(Para Pembesar Fir’aun dan Pembantunya)
Setelah peristiwa besar
yang terjadi di hadapan Fir’aun dan para pengikutnya, yakni masuknya ribuan para
ahli sihir itu ke dalam Agama Islam secara serempak, serta dukungan penuh yang
mereka berikan kepada Musa ‘Alaihissalam,
namun semua itu sama sekali tidak menjadikan Fir’aun dan para pengikutnya
berhenti (“kapok”) dan mengakhiri perbuatan mereka, justru mereka bertambah
kafir dan ingkar serta bertambah jauh dari kebenaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang para pembesar dari kaum Fir’aun. Mereka itu adalah para pejabat dan orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Fir’aun. Mereka menyarankan kepada Raja mereka (Fir’aun) untuk menyiksa Nabi Musa ‘Alaihissalam dan merubah keimanan kepada kekafiran, penolakan dan penyiksaan.
Dalam surat Al-Mu’min Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata kepada
Fir’aun, Haman dan Qarun. Maka mereka
berkata, ‘Ia adalah seorang ahli sihir yang pendusta.’” (Al-Mu’min; 23-24)
Para pembesar kaum Fir’aun
berkata (kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan
di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu serta tuhan-tuhan-mu? Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak
laki-laki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan
sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.”
Maksudnya, agar tidak banyak perlawanan dari mereka.
Adapun, di antara orang-orang
yang beriman kepada Musa ‘Alahissalam,
setelah peristiwa besar tersebut adalah isteri Fir’aun Asiyah, disamping itu, ada seorang pembesar pengikut Fir’aun yang
menyembunyikan keimanannya. Orang yang
dimaksud adalah paman Fir’aun sendiri.
Pamannya itu menyembunyikan keimanannya dari kaumnya karena takut kepada
mereka.
Orang inilah yang dulu pernah
mendatangi Musa dengan tergesa-gesa, dan menasihatkan kepada Musa agar
meninggalkan Negeri Mesir, karena para pembesar negeri tersebut sedang
berunding untuk membunuh Musa, disebabkan Musa secara tidak sengaja telah membunuh
salah seorang dari kaum mereka.
Berkata Ad-Daruquthni rahimahullah, “Tidak ada yang dikenal
namanya dengan sebutan Syam’an, kecuali
hanya ia saja, orang mukmin dari keluarga Fir’aun.” Demikian yang dikisahkan oleh Al-Suhaili.
Syam’an menasihati dan berkata
kepada Fir’aun, “Apakah kamu akan
membunuh seorang laki-laki karena ia menyatakan, ‘Tuhan-ku adalah Allah’,
padahal ia (Musa) telah datang kepadaku dengan membawa keterangan-keterangan
dari Tuhanmu”. (Yaitu, melalui
berbagai keajaiban dan kejadian yang luar biasa yang menunjukkan kebenaran apa
yang dibawa oleh Musa ‘Alaihissalam). “Demikian
itulah, jika engkau membiarkannya tetap hidup, maka engkau akan selamat. Dan jika ia seorang pendusta, maka ia yang
akan menanggung kedustaannya itu, dan jika ia seorang yang benar, sedangkan
engkau telah menentangnya, niscaya sebagian bencana yang diancamkannya kepadamu
akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak
akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi
pendusta.” Maksudnya, kalian tidak
menginginkan bila sebagian kecil saja dari adzab itu menimpa kalian, lalu
bagaimana jika semua bencana (adzab) itu menimpa kalian? Nasihat yang demikian itu merupakan ungkapan
yang mempunyai nilai kelembutan yang sangat tinggi.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ditegaskan, bahwasanya Beliau pernah bersabda,
“Sebaik-baik Jihad adalah menyampaikan kalimat keadilan kepada seorang
penguasa yang zhalim.”
Dan dalam memberikan jawaban atas
semua pernyataan tersebut, “Fir’aun
berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang
baik.’” Yakni, apa yang aku katakan
kepada kalian itu tidak lain hanyalah menurut pandanganku semata. “Dan
aku tidak menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya
dengan perkataan itu, lalu mereka patuh kepadanya.
Padahal, jelas-jelas Fir’aun telah berdusta dalam semua ucapannya,
dimana pada hakikatnya dalam diri Fir’aun baik secara lahir maupun bathin,
telah mengakui bahwa apa-apa yang dibawa oleh Musa ‘Alaihissalam itu berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia menunjukkan hal yang bertolak belakang
dari apa yang sebenarnya, karena kesewenangan, permusuhan, dan kekafirannya.
Dalam firman-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengatakan (artinya),
“Lalu Musa memperlihatkan
kepadanya Mukjizat yang besar. Tetapi
Fir’aun mendustakan dan mendurhakainya.
Kemudian ia berpaling seraya berupaya menantang (Musa). Maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya),
lalu berseru memanggil kaumnya, (seraya)
berkata, ‘Akulah tuhan-mu yang paling tinggi.’ Maka Allah mengadzabnya dengan adzab akhirat
dan adzab dunia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhan-nya).” (An-Nazi’at; 20-26)
Wali Allah itu (Syam’an) telah
memperingatkan mereka agar tidak
mendustakan Rasul Allah, Musa ‘Alaihissalam
supaya mereka tidak ditimpa peristiwa yang pernah menimpa ummat-ummat sebelum
mereka. Seperti bencana yang pernah
menimpa kaum Nuh ‘Alaihissalam, kaum
‘Aad, kaum Tsamud, serta orang-orang yang hidup setelah mereka, karena mereka
mendustakan dan mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul-Rasul-Nya.
Mereka itulah yang takut akan
Hari Kiamat, yaitu hari dimana “mereka menoleh kebelakang”, yakni ketika
sebagian orang memanggil sebagian yang lainnya, dimana mereka berusaha
berpaling dari apa yang telah ditetapkan bagi mereka, namun mereka tidak
menemukan jalan untuk itu;
“Pada hari itu manusia berkata, ‘Kemana
tempat berlari?’ Sekali-kali tidak. Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhan-mu sajalah pada hari itu
tempat kembali.” (Al-Qiyamah; 10-12)
Maksudnya, mereka menolak
Hujjah-hujjah Allah Ta’ala dan
Dalil-dalil ketauhidan-Nya, tanpa alasan yang benar. Dan itu merupakan suatu hal yang sangat
dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang yang sewenang-wenang dan sombong.”
Maksudnya, demikian itulah jika hati telah melawan kebenaran,
dimana Allah ‘Azza wa Jalla akan mengunci mati hati tersebut, dan tidak
akan pernah dapat dibuka kembali.
Orang yang beriman itu berkata, “Hai
kaumku, ikutilah aku. Aku akan
menunjukkan kepada kalian jalan yang benar.
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan sesungguhnya negeri akhirat itulah negeri yang abadi
(kekal). Barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka ia tidak akan dibalas kecuali sebanding dengan
kejahatannya itu. Dan barangsiapa yang
mengerjakan amal yang shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam
keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga.
Mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab (perhitungan). Hai kaumku, bagaimanakah kalian, aku menyeru
kalian ke pada jalan keselamatan, tetapi kalian menyeru aku ke Neraka? Mengapa kalian menyeruku supaya kafir kepada
Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui, padahal aku
menyeru kalian (beriman) kepada Yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun?” (Al-Mukmin;
38-42)
Orang mukmin itu mengajak mereka
ke jalan yang lurus, yaitu sebuah
kebenaran, berupa mengikuti Nabi Allah Musa ‘Alahissalam
dan membenarkan apa yang dibawanya dari sisi Tuhan-Nya. Setelah itu, ia menyerukan agar tidak terpaku
pada kehidupan dunia yang fana ini saja, lalu ia juga menganjurkan mereka
supaya mencari pahala dari sisi Allah, yang Dia tidak pernah menyia-nyiakan
amal perbuatan seorang pun, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa, yang segala sesuatu ada
di Tangan-Nya. Dialah Tuhan yang
membalas perbuatan yang sedikit dengan balasan yang sangat banyak. Dan diantara wujud keadilan-Nya adalah, Dia
tidak memberikan balasan atas perbuatan buruk melainkan dengan keburukan yang
serupa. Kemudian orang mukmin itu
memberitahukan, bahwa kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang abadi, yang
barangsiapa memenuhi semua tuntutan-Nya akan mendapatkan derajat yang tinggi,
tempat yang aman lagi terpuji, berbagai
kebaikan yang melimpah, dan segala macam rezki yang tidak akan pernah lenyap.
Selanjutnya ia menyalahkan apa
yang mereka kerjakan itu dan menakuti mereka atas apa yang sedang mereka geluti
itu, dimana ia berkata, “Hai kaumku, bagaimanakah kalian, aku menyeru kalian
kepada keselamatan, tetapi kalian menyeru aku ke Neraka? Mengapa kalian menyeruku supaya kafir kepada
Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui, padahal aku
menyeru kalian (beriman) kepada Yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun? Sudah pasti, bahwa apa yang kalian seru
supaya aku beriman kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apa pun, baik di
dunia maupun di akhirat. Dan
sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah, dan sesungguhnya orang-orang yang
melampaui batas, mereka itulah penghuni Neraka.
Kelak kalian akan ingat kepada apa yang aku katakan kepada kalian. Dan aku menyerahkan urusanku kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Mahamelihat
akan hamba-hamba-Nya.”
Ketahuilah, bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla tidak membinasakan mereka kecuali setelah diberikan-Nya Hujjah kepada
mereka, diutusnya para Rasul, serta dihilangkannya berbagai ketidakjelasan dari
diri mereka. Hujjah itu disampaikan
kepada mereka, terkadang dalam bentuk peringatan yang menakut-nakuti, dan
terkadang dengan sesuatu yang menarik hati.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah
menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan
buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-‘Araf;
130)
“Maka Kami kirimkan kepada mereka
taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka
tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (Al-‘Araf; 133)
“Mereka berkata, ‘Bagaimanapun
kamu mendatangkan keterangan pada kami untuk menyihir kami dengan keterangan
itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.’” Mereka mengatakan, ayat apapun yang
engkau datangkan kepada kami, serta hujjah dan dalil apapun yang engkau
kemukakan kepada kami, maka kami pasti akan menolaknya dan tidak akan pernah
mau menerimanya, dan tidak juga kami beriman kepadamu dan kepada apa yang
engkau bawa. Demikian itulah Allah ‘Azza wa Jalla menceritakan tentang
mereka di dalam kitab-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang
telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhan-mu, tidaklah akan beriman, meskipun datang
kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab
yang pedih.” (Yunus; 96-97)
“Laa haulawalaa quwwata illaa
billah.”
(Bersambung, In-sya Allah)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi” Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar