Minggu, 29 April 2018

Kisah Nabi MUSA 'Alaihissalam (5)


(Sifat dan Keutamaan Nabi Musa)




بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah tentang Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini.  Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang Rasul dan Nabi.  Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan Gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami pada waktu ia bermunajat kepada Kami.  Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami yaitu saudaranya,  Harun menjadi seorang Nabi.”  (Maryam;  51-53)
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa Risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada Luh-Luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu maka (Kami berfirman), “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada perintah-perintah-Nya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.”  (Al-‘Araf;  144-145)
“Dan Kami telah mengutus para Rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan para Rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.  Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung[1].”  (An-Nisaa’;  163-164)

Menurut pendapat beberapa 'Ulama Salaf seperti Abu Aliyah, Ibnu Abbas, Qatadah dan lain-lain, bahwa Nabi Musa 'alaihissalam memiliki postur tubuh yang tinggi, berbadan besar, kulit sawo matang dan berambut keriting.
Beliau 'alaihissalam biasa mengendarai unta yang berwarna merah, yang ditarik dengan tali yang dikalungkan pada hidungnya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah (artinya),
“Sesungguhnya Musa seorang yang sangat pemalu dan selalu menutupi tubuhnya, tidak ada sesuatu pun dari kulitnya yang terlihat, karena rasa malu.  Kemudian ia dicaci dan disakiti oleh beberapa orang Bani Israil.  Mereka mengatakan, ‘Musa menutupi badannya seperti itu tidak lain karena adanya aib pada kulitnya, baik berupa bisul, luka atau cacat.’  Dan Allah ‘Azza wa Jalla hendak membebaskan dirinya dari tuduhan mereka itu.  Pada suatu hari, ia sedang sendirian, lalu ia meletakkan pakaiannya di atas batu dan kemudian mandi.  Setelah selesai mandi ia langsung menuju ke batu itu untuk mengambil pakaiannya, tetapi batu tersebut menghilang dengan membawa pakaiannya.  Kemudian ia mengambil tongkatnya dan mencari batu itu seraya berujar, ‘Hai batu, pakaianku, hai batu, pakaianku.’  Hingga akhirnya ia sampai di sekumpulan orang-orang Bani Israil, dan mereka melihatnya dalam keadaan telanjang, dengan bentuk tubuh yang paling bagus yang diciptakan oleh Allah.  Dan dengan demikian itu, Allah ‘Azza wa Jalla telah membebaskannya dari apa yang mereka tuduhkan.  Kemudian batu itu bangkit dan mengembalikan serta memakaikan pakaiannya.  Lalu Musa memukul batu itu dengan sekali pukulan dengan tongkatnya.  Demi Allah, pada batu itu terdapat goresan bekas pukulannya tiga, empat atau lima kali.”     
 Dan itulah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa.  Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan.  Dan adalah ia mempunyai kedudukan yang terhormat di sisi Allah.”  (Al-Ahzab;  69)
Musa ‘alaihissalam memiliki Bashirah (pandangan) yang sangat tajam.  Sebagian ‘ulama Salaf menyebutkan, bahwa diantara ketajaman pandagannya, ia pernah memberikan syafaat kepada saudaranya, Harun di sisi Allah.  Lalu ia meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikan saudaranya sebagai pembantunya.  Maka Allah pun mengabulkan permintaannya dan memenuhi keinginannya;
“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya , Harun menjadi seorang Nabi.”  (Maryam;  53)
Dan disebutkan dalam kitab Shahihain sebuah Riwayat Qatadah, dari Anas, dari Malik bin Sha’sha’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau pernah berjalan melewati Musa di lapis langit ke-enam pada malam Isra’ Mi’raj.  Maka Jibril berkata kepada Beliau, “Itulah Musa, ucapkanlah Salam kepadanya.”  Beliau menuturkan, “Maka aku ucapkan Salam kepadanya.”  Lalu Musa berkata, “Selamat datang kepada Nabi yang Shalih dan saudara yang Shalih.”  Dan ketika aku meninggalkannya, lanjut Rasulullah, maka ia pun menangis.  Ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menagis?”  Musa menjawab, “Aku menangis karena seorang pemuda yang diutus setelahku yang ummatnya lebih banyak masuk surga daripada ummatku.”
Disebutkan, bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berada di lapis langit ke-tujuh.
Semua Riwayat menyepakati, bahwa setelah Allah Ta’ala mewajibkan shalat 50 kali dalam sehari-semalam kepada Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dan ummatnya, maka Beliau melewati Musa.  Lalu Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan untuk ummatmu.  Sesungguhnya aku dulu telah mengalami berbagai kesulitan dengan Bani Israil.  Dan sesungguhnya ummatmu itu memiliki pendengaran, penglihatan dan hati yang lemah.”  Dan Beliau (Muhammad) masih terus pulang-pergi (turun-naik) antara Musa dan Allah ‘Azza wa Jalla yang setiap kalinya mendapatkan keringanan, hingga akhirnya menjadi Shalat Lima Waktu dalam sehari-semalam.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ibnu Abbas memberitahu kami, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Pernah diperlihatkan kepadaku beberapa ummat, lalu aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa orang, lalu Nabi yang lainnya dengan satu atau dua orang saja, dan Nabi yang lainnya lagi tanpa seorang pun bersamanya.  Kemudian aku melihat sekelompok orang dengan jumlah yang banyak, lalu aku bertanya, ‘Inikah ummatku?’  Kemudian dijawab, ‘Itu adalah Musa dan kaumnya.  Tetapi lihatlah ke ufuk,’ ternyata ada sekelompok orang dalam jumlah besar.  Kemudian dikatakan, ‘Lihatlah ke samping sini, ternyata ada kumpulan orang dalam jumlah yang sangat banyak.  Inilah ummatmu dan bersama mereka tujuhpuluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab dan adzab.’”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah banyak menyebut Musa ‘alaihissalam di dalam Al-Qur’an.   Dia memujinya dengan berbagai macam pujian dan Dia ceritakan kisahnya berkali-kali di dalam Al-Qur’an, baik secara panjang-lebar maupun secara ringkas.
Dan seringkali Allah Ta’ala menyebutkan secara berbarengan Musa ‘alaihissalam dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kitab-Nya.  Sebagaimana yang difirmankan-Nya di dalam Surat Al-Baqarah,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab Taurat melemparkan kitab Allah ke belakang punggungnya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).”  (Al-Baqarah;  101)
Dan dalam surat yang lainnya,
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.’  Katakanlah, ‘Siapakah yang menurunkan Kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia.  Kalian jadikan Kitab itu sebagai lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kalian perlihatkan sebagiannya dan kalian sembunyikan sebagian besarnya.  Padahal telah diajarkan kepada kalian apa yang kalian dan bapak-bapak kalian tidak mengetahuinya?’  Katakanlah, ‘Allah-lah yang menurunkan.’  Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.  Dan Al-Qur’an ini adalah Kitab yang telah Kami turunkan yang diberkati, membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada penduduk Ummul Qura’ (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya.  Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat  tentu beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan mereka selalu memelihara Shalatnya.”  (Al-An’am;  91-92)
Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji Taurat dan selanjutnya memuji Al-Qur’an dengan pujian yang Agung.
Dan pada akhir surat Al-An’am ,
“Kemudian Kami telah memberikan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan (Nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka.  Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan dan diberkahi, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat.  (Al-An’am;  154-155)
Dalam surat Al-Maidah,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-Nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang ‘Alim mereka dan Pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.  Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku.  Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah.  Barangsiapa yang tidak memutuskan (Perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang Kafir.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat, bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya.  Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu merupakan penebus dosa baginya.  Barangsiapa tidak memutuskan (Perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang Zhalim.
“Dan Kami iringkan jejak mereka (Para Nabi Israil) dengan Isa Putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat.  Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya terdapat petunjuk serta Nur (Cahaya / penerang) untuk orang-orang yang bertakwa.”
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.  Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang Fasik.”
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang memelihara Kitab-Kitab  tersebut.  Maka putuskanlah Perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti Hawa Nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.  Untuk tiap-tiap ummat diantara kalian Kami berikan aturan dan jalan yang terang.  Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang Dia berikan kepada kalian.  Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.  Hanya kepada Allah kalian semua kembali, lalu diberitahukan kepada kalian apa yang kalian perselisihkan.”  (Al-Maidah;  44-48)
Dengan demikian, Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan Al-Qur’an sebagai Hakim bagi semua Kitab-kitab yang lainnya (terdahulu).  Dia jadikan Al-Qur’an sebagai pembenar dan pemberi penjelasan terhadap adanya pengubahan dan penyimpangan.  Ahlul Kitab itu hanya dapat menjaga Kitab-kitab yang ada ditangan mereka (Seandainya mereka menjaganya), tetapi mereka tidak mampu menghafal dan mempertahankannya, dimana mereka telah melakukan perubahan dan pergantian, karena minimnya pemahaman dan buruknya pemahaman mereka terhadap Ilmu Pengetahuan (Al-Kitab), serta kebiasaan mereka yang suka berkhianat kepada Rabb mereka, semoga mereka dilaknat oleh Allah ‘Azza wa Jalla sampai Hari Kiamat kelak.  Oleh karena itu, di dalam Kitab-Kitab mereka  terdapat berbagai macam kesalahan yang benar-benar tampak dengan jelas (terang).
Dengan demikian itu, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji kedua Kitab tersebut, yaitu Taurat dan Al-Qur’an dan kedua Nabi (Rasul) yang menerimanya, yaitu Musa ‘alaihissalam dan Muhammad Smshallallahu ‘alaihi wa sallam.  
Bangsa Jin juga pernah berkata kepada kaumnya, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya (artinya),
“Mereka berkata, ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.  (Al-Ahqaf;  30)
Secara keseluruhan dapat dikatakan, bahwa Syari’at Musa ‘alaihissalam adalah Syari’at yang Agung.  Dan umat Beliau berjumlah sangat banyak.  Diantara ummat Beliau itu terdapat Para Nabi, ‘Ulama, Hamba Biasa, Rakyat Jelata, Orang-orang yang Zuhud, Para Raja dan juga Umara (pemerintah), serta Para Pembesar, tetapi mereka ingkar sehingga mereka dibinasakan dan digantikan oleh ummat yang lainnya, sebagaimana syari’at mereka yang telah mereka rubah (ganti), lalu mereka dirubah menjadi kera dan babi.  Dan banyak lagi hal lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.
(Bersambung, In-sya Allah)

oOo

[1]   Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihissalam merupakan keistimewaan Nabi Musa dan karena itu Nabi Musa disebut Kalimullah, sedangkan para Rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantara Malaikat Jibril.  Dalam pada itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam Isra’ Mi’raj.
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Sabtu, 28 April 2018

Kisah Nabi Ibrahim 'Alaihisalam (5)


(Kelahiran ISHAQ ‘alaihissalam dari Kandungan Sarah)


بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
Dan Kami beri ia khabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang Shalih.  Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.  Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada pula yang berbuat zhalim terhadap dirinya dengan nyata.”  (Ash-Shaffat;  112-113)
Khabar gembira tersebut disampaikan para Malaikat kepada Ibrahim dan Sarah ketika mereka berdua hendak melakukan perjalanan  menuju ke beberapa kota kaum Luth.  Mereka berangkat ke sana untuk menghancurkan mereka karena kekufuran dan kejahatan mereka.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an (artinya),
“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (para Malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa khabar gembira, mereka mengucapkan ‘Selamat.’  Ibrahim menjawab, ‘Selamat.’  Maka tak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.”
“Maka ketika dlihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.  Malaikat itu berkata, ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah para Malaikat yang diutus kepada kaum Luth.’”
“Dan isterinya (Sarah) berdiri (dibalik tirai) lalu ia tersenyum.  Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishaq, dan dari Ishaq akan lahir puteranya Ya’qub.”
“Isterinya berkata , ‘Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula?  Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.’
“Para Malaikat itu berkata, ‘Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?  Itu adalah rahmat Allah.  Dan keberkahan-Nya dicurahkan kepadamu, hai ahlul baits!  Sesungguhnya Allah Mahaterpuji dan Mahapemurah.’”
“Maka ketika rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, ia pun bertanya-jawab dengan para Malaikat Kami tentang kaum Luth.”  (Hud;  69-74)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, para Malaikat-Nya itu adalah Jibril, Mikail, dan Israfil.  Sebelum memperkenalkan diri kepada Ibrahim Khalilullah terlebih dahulu mereka bertamu kepadanya.  Dan Ibrahim sendiri memperlakukan mereka sebagaimana layaknya tamu.  Mereka dipanggangkan daging sapi yang gemuk lagi pilihan.  Setelah menyajikannya kepada mereka dan mempersilahkan mereka untuk memakannya, Ibrahim tidak melihat adanya keinginan pada mereka untuk memakannya.  Yang demikian itu, karena para Malaikat itu tidak mempunyai dorongan kebutuhan kepada makanan, sehingga Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, “Dan merasa takut kepada mereka.  Malaikat itu berkata, ‘Janganlah kamu  takut, sesungguhnya kami adalah para Malaikat yang diutus kepada kaum Luth.’”  Maksudnya, kami  datang kepada mereka untuk menghancurkan mereka.  Pada saat itu Sarah pun mencari berita dan marah kepada mereka.  Ketika itu ia ada dihadapan para tamu tersebut, sebagaimana yang menjadi kebiasaan Bangsa Arab dan juga bangsa lainnya. 
Ketika Sarah tersenyum mendengar berita gembira tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan dari Ishaq akan lahir puteranya Ya’qub.”   Ia diberitahu oleh para Malaikat akan kelahiran Ishaq.  “Kemudian isterinya datang memekik (tercengang), lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, ‘Aku adalah seorang perempuan tua yang mandul.’ Yaitu seperti layaknya apa yang dilakukan oleh kaum wanita ketika merasa heran.
Selanjutnya Sarah berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula?”  Maksudnya, bagaimana mungkin orang sepertiku ini dapat melahirkan sedang aku sudah tua lagi mandul.  Sedangkan suamiku juga sudah tua?  Aku benar-benar heran akan lahirnya anak ini dalam kondisi seperti ini.  Oleh karena itu Sarah berkata, “Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh.  Para Malaikat itu berkata, ‘Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?  Itu adalah rahmat Allah.  Dan keberkahan-Nya dicurahkan kepadamu, hai ahlul baits!  Sesungguhnya Allah Mahaterpuji lagi Mahapemurah.’”
Ibrahim ‘alaihissalam juga benar-benar heran menanggapi berita gembira tersebut, sekaligus meyakinkan dirinya disertai rasa gembira yang meluap-luap.  “Ibrahim berkata, ‘Apakah kalian memberi khabar gembira padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah terlaksananya berita gembira yang kalian sampaikan ini?’  Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan khabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang berputus asa.’”  Para Malaikat menegaskan berita gembira tersebut sekaligus menetapkannya.  Lalu Ibrahim dan Sarah diberikan khabar gembira, “Tentang kelahiran anak yang ‘Alim.”  Yaitu Ishaq, saudara Ismail.  Ia seorang anak yang pintar yang sesuai dengan kedudukan dan kesabarannya.  Demikian itulah Allah mensifatinya.
Kemudian Allah Ta’ala berkata kepada Ibrahim, “Sudah menjadi hak isterimu, ia akan melahirkan seorang anak yang akan engkau panggil dengan sebutan Ishaq sejak saat itu dan sampai masa yang akan datang.  Dan Aku yakinkan janji kepadanya  sampai batas waktu tertentu dan kepada orang-orang setelahnya.  Dan telah kuperkenankan do’amu tentang Ismail dan Kuberikan berkah kepadanya, Kuperbanyak dan Kukembang-biakkan keturunannya dalam jumlah yang sangat banyak.  Darinya lahir 12 orang terhormat lagi mulia dan Aku jadikan ia sebagai pemimpin bangsa yang besar pula.”
Dengan demikian firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan dari Ishaq akan lahir puteranya Ya’qub,” merupakan dalil yang menunjukkan, bahwa Sarah merasa senang dan bahagia dengan kehadiran anaknya, Ishaq di sisinya dan selanjutnya kelahiran orang setelah Ishaq, yaitu Ya’qub.  Maksudnya, pada masa hidup Sarah dan juga Ishaq telah lahir Ya’qub agar keduanya merasa senang dan bahagia.  Jika tidak dimaksudkan untuk yang  demikian itu, niscaya tidak akan disebutkan Ya’qub secara khusus.  Setelah nama Ya’qub disebutkan secara khusus, maka yang demikian itu menunjukkan bahwa keduanya (Sarah dan Ishaq) merasa senang dan bahagia dengan kelahiran Ya’qub.  Sebagaimana firman-Nya,
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya (Ibrahim).  Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk.”  (Al-An’am;  84)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar, ia menceritakan, aku  pernah bertanya,  Ya Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun?”  Beliau menjawab, ‘Masjidil Haram.’   ‘Lalu masjid mana lagi?’ Tanyaku lebih lanjut.  ‘Masjidil Aqsha,’ jawab Beliau.  Kutanyakan lagi, ‘Berapa lama jarak antara kedua Masjid tersebut?’  Beliau menjawab, ‘Empatpuluh tahun.’  ‘Kemudian masjid apa lagi?’ Lanjutku.  Beliau menjawab, ‘Kemudian dimana engkau mendapatkan waktu shalat, maka kerjakanlah shalat, karena semua bumi ini adalah masjid.’
Dan menurut ahlul kitab, Ya’qub ‘alaihissalam adalah orang yang mendirikan Masjidil Aqsha, yaitu Masjid Iliya (Nabawi) yang terdapat di Baitul Maqdis, yang dimuliakan oleh Allah.
Dan hal itu diperkuat oleh hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya.  Dengan demikian, pembangunan Masjid oleh Ya’qub ‘alaihissalam dilakukan 40 tahun setelah pembangunan Masjidil Haram yang dilakukan Ibrahim dan puteranya , Ismail.  Dan pembangunan masjid oleh keduanya itu setelah lahirnya Ishaq, karena ketika berdo’a, Ibrahim ‘alaihissalam memanjatkan dalam doanya seperti yang difirmankan Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhan-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkan aku beserta anak-cucu-ku dari menyembah berhala-berhala.”
“Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia, barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati.”
“Ya Tuhan kami, yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepadanya dan berilah rezki kepada mereka dari buah-buahan.  Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan.  Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.”
“Segala puji bagi Allah Yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishaq.  Sesungguhnya Tuhan-ku benar-benar Mahamendengar (Memperkenankan)  do’a.”
“Ya Tuhan kami, berilah ampun kepadaku dan kepada kedua Ibu-Bapakku serta orang-orang mukmin pada hari terjadinya Hisab (Hari Kiamat).”  (Ibrahim;  35-41)
(Bersambung, In-syaa Allah)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Kamis, 26 April 2018

Kisah Nabi MUSA 'alaihissalam (4)

(Q A R U N)




بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.  (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’”  (Al-Qashash;  76)
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.’  Dan apakah dia tidak mengetahui , bahwa Allah sungguh telah membinasakan ummat-ummat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta?  Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka.”  (Al-Qashash;  78)
Al-‘Amasy meriwayatkan, dari Al-Minhal bin Amr, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Qarun adalah anak Paman Musa.”
Hal yang sama juga dikemukakan Ibrahim Al-Nakhari, Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, Samak bin Harab, Qatadah, Malik bin Dinar, Ibnu Juraij, dan ia menambahkan, “Ia adalah Qarun bin Yashab bin Qahits.  Sedangkan Musa adalah bin Imran bin Qahits.”
Ibnu Jarir mengatakan, “Yang demikian itu adalah pendapat mayoritas ‘ulama, bahwa ia adalah anak Paman Musa...”
Qatadah mengatakan, “Ia (Qarun) disebut Al-Munawwir karena keindahan suaranya dalam membaca Kitab Taurat, padahal ia adalah Musuh Allah, Munafik seperti halnya Samiri.  Dan akhirnya dibinasakan oleh kesewenangannya, karena merasa memiliki harta yang melimpah.”
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menceritakan banyaknya harta simpanan Qarun, sampai-sampai kunci-kuncinya saja sangat berat dipikul oleh sekumpulan orang yang kuat-kuat  (Ada yang mengatakan dari kalangan Algojo).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya), “Maka Qarun keluar kepada kaumnya dalam kemegahannya.”  Banyak ahli tafsir yang menyebutkan, bahwa ia keluar dengan paras dan dandanan yang luar biasa megahnya, yaitu mengenakan pakaian, mengendarai kendaraan, dan menggunakan banyak pengawal.  Ketika orang-orang yang memuja-muja keindahan kehidupan dunia itu melihatnya, maka mereka langsung berangan-angan, seandainya saja mereka bisa seperti diri Qarun.  Dan ketika ungkapan mereka itu didengar oleh para ‘ulama yang memiliki pemahaman yang benar lagi berakal, maka para ‘ulama itu berkata kepada mereka, “Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.”  Maksudnya, pahala Allah di akhirat itu lebih baik dan lebih abadi serta lebih agung dan tinggi. 
Lebih lanjut Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Dan tidak diperoleh pahala itu kecuali bagi orang-orang yang sabar.”  Maksudnya, tidak ada yang mau menerima nasihat untuk lebih mengutamakan kehidupan akhirat itu ketika melihat keindahan kehidupan dunia, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla serta memiliki keteguhan hati.
Dari kalangan kaumnya  ada beberapa orang yang berusaha menasihatinya, seraya berkata, “Janganlah kamu terlalu bangga,” artinya, janganlah sombong atas apa-apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dan jangan pula merasa bangga atas orang lain, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.  Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah padamu (kebahagiaan) Negeri Akhirat.”
Atas nasihat yang diberikan kaumnya itu, Qarun tidak memberikan jawaban kecuali berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.”  Artinya, aku (Qarun) tidak membutuhkan apa yang kalian katakan itu, dan tidak juga nasihat yang kalian sampaikan, karena sebenarnya Allah memberikan anugerah ini kepadaku karena Dia tahu bahwa aku memang berhak mendapatkannya.
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan kemegahannya.  Lalu orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia berkata, ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun.  Sesungguhnya ia benar-benar diberi keberuntungan yang besar.
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi Ilmu, ‘Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidaklah diperoleh pahala itu melainkan bagi orang-orang yang sabar.’”  (Al-Qashash;  80)
Diceritakan, dari Ibnu Abbas dan Al-Sadi, bahwa Qarun pernah memberi harta kepada seorang wanita pelacur, agar ia mengatakan dihadapan orang banyak kepada Musa ‘alaihissalam, “Sesungguhnya kamu telah berbuat begini dan begitu terhadap diriku (Berzina).”  Maka Musa sangat terkejut dengan tuduhan tersebut, lalu Beliau mengerjakan Shalat dua raka’at.  Setelah itu Beliau menemui wanita itu untuk memintanya bersumpah atas tuduhan yang ditujukan kepada Beliau, dan menanyakan siapa yang berada di balik semua itu.  Maka wanita itu menyebutkan, bahwa Qarun yang telah menyuruhnya melakukan hal tersebut.  Lalu ia (wanita tersebut) memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Pada saat itu, Musa langsung tersungkur bersujud, dan kemudian mendoakan keburukan kepada Qarun.  Maka Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepada Beliau, “Sesungguhnya Aku telah menyuruh bumi agar mentaatimu untuk membinasakan si Qarun itu.”  Maka, Musa langsung menyuruh Bumi  menelan Qarun beserta tempat tinggalnya.  Wallahu A’lam.
Maka, sungguh indah apa yang dikemukakan para ‘ulama Salaf, “Sesungguhnya Allah menyukai pandangan mata yang jeli, pada saat menghilangkan Syubuhat (kebathilan yang berkedok kebenaran), dan akal yang sempurna pada saat melawan Nafsu Syahwat.”
Setelah orang-orang yang mengangan-angankan kemewahan dunia itu menyaksikan peristiwa yang dialami oleh Qarun, maka mereka pun menyadari kesalahannya.
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Abdurahman memberitahu kami, Sa’id memberitahu kami, Ka’ab bin Al-Qamah memberitahu kami, dari Isa bin Hilal Al-Shadafi, Abdullah bin Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya pada suatu hari beliau pernah berbicara tentang shalat, dimana Beliau bersabda (artinya),
“Barangsiapa memeliharanya (Shalat), maka shalatnya itu merupakan cahaya baginya, juga sebagai bukti dan keselamatan pada Hari Kiamat.  Dan barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka tidak akan mendapatkan cahaya, burhan serta keselamatan pada Hari Kiamat kelak dan dia akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.”  (HR. Ahmad, Thabrani dan Ibnu Hibban).
(bersambung, In-sya Allah

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Kisah Nabi IBRAHIM 'Alaihissalam (4)


(Lahirnya ISMA’IL  ‘Alaihissalam)




بسم الله الر حمان الر حيم

Setelah menetap di Baitul Maqdis selama 20 Tahun, Sarah berkata kepada Ibrahim ‘Alaihissalam, “Sesungguhnya Tuhan telah mengharamkan bagiku anak, maka menikahlah dengan ‘Ibu-ku’ ini (Hajar), mudah-mudahan Allah mengaruniakan anak untukmu”
Setelah Sarah memberikan perkenan bagi Ibrahim menikahi Hajar, maka Ibrahim pun segera menikahinya, hingga akhirnya Hajar hamil.  Ketika hamil, Hajar merasa lebih dari Sarah sehingga Sarah cemburu dan mengadukan hal tersebut kepada Ibrahim.  Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Lakukan apa saja yang engkau kehendaki terhadapnya.”
Maka Hajar  pun merasa takut, dan melarikan diri hingga akhirnya ia singgah di sebuah sumber air yang terdapat di sana.  Lalu salah seorang Malaikat berkata kepada Hajar, “Janganlah engkau takut, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan anak yang engkau kandung ini menjadi seorang yang baik.”  Setelah itu Malaikat tersebut menyuruhnya pulang kembali sembari memberitahukan,  bahwa anak yang akan dilahirkannya itu berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama ISMA’IL.  Maka Hajar pun bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia yang telah Dia berikan kepadanya.
Kahabar gembira tersebut berlaku juga atas kelahiran keturunannya yang lain, yang bernama MUHAMMAD Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang karena Beliaulah ummat Islam ini menjadi Mulia, dan berhasil menguasai berbagai belahan dunia, Barat maupun Timur.  Kepada Beliau (Muhammad) diberikan Ilmu yang Bermanfaat dan Amal Shalih yang belum pernah diberikan kepada ummat-ummat sebelumnya.  Yang demikian itu tidak diperoleh melainkan karena Kemuliaan dan Keutamaan Kerasulan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibandingkan Rasul-rasul ummat sebelumnya, juga disebabkan Berkah dan Kesempurnaan Risalah Beliau dan Keumuman Kerasulan Beliau bagi seluruh Penduduk di Muka Bumi ini.
Setelah kembali pulang, Hajar pun melahirkan Isma’il ‘Alaihissalam.
Para ahli sejarah menyebutkan, Hajar melahirkan Isma’il ketika Ibrahim telah berusia 86 Tahun, tiga tahun sebelum kelahiran ISHAQ ‘Alaihissalam (dari Sarah).
Setelah Isma’il lahir, Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepada Ibrahim berita gembira tentang kelahiran Ishaq dari Sarah.  Maka Beliau pun segera menyungkur-bersujud.  Kemudian Dia berfirman kepadanya, “Aku telah mengabulkan do’amu dengan kelahiran Isma’il, dan Aku limpahkan berkah kepadanya, serta Aku kembang-biakkan ia menjadi keturunan yang sangat banyak.  Dan (melaluinya lahir)  12 orang yang akan Aku jadikan sebagai Pemimpin bagi kaum yang besar itu.”
Keduabelas orang itu adalah Khulafa’ur Rasyidin yang berjumlah 12, yang diberitakan di dalam Hadits Abdul Malik bin Umar, dari Jabir bin Samurah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Akan ada 12 Pemimpin.”  Kemudian Beliau mengatakan suatu kalimat yang aku tidak memahaminya.  Lalu aku tanyakan kepada ayahku, ‘Apa makna kalimat tersebut?’  ‘Maknanya, semuanya berasal dari Kaum Quraisy,’ jawab ayahku.”  (Di Riwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab “Shahihain” / “Shahih Al-Bukhari” dan “Shahih Muslim”)
Di dalam Riwayat yang lain disebutkan, “Ummat ini akan terus berdiri tegak.” (dalam sebuah Riwayat disebutkan) “Sehingga ada Duabelas Khalifah yang semuanya berasal dari Kaum Quraisy.”
Diantara keduabelas Khalifah tersebut adalah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhuma.  Yang juga termasuk mereka adalah, Umar bin Abdul Azis serta sebagian Bani Abbas.
Keduabelas orang tersebut bukanlah 12 orang Imam yang diyakini oleh Kaum Syi’ah (Rafidhah).  Dimana menurut mereka, urutan pertama dari mereka adalah, Ali bin Abu Thalib dan urutan terakhirnya adalah Al-Muntadzar, yaitu Muhammad bin Hasan Al-Askari.  Padahal orang-orang yang mereka sebutkan itu tidak lebih utama dari Ali bin Abu Thalib dan putera Beliau Hasan bin Ali, ketika pertempuran usai dan pemerintahan diserahkan kepada Mu’awiyah, dan api permusuhan antara kaum muslimin pun segera dipadamkan.
Yang jelas, setelah Hajar melahirkan Isma’il, maka kecemburuan Sarah pun semakin besar.  Kemudian Sarah meminta agar Ibrahim menyuruh Hajar pergi, sehingga wajahnya tidak terlihat lagi oleh Sarah.  Maka Ibrahim pun membawa Hajar pergi bersama anaknya (Isma’il).  Dengan keduanya Ibrahim melintasi berbagai tempat, hingga akhirnya  Ibrahim menempatkan mereka di tempat yang sekarang dikenal dengan Kota Makkah.
Diceritakan, bahwa pada saat itu Isma’il masih dalam keadaan menyusu.
Setelah Ibrahim meninggalkan mereka berdua di tempat tersebut, Hajar mengejarnya dan menarik baju Beliau seraya berkata, “Hai Ibrahim, kemana engkau akan pergi?  Engkau tinggalkan kami di sini, sedangkan kami tidak mempunyai bekal yang cukup.”  Namun, Ibrahim tidak menjawabnya.  Setelah mengulang beberapa kali pertanyaan itu Ibrahim tetap diam, maka Hajar pun berkata, “Apakah Allah Yang memerintahkanmu?”  “Ya,” jawab Ibrahim.  “Jadi, engkau tidak menyia-nyiakan kami,” lanjut Hajar.
Di dalam kitab “Al-Nawarid”, Syaikh Muhammad bin Abi Zaid rahimahullah menceritakan, “Sarah marah kepada Hajar, lalu bersumpah akan memotong tiga dari anggota tubuh Hajar.  Kemudian Ibrahim menyuruhnya agar melubangi kedua telinganya (menindik).”
Al-Suhaili pernah berkata, “Hajar adalah wanita yang pertama kali berkhitan, menindik telinga dan memanjangkan bajunya.”
(Bersambung, In-syaa Allah)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Rabu, 25 April 2018

Kisah Nabi IBRAHIM 'Alaihissalam (3)


 

(Hijrah Nabi Ibrahim ke Syiria Kemudian Menetap di Tanah Suci)




بسم الله الر حمان الر حيم

Berkenaan dengan hal ini , Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka Luth membenarkan (kenabian)nya.  Dan Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya aku akan pindah ke tempat yang diperintahkan Tuhan-ku kepadaku.  Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.  Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, dan Kami jadikan Kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya.  Dan Kami berikan kepadanya balasan di dunia.  Dan sesungguhnya di akhirat ia benar-benar termasuk orang-orang yang shalih.”  (Al-Ankabut;  26-27), dan
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri (Syam / Syiria)[1]  yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.  Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah dari Kami.  Dan masing-masing (mereka) Kami jadikan orang-orang yang shalih.  Kami telah menjadikan mereka itu sebagai Pemimpin-pemimpin yang memberi Petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami Wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka selalu menyembah.”  (Al-Ambiya’;  71-73)
Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan kaumnya atas perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan hijrah dari hadapan mereka, sedang isterinya seorang yang mandul, sehingga ia tidak mempunyai anak seorang pun.  Tetapi yang ikut bersamanya adalah keponakannya, Luth bin Haran bin Azar (Tarikh).  Kemudian  Allah Ta’ala menganugerahkan kepadanya anak-anak yang shalih, dan Dia menjadikan Kenabian dan Al-Kitab kepada keturunannya, dan setiap Al-Kitab yang diturunkan dari langit kepada seorang Nabi setelahnya adalah kepada seseorang dari keturunannya.  Yang demikian itu merupakan bentuk  penghormatan yang besar baginya.
Dia tinggalkan Negeri, keluarga dan kaum kerabatnya menunju ke suatu negeri yang menjadikannya tenang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berdakwah ke jalan-Nya.
Negeri yang dituju adalah Syiria, yang oleh Allah ‘Azza wa Jalla secara khusus disebut “Ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.”  (A-Ambiya’;  71)
Demikian yang dikemukakan oleh Ubay bin Ka’ab, Abu Aliyah, Qatadah dan yang lainnya.
Diriwayatkan dari Al-Aufi dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya, “Ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia,” ia mengatakan, yaitu Makkah, tidakkah engkau mendengarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia adalah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi sekalian manusia.”  (Ali-Imran;  96)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Muhammad bin Mahbub memberitahu kami, Hamad bin zaid memberitahu kami, dari Ayyub, dari Muhammad, dari Abu Hurairah, ia mengatakan,
“Ibrahim tidak pernah berbohong kecuali tiga kali; Dua kali diantaranya berkenaan dengan Dzat Allah, yaitu firman-Nya, ‘Sesungguhnya aku sakit.’  Dan firman-Nya, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya.’  Kemudian Abu Hurairah melanjutkan, dan pada suatu hari ketika ia sedang bersama Sarah, tiba-tiba datang seorang Penguasa Lalim.  Dikatakan kepadanya, ‘Di sini ada seseorang yang bersamanya (Ibrahim) seorang wanita yang sangat cantik.  ‘Kirimkan orang kepadanya untuk menanyakan siapakah wanita itu sebenarnya.’   Ia bertanya (kepada Ibrahim), ‘Siapakah wanita ini?’  Ibrahim menjawab, ‘Ia adalah saudara perempuanku.’  Lalu Ibrahim mendatangi  Sarah seraya berkata, ‘Hai Sarah, di muka bumi ini tidak ada orang yang beriman selain diriku dan dirimu, dan orang itu menanyakan kepadaku tentang dirimu, maka kuberitahukan bahwa engkau adalah saudara perempuanku.  Maka janganlah engkau berbohong  padaku (menyelisihiku).’
Kemudian dikirim utusan kepada Sarah.  Ketika Sarah menemui Ibrahim, Ibrahim langsung menariknya dengan kuat, lalu Ibrahim berkata, ‘Berdo’alah kepada Allah untukku, aku tidak akan mencelakaimu.’  Maka Sarah pun berdo’a kepada Allah, lalu Ibrahim melepaskannya.  Setelah itu ia menariknya kembali, dengan genggaman yang lebih kuat seraya mengatakan, ‘Berdo’alah kepada Allah untukku, dan aku tidak akan mencelakaimu.’  Sarah pun berdo’a, lalu Ibrahim melepaskannya
Kemudian penguasa itu memanggil sebagian dari pengawalnya dan mengatakan, ‘Kalian tidak membawa manusia kepadaku, tetapi membawa syaithan (yang tampak olehnya).  Jadikanlah ia (Sarah) sebagai budak Hajar.’
Selanjutnya Sarah mendatangi Ibrahim ketika ia (Ibrahim) tengah mengerjakan Shalat.  Lalu Ibrahim memberikan Isyarat dengan tangannya, bagaimana khabarnya?  Sarah menjawab, ‘Allah telah menolak tipudaya orang-orang kafir, dan aku bertugas mengabdi kepada Hajar.’”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Itulah Ibumu, hai  Bani ma’us sama’
Ibnu Habi Hatim menceritakan, ayahku memberitahu kami, Sufyan memberitahu kami, dari Ali bin Said bin Jud’an, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id, ia menceritakan,  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda berkenaan dengan tiga kalimat yang diucapkan Ibrahim,
“Tidak satupun dari ketiga kalimat itu, melainkan untuk mempertahankan Agama Allah.  Ia (Ibrahim) mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sakit.’  Dia juga berucap, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya.’  Dan ia pun berkata ketika seorang Raja meminta isterinya, ‘Ia adalah sadara perempuanku.’”  Dengan demikian ucapannya, ‘Ia adalah saudara perempuanku,’ adalah saudara dalam Agama (seiman).  Dan ucapannya kepada Sarah, ‘Sesungguhnya tidak ada seorang mukmin pun di muka bumi ini kecuali diriku dan dirimu,’  yaitu “satu pasang” suami isteri yang beriman kecuali aku dan kamu.
Dan ucapan Ibrahim kepada Sarah ketika ia kembali menemui Ibrahim, “Mahyam?” yang berarti, bagaimana khabarnya?  Sarah menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menolak tipudaya orang-orang kafir.”
Sebelum membawa Sarah menemui Raja, Ibrahim ‘Alaihissalam mengerjakan Shalat dan berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla, memohon agar Dia menjaga keluarganya dan menjauhkan orang-orang yang akan mencelakai keluarganya.  Hal yang sama juga dilakukan oleh Sarah.  Ketika musuh Allah hendak berbuat jahat kepada mereka, Sarah berwudhu’ dan mengerjakan Shalat serta berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seperti yang telah dikemukakan.  Karena Allah Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan jadikanlah Sabar dan Shalat sebagai penolongmu.”  (Al-Baqarah;  45)
Maka Allah pun melindungi dan menjaganya, sebagaimana keterlindungan hamba dan Rasul-Nya Ibrahim ‘Alaihissalam.  Dalam beberapa atsar, penulis Ibnu Katsir mendapatkan, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menyingkap “Tirai penutup” antara Ibrahim dan Sarah, sehingga Ibrahim bisa melihat Sarah ketika berada di hadapan Raja.  Ibrahim juga melihat bagaimana Allah melindungi Sarah dari Sang Raja.  Hal itu menjadikan hati Ibrahim lebih baik dan tenang, karena sesungguhnya Ibrahim sangat mencintai Sarah.  Kecintaannya itu didasarkan pada keta’atan Sarah pada Agama, kedekatannya serta kecantikannya.
Ada yang mengatakan, bahwasanya tidak ada seorang wanita pun setelah Hawa, sampai pada zaman Sarah hidup yang paling cantik melebihi dirinya.
Selanjutnya Ibrahim kembali pulang dari Negeri Mesir ke Negeri Tayamun, tempat dimana ia dulu pernah tinggal sebelum itu.  Bersama Ibrahim terdapat berbagai macam binatang ternak, budak, dan harta benda yang melimpah dengan ditemani oleh Hajar.
Kemudian Luth ‘Alaihissalam membawa sedikit dari kekayaan Ibrahim yang melimpah itu, atas perintah Ibrahim ke sebuah daerah yang dikenal dengan Gharzaghar, lalu ia singgah di kota Sadum[2] yang merupakan Ibukota Negeri itu, sedangkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang jahat lagi kafir.
Lalu Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepada Ibrahim ‘Alaihissalam;  agar Beliau ‘Alaihissalam melepaskan pandangannya, dan melihat ke Arah Utara, Selatan, Barat dan Timur.  Kemudian Dia memberitahukan, “Bahwa bumi ini secara keseluruhan akan Aku berikan kepada orang-orang setelahmu hingga akhir zaman, dan Aku akan memperbanyak anak keturunanmu, hingga mereka berjumlah sama seperti jumlah tanah di bumi ini”.
Khabar gembira tersebut sampai juga kepada ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan lebih sempurna dan tidak ada yang lebih besar darinya.
Hal itu diperkuat oleh Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan bumi untukku, sehingga aku dapat menyaksikan belahan Timur dan Baratnya, dan apa yang dikumpulkan-Nya untukku akan sampai kepada ummatku.”  
Ahli sejarah menyebutkan, kemudian sekelompok Penguasa Zhalim mengejar Luth dan menangkapnya.  Selanjutnya mereka mengambil harta benda yang dibawanya dan menggiring hewan ternaknya.  Kemudian berita tentang hal itu didengar oleh Ibrahim ‘Alaihissalam, maka ia langsung berangkat menemui Para Penguasa tersebut yang berjumlah 318 orang.  Kemudian ia meminta agar Luth dibebaskan dan harta bendanya dikembalikan.  Lalu Ibrahim membunuh banyak musuh Allah dan Rasul-Nya, dan mengggiring mereka sampai ke sebelah Selatan Damaskus.  Wallahu A’lam.
Setelah itu Beliau kembali pulang ke Negerinya dengan membawa kemenangan, dan Beliau disambut oleh Raja-Raja Baitul Maqdis, dengan memberikan rasa hormat dan dalam keadaan tunduk kepada Beliau.  Hingga akhirnya Beliau pun tinggal di Negeri tersebut.
(Bersambung, In-Syaa Allah)
oOo

(Disadur bebas dari Kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah )
__________________________
[1]  Yang dimaksud dengan “negeri” disini adalah Negeri Syam (Syiria), termasuk di dalamnya Palestina.  Tuhan memberkahi Negeri itu artinya, kebanyakan Nabi berasal dari Negeri ini dan tanahnya pun subur.
[2]  Sadum adalah sebuah Kota Kuno yang terletak di Palestina di tepi Laut Mati.  Sadum itulah Negeri kaum Luth ‘Alaihissalam.  Menurut sumber Ahlul Kitab, bahwa Allah Ta’ala telah menghujani Kota Sadum dan juga Kota Amurah dengan api, akibat kesalahan yang dilakukan oleh penduduknya.

Senin, 23 April 2018

Kisah Nabi IBRAHIM 'Alaihissalam (2)


(Perdebatan Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud)




بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanhu wa Ta’ala mengangkat kisah perdebatan tersebut di dalam Al-Qur’an, sebagaimana difirmankan-Nya (artinya),
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang (Namrud, Raja Babilonia) yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah), karena Allah telah memberikan kepada orang itu Kekuasaan (Pemerintahan).  Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku adalah Yang menghidupkan dan mematikan.”  Orang itu berkata, ‘Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.’  Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah ia dari Barat.’  Lalu orang kafir itu pun heran dan terdiam.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”  (Al-Baqarah;  258)
Catatan;  Yang dimaksud oleh Namrud dengan “menghidupkan” adalah membiarkan orang tetap hidup (bukan menghidupkan yang mati), dan yang dimaksud dengan “mematikan” adalah membunuhnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan perdebatan antara Ibrahim ‘Alaihissalam dengan seorang Raja yang sangat sombong lagi kafir dan mengaku dirinya sebagai tuhan.  Dengan tegas Ibrahim mematahkan Argumentasi Raja yang sombong itu, sekaligus menjelaskan kebodohan dan kedunguannya, lalu Beliau menjatuhkan Argumentasi Raja yang konyol tersebut, disertai dengan penjabaran jalan kebenaran.
Para ahli tafsir dan ahli sejarah mengatakan, “Raja tersebut adalah Raja Babilonia yang bernama  Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Saam bin Nuh.
Mujahid dan ‘ulama lainnya mengemukakan, “Ia adalah seorang Raja Dunia.  Sebagaimana diceritakan, bahwa di dunia ini terdapat empat orang Raja Besar Dunia;  Dua orang Raja Mukmin dan Dua orang Raja Kafir.  Yang Mukmin adalah Dzulkarnain dan Sulaiman, sedang yang Kafir adalah Namrud dan Bukhtanashar.”
Mereka menyebutkan, bahwa “Namrud memegang kekuasaan selama 400 Tahun.  Ia adalah seorang Raja yang Lalim lagi Sewenang-wenang, seorang Raja yang lebih mengutamakan Dunia daripada Akhirat.”
Qatadah dan Al-Sadi, dan Muhammad bin Ishaq mengatakan, “Yakni, jika raja Namrud itu berniat hendak membunuh dua orang, lalu dia menyuruh membunuh salah satu dari keduanya dan membiarkan yang lainnya, maka dia menganggap hal itu telah menghidupkan satu orang dan mematikan yang lainnya.”
Yang demikian itu sebenarnya bukanlah perdebatan (hakiki).  Apa yang dikemukakan Namrud itu telah keluar dari wacana perdebatan, melainkan hanya perkataan yang mengada-ada.  Dimana Ibrahim mengeluarkan dalil yang menunjukkan adanya Tuhan Pencipta segala sesuatu dan setiap peristiwa yang menimpa makhluk di dunia ini, berupa kehidupan dan kematian.  Ibrahim memaparkan hal-hal yang menunjukkan adanya Dzat Yang Melakukan Penciptaan, Pengurusan, Keberadaannya, karena semuanya itu tidak mungkin dapat berdiri sendiri.  Dia-lah Dzat Yang telah Menciptakan aneka ragam binatang lalu mematikannya.  Oleh karena itu Ibrahim ‘Alaihissalam mengatakan, “Tuhan-ku adalah Yang menghidupkan dan mematikan.”
Setelah debat Namrud terpatahkan oleh Ibrahim, namun tanpa disadari oleh khalayak ramai yang menghadirinya, Ibrahim kembali menyebutkan argumentasi lain yang menjelaskan adanya Dzat Pencipta dan sesatnya pengakuan Namrud.
Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah ia dari Barat.’  Maksudnya, matahari itu diperjalankan setiap hari, terbit dari Timur, persis seperti yang Dia Ciptakan dan perjalankan.  Dia-lah Tuhan dan tiada Tuhan selain Dia, Dia-lah Pencipta segala sesuatu.  Jika permasalahannya seperti yang kamu (Namrud) akui, bahwa kamu dapat menghidupkan dan mematikan, maka terbitkanlah matahari itu dari Barat, karena yang mengakui  dapat menghidupkan dan mematikan itu mampu berbuat apa saja yang Dia kehendaki, bahkan segala sesuatu yang ada ini akan tunduk kepada-Nya , jika benar apa yang engkau akui itu, maka kerjakanlah permintaanku itu.  Jika engkau tidak mampu melakukannya, berarti kamu tidak seperti yang kamu akui.  Kamu sendiri, dan juga setiap orang yakin bahwa kamu tidak akan mampu melakukan hal itu, bahkan dirimu terlalu hina dan rendah hanya untuk menciptakan seekor lalat.
Dengan demikian itu, Ibrahim telah menjelaskan kesesatan, kebodohan dan kedustaannya, serta kesesatan jalan yang ditempuhnya.
Namun,  tiada sepatah kata pun yang dia ucapkan untuk menjawab Ibrahim, bahkan ia terdiam seribu bahasa.  Oleh karena itu Dia (Allah) berfirman (artinya),
“Lalu orang kafir itu pun heran dan terdiam.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”  (Al-Baqarah;  258)
Al-Sadi menyebutkan, “Perdebatan yang terjadi antara Ibrahim dan Namrud itu terjadi pada hari dimana Ibrahim keluar dari api.”
Diriwayatkan Abdurrazaq, dari Mu’ammar, dari Zaid bin Aslam, bahwa di sisi Namrud terdapat berbagai macam makanan.  Dan orang-orang datang kepadanya untuk menikmati makanan-makanan tersebut.  Dan Ibrahim termasuk salah seorang  yang diundang untuk acara makan-makan tersebut.  Dan Ibrahim tidak pernah berkumpul dengan Raja itu kecuali pada hari itu saja, hari dimana terjadi perdebatan antara keduanya.  Tidak seperti kepada orang-orang yang dia beri makan, Raja Namrud tidak menyuguhkan makanan kepada Ibrahim, bahkan ia (Ibrahim) keluar darinya tanpa membawa sedikit pun makanan.
Ketika mendekati keluarganya, ia menuju kegundukan pasir, lalu mengisi kedua kantong miliknya dengan pasir seraya berucap, “Aku akan menyibukkan keluargaku jika aku tiba di tengah-tengah mereka.”
 Sesampai di keluarganya, ia langsung meletakkan bawaannya, kemudian ia berbaring dan tidur.  Selanjutnya isterinya, Sarah berdiri dan melihat kedua kantong yang dibawa suaminya, ternyata ia mendapati keduanya berisi bahan makanan.  Maka ia segera memasaknya dan menyajikannya sebagai makanan yang enak lagi nikmat.  Setelah bangun, Ibrahim mendapatkan makanan yang telah disediakan tersebut.  Maka ia bertanya, “Darimana makanan ini kalian peroleh?”  Isterinya menjawab, “Dari apa yang engkau bawa tadi.”
Dengan demikian itu Ibrahim mengetahui, bahwa hal itu merupakan rezki yang dikaruniakan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya dan keluarganya.
Zaid bin Aslam mengatakan, “Allah Ta’ala mengirimkan kepada Raja yang sombong itu Malaikat yang menyuruhnya beriman kepada Allah, tetapi ia menolaknya.  Lalu ia (Malaikat itu) mengajak untuk yang kedua kalinya, sampai ketiga kalinya, tetapi ia tetap menolak.  Kemudian Malaikat itu berkata, ‘Kumpulkan semua yang dapat kamu kumpulkan, dan aku pun akan mengumpulkan bala tentaraku.’”
Maka Raja Namrud itu mengumpulkan bala tentaranya tepat pada saat matahari terbit.  Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla mengirimkan lalat yang tidak terlihat oleh mereka, lalu gerombolan lalat-lalat itu memakan daging dan darah mereka dan hanya menyisakan tulang belulangnya saja.  Kemudian salah seekor lalat itu masuk ke dalam lubang hidung Raja Namrud dan menetap di dalamnya selama  400 Tahun.  Dengan lalat itulah Allah ‘Azza wa Jalla mengadzabnya.  Dan dia selalu memukuli kepalanya dengan besi selama masa itu, sampai Allah ‘Azza wa Jalla membinasakannya.

(Bersambung, In-sya Allah)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)