Kamis, 29 Juni 2017

"ISBAL? NO!"



بسم الله الر حمان الر حيم


Pakaian yang menjulur melebihi kedua mata kaki disebut isbal, dan pelakunya disebut musbil. 
Larangan isbal ini berlaku bagi kaum muslimin (laki-laki), dan tidak berlaku bagi kaum muslimat (wanita), justru wanita diperintahkan untuk menutupi seluruh mata kakinya.
Jadi, isbal bagi laki-laki adalah suatu kesombongan.

Dalil-dalil;
*"Naikkanlah kainmu hingga setengah betis, jika tidak maka sampai kedua mata kaki.
Janganlah kamu menjulurkan kainmu sampai di bawah mata kaki (isbal), karena ini termasuk sifat sombong.  Dan, Allah tidak menyukai sifat sombong."  (HR. Abu Daud, dari Jabir bin Sulaim radhiyallahu 'anhu)
*“Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya (sampai menutupi mata kaki) karena sombong, maka Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat. (Hadits Muttafaqun ‘Alahi, dari Ibnu Umar, Ibnu Majah dan lain-lain).
v  *“Ada tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada Hari Kiamat, tidak dilihat, tidak dipuji dan akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu); Orang yang memanjangkan kainnya (isbal), Tukang ungkit (apa yang telah diberikan) yaitu orang yang setiap kali memberi sesuatu mengungkit-ungkitnya dan Orang yang menjajakan barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim).

Ancaman Neraka bagi Orang-orang yang Musbil;
Ø  *“Kain yang menutupi sampai bawah mata kaki, maka (mata kaki itu) di Neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Ø  *Dari Amr bin Syarid, yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dari kejauhan seseorang (Sahabat) yang menjulurkan kainnya (hingga menutupi mata kaki), kemudian Beliau bersegera sambil berlari-lari kecil menuju kepadanya, sembari bersabda; ‘Angkat (tinggikan)lah kainmu , dan takutlah kepada Allah.’ “ (HR. Ahmad dan yang lainnya)
Ø  *“Wahai Sufyan bin Sahl, jangan musbil, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang musbil.(HR. Ibnu Majah)
Adapun orang-orang yang berpendapat, atau mengaku telah "mentarjih" hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkesimpulan bahwa isbal tidaklah mengapa asalkan tidak sombong merupakan pendapat yang dilandaskan pada hawa nafsu, dan akal-akalan mereka semata, tidak berdasarkan hujjah yang kuat, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, karena hakikat isbal itu sendiri telah menunjukkan kesombongan.

Maka, dari banyak dalil hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan penjelasan-penjelasan para ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, dapat kita disimpulkan, bahwa keharaman isbal berlaku secara mutlak, karena ia merupakan salah satu dari dosa-dosa besar.
Wallahul muwaffiq (hanya Allah-lah Pemberi Taufiq).

                                                                oOo

"JENGGOT? YES!"


بسم الله الر حمان الر حيم

Rambut yang tumbuh pada bagian kedua pipi dan dagu dinamakan jenggot.
Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan kewajiban memelihara jenggot.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan para utusan Penguasa Persia yang berkumis tebal dan berdagu licin, dengan bangganya Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tetapi Rabb-ku memerintahkanku untuk memelihara jenggot dan merapikan kumis.” (HR. Thabrani)
Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya;
“Cukurlah kumis dan biarkanlah  (peliharalah) jenggot.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)
“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berkata, ‘Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam’; ‘Bahwasanya Beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot.’” (HR. Muslim).
Telah menjadi Sunnatullah, bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan antara lain ditandai dengan adanya jenggot.  Dalil ini juga digunakan oleh para ‘ulama untuk menguatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari), karena menyelisihi fitrahnya masing-masing.
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam perkara ini, adalah menetapkannya dalam bentuk ucapan dan perbuatan Beliau (mencontohkan kepada umat Islam), berupa perintah untuk memanjangkan jenggot serta menebalkannya.
Maksud dari perkataan, membiarkan jenggot tumbuh adalah membiarkannya, dan tidak memotong, hingga menjadi panjang dan tebal.
Tidak ada satu riwayatpun (yang shahih) menunjukkan, bahwa Beliau pernah memotong sebagian dari jenggotnya.
Adapun, apa yang diperbuat oleh orang-orang pada masa sekarang, yakni  mencukur, memotong dan menipiskannya, atau menguncir adalah perbuatan yang diharamkan (dilarang), termasuk dosa besar, karena menyelisihi (bertentangan) dengan perintah dan perbuatan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hukum perintah, pada dasar (asal)nya menunjukkan sebuah kewajiban, kecuali bila ada dalil lain yang memalingkannya (Qarinah).
Adapun merapikannya dengan cara menyisir, membersihkan dengan shampo sehingga menjadi wangi, atau mewarnai dengan warna selain hitam (seperti warna kuning, merah dll.) adalah perkara yang dianjurkan.
Hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda  (artinya),
"Warnailah rambut putih (uban), namun jangan dengan warna hitam."  Dan,
"Sungguh, Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut mereka.  Maka warnailah rambut (kalian) untuk menyelisihi mereka."
Hadits di atas disebutkan dalam Shahihain, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Jumhur (mayoritas) 'ulama menegaskan, bahwa dasar perintah yang terdapat pada hadits-hadits tentang jenggot menunjukkan perintah yang wajib, bukan sunnah karena ia menggunakan lafadz shigah al-amr (nada perintah yang tegas, jelas, dan diulang-ulang  (Tafsir Al-Manshur Adib Shahih, jilid 2, hal. 241).

Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'dy rahimahullah,

"لقد أكرم الله الرجال باللحى وجعلها لهم جمالا ووقارا فيا ويح من حلقها وأهانها وعصى نبيه جهارا."

"Sungguh Allah telah memuliakan kaum lelaki dengan jenggot dan menjadikannya sebagai tanda kebagusan dan kewibawaan.
Maka sungguh celaka orang yang mencukur jenggotnya, menghinakannya dan bermaksiat kepada Nabinya secara terang-terangan."

📓 Al-Fawakih Asy-Syahiyah 1/90


Empat (4) Mazdhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad) telah bersepakat tentang hukum wajibnya memelihara jenggot, dan haram mencukurnya.
Adapun pendapat (seorang Profesor yang mengaku Ahli Tafsir) mengatakan, bahwa perintah memelihara jenggot itu hanya berlaku di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallamuntuk membedakan antara orang-orang kafir dengan orang beriman.  Sementara pada masa sekarang orang-orang kafirpun telah banyak yang memelihara jenggot, sehingga perintah tersebut tidak diperlukan lagi;  adalah pendapat yang dilandaskan pada hawa nafsu belaka, tidak memiliki sandaran dalil yang kuat.

Billahittaufiq. Allah-lah Pemberi Taufiq.

oOo

Rabu, 28 Juni 2017

QALBU (HATI)



بسم الله الر حمان الر حيم

Sesungguhnya Qalbu (hati nurani) manusia terdapat di dalam dada, tepatnya di jantung,  bukan “organ hati” yang ada di dalam rongga perut.  Di dalam jantunglah terdapat sentral kehidupan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memandang fisik, pangkat (jabatan), atau kekayaan seseorang.  Tapi lebih menilai hati manusia dan amal perbuatannya. 
Permasalahan hati adalah permasalahan yang ghaib, mutlak dibawah kendali Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Allah membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya. 
Seandainya seluruh kekayaan yang terdapat di bumi dibelanjakan untuk menyatukan dua hati manusia, pastilah tidak akan cukup, meskipun ditambah tujuh kali lipatnya.
Lalu, bagaimana pendapat anda, bila anda ingin menyatukan hati satu keluarga, satu kampung bahkan satu Negara?

Orang yang tidak mampu menggunakan hatinya untuk mengenal, memikirkan, mendengar dan menyuarakan kebenaran "di cap" oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an sebagai manusia yang tuli, bisu dan buta.  Meskipun secara fisik alat pendengarannya masih bisa mendengarkan suara, matanya masih bisa melihat benda-benda di sekitarnya, dan mulutnya pun masih mampu berbicara.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya." 
(QS. Qaaf; 37)
Ibnu Athiyah berkata, "Hati disini adalah kata lain dari akal, sebab hati adalah tempat akal.  Jadi makna ayat di atas adalah bagi orang-orang yang mempunyai hati, yang sadar, yang bermanfaat baginya."  
Qatadah berkata, Az-Zajjaj berkata, "Makna firman Allah Ta'ala, 'Bagi orang-orang yang memiliki hati.'  Adalah orang yang mengarahkan hatinya untuk belajar (Agama).  Tidak kah engkau melihat Allah Ta'ala berfirman (artinya), 'Mereka tuli, bisu dan buta.'"  (Karena mereka tidak menggunakan hatinya untuk mendengar, melihat, mencari dan memahami kebenaran, akibatnya mereka diposisikan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai orang yang tidak mampu mendengar, melihat dan berbicara - alias tuli, buta dan bisu, pen.)
(Baca artikel, ALLAH ADALAH CAHAYA LANGIT DAN BUMI)

Renungan;
  • "... karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang terdapat di dalam dada" (QS. Al-Hajj; 46) 
  • “Sesungguhnya hati bani Adam seluruhnya berada diantara dua Jemari Ar-Rahman, laksana satu hati Dia (Allah) membolak-balikkan hati tersebut sekehendak-Nya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu)
  • “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah.  Jika segumpal darah tersebut baik, maka akan baik pula seluruh tubuhnya.  Adapun jika segumpal darah tersebut buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya, ketahuilah segumpal darah itu adalah jantung (hati nurani)  (HR. Al-Bukhari-Muslim)

oOo

Senin, 26 Juni 2017

RAHASIA HIDAYAH


بسم الله الر حمان الر حيم

Tujuhbelas kali paling sedikit dalam sehari-semalam seorang muslim memohon hidayah kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaاهدنا الصراط المستقيم 
"Ihdinashshiraathal mustaqiym"
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus)
(QS. Al-Fatihah; 5).  
Namun, diantara mereka ada yang langsung diberi (Ijabah) Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ada pula yang tidak, atau belum (?) diberi. 
Apa rahasianya?
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengungkap rahasianya dalam buku “Lezatnya Shalat”. 

Ada 5 (lima) kandungan yang terdapat dalam kalimat; اهدنا الصراط المستقيم 
“Ihdinash-shiraathal Mustaqiym” (Tunjukilah kami ke jalan yang lurus);
1.    1. Mengetahui kebenaran (Baca juga artikel, EMPAT TAHAPAN (TINGKATAN) HIDAYAH, dan MANUSIA & HIDAYAH)
2.    2. Menginginkan dan menuju padanya.    3. Mengamalkannya.
4  4. Berpegang teguh padanya.
5  5. Menyeru manusia kepadanya, dan bersabar menghadapi gangguan orang-orang yang diseru.
Menyempurnakan lima kandungan ini akan menyempurnakan perolehan hidayah, dan pengurangannya juga menyebabkan berkurang pula perolehan hidayah pada diri seseorang.

Renungan;
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” 
(QS. Ar-Ra’ad; 11).

“Sesungguhnya akar semua keta’atan bersumber dari pikiran, dan akar semua kemaksiatan juga bersumber dari pikiran.” 
('ulama)

                                                                 
oOo

Selasa, 20 Juni 2017

JANGAN JADI PEMBEO




بسم الله الر حمان الر حيم

Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu pernah berkata, “Janganlah salah seorang dari kalian menjadi pembeo (ikut-ikutan, pen.), yang berkata, ‘Aku bersama manusia’.  Namun, hendaklah salah seorang dari kalian memantapkan dirinya menjadi orang yang beriman, meskipun seluruh manusia kafir.

Penjelasan;
Ø  Orang-orang yang beriman (pemilik iman yang mutlak / wajib) itu adalah manusia yang merdeka, berani, berhati-hati, jujur dan berpendirian.  Mereka mengaitkan al-wala’ (loyalitas) dan al-bara’ (berlepas diri) mereka terhadap manusia semata-mata berdasarkan petunjuk dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Tidak peduli apakah ada manusia yang menyetujui atau semuanya akan kufur (mengingkari), karena mereka memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda pula dengan manusia lain di dunia ini.

Ø  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mengetahui akan ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’; 36).

Ø  Hendaklah seseorang meneliti terlebih dahulu dengan seksama kelompok, atau individu yang akan diikuti (sebelum terlanjur), atau bertanya kepada para ‘ulama (orang yang lebih mengetahui / berilmu), sebelum "melangkah".

Ø  Hendaklah seseorang jeli mengamati “arah perjalanan” manusia yang diikutinya, apakah masih berada di jalur yang benar (berdasarkan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah) atau telah menyimpang dari keduanya.

Ø  Utamakan menyelamatan diri sendiri daripada solidaritas kelompok, terutama bila sudah menyangkut masalah aqidah, iman, tauhid dan manhaj yang benar / lurus (hanya ada satu).  Jangan tertipu dengan kebanyakan manusia, karena mayoritas umat manusia dikecam oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam banyak ayat Alqur'an;  (Al-An'am; 116-117), (Yusuf; 103), (Saba'; 13), (Shad; 24), (Yunus; 92) dan lain-lain.
(Baca juga artikel, "MAYORITAS? 'Ntar dulu...")


Renungan;
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuhpuluhdua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuhpuluhtiga) golongan, yang tujuhpuluhdua golongan akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “Al-Jama’ah.  (HR. Abu Daud).

Berkata para ‘ulama , Al-Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran meskipun sendirian.

Kendati pada Hari Kiamat kelak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membanggakan banyaknya umat Beliau dibandingkan umat para Nabi yang lain, akan tetapi di dalam Agama Islam menyelamatkan diri sendiri lebih utama daripada menyelamatkan orang lain dari Neraka Allah 'Azza wa Jalla.   

 oOo 

Senin, 19 Juni 2017

EMPAT SYARAT SYAHADAT “MUHAMMAD RASULULLAH”


بسم الله الر حمان الر حيم

Syarat (wajib) merupakan faktor yang menentukan seberapa besar nilai pahala yang diperoleh seseorang dalam melakukan suatu amalan disamping keikhlasan.  Semakin lengkap syarat yang mampu dipenuhi, akan semakin besar nilai pahala yang didapatkan. Demikian pula sebaliknya, semakin berkurang syarat yang mampu dipenuhi, akan semakin berkurang pula nilai pahalanya, bahkan nihil dan mendapatkan dosa.
Empat Syarat Syahadat "Muhammad Rasulullah" (Kesepakatan 'Ulama Ahlussunah) adalah;  

1.       Menta’ati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang Beliau perintahkan.
2.       Meyakini kebenaran berita-berita yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
3.       Meninggalkan setiap perkara yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
 (Baca artikelTUDINGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA TERHADAP AHLUL BID'AH)
4.       Mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan (amalkan).  
(Baca artikel, TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1)-(5))

Berkata Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah,
"Iman kepada Allah itu memiliki Dua Rukun (Syarat sah); 
Pertama; mengenal apa yang dibawa Rasul dan mengetahuinya. 
Kedua; membenarkannya dengan ucapan dan tindakan (amalan).
Jika seseorang tidak mengetahui apa yang dibawa Rasul, tidak mungkin ia dapat berjalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Jika ia tidak mengenal Tuhannya bagaimana mungkin ia mampu mengerjakan amal ibadah karena Allah semata (Ikhlas)."  "Sehingga, mengenal apa yang dibawa Rasul merupakan petunjuk jalan menuju Ikhlas"  

Berkata 'Ulama yang lainnya,
"Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam itu ibarat perahu Nabi Nuh, barangsiapa yang naik ke atasnya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang enggan maka dia akan binasa."
(Baca juga artikel, MENJADIKAN RASUL SEBAGAI PEMBUAT KEPUTUSAN MERUPAKAN SYARAT WAJIB IMAN, dan KAITAN ANTARA SURGA DENGAN IMAN)

Renungan;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya);
Apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya tinggalkanlah.  Bertaqwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah memiliki adzab yang pedih.”  
(QS. Al-Hasyr; 7)

"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah - ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'  Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  
(QS. Ali-Imran; 31)

"Katakanlah, 'Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang Kafir.'" 
(QS. Ali-Imran; 32)

oOo

Jumat, 16 Juni 2017

JAUHILAH DUA TIPE MANUSIA

Gambar terkait

بسم الله الر حمان الر حيم

Tidak sedikit ‘Ulama Rabbani mewanti-wanti orang-orang yang beriman, agar menjauhi (berhati-hati) terhadap dua golongan manusia;
1.       1. Orang Berilmu yang Banyak Dosa, dan
2.       2. Ahli Ibadah yang Bodoh,
karena fitnah keduanya (“penyakitnya”) berdampak luas dan amat berbahaya bagi kekokohan iman orang-orang yang beriman.  Baik melalui syubhat (kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran), khurafat (tahayul), bid'ah (penyimpangan dalam aqidah dan, atau amal), maupun pendapat-pendapat pribadi yang mereka sandarkan kepada Syari'at Islam (tidak berlandaskan dalil yang kuat / shahih dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah).
Telah menjadi tabi’at umum manusia gampang terpengaruh (terprovokasi) dan mudah meniru  perkataan / perbuatan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka, kecuali orang-orang yang diberi perlindungan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Ilmu dan Iman.
Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana cara mendeteksi (mengenali) kedua tipe manusia tersebut agar terhindar dari keburukan-keburukan mereka?  Apalagi, secara fisik (penampilan) mereka biasanya sangat meyakinkan, terutama yang telah memiliki reputasi dan nama besar ditengah-tengah kaum muslimin.

Ad. 1. Orang Berilmu yang Banyak Dosa;
Berkata Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib  radhiyallahu 'anhu,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak jujur (amanah) terhadap ilmu, yaitu orang-orang yang dianugerahi kecerdasan dan daya hafal yang tinggi, namun tidak dianugerahi keshalihan.  Ia menjadikan ilmu yang notabene alat Agama sebagai alat dunia, menjadikan komoditi Akhirat sebagai komoditi dunia.
Sungguh, orang yang menjadikan komoditi Akhirat sebagai komoditi dunia telah berkhianat kepada Allah, hamba-hamba-Nya dan Agama-Nya.
Jika Allah Ta’ala memberikan nikmat kepadanya, dengan nikmat tersebut ia mengalahkan manusia dan jika ia mempelajari ilmu, dengannya ia mengalahkan kitab Allah Ta’ala Yang dimaksud dengan mengalahkan kitab Allah Ta’ala dengan ilmu ialah, bahwa ia menjadikan ilmunya berkuasa terhadap kitab Allah Ta’ala, dan lebih mendahulukan ilmunya daripada kitab Allah Ta’ala.
Inilah realitas dari kebanyakan orang-orang yang memiliki ilmu.  Ia merasa cukup dengan ilmunya, mendahulukan ilmunya, dan menjadikannya berkuasa, serta menjadikan kitab Allah Ta’ala sebagai pengikut (anak buah) ilmunya.
Selesai kutipan.
(Buah Ilmu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).
Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka biasanya lebih membela kepentingan kelompok (organisasi), pribadi, politik / partai dan pamrih dunia lainnya daripada menegakkan kebenaran (al-haq).
(Keterangan lebih lengkap baca di; 129 BUAH ILMU (Bagian II)

Ad. 2. Ahli Ibadah yang Bodoh;
Adalah orang-orang yang rajin beribadah, namun mereka menegakkan ibadahnya di atas dasar kebodohan, bukan berdasarkan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  (Baca artikel, IBADAH BUKANLAH KEBIASAAN).

Renungan;
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata, 'Aduh, seandainya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.  Kecelakaan besarlah bagiku; seandainya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan teman akrab (ku).  Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur'an setelah Al-Qur'an itu datang padaku.' Dan adalah syaithan itu tidak menolong manusia." 
(QS. Al-Furqan; 27-29).

"Agama seseorang itu mengikuti Agama teman dekat (sahabatnya).  Maka hendaklah seseorang dari kalian memperhatikan dengan siapa dia bersahabat."  (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Salah seorang penyair berkata,
"Engkau jangan terkecoh oleh jenggot dan penampilan luar
Sembilan keluarga yang anda lihat sebagai sapi di pohon sarwu
Mereka seperti pohon yang memiliki dahan tapi tidak memiliki buah."
Tidak ada manfaat yang bisa diambil dari mereka.


                                                                  oOo

Minggu, 11 Juni 2017

DAHSYATNYA UCAPAN "BISMILLAH"




بسم الله
Bismillah.
"Dengan Nama Allah".
·        Semua Asma Allah berasal dari Asma Al-Ilaah yang menghimpun seluruh Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla.  Suatu kalimat biasanya dianggap sempurna bila ada Subjek (pelaku) dan kata kerja.  Akan tetapi dalam hal ini berbeda;
·        Fi’il (perbuatan / kata kerja) dan Fa’il (Subjek, pelaku perbuatan) pada kalimat Bismillah tersembunyi (diakhirkan, tidak dipentingkan), disesuaikan dengan aktivitas (kondisi) yang hendak dilakukan.  Misalnya, bila anda membacanya sebelum makan, maka asumsinya adalah, "Bismillah (aku makan)," tanpa perlu menyebutkan aktivitas (fi'il) / perbuatan yang hendak dilakukan, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti telah mengetahuinya meskipun seseorang tidak meyebutkan (melafazkan) pekerjaan yang hendak dia lakukan.  Demikian seterusnya untuk aktivitas-aktivitas yang lain.
Keadaan ini, diterangkan oleh para 'ulama memiliki 2 (dua) tujuan (fungsi);
     1. Fungsi Pembatasan;
Karena mendahulukan objek (inti perkara / Allah) yang berfungsi sebagai pembatas, maka ucapan, "Bismillah," berarti memiliki makna, "Tidaklah aku makan - kecuali dengan Bismillah (menyebut Nama Allah)."  Dengan ini pula kita mengetahui bathilnya pendapat orang yang mengatakan bahwa niat melakukan suatu amal (seperti Shalat dan lain-lain) harus dilafazkan dengan kata-kata, karena disamping hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat.  Juga seakan-akan pelakunya mengganggap Allah 'Azza wa Jalla belum mengetahui perbuatan yang hendak dilakukan seorang hamba bila tidak dilafazkan.  Padahal yang menjadi penilaian utama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah apa yang terdapat di dalam hati, bukan apa yang dilafazkan lisan (Baca artikel, TEMPAT NIAT DI HATI BUKAN DI LISAN).  Dan, seandainya seorang hamba itu berdusta, melakukan suatu perbuatan yang yang tidak dia niatkanpun Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti mengetahuinya.

2. Fungsi Memohon Pertolongan dan Keberkahan;
Dengan memprioritaskan lafaz Allah daripada menyebut perbuatan dan pelaku perbuatan, bertujuan untuk memohon pertolongan dan berkah (bertabarruk) dengan seluruh Nama-Nama yang Allah Subhanahu wa Ta'ala miliki.
·   Sebab Asma Allah (Nama-Nama Allah) jumlahnya tidak terhingga, tidak bisa dibatasi dengan bilangan, adanya sepenuh langit dan bumi, sepenuh Arsy-Nya serta sepenuh apa-apa yang dikehendaki-Nya.  Adapun 99 Nama Allah yang sering dihafal manusia hanyalah Nama-nama yang tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedangkan yang tidak diberitahukan Allah Subhanahu wa Ta'ala jumlahnya jauh lebih banyak (unlimited).   (Baca artikel, NILAI SEBUAH KEBENARAN, dan KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
·   Masing-masing Asma Allah berada pada puncak kesempurnaan-Nya, tanpa kelemahan atau cacat sedikitpun, walau sebesar dzarrah.
·   Jadi, bila seorang muslim mengucapkan “Bismillah” sebelum melakukan suatu aktivitas (amalan) yang baik, berarti dia telah meniatkan amalannya hanya karena Allah semata, sekaligus memohon pertolongan dan berkah kepada seluruh Nama-Nama-Nya tanpa terkecuali.  
     Dan jangan lupa, bahwa seluruh alam ini, termasuk seluruh anggota tubuhnya sendiri akan menjadi saksi perbuatan yang dilakukan seorang hamba.  Laa haula walaa quwwata illa billah.
Betapa dahsyatnya ucapan “Bismillah”.


                               oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Abu Hafsin hafizhahullah)

Selasa, 06 Juni 2017

TUDINGAN ALLAH Subhanahu wa Ta'ala TERHADAP AHLUL BID'AH

Hasil gambar untuk GAMBAR PETIR


بسم الله الر حمان الر حيم

Para ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah menafsirkan banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukan kepada para perusak Agama-Nya (Ahlul Bid’ah) Berikut, kami kutipkan beberapa ayat diantaranya, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Mudah-mudahan dapat menyadarkan mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Amiin;

"Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan'.
“Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak sadar”. 
(QS.  Al-Baqarah (2) ; 11-12).
Benang Merahnya:
·         Para Ahlul Bid’ah adalah orang-orang yang "lupa diri".  Menyangka diri mereka tengah berbuat kebaikan (memperbaiki), padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala “menuding” mereka sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.

2.       "Katakanlah (kepada mereka), ’Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang Agamamu (keyakinanmu)', padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Hujurat (49) ; 16).
Benang Merahnya:
·        Para Ahlul Bid’ah seakan-akan telah mensejajarkan diri mereka dengan Pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala), sehingga  Allah mempertanyakan kepada mereka, apakah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui tentang Syari’at Islam ataukah mereka?

3.       “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi Syari’at-Nya takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih”. (QS. An-Nuur (24) ; 63)
Benang Merahnya:
·         Para Ahlul Bid’ah dengan keberanian tanpa perhitungan melanggar syari’at Allah Ta’ala dan menghadang adzab yang sangat pedih.  Padahal rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah salah satu Rukun Ibadah.  Dimana Ibadah tidak sah (tidak diterima) bila rukun tidak terpenuhi, disamping rasa harap dan cinta (Makna perkataan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah).
·        Karena menyalahi (menyelisihi) Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wa sallam sama artinya dengan menyalahi syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4.       “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaubat kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqan (pembeda) dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu serta mengampuni dosa-dosamu.  Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-Anfal (8); 29).
Benang Merahnya:
·        Meskipun para Ahlul Bid’ah sering beristigfar, tapi selagi mereka tidak menyadari kesalahannya dalam menyelisihi Sunnah (petunjuk) Nabi, mereka belumlah dianggap sebagai orang-orang yang bertaubat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (karena salah satu syarat taubat harus menyadari kesalahannya).
·         Dan mereka tidak termasuk orang-orang yang diberikan Furqan (pembeda) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Oleh sebab itu mereka tidak mampu membedakan antara Al-Haq dan yang Al-Bathil, mereka mencampur adukkan antara yang haq dengan yang bathil tersebut.
·         Allah Ta’ala tidak akan menghapus kesalahan-kesalahan mereka sebelum mereka benar-benar menyadari, dan meninggalkan keburukan-keburukan tersebut.  Dan Allah membalasi seseorang sesuai dengan yang dia kerjakan (keburukan dibalas dengan keburukan, dan kebaikan dibalas dengan kebaikan yang serupa).  (Baca artikel, PINTU TAUBAT TERTUTUP BAGI PELAKU BID'AH)


5.       “Dan sesungguhnya Aku Maha pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian (mereka) tetap dijalan yang benar." (Qs. Thaha (20) ; 82).
Benang Merahnya:
·         Para Ahlul Bid’ah sulit melakukan taubat sebelum mereka menyadari kesalahan-kesalahannya, meskipun mereka sering beristigfar .
·         Para Ahlul Bid’ah tidak memiliki iman yang wajib, karena mereka enggan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah (Tauladan) dalam pelaksanaan ibadah mereka.
·         Bila iman mereka dinafikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka bagaimana mungkin mereka mampu melakukan amal shalih, meskipun secara lahiriyah mereka tetap ruku’ dan sujud bersama manusia lain.
·         Mereka bukanlah orang-orang yang menetapi jalan kebenaran, karena Iblis laknatullah telah membelokkan mereka dari jalan yang lurus.

6.       “Sesungguhnya Orang-orang yang memecah-belah Agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.
Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Qs. Al-An’am(6); 159).
Benang Merahnya:
·         Para Ahlul Bid’ah adalah orang-orang yang memecah-belah Agama mereka, karena mereka telah menabrak koridor / Batasan-batasan yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak mencukupkan diri dengan ibadah-ibadah yang dicontohkan Utusan-Nya.  Sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Nabi-Nya agar berlepas diri dari mereka.

7.       “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang Jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (Qs. Al-Baqarah (2) ; 159)
Benang Merahnya:
·         Sadar atau tidak, sesungguhnya para Ahlul Bid’ah tersebut telah menghalangi manusia untuk menegakkan dan mengamalkan kebenaran yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga Allah Ta’ala menjanjikan terhadap mereka laknat-Nya, serta laknat seluruh makhluk-Nya, karena mereka telah memutus rantai pahala yang seharusnya tersambung sampai ke Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melalui Ittiba' terhadap Beliau.
      Maka para 'ulama mengatakan bahwa, "Mereka yang mengajak manusia kepada selain Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam adalah musuh bebuyutan Beliau."

8.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah (petunjuk yang benar), dia akan beroleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan dia akan beroleh dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun”. (HR. Muslim).
Benang Merahnya:
·         Para Ahlul Bid’ah memperoleh dosa yang berlipat ganda sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya dalam kesesatan tanpa dikurangi sedikit pun!

9.       Perbuatan bid’ah menghalangi seseorang untuk minum di telaga (haudh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Padang Mahsyar kelak.  Yang airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu.  Jumlah gelas yang terdapat dipinggirnya sebanyak bintang-bintang di langit.  Barangsiapa yang pernah meminumnya tidak akan merasakan haus selama-lamanya (makna Al-Hadits).  Disebutkan dalam sebuah hadits Muttafaqun ‘alaihi; Al-Bukhari, Kitab "Ar-Riqaq", bab “Telaga Nabi Muhammad”  (7/264),yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu.
Benang Merahnya;
Di penghujung hadits tersebut Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda (artinya), ..."Hancur... hancur..., bagi orang-orang yang mengubah-ubah sepeninggalku."

 Tambahan Penjelasan;
Berkata Al'allaamah Ibnu Utsaimin rahimahullah, "Seharusnya bagi Ahli 'Ilmu apabila melihat seorang Ahlul Bid'ah berada pada shaff (barisan) mereka, untuk menyingkirkan Ahlul Bid'ah tersebut dari barisan (shaff) mereka.  Keberadaan Ahlul Bid'ah ditengah-tengah Ahlussunnah adalah sebuah kejelekan, karena bid'ah itu seperti penyakit kanker yang tidak diharapkan kesembuhannya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki." ("Syarhu Al-'Aqidah Assafaariniyyah, hal. 183).
(Baca juga artikel; TUDINGAN 'ULAMA AHLUSSUNNAH TERHADAP AHLUL BID'AH (1) - (5)

                                                                       oOo

Sabtu, 03 Juni 2017

NIKMAT

Hasil gambar untuk gambar cahaya

بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, agar senantiasa meminta nikmat  kepada-Nya dalam setiap Shalat yang mereka lakukan.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka."
(Al-Fatihah; 7)

Nikmat yang manakah yang dimaksud Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan makna ayat, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” yang terdapat dalam surat Al-Fatihah; 7 dengan Surat An-Nisa;  69, (artinya);
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para Shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.  Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”  (QS. An-Nisaa' (4);  69)

Para ‘ulama membagi nikmat yang diperoleh manusia di dunia ini menjadi dua bagian;
1.     Nikmat yang Mutlak / Tidak Terbatas;
Adalah nikmat yang khusus diberikan Allah Ta'ala kepada orang-orang Mukmin (beriman), yaitu Nikmat hidayah kepada Islam, Iman dan Sunnah.  Merupakan kenikmatan yang bertitik temu dengan Kebahagiaan Abadi (Kebahagiaan sepanjang zaman, yang akan menemani seorang hamba di tiga alam; Alam Dunia, Alam Barzakh dan Alam Akhirat).  Nikmat inilah yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat di atas.
(Baca juga artikel, JALAN YANG LURUS)
2.     Nikmat yang Terbatas;
Adalah nikmat kesehatan badan, kecantikan, harta (kekayaan), jabatan, kekuasaan, anak yang banyak, makan-minum, seks dan lain sebagainya.
Nikmat jenis ini bisa diperoleh orang-orang yang baik maupun yang jahat, mukmin maupun kafir - sama saja.
Nikmat Islam, Iman dan Sunnah tersebut akan sangat berarti bagi orang-orang yang menghayati arti penting dari firman Allah 'Azza wa Jalla (yang artinya);
“Hari ini telah Kusempurnakan untukmu Agamamu dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku padamu dan telah Kuridhai Islam itu jadi Agamamu.”  (QS. Al-Maidah;  3), karena alasan-alasan berikut;
·)          Puncak kesempurnaan Agama Islam terjadi setelah selesainya Tugas Kerasulan Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi / Rasul yang terakhir.  Dimulai sejak diturunkannya Nabi Adam ‘alaihissalam ke muka bumi,  hingga turunnya ayat terakhir dari Alqur’an (Al-Maidah;  3).
·)         Karena telah sempurnanya (lengkap) Syari’at Islam yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dibutuhkan lagi tambahan maupun pengurangan (Bid’ah) sedikitpun, dan pemikiran siapapun.  Inilah makna dari "isyarat" yang disampaikan oleh Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah;  “Barangsiapa yang mengamalkan bid'ah, berarti secara tidak langsung ia telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta.” (belum menyampaikan syari’at Islam secara lengkap).  Sebab, apa-apa yang tidak termasuk syari’at pada waktu itu (sa’at turunnya ayat tersebut; Al-Maidah;  3), tidak pula akan menjadi bagian dari syari’at pada masa-masa setelahnya hingga Hari Kiamat.
·)          Kesempurnaan manusia itu hanya akan terwujud dengan kesempurnaan Ilmu (pengetahuan) tentang Syari’at Islam, dan pengamalannya (baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Nabi-Nya).  Karena, tanpa Sunnah tidak mungkin seseorang dapat  memahami Agama Islam dengan baik dan benar.
·)         Semakin tinggi tingkat keilmuan, pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap syari’at Islam, akan semakin sempurna pula kenikmatan yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya (Kenikmatan yang Mutlak / Tidak Terbatas).  Inilah maksud perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah“Di dunia ini ada Surga, barangsiapa yang tidak merasakannya, maka ia tidak akan memasuki Surga Akhirat.”    
·)         Keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya bisa digapai dengan menerapkan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah ke seluruh sisi kehidupan manusia - lahir maupun bathin. 
·)         Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru hamba-Nya yang beriman agar bergabung dengan Mereka (“Dan Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”).
Wallahu wa Rasuluhu a’lam.

Renungan;
Di dalam surat Ar-Rahman, 31 (Tigapuluhsatu) kali Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepada manusia "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" yaitu pada ayat; 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75 dan 77. Bagaimana kita mampu menjawab-Nya kelak?

(Pen blog, dari berbagai sumber)
                                                          
oOo  

Kamis, 01 Juni 2017

TAUHIDULLAH


بسم الله الر حمان الر حيم 

Tauhid secara bahasa terbentuk dari wahhada syai-a jika dia menjadikannya satu, dan dia adalah masdhar (kata dasar) dari wahhada-yuwahhidu yang artinya dia menjadikan sesuatu itu satu (tidak terbagi-bagi).  Sedang menurut istilah syari’at;  Tauhid adalah menunggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan apa-apa yang menjadi kekhususan bagi-Nya,  baik dalam RUBBUBIYAH-NYA, ULUHIYYAH-NYA dan ASMA WA SIFAT-NYA (Al-Qaulul Mufid, jilid I oleh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Semua kata Ibadah dalam Alqur’an maknanya adalah Tauhid, yaitu Tauhid yang diseru para Rasul yang orang-orang musyrik enggan untuk menerima (memenuhinya).”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),
“Tidak ada paksaan dalam berdien, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.  Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.  Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (QS. Al-Baqarah; 256)
Orang yang menjauhi berbagai perbuatan syirik disebut sebagai Mukmin Muwahhid (Mukmin yang bertauhid, yang beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata), dan menjadikan Allah Ta'ala sebagai tujuan hidupnya. 

TIGA MACAM TAUHID;
1.      1. Tauhid Rububiyah.
Asma Ar-Rabb, mengandung beberapa makna, di antaranya;  Yang Maha Menciptakan, Yang Memiliki, Yang Mengatur, Yang Memelihara, Yang Menentukan Hukum, Yang Menganugerahkan Berbagai Kenikmatan.  Yang Menghidupkan dan Mematikan.
2.       2. Tauhid Uluhiyah;
Dinamakan juga Tauhid Ibadah.
Merupakan jenis Tauhid yang paling banyak diingkari oleh manusia, muncul sejak generasi Nabi Nuh 'alaihissalam.  Sedangkan sebelum masa Nuh 'alaihissalam manusia bersih dari perbuatan syirik, meskipun mereka tidak terbebas dari berbagai dosa.
Asma Al-Ilaah,  adalah  Dzat Yang Diibadahi, Yang dipatuhi, Sesembahan segala makhluk-Nya, Yang memiliki semua Sifat Ketuhanan, Yang memiliki segala Sifat Kesempurnaan.
Untuk tujuan Tauhid Uluhiyah inilah ribuan Nabi dan Rasul diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berbagai Kitab Suci diturunkan dari atas langit ketujuh.
Tauhid ini bertumpu pada tiga perkara besar, yaitu rasa cinta, takut dan harap.
Ketiga perkara tersebut tidak akan pernah bersemayam di dalam hati manusia tanpa ilmu pengetahuan yang benar (shahih) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketiganya harus seiring sejalan secara berimbang.  Sehingga yang satu tidak boleh melampaui yang lainnya, yang bisa berakibat rusaknya keimanan seseorang.  Misalnya, bila rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang menonjol mengalahkan rasa takut dan harap - maka ia akan terjerumus ke dalam kelompok sesat Sufiyah.   Bila rasa takut yang mendominasi - mengalahkan rasa cinta dan harap, maka ia akan tersesat kepada kelompok Khawarij.  Dan, bila rasa harapnya mengalahkan rasa cinta dan takut, maka ia akan tergolong kepada kelompok sempalan Murji'ah.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)
Dengan cinta dan takut (pengagungan) inilah muncul keinginan untuk melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan meninggalkan apa yang dilarang.
Jika seseorang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sudah barang tentu ia menginginkan dan berharap apa-apa yang ada di sisi-Nya. 
Rasa harap ini juga akan mendorongnya berusaha sekuat tenaga menempuh jalan yang akan mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun harus melewati berbagai rintangan dan kesulitan sebagai ujian dari-Nya.
3.       3. Tauhid Asma wa Sifat;
Menunggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap Nama dan Sifat yang Allah namakan dan sifati Diri-Nya, tanpa Tahrif (penyelewengan makna), Ta'thil (penafian / penghilangan), Takyif (mempertanyakan tata-caranya), dan Tamsil (penyerupaan-Nya dengan sesuatu).
Asma dan Sifat Allah ini jumlahnya tidak terbilang, tidak bisa dibatasi dengan angka.  Adapun 99 (Asma’ul Husna) adalah Nama-Nama yang diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alqur’an dan Hadits Nabi-Nya.  Sedangkan yang tidak diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala jumlahnya jauh lebih banyak (tidak terhingga).  

Demikian penting dan menentukan pemahaman yang benar terhadap permasalahan Tauhid ini, sehingga Barangsiapa yang mengamalkan Tauhid dengan semurni-murninya, dipastikan masuk ke dalam Surga tanpa hisab (makna yang terkandung dalam HR. Al-Bukhari-Muslim dari Ibnu ‘Abbas, dan hadits lain).  

oOo