Minggu, 29 April 2018

Kisah Nabi MUSA 'Alaihissalam (5)


(Sifat dan Keutamaan Nabi Musa)




بسم الله الر حمان الر حيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah tentang Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini.  Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang Rasul dan Nabi.  Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan Gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami pada waktu ia bermunajat kepada Kami.  Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami yaitu saudaranya,  Harun menjadi seorang Nabi.”  (Maryam;  51-53)
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa Risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”
“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada Luh-Luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu maka (Kami berfirman), “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada perintah-perintah-Nya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.”  (Al-‘Araf;  144-145)
“Dan Kami telah mengutus para Rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan para Rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.  Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung[1].”  (An-Nisaa’;  163-164)

Menurut pendapat beberapa 'Ulama Salaf seperti Abu Aliyah, Ibnu Abbas, Qatadah dan lain-lain, bahwa Nabi Musa 'alaihissalam memiliki postur tubuh yang tinggi, berbadan besar, kulit sawo matang dan berambut keriting.
Beliau 'alaihissalam biasa mengendarai unta yang berwarna merah, yang ditarik dengan tali yang dikalungkan pada hidungnya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah (artinya),
“Sesungguhnya Musa seorang yang sangat pemalu dan selalu menutupi tubuhnya, tidak ada sesuatu pun dari kulitnya yang terlihat, karena rasa malu.  Kemudian ia dicaci dan disakiti oleh beberapa orang Bani Israil.  Mereka mengatakan, ‘Musa menutupi badannya seperti itu tidak lain karena adanya aib pada kulitnya, baik berupa bisul, luka atau cacat.’  Dan Allah ‘Azza wa Jalla hendak membebaskan dirinya dari tuduhan mereka itu.  Pada suatu hari, ia sedang sendirian, lalu ia meletakkan pakaiannya di atas batu dan kemudian mandi.  Setelah selesai mandi ia langsung menuju ke batu itu untuk mengambil pakaiannya, tetapi batu tersebut menghilang dengan membawa pakaiannya.  Kemudian ia mengambil tongkatnya dan mencari batu itu seraya berujar, ‘Hai batu, pakaianku, hai batu, pakaianku.’  Hingga akhirnya ia sampai di sekumpulan orang-orang Bani Israil, dan mereka melihatnya dalam keadaan telanjang, dengan bentuk tubuh yang paling bagus yang diciptakan oleh Allah.  Dan dengan demikian itu, Allah ‘Azza wa Jalla telah membebaskannya dari apa yang mereka tuduhkan.  Kemudian batu itu bangkit dan mengembalikan serta memakaikan pakaiannya.  Lalu Musa memukul batu itu dengan sekali pukulan dengan tongkatnya.  Demi Allah, pada batu itu terdapat goresan bekas pukulannya tiga, empat atau lima kali.”     
 Dan itulah makna firman Allah ‘Azza wa Jalla;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa.  Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan.  Dan adalah ia mempunyai kedudukan yang terhormat di sisi Allah.”  (Al-Ahzab;  69)
Musa ‘alaihissalam memiliki Bashirah (pandangan) yang sangat tajam.  Sebagian ‘ulama Salaf menyebutkan, bahwa diantara ketajaman pandagannya, ia pernah memberikan syafaat kepada saudaranya, Harun di sisi Allah.  Lalu ia meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikan saudaranya sebagai pembantunya.  Maka Allah pun mengabulkan permintaannya dan memenuhi keinginannya;
“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya , Harun menjadi seorang Nabi.”  (Maryam;  53)
Dan disebutkan dalam kitab Shahihain sebuah Riwayat Qatadah, dari Anas, dari Malik bin Sha’sha’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau pernah berjalan melewati Musa di lapis langit ke-enam pada malam Isra’ Mi’raj.  Maka Jibril berkata kepada Beliau, “Itulah Musa, ucapkanlah Salam kepadanya.”  Beliau menuturkan, “Maka aku ucapkan Salam kepadanya.”  Lalu Musa berkata, “Selamat datang kepada Nabi yang Shalih dan saudara yang Shalih.”  Dan ketika aku meninggalkannya, lanjut Rasulullah, maka ia pun menangis.  Ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menagis?”  Musa menjawab, “Aku menangis karena seorang pemuda yang diutus setelahku yang ummatnya lebih banyak masuk surga daripada ummatku.”
Disebutkan, bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berada di lapis langit ke-tujuh.
Semua Riwayat menyepakati, bahwa setelah Allah Ta’ala mewajibkan shalat 50 kali dalam sehari-semalam kepada Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dan ummatnya, maka Beliau melewati Musa.  Lalu Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan untuk ummatmu.  Sesungguhnya aku dulu telah mengalami berbagai kesulitan dengan Bani Israil.  Dan sesungguhnya ummatmu itu memiliki pendengaran, penglihatan dan hati yang lemah.”  Dan Beliau (Muhammad) masih terus pulang-pergi (turun-naik) antara Musa dan Allah ‘Azza wa Jalla yang setiap kalinya mendapatkan keringanan, hingga akhirnya menjadi Shalat Lima Waktu dalam sehari-semalam.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ibnu Abbas memberitahu kami, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Pernah diperlihatkan kepadaku beberapa ummat, lalu aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa orang, lalu Nabi yang lainnya dengan satu atau dua orang saja, dan Nabi yang lainnya lagi tanpa seorang pun bersamanya.  Kemudian aku melihat sekelompok orang dengan jumlah yang banyak, lalu aku bertanya, ‘Inikah ummatku?’  Kemudian dijawab, ‘Itu adalah Musa dan kaumnya.  Tetapi lihatlah ke ufuk,’ ternyata ada sekelompok orang dalam jumlah besar.  Kemudian dikatakan, ‘Lihatlah ke samping sini, ternyata ada kumpulan orang dalam jumlah yang sangat banyak.  Inilah ummatmu dan bersama mereka tujuhpuluh ribu orang yang masuk Surga tanpa hisab dan adzab.’”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah banyak menyebut Musa ‘alaihissalam di dalam Al-Qur’an.   Dia memujinya dengan berbagai macam pujian dan Dia ceritakan kisahnya berkali-kali di dalam Al-Qur’an, baik secara panjang-lebar maupun secara ringkas.
Dan seringkali Allah Ta’ala menyebutkan secara berbarengan Musa ‘alaihissalam dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kitab-Nya.  Sebagaimana yang difirmankan-Nya di dalam Surat Al-Baqarah,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab Taurat melemparkan kitab Allah ke belakang punggungnya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).”  (Al-Baqarah;  101)
Dan dalam surat yang lainnya,
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.’  Katakanlah, ‘Siapakah yang menurunkan Kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia.  Kalian jadikan Kitab itu sebagai lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kalian perlihatkan sebagiannya dan kalian sembunyikan sebagian besarnya.  Padahal telah diajarkan kepada kalian apa yang kalian dan bapak-bapak kalian tidak mengetahuinya?’  Katakanlah, ‘Allah-lah yang menurunkan.’  Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.  Dan Al-Qur’an ini adalah Kitab yang telah Kami turunkan yang diberkati, membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada penduduk Ummul Qura’ (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya.  Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat  tentu beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan mereka selalu memelihara Shalatnya.”  (Al-An’am;  91-92)
Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji Taurat dan selanjutnya memuji Al-Qur’an dengan pujian yang Agung.
Dan pada akhir surat Al-An’am ,
“Kemudian Kami telah memberikan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan (Nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka.  Dan Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan dan diberkahi, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat.  (Al-An’am;  154-155)
Dalam surat Al-Maidah,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-Nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang ‘Alim mereka dan Pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.  Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku.  Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah.  Barangsiapa yang tidak memutuskan (Perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang Kafir.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat, bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya.  Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu merupakan penebus dosa baginya.  Barangsiapa tidak memutuskan (Perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang Zhalim.
“Dan Kami iringkan jejak mereka (Para Nabi Israil) dengan Isa Putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat.  Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya terdapat petunjuk serta Nur (Cahaya / penerang) untuk orang-orang yang bertakwa.”
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.  Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang Fasik.”
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang memelihara Kitab-Kitab  tersebut.  Maka putuskanlah Perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti Hawa Nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.  Untuk tiap-tiap ummat diantara kalian Kami berikan aturan dan jalan yang terang.  Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap apa yang Dia berikan kepada kalian.  Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.  Hanya kepada Allah kalian semua kembali, lalu diberitahukan kepada kalian apa yang kalian perselisihkan.”  (Al-Maidah;  44-48)
Dengan demikian, Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan Al-Qur’an sebagai Hakim bagi semua Kitab-kitab yang lainnya (terdahulu).  Dia jadikan Al-Qur’an sebagai pembenar dan pemberi penjelasan terhadap adanya pengubahan dan penyimpangan.  Ahlul Kitab itu hanya dapat menjaga Kitab-kitab yang ada ditangan mereka (Seandainya mereka menjaganya), tetapi mereka tidak mampu menghafal dan mempertahankannya, dimana mereka telah melakukan perubahan dan pergantian, karena minimnya pemahaman dan buruknya pemahaman mereka terhadap Ilmu Pengetahuan (Al-Kitab), serta kebiasaan mereka yang suka berkhianat kepada Rabb mereka, semoga mereka dilaknat oleh Allah ‘Azza wa Jalla sampai Hari Kiamat kelak.  Oleh karena itu, di dalam Kitab-Kitab mereka  terdapat berbagai macam kesalahan yang benar-benar tampak dengan jelas (terang).
Dengan demikian itu, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji kedua Kitab tersebut, yaitu Taurat dan Al-Qur’an dan kedua Nabi (Rasul) yang menerimanya, yaitu Musa ‘alaihissalam dan Muhammad Smshallallahu ‘alaihi wa sallam.  
Bangsa Jin juga pernah berkata kepada kaumnya, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya (artinya),
“Mereka berkata, ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.  (Al-Ahqaf;  30)
Secara keseluruhan dapat dikatakan, bahwa Syari’at Musa ‘alaihissalam adalah Syari’at yang Agung.  Dan umat Beliau berjumlah sangat banyak.  Diantara ummat Beliau itu terdapat Para Nabi, ‘Ulama, Hamba Biasa, Rakyat Jelata, Orang-orang yang Zuhud, Para Raja dan juga Umara (pemerintah), serta Para Pembesar, tetapi mereka ingkar sehingga mereka dibinasakan dan digantikan oleh ummat yang lainnya, sebagaimana syari’at mereka yang telah mereka rubah (ganti), lalu mereka dirubah menjadi kera dan babi.  Dan banyak lagi hal lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan.
(Bersambung, In-sya Allah)

oOo

[1]   Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihissalam merupakan keistimewaan Nabi Musa dan karena itu Nabi Musa disebut Kalimullah, sedangkan para Rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantara Malaikat Jibril.  Dalam pada itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam Isra’ Mi’raj.
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar