Jumat, 03 Januari 2020

Sekali lagi tentang, CINTA


بسم الله الر حمان الر حيم

Hampir bisa dipastikan semua orang mengenal kata "Cinta" dan pernah merasakan serta mengutarakannya, baik secara "Lisan maqal" (dalam bentuk perkataan), ataupun "Lisan hal" (bukan dengan perkataan, tapi dengan perilaku, sikap, dan perbuatan).  Misalnya, pernyataan seorang suami terhadap isterinya, isteri terhadap suami, ayah dan ibu kepada anak-anaknya, anak kepada orang tua, cinta saudara dan kerabat, cinta terhadap teman seiman, seaqidah, semanhaj, cinta terhadap para 'ulama, cinta tanah air, negeri dan sebagainya.
Ada pula pernyataan cinta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, serta Islam.

Ada cinta yang bernilai ibadah, ada pula yang tidak bernilai ibadah.  Ada cinta yang diperbolehkan dan ada pula yang terlarang.
Cinta yang bernilai ibadah, adalah cinta yang disertai ketundukan, penghinaan diri, bertaqarrub (mendekatkan diri), dan mengagungkan Dzat Yang dicintai tersebut - dinamakan dengan Mahabbah - merupakan hakikat cinta yang sebenarnya, yang tidak boleh diberikan kepada apapun dan siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seluruh pengabdian yang dilakukan hamba terhadap Rabb-nya - harus dilandasi dengan cinta, disamping rasa takut (khauf), dan harap (raja').  Dia-lah satu-satu-Nya Dzat Yang sangat dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang
beriman melebihi segala-sesuatu.
Selain ditakuti murka-Nya, adzab dan siksa-Nya - bersamaan dengan itu, diharapkan pula ampunan, pahala, dan rahmat-Nya.  Karena itulah, hamba yang benar-benar takut pada-Nya akan terus mendekatkan diri - dengan melakukan berbagai keta'atan secara ikhlas, sesuai dengan petunjuk dan bimbingan Rasulullah shallallahu 'slaihi wa sallam.

Di antara manusia, ada yang kosong hatinya dari rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hatinya dipenuhi dengan cinta kepada selain Allah, cinta pada dunia, nafsu, dan syahwat.  Kalaupun ada terselip sedikit rasa cinta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala - itu pun telah ternoda dengan kebutuhan dan kepentingan yang lain (kesyirikan).

Di dalam kitab, Al-Jawabul Kafi, atau Ad-Da'u wad Dawa' (hal. 292-293), Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah membagi cinta menjadi 4 (empat) macam, ditambah macam yang kelima.  Para Pembaca yang mulia harus jeli membedakan antara satu jenis cinta dengan cinta yang lainnya,  agar tidak salah dalam "melabuhkan" cinta;

PertamaMahabbatullah  (Cinta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala)
Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, Mahabbatullah ini adalah pokok agama Islam yang berporos di atasnya kutub raja' (harap) kepada-Nya.
Bila cinta ini sempurna - sempurna pula Tauhid  seorang hamba, begitu pula sebaliknya.  (Fathul Majid, hal. 290)
Namun, seperti yang telah diketahui,  cinta semata tanpa rasa takut dan harap tidak dapat menyelamatkan seseorang dari adzab Allah.  Bahkan, ketiganya (rasa CINTA, TAKUT, dan HARAP) harus berjalan secara seimbang.  Para 'ulama mengatakan, bahwa bila rasa cinta mengalahkan rasa takut dan harapnya - maka ia akan tersesat kepada kelompok Sufiyah (kelompok yang meyakini penyatuan antara Allah dengan makhluk).
Bila rasa takutnya mengalahkan rasa cinta dan harap - maka ia akan terjatuh kepada kelompok Khawarij (kelompok yang menghalalkan darah kaum muslimin).
Bila rasa harapnya mengalahkan rasa cinta dan takut - maka ia tersesat pada kelompok Murji'ah (kelompok yang meyakini bahwa dosa tidak berpengaruh terhadap iman).
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)

KeduaMencintai Apa yang Dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala
Cinta inilah yang memasukkan seseorang ke dalam Islam - mengeluarkannya dari kekafiran.  Orang yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang paling menegakkan cinta ini, dan paling bersemangat melakukan amalan yang mendatangkan cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala Dengan cinta yang kedua inilah ditegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketiga;  Cinta untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Karena-Nya
Hal ini merupakan kelaziman dari mencintai apa yang dicintai Allah.  Tidak akan tegak cinta terhadap apa-apa yang dicintai Allah - selain cinta untuk-Nya dan karena-Nya,  "Lillah" (karena Allah) dan "Fillah" (Untuk Allah).  Jadi, tidak ada cinta kepada siapa pun, dan apa pun selain karena Allah dan untuk Allah, bukan karena dorongan duniawi, syahwat, atau untuk mendapatkan dunia.

KeempatMencintai Sesuatu dengan Kadar yang Sama dengan Cintanya terhadap Allah
Ini merupakan Mahabbah Syirkiyyah (Syirik dalam Kecintaan).  Artinya, orang ini mencintai sesuatu - sama ("setara") dengan cintanya kepada Allah.  Bukan karena Allah dan bukan pula untuk Allah.  Berarti, ia telah menjadikan tandingan-tandingan lain bagi Allah.  Inilah cinta kaum musyrikin.

KelimaMahabbah Thayyibah, yaitu kecenderungan seseorang terhadap sesuatu yang mencocoki tabiat dan selera. 
Contohnya, orang yang sedang haus dan lapar menyukai minuman dan makanan, cinta terhadap isteri dan anak, orang tua, pekerjaan (profesi), harta, dan yang semisalnya.
Cinta seperti ini tidaklah tercela, kecuali bila menyebabkan lalai dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menyibukkan diri dengan selain-Nya, atau keyakinan dan amalannya menyimpang dari syari'at yang dibawa Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam.
Sebagaimana makna firman-Nya,
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.  Barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang rugi."  (Al-Munafiqun;  9), dan
"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, serta dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang."  (An-Nur;  37)

CINTA YANG PALING AGUNG
Jenis cinta yang paling tinggi, paling puncak, dan paling sempurna dinamakan Khullah.  Tiada tempat yang menyisa di dalam hatinya kecuali untuk yang dicintai,  dan sama sekali tidak ada yang menyamai posisi yang dicintainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai semua hamba-hamba yang beriman.  Tetapi khusus untuk 2 (dua) orang hamba yang Dia pilih sendiri - dijadikan-Nya sebagai Khalilullah,  yaitu Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan dalam sabda Beliau,
ان الله اتخذني خليل كما اتخذ إبراهيم خليلا
"Inna Allaha at-takhadzaniy khaliylan kamaa at-takhadza Ibrahiyma khaliylan"
"Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai Khalil - sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil."  (HR. Muslim), dan dalam hadits lain,
"Seandainya aku boleh mengambil Khalil dari penduduk bumi, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai Khalil.  Akan tetapi, teman kalian ini (Beliau) adalah Khalil bagi Allah."  (HR.  Al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua dalil di atas, dapat kita ketahui kesalahan orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Habibullah,  karena Mahabbah sifatnya umum.  Semua orang yang beriman adalah Habibullah (kecintaan Allah).   Sedangkan Khullah, adalah cinta yang khusus, tidak berlaku umum, merupakan tingkatan cinta tertinggi.  Dengan demikian, sebutan yang paling benar (tepat) bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Khalilullah.

Tatkala hati Nabi Ibrahim 'alaihissalam terisi dengan rasa cinta yang mendalam terhadap anak Beliau, Isma'il.  Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kekasih-Nya ini dengan perintah yang disampaikan-Nya lewat mimpi, agar menyembelih Isma'il - karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hati kekasih-Nya dipenuhi dengan cinta pada selain-Nya.   Hakikat yang dituju sebenarnya, adalah "penyembelihan" Isma'il dari hati Nabiyullah Ibrahim, agar hati Beliau murni bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Tatkala Nabi Ibrahim 'alaihissalam bersegera dan bersungguh-sungguh merealisasikan perintah tersebut, nyatalah bahwa Beliau lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada puteranya, maka tercapailah maksud dari perintah (ujian) tersebut - ditebuslah Isma'il oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seekor domba.  Sehingga, Khalilullah Ibrahim 'alaihissalam berhasil membuktikan cinta Beliau yang paling tinggi hanya untuk Rabb-nya semata.  (Makna yang terkandung dalam, Al-Jawabul Kafi, hal. 294)

MENGAKU CINTA
Banyak manusia yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi benarkah (terbuktikah) pengakuan mereka, dan apakah Allah Ta'ala menerima pengakuan tersebut?
Para 'ulama salaf menggunakan ayat mihnah (ujian khusus terhadap keyakinan seseorang, pen.) ini sebagai dalil yang tak terbantahkan, guna membuktikan shahih (benar) - tidaknya pengakuan itu,
قل إن كنتم تحبون الله  فتبعو نى يحببكم الله ويغفر لكم ذنو بكم
"Qul in kuntum tuhibbuuna Allaha fattabi'uuniy yuhbib'kumu Allahu wa yaghfirlakum dzunuwbakum"
"Katakanlah, 'Jika kalian benar-benar mencintai Allah - ikutilah aku (Muhammad) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian."  (Ali-Imran;  31)
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa bukti konkrit kebenaran pengakuan tersebut adalah Ittiba' (mengikuti / mencontoh) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Keyakinan maupun Amalan.  Siapa yang paling bersemangat dan paling berilmu dalam mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menghidupkan Sunnah-sunnah Beliau, dan  menolong Risalah Beliau, berarti dialah yang paling berhak mengklaim cintanya terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebaliknya, siapa yang paling banyak menyelisihi Risalah Beliau, senang dengan berbagai macam bid'ah, bahkan menyebarkannya - meskipun ia "mati-matian" mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya - tetap saja pengakuan itu kurang bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dan, dapat kita pastikan bahwa dialah pendusta yang sesungguhnya!
Siapa yang benar-benar mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena cinta kepada Dzat Yang Mengutusnya - akan menghasilkan buah berupa kecintaan dari Yang Mengutus (Allah Subhanahu wa Ta’ala), jadilah cinta yang berbalas ("tidak bertepuk sebelah tangan"), lebih dari itu ampunan Allah pun berhasil diraih.

KAUM YANG CINTANYA BERBALAS
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang mencintai dan dicintai-Nya (artinya),
"Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya,  maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka, dan mereka pun mencintai-Nya,  yang bersikap Lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.  Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya."  (Al-Maidah;  54)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan 4 (empat) tanda (ciri) kaum tersebut;
1.  Mereka memiliki kasih sayang dan kelembutan terhadap orang-orang yang beriman.
2.  Bersikap keras terhadap orang-orang kafir.
3.  Berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Jiwa, Tangan, Lisan, dan harta mereka.
4.  Dalam memegang ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.

SEBAB-SEBAB MENDAPATKAN CINTA ALLAH 
Ada sepuluh sebab di antara sekian banyak sebab yang dapat menumbuhkan cinta hamba terhadap Rabb-nya dan cinta Allah terhadap hamba;
1.  Banyak membaca Al-Qur’an dengan mentadabburi, dan berusaha memahaminya.
2.  Mendekat (Taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan amalan-amalan Nafilah (sunnah) setelah menunaikan yang wajib.
3.  Terus-menerus mengingat-Nya dalam semua keadaan, baik dengan hati, lisan, maupun amalan.
4.  Lebih mengutamakan  apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang dicintai jiwanya.
5.  Hatinya berusaha menelaah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
6.  Mempersaksikan kebaikan-kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya secara lahir maupun bathin.
7.  Menjadikan hatinya benar-benar luluh, dan meratap di hadapan-Nya, menyesali segala dosa dan kesalahannya.
8.  Memanfaatkan waktu turun-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala  (sepertiga malam terakhir) untuk bermunajat kepada-Nya,  membaca Al-Qur’an, serta ditutup dengan istighfar dan taubat.
9.  Duduk bermajelis dengan orang-orang shalih yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengambil buah dari ucapan mereka yang baik-baik.  Selain itu, banyak diam (berpikir dan berdzikir) - dan  tidak berbicara kecuali yang dapat dipastikan kemashlahatannya.
10.  Menjauhi segala sebab yang dapat menjauhkan hati dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Berbagai kemaksiatan, baik yang kecil, apalagi yang besar.  Kehidupan hati seseorang dapat diukur dari kemampuannya menghindari maksiat.
(Fathul Majid,  hal. 292-293)

"Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba yang benar-benar mencintai-Mu, dan yang Engkau cintai..."

Renungan;
"Yang terpenting itu bukan bagaimana engkau mencintai Allah, akan tetapi bagaimana caranya agar engkau dicintai oleh Allah."
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)


oOo

(Disadur dari tulisan, "Tentang Cinta", Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Majalah Asy-Syariah, vol. VII / no. 79 /1433 H/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar