menentang kemauan Jiwa Ammarah bis-suu' dan yang semacamnya, tidak memperturutkan kemauannya.
"Kehancuran qalbu (hati) manusia penyebabnya karena tidak melakukan Muhasabah  (Introspeksi diri), dan Mukhalafah (Pengekangan jiwa)."  
(Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Betapa pentingnya peran Muhasabah dalam menjaga kesehatan jiwa, sehingga para 'ulama salaf sangat perhatian dan sangat menekankan hal ini, seperti perkataan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu,
"Bermuhasabahlah kalian pada diri-diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah amalan kalian sebelum kalian ditimbang.  Sesungguhnya hal itu lebih meringankan bagi kalian di Akhirat - dengan menghisab diri kalian pada hari ini..."  (Ighatsatul Lahafan).
Abu Musa radhiyallahu 'anhu berkata,
"Bermuhasabahlah pada dirimu ("mumpung") dalam keadaan lapang, sebelum hisab dalam keadaan susah (Akhirat)."  (Ghidza'ul Albab, 350/2).
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
"Engkau tidak akan menjumpai seorang mukmin - melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya, 'Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau lakukan?  Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau makan, apa yang hendak engkau minum (halal atau haram, pen. Mjlh.)?'  Sementara itu - seorang pendosa akan berlalu saja, tanpa mengintrospeksi dirinya.'"
Beliau juga mengatakan,
"Sesungguhnya seorang hamba (akan) tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat bagi jiwanya, dan Muhasabah senantiasa menjadi pikirannya."
Maimun bin Mihran rahimahullah berkata,
"Seseorang tidak dikatakan bertakwa - hingga ia menghisab dirinya melebihi seorang pengusaha mengoreksi mitra usahanya.  Oleh karena itu dikatakan, 'Jiwa itu bagaikan mitra kerja yang berkhianat.  Bila engkau tidak bersungguh-sungguh mengawasi (mengekang)nya, dia akan membawa lari hartamu.'"

Selanjutnya, Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa Muhasabah itu ada 2 (dua) macam;
1.  Muhasabah sebelum melakukan suatu amal perbuatan.
2.  Muhasabah setelah melakukan amal perbuatan.


1.  Muhasabah sebelum melakukan suatu amal perbuatan;
Hendaklah seseorang berhenti (berpikir) sejenak sebelum melaksanakan keinginannya - sampai terang baginya kebaikan mengamalkan perbuatan tersebut dibandingkan dengan meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan,
"Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak (berpikir) pada saat ingin berbuat sesuatu.  Apabila amalnya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia lanjutkan.  Apabila bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia mengurungkannya."
Sebagian 'ulama menerangkan maksud beliau, bahwa ketika jiwa itu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan (amal), dan bertekad untuk mewujudkannya, ia menahan diri dan berpikir;  Apakah amalan tersebut dalam batas kemampuannya atau tidak?  Apabila diluar batas kemampuannya ia tidak melanjutkannya.  Seandainya masih dalam batas kemampuannya pun ia tetap menahan diri dan berpikir kembali, apakah melakukannya memang lebih baik daripada meninggalkannya.  Atau, sebaliknya; meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya.  Bila menurut pertimbangannya kemungkinan yang akan terjadi adalah yang kedua, maka ia tidak melanjutkannya.
Bila kemungkinan yang akan terjadi adalah yang pertama, ia berhenti untuk ketiga kalinya - dan berpikir lagi; faktor apa yang mendorong perbuatan tersebut, apakah karena menginginkan Wajah  Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala dari-Nya atau menginginkan pujian manusia, kedudukan, dan berharap materi dari mereka?
Bila jawabannya adalah yang kedua, ia tidak melanjutkannya meskipun perbuatan itu akan menyampaikan pada keinginannya.  Hal itu sengaja diputuskan, agar jiwanya tidak terbiasa berbuat syirik dan merasa ringan melakukan perbuatan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’alaKarena, sejauh mana ia merasa ringan beramal untuk selain Allah - maka sejauh itu pula ia akan merasa berat beramal karena Allah.  Akhirnya keikhlasan menjadi suatu hal yang paling berat baginya.
(Baca juga artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Apabila jawabannya adalah yang pertama, yakni ikhlas karena Allah - ia berhenti lagi dan berpikir - apakah ada orang yang akan menolongnya bila ternyata amalan tersebut memerlukan bantuan, bila tidak ada penolongnya ia tidak melanjutkannya.  Bila ia menemukan orang yang menolongnya - ia melanjutkan sehingga ia mendapat pertolongan.
Keberhasilan tidak akan tercapai bila salah satu dari tahapan muhasabah ini terabaikan.  Sebaliknya, bila semua tahapan muhasabah itu dilalui keberhasilan pun tak akan lepas darinya.

2.  Muhasabah setelah melakukan amal perbuatan;
Muhasabah jenis ini memiliki 3 (tiga) bentuk;
a.  Melakukan Muhasabah terhadap Amalan yang Wajib.  Bila ia merasa ada kekurangan padanya - segera ia susul dengan mengqadha (melakukan amalan yang serupa di lain waktu), atau memperbaikinya.
b.  Mengevaluasi diri terhadap larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala  yang pernah dilanggar - segera ia susul dengan taubat dan istighfar - serta amal-amal shalih yang dapat menghapusnya.
c.  Muhasabah terhadap kelalaian dalam tujuan penciptaan dirinya.  Apabila ia merasa selama ini telah lalai beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, segera ia menyusulnya dengan banyak berdzikir dan menghadapkan diri secara penuh pada-Nya.
d.  Muhasabah terhadap apa-apa yang diucapkan oleh mulutnya, kemana saja kakinya pernah melangkah, apa saja yang diperbuat oleh kedua tangannya, atau didengar oleh telinga, dan dilihat oleh matanya.  Ia mengkritisi;  Apa tujuan dan niatnya, dan bagaimana dia melakukannya.
Hendaklah ia meyakini, bahwa dalam setiap gerak-gerik dan ucapannya ada dua Malaikat yang mengawasi dan mencatat.  Dan juga, selalu akan ada pertanyaan, "Untuk siapa engkau melakukannya.  Dan bagaimana (cara) engkau melakukannya?"  Pertanyaan pertama berkaitan dengan keikhlasan, sedangkan pertanyaan kedua tentang  Ittiba' (berpedoman) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya sendiri,
"Maka Demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka - tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu."  (Al-Hijr;  92-93), dan
"Sesungguhnya, Kami akan menanyai ummat-ummat yang telah diutus Rasul-Rasul terhadap mereka.  Dan sesungguhnya, Kami akan menanyai  (pula) Rasul-Rasul (Kami).  Maka, sesungguhnya akan Kami khabarkan kepada mereka  (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedangkan  (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)."  (Al-A'raf;  6-7), dan
"Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka, dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."  (Al-Ahzab;  8)
Bila orang-orang yang benar dan jujur saja ditanya dan dihisab atas kebenaran dan kejujurannya, lantas bagaimana halnya dengan para pendusta???
Qatadah rahimahullah mengatakan,
"Dua kalimat yang orang-orang terdahulu dan belakangan akan ditanya tentangnya;  'Siapa yang kalian ibadahi?'  Dan, 'Bagaimana kalian menyambut (seruan) para Rasul?'  Setiap orang akan ditanya tentang sesembahannya, dan bagaimana ibadahnya."

MEMETIK BUAH MUHASABAH
Muhasabah sebagai amalan yang baik -pengobat jiwa, tentu memiliki buah yang sangat besar manfaatnya.
Muhasabah yang benar akan menghasilkan manfaat (faidah) yang sangat terasa bagi jiwa yang baik.  Di antara buahnya, adalah sebagai berikut;
1.  Mengetahui Cacat (Kekurangan) Jiwa Sendiri.
Barangsiapa yang tidak mengetahui cacat dan kekurangan jiwanya, tidak mungkin ia dapat mengobati - apalagi menghilangkannya.
Bila jiwa yang baik itu mengetahui aib dirinya, dia akan marah terhadap dirinya sendiri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan,
"Seseorang tidak akan menjadi faqih (paham dengan sebenar-benarnya) hingga ia marah terhadap orang-orang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Lalu, ia kembali melihat dirinya, dan ternyata ia lebih marah lagi pada dirinya."
Bakr bin Abdillah Al-Muzani  rahimahullah mengatakan,
"Ketika aku memandangi jamaah haji di Arafah, aku mengira mereka telah diberi ampunan - kalau bukan karena keberadaanku di tengah-tengah mereka (beliau menganggap begitu besar dosa beliau terhadap Allah, pen.)"
Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah mengatakan,
"Setiap disebutkan (berita) tentang orang-orang shalih - aku merasa begitu jauh (tertinggal) dari mereka."
Muhammad bin Wasi' rahimahullah berkata,
"Seandainya dosa itu memiliki bau, tidak ada seorang pun yang mampu duduk di sampingku."
Marah terhadap diri sendiri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan karena teringat aib-aib dirinya adalah sifat dan kebiasaan orang-orang yang jujur dalam hal keimanan.  Dengannya seorang hamba akan bertambah dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala - berkali-kali lipat lebih dekat (jarak yang ditempuhnya) dibandingkan dengan orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan lain.

2.  Mengetahui Hak-Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala Terhadap Dirinya.
Adapun orang-orang yang tidak mengetahui hak-hak Allah atas dirinya - nyaris, amalannya tidak bermanfaat baginya.
Di antara hal-hal yang sangat bermanfaat bagi qalbu, adalah memperhatikan dengan seksama hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas diri hamba.  Hal itu akan mewariskan kemarahan terhadap jiwa sendiri dan merendahkannyaHal ini akan menyelamatkannya dari sifat bangga terhadap diri sendiri, dan merasa telah berbuat baik (merasa bersih dari dosa).  Selain itu, juga akan membuka pintu ketundukan dan kepatuhan, menyadari kerendahan diri, penyesalan dirinya di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.  Lalu, akan putus asa dari dirinya  (tidak "PD" / Percaya Diri dengan amalannya, pen.)
Sungguh!  Keselamatan tidak akan dia dapatkan, selain dengan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maghfirah, dan rahmat-Nya.
Sesungguhnya, di antara hak-hak Allah adalah; Dia ditaati dan tidak dimaksiati.  Dia diingat - dan tidak dilupakan.  Dia senantiasa disyukuri - tidak boleh sekali pun dikufuri.
Barangsiapa yang mampu melihat hak-hak Rabb terhadap dirinya, tentu dia lebih mengetahui dan meyakini - bahwa dia belum menunaikan hak-hak-Nya sebagaimana mestinya.
Ia juga akan menyadari, bahwa tidak ada peluang baginya selain memohon ampunan-Nya.
Ia juga menyadari, bila ia mempercayakan dirinya kepada amal perbuatannya - pasti dia akan hancur-binasa.
Inilah pusat (tumpuan) renungan orang-orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengenal pula jiwanya.  Dan, ini pula yang menyebabkan mereka putus asa dari diri mereka sendiri.  Lantas, menggantungkan seluruh harapannya terhadap ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta rahmat-Nya.
Bila Anda mengamati keadaan mayoritas manusia, Anda akan mendapati - bahwa mereka berlawanan dengan semua ini.  Mereka justru lebih memperhatikan (fokus) akan hak-hak mereka terhadap Allah 'Azza wa Jalla - namun buta dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap diri mereka selaku hamba.  Inilah yang menyebabkan mereka terputus dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Qalbu mereka keras dan tertutup untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencintai-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, serta merasakan nikmat mengingat-Nya.  Inilah puncak kebodohan dan kerugian manusia terhadap Rabb-nya, dan terhadap jiwa-jiwa mereka.
Jadi, tangga pertama Muhasabah terhadap jiwa adalah seseorang mampu melihat hak-hak Allah atas dirinya Kemudian akan timbul pertanyaan, apakah dirinya telah memenuhi hal itu sebagaimana mestinya?  Inilah sebaik-baik masalah yang harus dipikirkan manusia.
Dengan cara ini, qalbu (hati nurani) manusia akan berjalan dengan sendirinya menuju Rabb-nya, lalu menyungkurkan diri di hadapan-Nya dalam keadaan terhina, tunduk, menyesal dengan penyesalan yang menjadi obat bagi jiwa.  Dalam keadaan membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan kebutuhan yang sangat mendesak, dalam keadaan terhina dengan kehinaan yang justru memuliakannya di sisi Allah 'Azza wa Jalla.  Andai dia beramal dengan amalan apapun di masa lalu, lebih baik kebaikan itu terlewatkan ketimbang apa yang dia lakukan saat ini (Muhasabah).
(Diringkas / disadur dari, Ighatsatul Lahafan)
(Baca juga artikel, MENGGAPAI NIKMAT IMAN)

II.  MUKHALAFAH
Mukhalafah, yaitu menentang (mengekang) hawa nafsu atau keinginan buruknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran Rabb-nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya - maka sesungguhnya Surga-lah tempat tinggal (nya)."  (An-Nazi'at;  40-41)
Al-Qurthubi menafsirkan ayat di atas,
"Maksudnya, memperingatkan jiwa mereka dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.
Sahl rahimahullah mengatakan,
"Meninggalkan keburukan jiwa adalah kunci Surga, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman... (seperti yang telah ditulis di atas;  (An-Nazi'at;  40-41.)"
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu mengatakan,
"Kalian saat ini (zaman para Sahabat) berada pada zaman kebenaran menuntun hawa nafsu.  Akan datang nanti suatu masa ketika hawa nafsu-lah yang jadi penuntun kebenaran.  Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari zaman tersebut."  (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an)
Al-Alusi rahimahullah menafsirkan ayat yang sama,
"Yaitu memperingatkan jiwanya, dan menahannya dari keinginan-keinginan yang membinasakan, yaitu cenderung kepada syahwat, serta meluruskannya melalui kesabaran, membiasakannya untuk lebih mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia serta variasi-variasinya.  Tidak terkecoh (silau) dengan gemerlapnya dunia serta hiasan-hiasannya, karena telah mengetahui betapa buruk akibatnya."
Ibnu Abbas dan Muqatil mengatakan,
"Bahwa, maksud ayat tersebut adalah, seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat, kemudian teringat kedudukannya nanti saat dihisab di hadapan Rabb-nya, lalu rasa takut membuatnya meninggalkan maksiat tersebut."
Kata al-hawa (seperti dalam ayat) berakar dari kata al-mail  (kecondongan, kemauan, keinginan, dan hasrat).  Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan, atau keinginan terhadap syahwat.  Dengan demikian, semua bentuk keinginan terhadap syahwat disebut al-hawa (nafsu syahwat), (kata kerja hawa juga memiliki makna "terjun", sehingga nafsu syahwat juga dinamakan demikian), karena keadaan itu akan menghempaskannya pada semua kelemahan di dunia, serta ke dalam jurang yang sangat dalam nanti di Akhirat.
Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji (tinggi) di sisi Allah Jalla wa 'Alaa.  Sebagian ahli hikmah mengatakan, "Apabila engkau menginginkan kebenaran - maka lihatlah nafsumu, lalu selisihilah ia."
Al-Fudhail rahimahullah mengatakan,
"Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu..."
Nyaris (semua) keburukan digandeng oleh hawa nafsu, dan kebaikan berada dalam posisi menyelisihi (menentang)nya, merupakan dua hal yang mesti terjadi (memperturutkan, atau menentangnya).  Akan tetapi, orang yang tidak memperturutkan (menentangnya) hanya sedikit, selain para Nabi adalah beberapa Ash-Shiddiqin (orang yang sangat jujur dalam beriman).  Beruntunglah orang yang selamat darinya. "  (Ruhul Ma'ani)
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang-orang yang cerdas.  Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan,
"Orang yang cerdas akan menahan (mengekang) jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan, dan syahwat yang mewariskan penyesalan.  Cukuplah parameter ini menjadi pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu."  (Dzammul Hawa)
Nabi Yusuf 'alaihissalam, adalah salah satu teladan dalam penentangan terhadap hawa nafsu dan keinginan jiwa yang buruk.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
"Nabi Yusuf tergolong orang-orang yang takut terhadap kebesaran Rabb-nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya."
Waktu itu Yusuf adalah seorang yang muda dan bujang, tertawan di negeri musuh yang tidak seorang pun mengenalnya.  Sebagian besar manusia hanya terhalangi melakukan perbuatan buruk karena rasa malunya terhadap orang yang dia kenal berada di sekitarnya (bila tidak ada orang yang mengenalnya - rasa malunya pun hilang, pen.)
Jadi, bila dalam keadaan "terisolir" seseorang biasanya cenderung melakukan apa pun yang diinginkan hawa nafsunya.  Nabiyullah Yusuf 'alaihissalam waktu itu juga dalam keadaan "terisolir", hanya berduaan dengan sang Permaisuri Raja.  Menurut hukum Ammarah yang berlaku (umum), mestinya Beliaulah yang merayu Permaisuri Raja tersebut.  Bahkan, mestinya Beliaulah yang membuat tipu daya untuk mendapatkannya,  sebagaimana kebiasaan mayoritas orang-orang yang berhasrat terhadap wanita-wanita bangsawan bila tidak mampu "mengajaknya" secara langsung.  Apalagi bila ia "diajak" atau diminta - serta merta ia akan menyambutnya, meski yang mengajak itu seorang "PRT (Pembantu Rumah Tangga)".  Lantas, bagaimana keadaannya bila yang mengajaknya adalah seorang tuan (Permaisuri Raja) yang menguasainya, dan dia takut menyelisihi perintahnya?
Ditambah lagi, suami wanita itu yang seharusnya marah besar terhadap isterinya - ternyata tidak menghukumnya, bahkan Yusuf-lah yang diperintahkan untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (orang yang tidak punya rasa cemburu terhadap isterinya).  Bahkan, Permaisuri Raja itu meminta bantuan wanita-wanita lain, dan memenjarakannya (karena tidak berhasil).
Namun, Nabi Yusuf 'alaihissalam hanya berkata seperti makna firman-Nya,
"Yusuf berkata, 'Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka terhadapku.  Jika Engkau tidak hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka), dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."  (Yusuf;  33)
Ini semua, menunjukkan kepada kita, bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf 'alaihissalam termasuk ujian yang sangat besar dan berat.  Bahwa, ketakwaan dan kesabaran Beliau untuk menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan yang terbesar.  Sungguh, jiwa Yusuf 'alaihissalam termasuk jiwa yang paling suci.  Hasrat yang sempat ada pada Beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya, sehingga Allah menambah satu kebaikan lagi bagi Beliau yang merupakan kebaikan yang sangat besar - yang mensucikan jiwa.  (Majmu' Fatawa bagian tafsir dengan sedikit perubahan)
Dengan ujian tersebut jiwa Beliau semakin suci - sehingga kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pun semakin tinggi.  Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna tidak cukup hanya dengan melawan keinginan jelek, tetapi dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amal-amal shalih.  Itulah yang diistilahkan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah dengan Jihadun NafsBeliau menjelaskan, bahwa Jihadun Nafs ini memiliki 4 (empat) tingkatan;
1.  Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar (lurus), yang tiada keberuntungan dan kebahagiaan bagi jiwa dalam kehidupan dunia maupun akhirat kecuali dengannya.
2.  Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut setelah mengetahuinya.  Karena, bila ilmu semata tanpa amal - kalau tidak mencelakakan, tentu tidak membawa manfaat.
3.  Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui.  Bila tidak demikian, maka ia tergolong pada orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan Allah.  Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang yang menyempurnakan keempat tingkatan ini akan menjadi golongan Rabbani, karena para Salaf (pendahulu yang terbaik) telah bersepakat, seorang yang 'alim belum berhak disebut Rabbani hingga ia mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.  Dia akan disebut sebagai orang besar di Kerajaan Langit.  (Zadul Ma'ad, 3/9)
Jihadun Nafs ini bukanlah hal yang sepele (ringan), karena merupakan landasan / langkah yang mengawali semua amalan, merupakan amalan yang besar.  Bahkan jihad melawan orang-orang kafir merupakan cabang dari Jihadun Nafs.
Ibnu Qayyim rahimahullah juga menjelaskan, "Karena jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala di luar merupakan cabang dari Jihadun Nafs (usaha hamba menundukkan jiwanya).  Nabi shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan, "Mujahid adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk selalu ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."
Oleh karena itu, Jihadun Nafs lebih diutamakan daripada jihad melawan musuh di luar dirinya.  Jihadun Nafs adalah pangkal dari jihad melawan musuh.  Oleh karena itu orang yang akan memerangi musuh harus memerangi dirinya terlebih dahulu, dengan melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.  Bila tidak, maka dia tidak akan mampu memerangi musuh yang ada di luar dirinya... (Zadul Ma'ad, 3/5-6)
Ibnul Jauzi rahimahullah mengisyaratkan,
"Ketahuilah, Jihadun Nafs lebih besar daripada jihad melawan musuh, karena jiwa itu adalah sesuatu yang disukai dan ajakannya juga disukai.  Sebab jiwa itu tidak akan mengajak melainkan kepada sesuatu yang sesuai dengan nafsu (keinginan / syahwat).  Bila ajakan jiwa itu ditentang, dan keinginan / syahwatnya juga dikekang, maka perlawanan terhadapnya akan semakin berat dan sulit."

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, dalam menafsirkan makna firman-Nya,
"Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.  Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik."  (Al-Ankabut;  69)
Maksudnya adalah, jihad untuk menundukkan jiwa dan hawa nafsu."

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Taufiq-Nya kepada kita semua, agar berhasil meraih jiwa yang bersih dan suci (Jiwa Muthma'innahu).  Amiin.
الحمد لله رب العالمين 

oOo

(Disadur dari dua tulisan, "Mengobati Jiwa dengan Muhasabah", dan "Mengobati Jiwa dengan Menentang Keinginan Jeleknya", Al-Ustadz Qomar Suaidi hafizhahullah, Majalah Asy-Syariah, Vol. VII/No. 79/1433 H/2012 M)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar