بسم الله الرحمان الرحيم
"Keduanya mendapati Sayyid wanita itu di sisi pintu." (Yusuf; 25)
Sebagai seorang Tuan dan Qawwam (Pemimpin) - yang bertanggung jawab terhadap keluarga, sepatutnya dia dihormati dalam keluarga. Seorang isteri wajib mengetahui kadar dan hak suami - sehingga mampu menghormatinya dengan semestinya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Thabrani rahimahullah dalam Al- Mu'jam Al-Kabir (11/356) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam bersabda - menggambarkan besarnya kadar (kehormatan) dan hak suami terhadap isterinya.
Seperti yang disebutkan dalam makna hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam,
"Aku tidak akan menyuruh seseorang untuk sujud pada orang lain. Seandainya aku boleh menyuruh demikian, niscaya aku akan memerintahkan isteri sujud kepada suaminya." (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 3490)
Tatkala Mu'adz bin Jabal datang dari negeri Syam, sekonyong-konyong ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka Beliau bertanya sambil mengingkari,
"Apa yang engkau lakukan ini, wahai Mu'adz? Mu'adz menjawab, 'Aku mendatangi negeri Syam, aku dapati mereka sujud terhadap uskup dan panglima mereka. Aku berkeinginan dalam hati untuk melakukan hal tersebut terhadapmu. Rasulullah pun berkata, 'Jangan kalian lakukan hal itu. Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang isteri mampu memenuhi hak Rabb-nya - hingga ia menunaikan hak suaminya. Sampai-sampai seandainya sang suami "meminta" dirinya dalam keadaan dia berada di atas qatab (pelana unta) - ia tidak boleh menolaknya." (HR. Ibnu Majah, Ahmad 4/381, dinyatakan shahih dalam Shahihul Jami' no. 5295, Al-Irwa' no. 1998, dan Ash-Shahihah no. 3366)
Ibnul Atsir rahimahullah menyebutkan (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, hal. 716), "Qatab adalah pelana yang diletakkan di atas unta. Maknanya adalah, anjuran terhadap para isteri agar mentaati suami-suami mereka, dan tidak ada kelapangan bagi mereka untuk menolak "ajakan" suami meskipun dalam keadaan demikian, lalu apatah lagi dalam selain keadaan tersebut?"
Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu menyampaikan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
"Tidaklah pantas seorang manusia sujud kepada manusia lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada manusia lain, niscaya aku perintahkan seorang isteri untuk sujud kepada suaminya - karena besarnya hak suami terhadap isterinya. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suami hingga ke belahan rambutnya terdapat luka yang mengeluarkan nanah bercampur darah, kemudian si isteri menghadapi luka tersebut - lalu menjilatinya, niscaya (dia) belum sepenuhnya menunaikan hak suaminya." (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu'aim dalam Ad-Dalail no.137. Lihat catatan kaki Al-Musnad Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Kairo)
Sujud yang dimaksud di sini adalah sujud sebagai bentuk pengakuan dan pemuliaan. Andaikan dibolehkan sujud kepada makhluk, sangat pantaslah seorang isteri bersimpuh sujud di hadapan suaminya - karena mengakui keutamaannya, dan memuliakannya. Hanya saja, seseorang makhluk tidak diperbolehkan sujud kepada makhluk lainnya.
Maka dari itu, sebagai gantinya, hendaklah qalbu (hati nurani) seorang isteri dipenuhi dengan pujian dan kesyukuran. Suami adalah penguasa yang penuh pengorbanan, dan pemimpin yang terus berbuat untuk yang dipimpinnya (isteri dan anak-anaknya).
Termasuk dari perbuatan adil, adalah bila seorang pemimpin ditaati dalam batasan-batasan yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun membelot darinya (membangkang), mengobarkan pemberontakan tanpa kebolehan syar'i, dan tanpa dosa yang diperbuatnya - tindakan yang demikian adalah bentuk penentangan dan kekufuran.
Dalam Tafsir Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah tentang makna firman Allah,
"Akan tetapi, para suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada isterinya." (Al-Baqarah; 228), disebutkan ucapan Said Ibnu Musayyab rahimahullah - seorang tokoh tabi'in, "Tidaklah kami mengajak bicara suami kami - kecuali sebagaimana kalian berbicara dengan para pemimpin kalian." (Al-Usrah fil Islam, sebagaimana dinukil pada catatan kaki "Tuhfatul 'Arus, karya
Al-Istambuli, hal. 202)
Bertambah berlipat hak suami untuk dihormati, dimuliakan, ditaati, dan tidak diselisihi dalam hal yang ma'ruf (kebaikan), atau selama bukan dosa, manakala dia adalah seorang laki-laki yang shalih, baik, dan memiliki kekohan dalam Agama - menjaga ibadahnya kepada Allah 'Azza wa Jalla, serta memperhatikan Amalan keta'atan. Hendaklah seorang isteri berpikir 1000 (seribu) kali - bahkan lebih untuk menyakiti suaminya, apalagi suami yang bersifat demikian.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah (dalam Sunan-nya no. 1174), dan Al-Imam Ibnu Majah rahimahullah (dalam Sunan-nya no. 2014) meriwayatkan dari Mu'adz Ibnu Jabal rahimahullah, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
"Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia, melainkan isteri si suami dari kalangan Harun 'in* akan mengatakan, 'Janganlah engkau sakiti dirinya - qatakillah!** Dia hanya tamu di sisimu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.' (Dinyatakan shahih dalam Ash-Shahihah no. 173)
Termasuk sifat isteri yang shalihah adalah, tidak mengurang-ngurangi dalam pemenuhan hak suami, mencurahkan keseriusannya, dan kesungguhan dalam berkhidmat (memberikan pelayanan) kepadanya.
Hendaklah hadits berikut ini menjadi renungan bagi setiap isteri,
Al-Imam An-Nasa'i rahimahullah dalam As-Sunan Al-Kubra (no. 7913) membawakan hadits dari Hushain Ibnu Mihshan Radhiyallahu 'Anhu dari bibinya. Bibinya pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk suatu keperluan. Tatkala telah selesai urusannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya,
"Apakah Anda punya suami?". Yang ditanya menjawab, "Ya."
"Bagaimana (perlakuan) anda terhadapnya?" Tanya Rasulullah lagi.
"Aku tidak mengurang-ngurangi dalam hal menta'atinya, dan berkhidmat kepadanya - kecuali apa yang aku tidak mampu."
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Perhatikanlah dimana (keberadaan) dirimu darinya - karena dia adalah Surgamu dan Nerakamu." (Dinyatakan shahih dalam Ash-Shahihah no. 2612)
Kapankah suami menjadi Surga bagi seorang isteri, dan kapan pula menjadi Neraka baginya? Hal ini, harus benar-benar diperhatikan oleh seorang isteri karena permasalahannya sangatlah besar, "Bagaimana diri anda terhadapnya?"
Seorang isteri mempunyai Kewajiban-kewajiban sebagaimana hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala, di sana ada Surga atau Neraka yang menunggunya.
Sementara itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada seorang isteri, dan mewajibkan seorang isteri agar menunaikan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya.
Maka, hendaklah isteri yang menginginkan kebaikan dan kesuksesan di Akhirat - serta ingin menjaga diri dari panasnya api Neraka menunaikan perintah tersebut. Tunaikanlah dengan sempurna semampu yang dapat dilakukan dalam rangka ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengharapkan keridhaan-Nya.
Dan mohonkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala balasannya.
"Wallahu A'lam bishshawab"
oOo
(Disalin dengan editan dari tulisan, "Menghormati Suami dan Haknya", Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyah, Majalah Asy-Syariah, vol. VIII/No. 87/1433 H/2012 M)
* Al-Hur adalah bentuk jamak dari Al-Haur, yaitu wanita-wanita penduduk Surga yang lebar matanya, bagian putih dari matanya sangat putih - dan bola matanya sangat hitam (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283-284)
** Artinya, semoga Allah Azza wa Jalla membunuhmu, melaknat, atau memusuhimu. Namun maknanya untuk menyatakan keheranan, bukan agar hal tersebut terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar