Rabu, 18 April 2018

Kisah Nabi MUSA 'Alahissalam (1)



بسم الله الر حمان الر حيم

Rasul Ulul Azmi (Yang Paling Utama) ke-3 setelah Nuh dan Ibrahim ‘Alaihimussalam, adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam.
Nama lengkap Beliau adalah, Musa bin Imran bin Qahits bin Azir bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘Alaihimussalaatu wassalam.
Banyak ‘Ulama Ahli Tafsir yang mengemukakan, bahwa saudara Musa (Harun ‘Alaihissalam) dilahirkan pada tahun dibiarkannya anak laki-laki hidup.  Sedangkan Musa ‘Alaihissalam dilahirkan ketika semua anak laki-laki dibunuh.  Hal tersebut menjadikan Ibu Musa takut, sehingga ia sangat berhati-hati ketika hendak melahirkan anaknya.
Al-Suhaili mengatakan, nama Ibu Musa adalah “Ayarikha”. 
Dan setelah melahirkan, Ibu Musa ‘Alaihissalam mendapatkan Ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar menempatkan Musa pada sebuah peti yang ditautkan dengan seutas tali dan menghanyutkan Musa ‘Alaihissalam ke Sungai Nil.  Bila hendak menyusui Musa, tali tersebut ditariknya kembali ke tepian sungai.  Demikian dilakukan oleh Ibunda Musa berkali-kali.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan Kami Ilhamkan kepada Ibu Musa, susuilah ia dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah ke Sungai (Nil).  Dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu serta menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.”     
Setelah benar-benar merasa takut, maka Ibunda Musa ‘Alaihissalam benar-benar menghanyutkan Musa ‘Alaihissalam ke arah laut melalui Sungai Nil.  Namun, takdir Allah Subhanu wa Ta’ala menghendaki “Musa kecil” tetap hidup.  Hingga dipungutlah Beliau oleh keluarga Fir’aun.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun, yang mengakibatkan ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.  Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”

Setelah Ibu Musa menghanyutkan Musa ke Sungai Nil, maka timbullah penyesalan dan kesangsian di dalam hatinya, karena kekhawatiran akan keselamatan Musa, bahkan hampir-hampir ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang untuk mengambil anaknya kembali (yang bisa berakibat terbukanya rahasia, bahwa Musa adalah anaknya). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya  tidak Kami teguhkan hatinya, agar ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).”
Ketika isteri Fir’aun membuka tutup peti tersebut dan menyingkapkan tabirnya, maka ia melihat wajah “Musa kecil” yang cerah berbinar, memancarkan cahaya kenabian dan keagungan.  Pertama kali melihatnya, ia sangat menyukai dan mencintainya.  Hingga pada saat Fir’aun datang dan bertanya, “Siapa anak ini?”  Dan Fir’aun pun sempat memerintahkan untuk menyembelih anak tersebut, akan tetapi  istri Fir’aun berkata, “Ia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.  Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita, atau kita ambil ia menjadi anak.”
Maka, Fir’aun berkata, “Pendapatmu itu memang benar, tetapi bagiku itu sama sekali tidak benar.”  Artinya, tidak ada kepentinganku padanya.
Di tempat lain, Ibu Musa berkata kepada saudara perempuan Musa, “Ikutilah Ia (Musa)”, maka saudara perempuan Musa itu mencari tahu, dan “memonitor” keberadaan Musa dari jauh, tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitarnya.
Setelah Musa ‘Alaihissalam tinggal di Istana keluarga Fir’aun yang Megah, maka para wanita di sekitar Fir’aun ingin menyusuinya, tetapi Musa selalu menolak untuk menyusu pada mereka.  Mereka juga berusaha keras memberikan  makanan kepada Musa, tetapi Musa tetap menolaknya.
Kemudian mereka mengirimkan anak itu ke beberapa kabilah dan ke beberapa wanita di pasar, dengan harapan di sana mereka menemukan wanita yang cocok untuk menyusuinya.  Akan tetapi mereka tidak mendapatkannya, karena “Musa kecil” selalu menolak apa pun dari mereka.
Firman Allah Azza wa Jalla (artinya),
 “Dan Kami cegah Musa menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusuinya sebelum itu, maka saudara (perempuan) Musa berkata, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu Ahlul Baits yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?’”
“Maka Kami kembalikan Musa kepada Ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita, agar ia mengetahui, bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”  (Al-Qashas;  7-13)
Ketika para pembantu Fir’aun tengah berdiri di suatu tempat dalam keadaan kebingungan, sambil menggendong bayi tersebut, sedangkan orang-orang ramai berkerumun di sekitar mereka, tiba-tiba saudara perempuan Musa yang diutus Ibunya sebagai “mata-mata” muncul mendekati mereka.  Seakan-akan tidak kenal dengan bayi tersebut, sambil berkata,
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian Ahlul Baits yang akan memeliharanya untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”
Ibnu Abbas radhiyallahuanhu mengatakan, “Setelah saudara perempuan (Musa) itu berkata demikian, maka mereka pun berkata kepadanya, ‘Darimana kamu tahu, bahwa mereka akan memelihara dan berlaku baik terhadapnya?’  Maka saudara perempuannya itu menjawab, ‘Mereka hanya ingin membahagiakan Raja dan mengharapkan kebaikannya.’”
Kemudian mereka membiarkan wanita itu dan bahkan mereka ikut pergi bersamanya ke rumah yang dimaksud (Ibunda Musa).  Lalu Ibunya langsung mengambilnya dan menyusuinya.  Maka mereka pun merasa sangat senang dan bahagia.  Selanjutnya, salah seorang dari mereka pergi untuk menyampaikan khabar gembira tersebut kepada Asiyah (Isteri Fir’aun).  Maka Asiyah pun memanggil wanita itu, yang tak lain adalah Ibu kandung Musa sendiri dan menawarkan supaya ia mau tinggal bersamanya di Istana, tetapi Ibu Musa menolak seraya berujar, “Kami mempunyai suami dan beberapa anak, aku tidak akan bisa meninggalkan mereka, kecuali jika engkau juga membawa mereka bersamaku.  Kemudian isteri Fir’aun mengirimkan utusan untuk mengambil suami dan anak-anak mereka.  Setelah tinggal di sana dan menyusui Musa, ia pun diberi gaji dan nafkah, pakaian serta segala kebutuhan hidup mereka.  Begitulah, hingga akhirnya  Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan antara keduanya (Musa dan Ibunya) dengan penuh kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Maka Kami kembalikan Musa kepada Ibunya, agar senang hatinya dan tidak berduka cita, dan agar ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar.”
Selang beberapa waktu kemudian.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya Hikmah (Kenabian) dan Pengetahuan.  Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menurut mayoritas pendapat ‘Ulama, usia Musa 'Alaihissalam pada waktu itu adalah 40 tahun.  Allah ‘Azza wa Jalla memberikan Hikmah dan Pengetahuan, yaitu Kenabian dan Kerasulan.
Nabi / Rasul Musa Alahissalam diutus kepada kaum Fir’aun (Bangsa Qibthi), yakni Bangsa yang Kafir dan selalu mempersekutukan  Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan Musa masuk ke kota (Memphis), ketika penduduknya sedang berleha-leha, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang sedang berkelahi, yang satu dari golongannya (Bani Israil) dan yang lainnya dari golongan musuhnya (kaum Fir'aun / Bangsa Qibthi).  Maka orang yang dari golongannya meminta bantuan kepada Musa, untuk mengalahkan golongan musuhnya tersebut, lalu Musa memukulnya, maka matilah musuhnya itu.  Musa berkata, “Ini adalah perbuatan syaithan, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata permusuhannya.”
Musa berdo’a, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.”  Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Musa berkata, “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, sekali-kali aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.”
Karena pembunuhan yang telah dilakukan secara tidak sengaja tersebut, Musa merasa takut dan menunggu-nunggu dengan khawatir, apa gerangan balasan yang akan mereka lakukan terhadapnya.
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota seraya bergegas-gegas dan berkata, “Hai Musa, sesungguhnya Pembesar Negeri sedang berunding tentang dirimu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.”
Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, sambil menunggu-nunggu dengan khawatir, dan berdo’a, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang kepergian Musa dari Negeri Mesir, dalam keadaan takut, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, karena ia takut diketahui oleh kaum Fir’aun, sedang ia sendiri tidak mengetahui kemana arah tujuannya dan tidak pula mengerti kemana ia harus pergi.  Yang demikian itu, karena Musa ‘Alaihissalam belum pernah keluar sama sekali dari Negeri Mesir.
“Dan ketika Musa menghadap ke jurusan Negeri Madyan,” maksudnya berjalan menuju ke suatu jalan.  Ia berdo’a, “Mudah-mudahan Tuhan-ku memimpinku ke jalan yang benar.”  Maksudnya, mudah-mudahan jalan ini dapat mengantarkan ke tempat tujuan.  Dan itu memang jalan yang benar, dimana jalan itu telah mengantarkan Musa sampai ke tempat yang dituju.
Madyan adalah sebuah kota yang di dalamnya Allah ‘Azza wa Jalla membinasakan penduduk Aikah, yaitu kaum Nabi Syu’aib 'Alaihissalam.  Pembinasaan itu terjadi sebelum zaman Musa 'Alaihissalam, demikian menurut pendapat salah satu ‘ulama.
“Dan ketika sampai di sumber air negeri Madyan.”  Yaitu sebuah sumur dimana masyarakat sekitar mengambil air minum dari tempat tersebut,
“Ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang banyak orang tersebut, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).”  Maksudnya menghalang-halangi kambing mereka agar tidak bercampur-baur dengan kambing orang lain.
“Musa berkata, ‘Apakah maksud kalian dengan berbuat begitu?’  Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan Bapak kami adalah orang yang tua yang telah lanjut usianya.’”  Maksudnya kami tidak sanggup mencapai sumber air tersebut, kecuali setelah para pengembala itu pergi meninggalkannya, karena kami lemah dibandingkan mereka.
Para ahli tafsir mengatakan, yang demikian itu karena setiap kali selesai memberi minum ternak mereka, para pengembala itu meletakkan batu besar di atas mulut sumur tersebut.  Pada hari itu, Musa ‘Alaihissalam datang dan mengangkat batu besar itu sendirian, dan selanjutnya ia memberi minum ternak kedua wanita tersebut.  Dan setelah itu, Musa mengembalikan batu itu seperti semula.
Amirul mukminin Umar bin Khatab Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Tidak ada yang mampu mengangkat batu tersebut, kecuali oleh sepuluh orang.”
“Kemudian ia kembali ke tempat yang teduh,”  Maksudnya, setelah itu Musa 'Alaihissalam kembali ke tempat yang teduh.  Para ahli tafsir mengatakkan, “Yaitu teduhnya pepohonan”.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud, bahwa Musa 'Alaihissalam menyaksikan bahwa pohon-pohon itu tampak subur dan hijau lagi rindang.  “Lalu Musa berdo’a, ‘Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
Tak lama kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan perasaan malu-malu.  Wanita itu berkata, “Sesungguhnya Bapakku memanggilmu, agar ia memberikan balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.”  Maka ketika Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib ‘Alaihissalam) dan menceritakan kepadanya cerita mengenai dirinya, Syu’aib 'Alaihissalam berkata, “Janganlah kamu takut.  Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu.”
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ia (Syu’aib 'Alaihissalam) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah suatu kebaikan darimu, maka aku tidak hendak memberatimu.  Dan kamu in-sya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang shalih.”
Dan Musa berkata, “Itulah perjanjian antara aku denganmu.  Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan lagi atas diriku.  Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.”  (Al-Qashash;  25-28)
Melanjutkan cerita-Nya tentang kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  (artinya),
“Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang telah ditentukan dan ia berangkat dengan keluarganya, ‘Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sesuatu berita kepadamu dari tempat api itu, atau membawa sesuluh api agar kamu dapat menghangatkan badan.”
Kerinduan yang sangat mendalam dari Musa 'Aaihissalam terhadap keluarganya, mendorong Musa untuk kembali lagi ke Negeri Mesir.  Dengan membawa beberapa ekor kambing untuk menjadi bekal bagi mereka sekeluarga selama dalam perjalanan.
Para ahli tafsir menyebutkan, pada suatu malam yang gelap-gulita, Musa bersama keluarganya sampai di suatu tempat, dimana ia tidak mengetahui jalan, dan ia berusaha untuk menerangi tetapi tidak ada api yang dapat dinyalakan karena faktor hawa dingin yang sangat menyengat.  Dan semakin malam, semakin gelap dan dingin.
Pada saat itu Musa melihat dari kejauhan setitik api yang menyala-nyala di sisi Bukit Thur, maka ia berkata kepada keluarganya, ‘Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepada kalian dari tempat api itu, atau membawa sesuluh api agar kamu dapat menghangatkan badan.’  Seolah-olah hanya Musa 'Alaihissalam yang melihat api tersebut, karena pada hakikatnya api tersebut adalah cahaya (Nur), sehingga tidak setiap orang dapat melihatnya, “Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepada kalian.”  Maksudnya, semoga aku memperoleh jalan dari api tersebut.  “Atau membawa sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan.”  Dan hal itu menunjukkan bahwa mereka telah tersesat jalan pada malam yang dingin lagi sangat gelap.
Akhirnya Musa ‘Alahissalam membawakan mereka suatu berita, lalu apa berita yang dibawanya?  Dan ia pun mendapatkan petunjuk di dekat api tersebut, lalu apa petunjuk tersebut, dan Musa pun memperoleh seberkas cahaya, lalu cahaya apakah itu?
 Maka ketika itu Musa sampai ke tempat api itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu, “Ya, Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan-mu, maka tanggalkanllah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.  Dan aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu.  Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang Haq selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.  Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang.  Aku merahasiakan waktunya, agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.  Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa.”    (Thaaha;  11-16)
Selanjutnya Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan kepadanya, bahwa dunia ini bukan tempat tinggal yang abadi, akan tetapi tempat tinggal abadi pada Hari Kiamat yang pasti terjadi dan telah ada adalah Akhirat, “Agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.”  Yaitu balasan yang mencakup perbuatan baik maupun jahat.  Dan Dia perintahkan supaya ia berusaha dan beramal untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangannya serta menghindari orang-orang yang tidak beriman kepadanya dan hanya mengikuti hawa nafsu mereka.
Setelah itu Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan kepadanya seraya berbicara langsung dengannya secara lembut, sekaligus menjelaskan kepadanya, bahwa Dia Kuasa untuk mengerjakan segala sesuatu.  Dia adalah Tuhan yang jika ingin menciptakan sesuatu hanya akan mengatakan, “Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut.
Allah Ta’ala lalu berfirman (artinya),
“Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa?”  (Thaaha;  18)
Maksudnya, ini adalah tongkatmu yang sudah engkau ketahui sejak sebelumnya.  Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya),
“Musa berkata, ‘Ini adalah tongkatku, aku bersandar padanya dan aku pukul dengannya (daun) untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain darinya.’”  (Thaaha;  18)
“Allah berfirman, ‘Lemparkanlah ia, hai Musa’.  Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.’”  (Thaaha;  19-20)
Yang demikian itu merupakan suatu kejadian yang luar biasa, sekaligus sebagai bukti yang pasti, bahwa yang berbicara dengan Musa ‘Alaihissalam adalah Tuhan yang jika menginginkan sesuatu hanya akan mengatakan “Jadilah”, maka jadilah ia.
Lalu Musa lari dari ular-ular tersebut.  Kemudian Rabb ‘Azza wa Jalla menyuruhnya agar menjulurkan tangannya dan memegang ekor ular tersebut.  Dan seketika itu ia menjadi diam, maka tongkatnya itu kembali ke tangannya.
Selanjutnya Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh Musa ‘Alaihissalam agar memasukkan tangannya ke bajunya, dan setelah itu diperintahkan kepadanya untuk mengeluarkannya, ternyata tangannya bersinar terang seperti bulan yang putih tanpa cacat sama sekali.  Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, nisacaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dadamu) bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhan-mu (yang akan kamu hadapkan ke Fir’aun dan pembesar-pembesarnya).”  Ada yang mengatakan, artinya jika kamu takut, maka letakkanlah tanganmu ke dadamu, tepat di tempat hatimu berada, maka rasa takutmu itu pasti akan hilang.  Meskipun ini hanya khusus pada diri Musa, namun berkah keimanan padanya akan memberikan manfaat bagi orang yang melakukan hal itu, dalam rangka mengikuti jejak para Nabi.
Dan disamping itu masih ada tujuh mukjizat lainnya.  Sehingga semuanya berjumlah Sembilan mukjizat, dan semuanya terdapat di dalam Surat Al-Isra’.
Selanjutnya firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan mendatangkan musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.”
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini adalah karena usaha kami.’  Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.  Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”
“Maka Kami kirimkan kepada mereka Taufan, Belalang, Kutu, Katak dan Darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.”
“Dan ketika mereka ditimpa adzab (yang telah diterangkan itu), mereka pun berkata, ‘Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan-mu dengan (perantaraan) Kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.  Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu, dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”
“Maka setelah Kami hilangkan adzab itu dari mereka, hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.”  (Al-‘Araaf;  132-135)
Lebih lanjut Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya),
“Maka Kami kirimkan kepada mereka Taufan.”  Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, Taufan itu adalah hujan yang turun sangat lebat yang dapat menenggelamkan dan merusak segala macam tanaman dan buah-buahan.
Selanjutnya Allah ‘Azza wa Jalla mengirimkan belalang, lalu belalang-belalang itu memakan semua tanaman, seperti yang aku (Muhammad bin Ishaq bin yasar) terima, bahwa belalang-belalang itu memakan paku-paku pintu rumah dan tempat tinggal mereka hingga hancur-runtuh.  Lalu mereka berkata seperti perkataan yang dahulu pernah mereka katakan.  Maka Musa ‘Alaihissalam pun berdo’a kepada-Nya, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menghilangkan penderitaan tersebut.  Namun setelah itu mereka tidak juga memenuhi janjinya kepada Musa ‘Alaihissalam.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan kutu kepada mereka.  Disebutkan, bahwa Musa ‘Alaihissalam diperintahkan-Nya pergi ke anak bukit, hingga ia memukulnya (bukit itu) dengan tongkatnya.  Maka Musa pun berangkat ke anak bukit yang cukup besar tersebut, lalu memukulnya dengan tongkat miliknya, hingga kutu-kutu berhamburan menghinggapi mereka, sampai kutu-kutu itu memenuhi rumah dan makanan mereka, yang menyebabkan mereka tidak dapat tidur dengan tenang.  Kemudian setelah mereka merasa kelelahan, mereka mengulangi apa yang dahulu pernah mereka katakan kepada Musa.  Kemudian Musa ‘Alahissalam pun berdo’a lagi kepada Tuhan-nya, dan Allah ‘Azza wa Jalla kembali  mengabulkan do’a Musa dan menghilangkan penderitaan mereka.  Namun demikian, mereka tidak juga menepati apa yang telah mereka janjikan.
Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan kepada mereka katak hingga memenuhi rumah-rumah, makanan, dan tempat-tempat makan mereka, sehingga tidak seorang pun yang membuka pakaian dan juga makanan, melainkan disana terdapat katak yang bertengger di atasnya.  Dan setelah mereka kelelahan dengan hal itu, mereka pun mengatakan seperti apa yang pertama kali mereka katakan.  Selanjutnya Musa ‘Alaihissalam memohon kepada Tuhan-nya, dan Tuhannya pun menghilangkan penderitaan yang menimpa mereka.  Tetapi, sekali lagi mereka tidak menepati apa yang mereka katakan.
Dan akhirnya Allah Azza wa Jalla mengirimkan darah, sehingga semua air kaum Fir’aun itu berubah menjadi darah.  Mereka tidak dapat mengambil air dari sumur-sumur dan sungai-sungai.  Tidaklah mereka mengambil air dari gayung melainkan langsung menjadi darah.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Thaaha (artinya),
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.”
Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku dadaku.  Dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.  Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu saudaraku Harun.  Teguhkanlah dengannya kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada-Mu serta banyak mengingat-Mu.  Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat keadaan kami.”  (Thaha;  25-35)
“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya Harun menjadi seorang Nabi.”  (Maryam;  53)
Ada yang menyatakan, bahwa lidah Musa ‘Alaihissalam mengalami kekakuan, akibat bara api yang diletakkan di lidahnya, disamping karena Fir’aun menguji kemampuannya.  Yaitu ketika masa kecilnya, Musa pernah menarik jenggot Fir’aun.  Maka Asiyah menjadi takut seraya berkata, “Ia itu masih anak-anak.”  Maka Fir’aun mengujinya dengan meletakkan buah dan bara api diantara kedua tangannya.  Setelah itu, Raja yang Kejam dan Lalim itu mengambil dan meletakkan bara api itu ke lidah Musa, hingga akhirnya lidahnya mengalami kekakuan.  Kemudian Musa ‘Alaihissalam memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar dihilangkan sebahagian dari kekakuan tersebut, sebatas mereka dapat memahami  ucapannya, dan ia tidak meminta supaya semua kekakuan itu dihilangkan.
Hasan Basri mengatakan, “Sesungguhnya para Rasul itu hanya meminta sesuai dengan kebutuhannya.  Oleh karena itu, pada lidah Musa masih tersisa kekakuan.”
Oleh karena itu, dengan nada menghina dan mencaci Musa, Fir’aun berkata,
“Bukankan aku lebih baik dari orang yang hina ini, dan yang hampir tidak dapat menjelaskan perkataannya.”  (Az-Zukhruf;  52)
Musa berkata,”Ya Tuhan-ku, aku takut mereka akan mendustakanku.  Dan karenanya dadaku sempit dan lidahku pun tidak lancar, maka utuslah Jibril kepada Harun.  Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.”
Allah berfirman, “Janganlah takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kalian berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (Mukjizat-mukjizat).  Sesungguhnya Kami bersama kalian (Mendengar apa-apa yang mereka katakan).  Maka datanglah kalian berdua kepada Fir’aun dan katakanlah oleh kalian, ‘Sesungguhnya kami adlah Rasul Tuhan Semesta Alam.  Lepaskanlah Bani Israil pergi bersama kami.’”
Fir’aun menjawab,”Bukankah kami telah mengasuhmu diantara keluarga kami.  Waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.  Dan kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas budi.”
Musa berkata, “Aku telah melakukannya, sedang aku pada waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.  Lalu aku lari meninggalkan kalian ketika aku takut kepada kalian, kemudian Tuhan-ku memberikan ilmu kepadaku serta Dia menjadikanku  salah seorang diantara Rasul-Rasul tersebut.  Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.”
Fir’aun bertanya, “Siapakah Tuhan semesta Alam itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kalian termasuk orang-orang yang mempercayai-Nya.”
Kemudian Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Apakah kalian tidak mendengarkan?”
Musa menimpali, “Tuhan kalian dan Tuhan nenek moyang kalian yang terdahulu.”
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasul kalian yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila.”
Musa berkata, “Tuhan Yang Menguasai Timur dan Barat serta apa yang ada di antara keduanya.  Itulah Tuhan kalian jika kalian mempergunakan akal.”  (Asy-Syuura;  10-28)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan perbincangan dan perdebatan antara Fir’aun dan Musa ‘Alaihissalam.  Dimana pertama-tama, Musa memberikan Dalil-dalil dan Hujjah-hujjah yang bersifat maknawi (Immaterial), dan kemudian yang bersifat material.
Dan Fir’aun berkata, “Hai para pembesar kaumku, aku tidak mengetahui bagi kalian tuhan selain aku.  Maka bakarlah hai Haman tanah liat untukku, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi, supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa ia termasuk orang-orang pendusta.”  (Al-Qashash;  38)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan , padahal hati mereka meyakini kebenarannya.  Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.”  (An-Naml;  14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.”  (Fushilat;  53)
Setelah semua Hujjah yang telah disiapkan menghakimi Fir’aun, sedang ia tidak dapat berbuat apa pun kecuali hanya ingkar, maka ia mulai menggunakan kekuasaan dan kebengisannya.  Sebagaimana difirmankan-Nya;
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya jika kamu menyembah Tuhan selain aku, maka aku benar-benar akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.”
Musa menjawab, “Dan apakah kamu (akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu keterangan yang nyata?”
Fir’aun berkata, “Datangkanlah sesuatu (bukti) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
Maka Musa melemparkan tongkatnya, dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi ular yang nyata.  Dan dia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangannya itu berubah menjadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.
Fir’aun berkata kepada para pembesar yang ada di sekelilingnya, “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai.  Ia (Musa) hendak mengusir kalian dari negeri kalian sendiri dengan sihirnya.  Karena itu, apakah yang akan kalian anjurkan?”
Mereka menjawab, “Tundalah urusannya dan saudaranya, serta kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan menghimpun (Ahli Sihir), niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu.”  (Asy-Syu’ara;  29-37)
Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan, bahwa Fir’aun telah mengumpulkan semua ahli sihir yang ada di negerinya.  Pada saat itu, Mesir merupakan Negara yang banyak mempunyai ahli sihir ternama.  Ia mengumpulkan mereka dari segala penjuru, hingga akhirnya banyak ahli sihir berkumpul.  Ada yang mengatakan, bahwa jumlah mereka itu 80.000 orang, demikian menurut Muhammad bin Ka’ab.  Sedangkan menurut Al-Qasim bin Abi Burdah jumlah mereka 70.000 orang.  Sedangkan menurut Al-Sadi 33.000 – 39.000 orang.  Dan pendapat yang lain.
Kemudian Musa ‘Alaihissalam maju kehadapan para ahli sihir tersebut dan menasihati mereka, dan ia mengingatkan agar mereka meninggalkan sihir yang bathil itu, yang di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ayat-ayat dan hujjah-hujjah Allah Ta’ala.  Kemudian Musa ‘Alaihissalam berkata kepada mereka, “Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka Dia membinasakan kalian dengan siksa.  Dan sesungguhnya telah merugi orang-orang yang mengadakan kedustaan.  Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka diantara mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah selanjutnya;
Setelah berkumpul dan berbaris di hadapan Musa dan Harun Alaihimussalam mereka berkata, “Hai Musa pilihlah, apakah kamu yang melemparkan dahulu atau kami yang mula-mula melemparkannya?”
Musa berkata, “Silahkan kalian melemparkan.”  (Musa tidak melakukan sesuatu terlebih dahulu sebelum mendapat perintah dari Allah Ta’ala).  Selanjutnya mereka melemparkan tali-temali dan tongkat-tongkat mereka secara serempak dan berhamburan seraya berucap, “Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang.”  (Asy-Syu’ara;  44).  Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap dengan cepat, lantaran sihir mereka.  Dengan demikian, tali-tali dan tongkat-tongkat itu bergerak bukan karena bernyawa (hidup), melainkan karena digerakkan oleh orang-orang tersebut.  Pada saat itu mereka menyihir pandangan orang-orang yang melihatnya sembari menakut-nakuti mereka.  Maka Musa merasa takut di dalam hatinya.
 Allah berkata berkata kepada Musa pada saat yang genting itu, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).  Dan lemparkanlah apa yang ada ditanganmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat.  Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipudaya tukang sihir belaka.  Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja mereka datang.”  (Thaaha;  65-69)
Dan pada saat itu, Musa ‘Alaihissalam langsung melemparkan tongkatnya, sembari berkata, “Apa yang kalian lakukan itu.  Itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya.  Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan.  Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, meskipun orang-orang yang berdosa tidak menyukainya.”  (Yunus;  81-82)
Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa-apa yang mereka sulapkan semuanya dengan sangat cepat dan gesit.  Mereka menyaksikan suatu peristiwa yang tidak pernah terlintas dalam benak mereka dan diluar kemampuan mereka.  Pada saat itu terbuktilah bagi mereka, bahwa apa yang dilakukan Musa itu bukanlah sihir.  Dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membukakan penutup dan ganjalan yang terdapat di dalam hati mereka.  Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan.  Maka, mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina.  Selain itu, Dia juga telah menyalakan api petunjuk dan menghancurkan kebekuan dan kekerasan hati mereka
Dan serta-merta ribuan ahli sihir itu meniarapkan diri dengan bersujud.  Dan dengan suara yang lantang mereka berkata (tanpa ada rasa takut sedikit pun terhadap ancaman dan siksaan Fir’aun serta para pengikutnya), “Kami beriman kepada Tuhan Semesta Alam.  Yaitu Tuhan Musa dan Harun.”  (Al-‘Araf;  121-122)
Dengan hina dan bercampur kemarahan yang sangat Fir’aun berkata, “Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi idzin kepada kalian.  Sesungguhnya ia adalah pemimpin yang mengajarkan sihir kepada kalian.  Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian semua dengan bersilang secara timbal balik.  Dan sesungguhnya aku akan menyalip kalian semua pada pangkal pohon kurma, dan sesungguhnya kalian akan mengetahui siapa diantara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaannya.”
Para tukang sihir tersebut berkata, “Kami sekali-kali tidak akan merngutamakanmu daripada bukti-bukti yang nyata (Mukjizat), yang telah datang kepada kami dan dari Tuhan yang telah menciptakan kami.  Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.  Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan yang ada pada kehidupan  di dunia ini saja.  Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami untuk melakukannya.  Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) serta lebih kekal (adzab-Nya).”
Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al-Qasim bin Abi Burdah, Al-Auza’i dan para ‘ulama lainnya mengatakan,  “Setelah para ahli sihir itu bersujud, mereka melihat Kedudukan dan Istana mereka di Surga yang memang disediakan bagi mereka.  Dan Surga itu dihias untuk menyambut kedatangan mereka.  Oleh karena itu mereka sama sekali tidak mau menoleh pada ancaman, tekanan, dan paksaan Fir’aun.”
Mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).”  (Al-‘Araf;  126)
Dan mereka juga berkata, “Tidak ada kemudharatan bagi kami, sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami sangat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami.”  Yakni berbagai perbuatan dosa dan juga larangan yang pernah kami lakukan.  “Karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman,”  Yaitu orang-orang dari kalangan kaum Qibthi yang pertamakali beriman kepada Musa dan Harun ‘Alaihimussalam.
Mereka juga memberikan peringatan kepada Fir’aun, Sesungguhnya barangsiapa yang datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesunggguhnya baginya Neraka Jahannam.  Ia tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”
Dan keputusan Allah ‘Azza wa Jalla telah tetap, bahwa Fir’aun termasuk penghuni Neraka Jahim, yang mendapatkan adzab yang sangat pedih, dengan mendapatkan siraman timah panas di atas kepalanya.  Dan dikatakan kepadanya dengan nada celaan sekaligus hinaan,
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.”  (Ad-Dukhan;  49)
Dzhahir ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa Fir’aun La’natullah ‘Alaihi menyalib dan menyiksa mereka semua.  Abdullah bin Abbas dan Ubaid bin Umair mengatakan, “Pada permulaan siang hari mereka sebagai ahli sihir, akan tetapi pada akhir siang mereka menjadi para Syuhada.”
(Bersambung, In-sya Allah)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar