Sabtu, 18 Januari 2020

KEUTAMAAN ORANG-ORANG MISKIN


بسم الله الر حمان الر حيم

Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau berkata di dalam do'anya,
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama kumpulan orang-orang miskin."
At- Tirmidzi meriwayatkan dari haditsnya Anas radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang semisal dengannya, Anas radhiyallahu 'anhu menambahkan ; "A'isyah radhiyallahu 'anha berkata, 'Kenapa wahai Rasulullah?'. Beliau menjawab, "Karena mereka lebih dahulu 40 tahun masuk ke dalam Surga sebelum orang-orang kaya.  Wahai A'isyah, janganlah engkau menolak (tidak memberi) seorang miskin - meski dengan setengah butir kurma!  Wahai A'isyah, cintailah orang-orang miskin - dan mendekatlah pada mereka - maka, Allah akan mendekatkanmu pada Hari Kiamat."
Abu Dzar radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku agar aku mencintai orang-orang miskin dan mendekat pada mereka."  (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya)
Di dalam haditsnya Mu'adz radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam - Beliau bersabda tentang kisah mimpinya;  "Aku meminta kepada-Mu agar bisa melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, serta mencintai orang-orang miskin.". Kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hadits tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan orang-orang miskin (padahal hakikatnya mulia) dalam hadits ini dan yang semisalnya, adalah orang yang hati maupun dzhahirnya yang merasa sangat membutuhkan, tunduk-patuh, dan khusyu' kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Al-Imam Ibnu Atsir berkata, "Maksud miskin (dalam hadits ini), adalah tawadhu' dan tidak tergolong pada orang-orang yang menyombongkan diri."  (An-Nihayah 2/385)
Keadaan yang demikian itu kebanyakan terjadi pada orang-orang yang mengalami kefakiran harta dunia, karena harta duniawi biasanya menyebabkan pemiliknya berlaku sombong.
Hadits Anas radhiyallahu 'anhu juga mendukung makna tersebut, akan tetapi sanad hadits tersebut dha'if.
An- Nasa'i juga meriwayatkan dari haditsnya Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda;
Adapun di dalam kitab Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari - Muslim) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan jiwa."
Oleh karena itu, Imam Ahmad, Imam Ibnu Uyainah, Imam Ibnu Wahhab, dan kelompok lainnya mengatakan, "Sesungguhnya kefakiran yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta perlindungan darinya adalah kefakiran jiwa.  Barangsiapa yang hatinya tunduk-patuh, dan khusyu' terhadap Allah 'Azza wa Jalla - ia adalah orang yang tawadhu' meskipun kaya harta, karena ketundukan hati tidak terpisah dari ketundukan badan (jawarih).  Adapun orang yang dzahirnya tampak khusyu' dan tunduk, tetapi hatinya tidak khusyu' dan tunduk-patuh - maka ia adalah orang yang takabbur (sombong)."
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh An- Nasa'i dan yang lainnya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati sebuah jalan, dan di sana ada seorang perempuan yang hitam.  Kemudian seseorang berkata padanya, "Buka jalan!"  Perempuan itu berkata, "Jika dia mau, ambil arah ke kanan atau ke kiri."  Maka Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tinggalkan dia, karena dia adalah orang yang sombong."  Para Sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, perempuan yang dimaksudkan itu adalah orang yang miskin."  Beliau bersabda, "Kemiskinan itu ada di dalam hatinya."
Al-Hasan rahimahullah berkata, "Sesungguhnya suatu kaum menjadikan sikap tawadhu' itu hanya pada pakaian (penampilan) mereka saja, sedangkan kesombongan "bercokol" di hati mereka - sekalipun mereka mengenakan pakaian yang kasar dari kain goni (karung).  Demi Allah 'Azza wa Jalla!, salah seorang dari mereka itu lebih sombong dengan pakaian kasar itu daripada pemakai kain sutera polos atau yang bergaris."
Telah shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau mengingkari penilaian bahwa pemakai pakaian tang indah atau sandal yang indah itu merupakan kesombongan.  Beliau bersabda, "Kesombongan itu hanya ada di dalam hati."
Yaitu, tidak mau tunduk-patuh pada kebenaran - karena sikap penentangan terhadapnya, dan juga merendahkan manusia dengan menghinakan serta menodai kehormatan mereka.  Maka, barangsiapa yang di dalam jiwanya terdapat perasaan sombong - dimana ia merendahkan manusia - merasa dirinya besar, lebih tinggi dan tidak mau tunduk-patuh (menerima) kebenaran, dengan sikap menentang - maka ia termasuk orang yang sombong meskipun pakaiannya compang-camping (tidak bagus).
Adapun orang yang tidak mengenakan pakaian yang bagus karena sikap tawadhu'nya terhadap Allah, dan khawatir akan menimbulkan rasa sombong di hatinya walau sedikit - maka tindakan tersebut adalah tepat (dibenarkan), karena Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu juga melakukan hal yang demikian.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pakaian yang Beliau pakai,
"Sesungguhnya pakaian ini, baru saja membuatku lalai (terganggu) dari shalatku," ini menjadi dalil yang menunjukkan apa yang kami (pengarang) katakan.

oOo

(Disalin dengan sedikit perubahan dari kitab, KHUSYU' DAN ZUHUD Sifat Mulia Hamba Ar-Rahman, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Baghdadi Al-Hambali)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar