بسم الله الر حمان الر حيم
Rasul Ulul Azmi (Yang Paling Utama) ke-2 setelah Nuh ‘Alaihissalam, adalah Ibrahim ‘Alaihissalam.
Nama lengkap Beliau adalah,
Ibrahim bin Tarikh (250 Thn) bin Nahur (148 Thn) bin Sarugh (230 Thn) bin Raghu (239 Thn) bin Faligh (439 Thn) bin Abir (464 Thn) bin Syalih (433 Thn) bin
Arfakhsyadz (438 Thn) bin Saam (600
Thn) bin Nuh (950 Thn lebih).
Al-Hafidz bin Asakir menceritakan dari Ishak bin Basyar
Al-Kahili penulis Buku “Al-Mubtadi’”,
Ibu Nabi Ibrahim bernama Amilah.
Orang-orang mengatakan, ketika Ayah Ibrahim Tarikh berumur
75 Thn lahirlah Ibrahim ‘Alaihissalam,
Nahur dan Haran. Dan dari Haran itu
lahirlah Luth.
Ibnu Abbas berkata, “Yang benar, Ibrahim dilahirkan di Babil.
Dinisbatkannya Babil kepada Ibrahim karena Ibrahim pernah mengerjakan
shalat di sana.
Para ahli sejarah mengatakan, “Kemudian Ibrahim menikahi Sarah, Nahur menikahi Milka-puteri Haran
yang merupakan keponakannya sendiri.”
Mereka juga mengatakan, “Sarah adalah wanita yang mandul,
tidak dapat melahirkan keturunan.”
Masih menurut para sejarawan, maka Tarikh berangkat bersama
puteranya, Ibrahim dan Isterinya (Amilah), juga Luth yang merupakan anak
pamannya, dan Haran dari tanah Kaldaniyyin (Babil) menuju ke tanah orang-orang
Kan’an. Kemudian mereka singgah di
Carrhae (Huran), dan disanalah Tarikh meninggal dunia dalam usia 250 Thn. Yang demikian itu menunjukkan bahwa Ibrahim
tidak dilahirkan di Carrhae, tetapi di Babil.
Selanjutnya mereka berangkat menuju ke Tanah Air Bangsa
Kan’an, yaitu Baitul Maqdis. Kemudian
mereka menetap di Carrhae, yaitu tanah Kaldaniyyin pada zaman itu. Mereka itu menyembah Tujuh Bintang. Dan orang-orang yang membangun kota Damaskus
dahulu juga memeluk agama itu. Mereka
berkiblat ke Kutub Selatan, dan juga menyembah Tujuh Bintang, baik berupa
perbuatan maupun ucapan. Oleh karena
itu, setiap pintu dari Tujuh Pintu Kuno Damaskus memiliki gambar yang
melambangkan ketujuh bintang. Dan untuk
ketujuh bintang itu mereka juga mengadakan Hari Raya dan juga Qurban.
Demikian itulah penduduk Carrhae menyembah bintang-bintang
dan berhala. Pada saat itu semua orang yang berada di muka bumi ini kafir, kecuali
Ibrahim Al-Khalil, Isterinya (Sarah)
dan keponakannya yang bernama Luth ‘Alaihissalam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghilangkan
berbagai kejahatan dan kesesatan dari diri Ibrahim, karena Allah Ta’ala telah memberikan hidayah
kebenaran kepadanya ketika ia masih kecil, menjadikannya sebagai seorang Rasul,
dan mengangkat Beliau sebagai kekasih pada saat sudah dewasa. Berkenaan dengan hal itu, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayah
kebenaran sebelum (Musa dan Harun). Dan
Kami mengetahui keadaannya.” (Al-Ambiya’; 51)
Dalam surat
Al-Ankabut Allah Ta’ala berfirman,
“Dan ingatlah kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya,
‘Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya.
Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian
sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kalian membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah
itu tidak mampu memberi rezki kepada kalian, maka mintalah rezki itu dari sisi
Allah, dan sembahlah Dia serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kalian akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka ummat
sebelum kalian juga telah mendustakan.
Dan kewajiban Rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan (Agama Allah)
dengan seterang-terangnya.”
Maka, tidak ada jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan, “Bunuhlah
atau bakarlah ia,” lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda Kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.
Dakwah yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah
kepada Ayah Kandungnya. Ayahnya adalah
salah seorang penyembah berhala. Dan
Ibrahim adalah orang yang paling tulus dalam menasihati ayahnya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini
(artinya),
“Ceritakanlah hai Muhammad kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)
ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, ‘Wahai Bapakku, mengapa
engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolongmu sedikit pun? Wahai bapakku,
sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian Ilmu Pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang
lurus. Wahai bapaku, janganlah engkau
menyembah syaithan. Sesungguhnya
syaithan itu durhaka kepada Yang Mahapemurah.
Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab
dari Tuhan Yang Mahapemurah, maka engkau menjadi kawan bagi syaithan.”
Bapaknya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku , hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan
kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”
Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan meminta ampun untukmu kepada
Tuhan-ku. Sesungguhnya Dia sangat baik
kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri
darimu dan apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada
Tuhan-ku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada
Tuhan-ku.” (Maryam; 41-48)
Dengan demikian, Allah Ta’ala telah menceritakan dialog dan perdebatan
yang terjadi antara Ibrahim dengan bapaknya.
Selain juga menceritakan bagaimana Ibrahim mengajak bapaknya menuju
jalan kebenaran dengan kata-kata yang lembut dan isyarat yang baik. Ia menerangkan kepada bapaknya kesesatan
yang ia lakukan berupa penyembahan berhala-berhala yang tidak dapat mendengar
doa penyembahnya, dan tidak juga melihat tempatnya. Lalu bagaimana berhala-berhala itu akan
mencukupi, memberi kebaikan, rezki atau pertolongan?
Dan Ibrahim ‘Alaihissalam
telah memintakan ampunan terhadap ayahnya sebagaimana yang ia janjikan
kepadanya. Namun setelah dijelaskan bahwa bapaknya itu musuh Allah, maka ia pun
melepaskan diri darinya, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala berikut ini,
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk bapaknya, tidak
lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada bapaknya
itu. Dan ketika jelas bagi Ibrahim
bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim melepaskan diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah; 114)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda (artinya),
“Ibrahim akan menemui
bapaknya Azar pada Hari Kiamat kelak,
sedang pada wajah Azar terdapat debu dan tanah.
Maka Ibrahim berkata kepadanya, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepadamu,
janganlah engkau melanggarku?’ Bapaknya
pun berkata kepadanya, ‘Sekarang aku tidak lagi menentangmu.’ Lalu Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menjanjikan kepadaku untuk tidak menghinakanku pada
hari dibangkitkannya manusia. Adakah
yang lebih menghinakan dari bapakku yang sangat jauh dariku?’ Maka Allah menjawab, ‘Sesungguhnya Aku telah
mengharamkan Surga bagi orang-orang kafir.’
Kemudian dikatakan kepada Ibrahim, ‘Hai Ibrahim, apakah yang ada dibawah
kedua kakimu?’ Lalu ia melihatnya, dan
ternyata ada binatang sembelihan yang sangat kotor. Kemudian binatang itu diambil dengan dipegang
kaki-kakinya lalu dilemparkan ke dalam Neraka.’” (HR. Al-Bukhari)
Yang demikian itu menunjukkan, bahwa bapak Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam adalah Azar. Mayoritas ahli nasab, diantaranya Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menyatakan, bahwa nama
bapaknya adalah Tarikh. Ahlul kitab juga
mengatakan, nama bapaknya adalah Tarikh.
Ada juga yang mengatakan, “Azar adalah gelar untuk sebuah
berhala yang disembahnya, sedangkan namanya sendiri adalah Tarikh.”
Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat sebuah
bintang, kemudian ia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Tetapi ketika bintang itu tenggelam, maka ia
berkata, “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”
Kemudian ketika ia melihat bulan terbit, maka ia berkata, “Inilah
Tuhan-ku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Selanjutnya ketika ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka
ketika matahari itu terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku
melepaskan diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada Agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Para ‘ulama ahli
tafsir menerangkan, bahwa yang demikian itu adalah bentuk sindiran Ibrahim ‘Alaihissalam terhadap kaumnya, bukan
karena Ibrahim sedang mencari Tuhan-nya, sebab Beliau sendiri telah diberi
hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
ketika Beliau masih kecil, menjadikannya sebagai seorang Rasul, menghilangkan
berbagai kejahatan dan kesesatan dari diri Ibrahim, serta mengangkat Beliau
sebagai Kekasih (Khalil) Allah Suhanahu wa Ta’ala ketika telah dewasa.
Hal yang sama, terjadi pada Rasul Ulul Azmi lainnya (Isa 'Alaihissalam), dimana ketika masih bayi (dalam buaian) Beliau telah mampu berbicara - menyeru manusia kepada Tauhidullah melalui perkataannya yang fenomenal, "Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah."
Berkenaan dengan hal tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Hal yang sama, terjadi pada Rasul Ulul Azmi lainnya (Isa 'Alaihissalam), dimana ketika masih bayi (dalam buaian) Beliau telah mampu berbicara - menyeru manusia kepada Tauhidullah melalui perkataannya yang fenomenal, "Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah."
Berkenaan dengan hal tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayah
kebenaran sebelum (Musa dan Harun). Dan
Kami Mengetahui keadaannya.” (Al-Ambiya’; 51).
Demikian penafsiran para ‘ulama ahli tafsir.
Dalam surat Al-Ankabut Allah Ta’ala menceritakan kisah tentang Ibrahim,
“Dan ingatlah kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah
Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian sembah selain
Allah itu adalah berhala, dan kalian membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah
itu tidak mampu memberi rezki kepada kalian, maka mintalah rezki itu dari sisi
Allah, dan sembahlah Dia serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kalian akan
dikembalikan. Dan jika kalian
mendustakan, maka ummat sebelum kalian juga telah mendustakan. Dan kewajiban Rasul itu tidak lain hanyalah
menyampaikan (Agama Allah) dengan seterang-terangnya.”
Maka tidak ada jawaban dari kaum Ibrahim selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah ia.” Lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang
beriman.
Begitulah bentuk bantahan Ibrahim kepada kaumnya, sekaligus
sebagai penjelasan bagi mereka, bahwa benda-benda langit berupa bintang-bintang
itu tidak dapat dijadikan sebagai tuhan dan tidak juga layak disekutukan dengan
Allah ‘Azza wa Jalla, karena semuanya
itu merupakan Ciptaan, Dipelihara dan Dikendalikan, terkadang terbit dan
terkadang tenggelam / hilang dari alam ini.
Sedangkan Tuhan itu Mahatinggi, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi
bagi-Nya. Dan Dia-lah yang kekal-abadi
untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah hilang. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Dia dan tidak ada Rabb melainkan
hanya Dia semata.
Pertama, Ibrahim menjelaskan, bahwa bintang-bintang itu
tidak mungkin dijadikan sebagai sesembahan.
Selanjutnya meningkat pada bulan (yang bersinar lebih terang / lebih besar daripada bintang-bintang serta lebih indah). Setelah itu meningkat lagi kepada
matahari yang memiliki cahaya paling terang diantara benda-benda langit
lainnya. Ibrahim menjelaskan bahwa semua
benda itu dijalankan, dan dikendalikan sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah, malam, siang, matahari
dan bulan. Janganlah bersujud kepada
matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang
Menciptakannya, jika hanya kepada-Nya saja kalian menyembah.” (Fushshilat; 37)
Secara lahiriyah, nasihat yang disampaikan kepada penduduk
Carrhae (Huran) tentang penyembahan bintang-bintang didasarkan karena mereka
memang menyembahnya. Sedangkan penduduk
Babil adalah penyembah Patung. Ibrahim
menegur dan mengingatkan mereka melalui kata-kata atas tindakan mereka
menyembah patung-patung tersebut, menghinakan dan menjelaskan kesesatan mereka, sebagaimana yang difirmankan-Nya (artinya),
“Dan Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah
selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang diantara kalian
dalam kehidupan dunia ini, kemudian pada Hari Kiamat sebagian kalian
mengingkari sebagian yang lain, dan sebagian kalian melaknat sebagian yang lain. Dan tempat kembali kalian adalah Neraka. Dan sekali-kali tidak ada bagi kalian seorang
penolong pun.” (Al-Ankabut; 25)
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong,
kecuali yang paling besar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka
kembali untuk bertanya kepadanya.
Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini
terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang zhalim.”
Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela
berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.”
Dan mereka mengatakan, “Kalau demikian, bawalah ia dengan cara yang
dapat dilihat orang banyak agar mereka menyaksikannya.”
Mereka berkata (kepada Ibrahim), “Apakah kamu yang melakukan
perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang
besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu jika mereka
dapat berbicara.”
Maka, sesaat mereka
tersadar dan kemudian berkata, “Sesungguhnya kalian semua adalah orang-orang
yang menganiaya diri kalian sendiri", lalu kepala mereka tertunduk. Lalu mereka berkata (Kembali membangkang), “Sesungguhnya
kamu hai Ibrahim , telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat
berbicara.”
Ibrahim berkata, “Lalu mengapa kalian menyembah selain
Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kalian?” Ah, celakalah
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.
Maka, apakah kalian tidak memahami?”
Mereka berkata, “Bakarlah ia (Ibrahim) dan bantulah
tuhan-tuhan kalian jika kalian benar-benar hendak bertindak.”
Mereka berkata, “Dirikanlah suatu bangunan untuk membakar
Ibrahim, lalu lemparkanlah ia ke dalam api yang menyala-nyala itu.”
“Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya (Ibrahim), maka Kami
jadikan mereka orang-orang yang hina.”
(Ash-Shaffaat; 85-87)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menceritakan kisah Ibrahim ‘Alaihissalam,
dimana ia menentang kaumnya atas tindakan mereka menyembah patung-patung, dan
bahkan menghinakannya di hadapan mereka.
Ia mengatakan, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun
beribadah kepadannya?” Yaitu,
patung-patung yang kalian rajin menyembah dan tunduk kepadanya. Mereka menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak kami
menyembahnya.” Hujjah yang
mereka sampaikan itu tidak lain hanyalah “perbuatan” Nenek Moyang mereka saja berupa penyembahan
berhala.
Ibrahim berkata, “Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian
berada dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Ambiya’; 54)
Penghancuran berhala-berhala yang dilakukan oleh Ibrahim ‘Alaihissalam itu terjadi ketika mereka sedang
pergi ke tempat perayaan mereka, sedangkan Ibrahim tetap tinggal di negeri
mereka, “Selanjutnya ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka.” Maksudnya, Ibrahim pergi ke
patung-patung itu dengan cepat dan sembunyi-sembunyi. Lalu ia menemukan patung-patung tersebut
berada di pelataran yang sangat luas. Di
hadapannya diletakkan berbagai aneka makanan sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepadanya. Kemudian Ibrahim berkata
kepada patung-patung itu dengan nada mengejek, “Apakah kalian tidak makan? Mengapa kalian tidak menjawab? Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil
memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat), karena tangan kanannya lebih
kuat, cepat dan dahsyat. Sehingga ia
berhasil menghancurkannya dengan martil besar di tangannya, sebagaimana yang
difirmankan-Nya (artinya), “Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu
hancur terpotong-potong,” menjadi berkeping-keping. Ia menghancurkan semua patung-patung itu, “Kecuali
yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya.” Ada
yang mengatakan, Ibrahim meletakkan martil itu di tangan patung yang paling
besar sebagai tanda, bahwa ia (patung yang paling besar) merasa cemburu dengan
disembahnya patung-patung yang kecil.
Selanjutnya mereka
berkata, “Kalau demikian, bawalah ia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak
agar mereka menyaksikan.”
(Al-Ambiya’; 61). Maksudnya, bawalah Ibrahim itu ke tempat
terbuka di hadapan para saksi agar mereka menyaksikan ucapannya dan mendengar
perkataannya.
Dan inilah “moment” yang memang menjadi harapan Ibrahim ‘Alaihissalam,
yaitu berkumpulnya orang-orang di suatu tempat, sehingga dengan demikian itu
dapat memberikan hujjah atas kesesatan para penyembah patung-patung tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Musa ‘Alaihissalam
kepada Fir’aun, “Waktu untuk pertemuan (antara) kami dengan kalian itu adalah pada Hari
Raya, dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari naik sepenggalahan.” (Thaaha; 59).
Maka mereka segera bergerak untuk mengumpulkan kayu bakar
dari berbagai tempat. Sampai-sampai ada
seorang wanita dari kalangan mereka yang sedang sakit “bernadzar” , jika ia sembuh, maka ia pasti akan membawa kayu bakar
untuk membakar Ibrahim. Lalu mereka
menuju ke area pembakaran yang sangat besar, kemudian meletakkan kayu-kayu itu
ke dalamnya dan menyulutnya , hingga api menyala-nyala dan berkobar sangat tinggi,
yang belum pernah terlihat sebelumnya api sebesar itu.
Setelah mereka berkumpul dan mendatangi Ibrahim, maka “Mereka bertanya, ‘Apakah kamu yang melakukan
perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar
itulah yang melakukannya.’ Ada
yang mengatakan, maksudnya patung yang besar itulah yang mengajakku
menghancurkan patung-patung yang kecil-kecil tersebut karena kecemburuannya. “Maka tanyakanlah kepada berhala itu jika
mereka dapat berbicara.” (Al-Ambiya’; 62-63)
Dari ucapannya itu Ibrahim menginginkan agar mereka segera
mengatakan, bahwa patung itu tidak dapat berbicara. Sehingga dengan demikian mereka mengetahui
bahwa patung-patung itu hanyalah benda mati yang tidak dapat bergerak,
sebagaimana halnya benda-benda mati lainnya, sehingga mengajak mereka untuk
berpikir.
Setelah itu mereka meletakkan Ibrahim di “Manjaniq”
(sebuah alat yang dipergunakan
untuk melontarkan batu-batu besar / berat, guna menghancurkan sesuatu).
Alat ini pertama kali diciptakan oleh seseorang dari Bangsa Kurdi, yang bernama Haizan. Kemudian Allah 'Azza wa Jalla menenggelamkannya di bawah bumi dalam keadaan menjerit-jerit sampai Hari Kiamat.
Alat ini pertama kali diciptakan oleh seseorang dari Bangsa Kurdi, yang bernama Haizan. Kemudian Allah 'Azza wa Jalla menenggelamkannya di bawah bumi dalam keadaan menjerit-jerit sampai Hari Kiamat.
Selanjutnya mereka mengikatnya, sementara Ibrahim mengucapkan,
“Tidak
ada Tuhan melainkan hanya Engkau, Mahasuci Engkau, Tuhan semesta alam. Segala puji dan kekuasaan hanya milik-Mu,
tiada sekutu bagi-Mu.”
Setelah diletakkan di dalam Manjaniq tersebut dalam keadaan terikat, lalu Ibrahim ‘Alaihissalam dilemparkan ke dalam api
tersebut, pada saat itu ia mengucapkan, “Cukuplah Allah sebagai pelindung kami dan
Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Hal
itu diucapkan Ibrahim ketika Beliau dilemparkan ke dalam api, dan kaliamat itu
pula yang diucapkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, katika ada yang
mengatakan kepada Beliau, “Sesungguhnya
orang-orang telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu
takutlah kepada mereka.” Maka,
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah
Allah sebagai pelindung kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan
karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa pun, mereka
mengikuti keridhaan Allah.
(Ali-Imran; 173-174)
Sebuah hadits dari Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
(artinya),
“Ketika Ibrahim
dilemparkan ke dalam api, Ibrahim mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau
di langit adalah satu, dan aku di bumi ini juga satu menyembah-Mu.”
Sebagian ‘ulama salaf menyebutkan, bahwa Jibril ‘Alaihissalam
pernah menampakkan diri kepadanya, “Hai Ibrahim apakah engkau mempunyai keperluan?” Ibrahim menjawab, “Aku
tidak mempunyai keperluan kepadamu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair, ia
bercerita, “Malaikat yang menurunkan
hujan mengatakan, ‘Bila diperintah aku siap menurunkan hujan.’ Dan perintah Allah itu lebih cepat.”
“Kami (Allah) berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah dan menjadilah
keselamatan bagi Ibrahim.’” Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
yaitu jangan engkau mencelakainya.
Ka’ab Al-Ahbari mengatakan, “Pada hari itu api tidak
mendatangkan hasil bagi penduduk bumi, dan tidak ada sedikit pun dari tubuh
Ibrahim kecuali tali yang mengikatnya.”
Ad-Dhahak mengatakan, “Diriwayatkan bahwa Jibril ‘Alaihissalam ada bersama dengan Ibrahim,
mengusap keringat dari wajahnya.”
Sedangkan Al-Sadi mengemukakan, “Bersamanya juga terdapat
Malaikat pemberi naungan. Ibrahim ‘Alaihissalam berada di tengah-tengah lingkaran
yang di sekelilingnya terdapat api, padahal ia merasa berada di taman yang
sejuk, dan manusia melihatnya dan manusia tidak mampu mencapainya dan ia tidak
berusaha keluar darinya.”
Diriwayatkan dari Asakir, dari Ikrimah, bahwa Ibu Ibrahim
melihat anaknya lalu berkata, “Hai anakku, aku ingin sekali datang kepadamu. Berdo’alah kepada Allah, agar Dia
menyelamatkanku dari panasnya api yang ada di sekelilingmu.” “Baiklah.”
Jawab Ibrahim.
Kemudian Ibunya mendekat ke arahnya sehingga ia tidak
tersentuh sedikit pun oleh api. Setelah
berhasil mencapai Ibrahim, Ibunya memeluk serta menciumnya dan kemudian
kembali lagi.
Dari Minhal bin Amr, ia bercerita, diberitahukan kepadaku,
bahwa Ibrahim tinggal di dalam api itu selama 40 atau 50 hari. Dan Ibrahim berkata, “Hidupku pada hari-hari dan
malam-malam itu benar-benar kurasa paling baik.
Dan aku senantiasa berharap agar semua hidupku seperti yang kurasakan di
dalam api tersebut.”
Lalu mereka menghina, merendahkan, mencaci dan mencemoohnya.
Sebuah hadits dar A’isyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan,
“Ketika Ibrahim di
lemparkan kedalam api, maka semua binatang berusaha memadamkan api kecuali
tokek, dimana ia berusaha meniupkan api untuknya (agar tidak padam).”
(Bersambung, In-sya Allah)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi” Al-Imam
Ibnu Katsir rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar