Jumat, 20 April 2018

Kisah Nabi MUSA 'Alaihissalam (2)


(Para Pembesar Fir’aun dan Pembantunya)






بسم الله الر حمان الر حيم

Setelah peristiwa besar yang terjadi di hadapan Fir’aun dan para pengikutnya, yakni masuknya ribuan para ahli sihir itu ke dalam Agama Islam secara serempak, serta dukungan penuh yang mereka berikan kepada Musa ‘Alaihissalam, namun semua itu sama sekali tidak menjadikan Fir’aun dan para pengikutnya berhenti (“kapok”) dan mengakhiri perbuatan mereka, justru mereka bertambah kafir dan ingkar serta bertambah jauh dari kebenaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang para pembesar dari kaum Fir’aun.  Mereka itu adalah para pejabat dan orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Fir’aun.  Mereka menyarankan kepada Raja mereka  (Fir’aun) untuk menyiksa Nabi Musa ‘Alaihissalam dan merubah keimanan kepada kekafiran, penolakan dan penyiksaan.
Dalam surat Al-Mu’min Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata kepada Fir’aun, Haman dan Qarun.  Maka mereka berkata, ‘Ia adalah seorang ahli sihir yang pendusta.’”  (Al-Mu’min;  23-24)
Para pembesar kaum Fir’aun berkata (kepada Fir’aun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu serta tuhan-tuhan-mu?  Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.”  Maksudnya, agar tidak banyak perlawanan dari mereka.
Adapun, di antara orang-orang yang beriman kepada Musa ‘Alahissalam, setelah peristiwa besar tersebut adalah isteri Fir’aun Asiyah, disamping itu, ada  seorang pembesar pengikut Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya.  Orang yang dimaksud adalah paman Fir’aun sendiri.  Pamannya itu menyembunyikan keimanannya dari kaumnya karena takut kepada mereka.
Orang inilah yang dulu pernah mendatangi Musa dengan tergesa-gesa, dan menasihatkan kepada Musa agar meninggalkan Negeri Mesir, karena para pembesar negeri tersebut sedang berunding untuk membunuh Musa, disebabkan Musa secara tidak sengaja telah membunuh salah seorang dari kaum  mereka.
Berkata Ad-Daruquthni rahimahullah, “Tidak ada yang dikenal namanya dengan sebutan Syam’an, kecuali hanya ia saja, orang mukmin dari keluarga Fir’aun.”  Demikian yang dikisahkan oleh Al-Suhaili.
Syam’an menasihati dan berkata kepada Fir’aun, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena ia menyatakan, ‘Tuhan-ku adalah Allah’, padahal ia (Musa) telah datang kepadaku dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu”.  (Yaitu, melalui berbagai keajaiban dan kejadian yang luar biasa yang menunjukkan kebenaran apa yang dibawa oleh Musa ‘Alaihissalam).  “Demikian itulah, jika engkau membiarkannya tetap hidup, maka engkau akan selamat.  Dan jika ia seorang pendusta, maka ia yang akan menanggung kedustaannya itu, dan jika ia seorang yang benar, sedangkan engkau telah menentangnya, niscaya sebagian bencana yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.  Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”  Maksudnya, kalian tidak menginginkan bila sebagian kecil saja dari adzab itu menimpa kalian, lalu bagaimana jika semua bencana (adzab) itu menimpa kalian?  Nasihat yang demikian itu merupakan ungkapan yang mempunyai nilai kelembutan yang sangat tinggi.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditegaskan, bahwasanya Beliau pernah bersabda,
“Sebaik-baik Jihad adalah menyampaikan kalimat keadilan kepada seorang penguasa yang zhalim.”
Dan dalam memberikan jawaban atas semua pernyataan tersebut, “Fir’aun berkata, ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik.’”  Yakni, apa yang aku katakan kepada kalian itu tidak lain hanyalah menurut pandanganku semata.  “Dan aku tidak menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya dengan perkataan itu, lalu mereka patuh kepadanya.
Padahal, jelas-jelas Fir’aun telah berdusta dalam semua ucapannya, dimana pada hakikatnya dalam diri Fir’aun baik secara lahir maupun bathin, telah mengakui bahwa apa-apa yang dibawa oleh Musa ‘Alaihissalam itu berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia menunjukkan hal yang bertolak belakang dari apa yang sebenarnya, karena kesewenangan, permusuhan, dan kekafirannya.
Dalam firman-Nya,  Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan (artinya),
“Lalu Musa memperlihatkan kepadanya Mukjizat yang besar.  Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakainya.  Kemudian ia berpaling seraya berupaya menantang (Musa).  Maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya, (seraya)  berkata, ‘Akulah tuhan-mu yang paling tinggi.’  Maka Allah mengadzabnya dengan adzab akhirat dan adzab dunia.  Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhan-nya).”  (An-Nazi’at;  20-26)
Wali Allah itu (Syam’an) telah memperingatkan mereka agar  tidak mendustakan Rasul Allah, Musa ‘Alaihissalam supaya mereka tidak ditimpa peristiwa yang pernah menimpa ummat-ummat sebelum mereka.  Seperti bencana yang pernah menimpa kaum Nuh ‘Alaihissalam, kaum ‘Aad, kaum Tsamud, serta orang-orang yang hidup setelah mereka, karena mereka mendustakan dan mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul-Rasul-Nya.
Mereka itulah yang takut akan Hari Kiamat, yaitu hari dimana “mereka menoleh kebelakang”, yakni ketika sebagian orang memanggil sebagian yang lainnya, dimana mereka berusaha berpaling dari apa yang telah ditetapkan bagi mereka, namun mereka tidak menemukan jalan untuk itu;
“Pada hari itu manusia berkata, ‘Kemana tempat berlari?’  Sekali-kali tidak.  Tidak ada tempat berlindung.  Hanya kepada Tuhan-mu sajalah pada hari itu tempat kembali.”  (Al-Qiyamah;  10-12)
Maksudnya, mereka menolak Hujjah-hujjah Allah Ta’ala dan Dalil-dalil ketauhidan-Nya, tanpa alasan yang benar.  Dan itu merupakan suatu hal yang sangat dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sewenang-wenang dan sombong.”  Maksudnya, demikian itulah jika hati telah melawan kebenaran, dimana Allah ‘Azza wa Jalla akan mengunci mati hati tersebut, dan tidak akan pernah dapat dibuka kembali.
Orang yang beriman itu berkata, “Hai kaumku, ikutilah aku.  Aku akan menunjukkan kepada kalian jalan yang benar.  Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya negeri akhirat itulah negeri yang abadi (kekal).  Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka ia tidak akan dibalas kecuali sebanding dengan kejahatannya itu.  Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga.  Mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab (perhitungan).  Hai kaumku, bagaimanakah kalian, aku menyeru kalian ke pada jalan keselamatan, tetapi kalian menyeru aku ke Neraka?  Mengapa kalian menyeruku supaya kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui, padahal aku menyeru kalian (beriman) kepada Yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun?”  (Al-Mukmin;  38-42)
Orang mukmin itu mengajak mereka ke jalan yang lurus, yaitu sebuah kebenaran, berupa mengikuti Nabi Allah Musa ‘Alahissalam dan membenarkan apa yang dibawanya dari sisi Tuhan-Nya.  Setelah itu, ia menyerukan agar tidak terpaku pada kehidupan dunia yang fana ini saja, lalu ia juga menganjurkan mereka supaya mencari pahala dari sisi Allah, yang Dia tidak pernah menyia-nyiakan amal perbuatan seorang pun, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa, yang segala sesuatu ada di Tangan-Nya.  Dialah Tuhan yang membalas perbuatan yang sedikit dengan balasan yang sangat banyak.  Dan diantara wujud keadilan-Nya adalah, Dia tidak memberikan balasan atas perbuatan buruk melainkan dengan keburukan yang serupa.  Kemudian orang mukmin itu memberitahukan, bahwa kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang abadi, yang barangsiapa memenuhi semua tuntutan-Nya akan mendapatkan derajat yang tinggi, tempat  yang aman lagi terpuji, berbagai kebaikan yang melimpah, dan segala macam rezki yang tidak akan pernah lenyap.
Selanjutnya ia menyalahkan apa yang mereka kerjakan itu dan menakuti mereka atas apa yang sedang mereka geluti itu, dimana ia berkata, “Hai kaumku, bagaimanakah kalian, aku menyeru kalian kepada keselamatan, tetapi kalian menyeru aku ke Neraka?  Mengapa kalian menyeruku supaya kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan apa yang tidak kuketahui, padahal aku menyeru kalian (beriman) kepada Yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun?  Sudah pasti, bahwa apa yang kalian seru supaya aku beriman kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apa pun, baik di dunia maupun di akhirat.  Dan sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah, dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni Neraka.  Kelak kalian akan ingat kepada apa yang aku katakan kepada kalian.  Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.”
Ketahuilah, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak membinasakan mereka kecuali setelah diberikan-Nya Hujjah kepada mereka, diutusnya para Rasul, serta dihilangkannya berbagai ketidakjelasan dari diri mereka.  Hujjah itu disampaikan kepada mereka, terkadang dalam bentuk peringatan yang menakut-nakuti, dan terkadang dengan sesuatu yang menarik hati.  Sebagaimana yang difirmankan-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan)  musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.”   (Al-‘Araf;  130)
“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.”  (Al-‘Araf;  133)
“Mereka berkata, ‘Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan pada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.’”  Mereka mengatakan, ayat apapun yang engkau datangkan kepada kami, serta hujjah dan dalil apapun yang engkau kemukakan kepada kami, maka kami pasti akan menolaknya dan tidak akan pernah mau menerimanya, dan tidak juga kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa.  Demikian itulah Allah ‘Azza wa Jalla menceritakan tentang mereka di dalam kitab-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhan-mu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.”  (Yunus;  96-97)
“Laa haulawalaa quwwata illaa billah.”
(Bersambung, In-sya Allah)

oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi” Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar