بسم الله الر حمان الر حيم
Rasul Ulul Azmi (Yang Paling Utama) ke-3 setelah Nuh dan Ibrahim ‘Alaihimussalam,
adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam.
Nama lengkap Beliau adalah, Musa bin Imran bin Qahits bin Azir bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin
Ibrahim ‘Alaihimussalaatu wassalam.
Banyak ‘Ulama Ahli Tafsir yang mengemukakan, bahwa saudara
Musa (Harun ‘Alaihissalam) dilahirkan
pada tahun dibiarkannya anak laki-laki hidup.
Sedangkan Musa ‘Alaihissalam dilahirkan
ketika semua anak laki-laki dibunuh. Hal
tersebut menjadikan Ibu Musa takut, sehingga ia sangat berhati-hati ketika
hendak melahirkan anaknya.
Al-Suhaili mengatakan, nama Ibu Musa adalah “Ayarikha”.
Dan setelah melahirkan, Ibu Musa ‘Alaihissalam mendapatkan Ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar menempatkan Musa pada sebuah peti yang
ditautkan dengan seutas tali dan menghanyutkan Musa ‘Alaihissalam ke Sungai Nil.
Bila hendak menyusui Musa, tali tersebut ditariknya kembali ke tepian
sungai. Demikian dilakukan oleh Ibunda
Musa berkali-kali.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala (artinya),
“Dan Kami Ilhamkan kepada Ibu Musa, susuilah ia dan apabila kamu
khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah ke Sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula
bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu serta
menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.”
Setelah benar-benar merasa takut, maka Ibunda Musa ‘Alaihissalam benar-benar menghanyutkan
Musa ‘Alaihissalam ke arah laut
melalui Sungai Nil. Namun, takdir Allah Subhanu wa Ta’ala menghendaki “Musa
kecil” tetap hidup. Hingga dipungutlah
Beliau oleh keluarga Fir’aun.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala (artinya),
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun, yang mengakibatkan ia
menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah
orang-orang yang bersalah.”
Setelah Ibu Musa menghanyutkan Musa ke Sungai Nil, maka
timbullah penyesalan dan kesangsian di dalam hatinya, karena kekhawatiran akan
keselamatan Musa, bahkan hampir-hampir ia berteriak meminta tolong kepada
orang-orang untuk mengambil anaknya kembali (yang bisa berakibat terbukanya
rahasia, bahwa Musa adalah anaknya). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa,
seandainya tidak Kami teguhkan hatinya,
agar ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).”
Ketika isteri Fir’aun membuka tutup peti tersebut dan
menyingkapkan tabirnya, maka ia melihat wajah “Musa kecil” yang cerah berbinar,
memancarkan cahaya kenabian dan keagungan.
Pertama kali melihatnya, ia sangat menyukai dan mencintainya. Hingga pada saat Fir’aun datang dan bertanya,
“Siapa anak ini?” Dan Fir’aun pun sempat
memerintahkan untuk menyembelih anak tersebut, akan tetapi istri Fir’aun berkata, “Ia adalah penyejuk
mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah
kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita, atau kita ambil ia
menjadi anak.”
Maka, Fir’aun berkata, “Pendapatmu itu memang benar, tetapi
bagiku itu sama sekali tidak benar.”
Artinya, tidak ada kepentinganku padanya.
Di tempat lain, Ibu Musa berkata kepada saudara perempuan
Musa, “Ikutilah Ia (Musa)”, maka saudara perempuan Musa itu mencari tahu, dan
“memonitor” keberadaan Musa dari jauh, tanpa sepengetahuan orang-orang di
sekitarnya.
Setelah Musa ‘Alaihissalam
tinggal di Istana keluarga Fir’aun yang Megah, maka para wanita di sekitar Fir’aun ingin menyusuinya,
tetapi Musa selalu menolak untuk menyusu pada mereka.
Mereka juga berusaha keras memberikan
makanan kepada Musa, tetapi Musa tetap menolaknya.
Kemudian mereka mengirimkan anak itu ke beberapa kabilah dan ke beberapa wanita di pasar,
dengan harapan di sana mereka menemukan wanita yang cocok untuk
menyusuinya. Akan tetapi mereka tidak
mendapatkannya, karena “Musa kecil” selalu menolak apa pun dari mereka.
Firman Allah Azza wa
Jalla (artinya),
“Dan Kami cegah Musa menyusu
kepada perempuan-perempuan yang mau menyusuinya sebelum itu, maka saudara
(perempuan) Musa berkata, ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu Ahlul Baits yang akan
memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?’”
“Maka Kami kembalikan Musa kepada Ibunya, supaya senang hatinya dan
tidak berduka cita, agar ia mengetahui, bahwa janji Allah itu adalah benar,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
(Al-Qashas; 7-13)
Ketika para pembantu Fir’aun tengah berdiri di suatu tempat
dalam keadaan kebingungan, sambil menggendong bayi tersebut, sedangkan orang-orang ramai
berkerumun di sekitar mereka, tiba-tiba saudara perempuan Musa yang diutus
Ibunya sebagai “mata-mata” muncul mendekati mereka. Seakan-akan tidak kenal dengan bayi tersebut,
sambil berkata,
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian Ahlul Baits yang akan memeliharanya
untuk kalian dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”
Ibnu Abbas radhiyallahuanhu
mengatakan, “Setelah saudara perempuan (Musa) itu berkata demikian, maka
mereka pun berkata kepadanya, ‘Darimana kamu tahu, bahwa mereka akan memelihara
dan berlaku baik terhadapnya?’ Maka
saudara perempuannya itu menjawab, ‘Mereka hanya ingin membahagiakan Raja dan
mengharapkan kebaikannya.’”
Kemudian mereka membiarkan wanita itu dan bahkan mereka ikut
pergi bersamanya ke rumah yang dimaksud (Ibunda Musa). Lalu Ibunya langsung mengambilnya dan
menyusuinya. Maka mereka pun merasa
sangat senang dan bahagia. Selanjutnya,
salah seorang dari mereka pergi untuk menyampaikan khabar gembira tersebut
kepada Asiyah (Isteri Fir’aun). Maka Asiyah pun memanggil wanita itu, yang
tak lain adalah Ibu kandung Musa sendiri dan menawarkan supaya ia mau tinggal
bersamanya di Istana, tetapi Ibu Musa menolak seraya berujar, “Kami mempunyai
suami dan beberapa anak, aku tidak akan bisa meninggalkan mereka, kecuali jika
engkau juga membawa mereka bersamaku.
Kemudian isteri Fir’aun mengirimkan utusan untuk mengambil suami dan
anak-anak mereka. Setelah tinggal di
sana dan menyusui Musa, ia pun diberi gaji dan nafkah, pakaian serta segala
kebutuhan hidup mereka. Begitulah,
hingga akhirnya Allah ‘Azza wa Jalla menyatukan antara
keduanya (Musa dan Ibunya) dengan penuh kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala (artinya),
“Maka Kami kembalikan Musa kepada Ibunya, agar senang hatinya dan tidak
berduka cita, dan agar ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar.”
Selang beberapa waktu kemudian. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya
Hikmah (Kenabian) dan Pengetahuan. Dan demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menurut mayoritas pendapat ‘Ulama, usia Musa 'Alaihissalam pada waktu itu adalah 40
tahun. Allah ‘Azza wa Jalla memberikan Hikmah dan Pengetahuan, yaitu Kenabian
dan Kerasulan.
Nabi / Rasul Musa Alahissalam
diutus kepada kaum Fir’aun (Bangsa Qibthi), yakni Bangsa yang Kafir
dan selalu mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan Musa masuk ke kota (Memphis), ketika penduduknya sedang
berleha-leha, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang
sedang berkelahi, yang satu dari golongannya (Bani Israil) dan yang lainnya
dari golongan musuhnya (kaum Fir'aun / Bangsa Qibthi). Maka orang yang dari golongannya meminta
bantuan kepada Musa, untuk mengalahkan golongan musuhnya tersebut, lalu Musa
memukulnya, maka matilah musuhnya itu.
Musa berkata, “Ini adalah perbuatan syaithan, sesungguhnya syaithan itu
adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata permusuhannya.”
Musa berdo’a, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya
diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.”
Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Musa berkata, “Ya
Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, sekali-kali aku
tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.”
Karena pembunuhan yang telah dilakukan secara tidak sengaja
tersebut, Musa merasa takut dan menunggu-nunggu dengan khawatir, apa gerangan
balasan yang akan mereka lakukan terhadapnya.
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota seraya bergegas-gegas
dan berkata, “Hai Musa, sesungguhnya Pembesar Negeri sedang berunding tentang
dirimu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.”
Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, sambil
menunggu-nunggu dengan khawatir, dan berdo’a, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku
dari orang-orang yang zhalim itu.”
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menceritakan tentang kepergian Musa dari Negeri Mesir, dalam keadaan
takut, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, karena ia takut diketahui oleh kaum
Fir’aun, sedang ia sendiri tidak mengetahui kemana arah tujuannya dan tidak
pula mengerti kemana ia harus pergi.
Yang demikian itu, karena Musa ‘Alaihissalam
belum pernah keluar sama sekali dari Negeri Mesir.
“Dan ketika Musa menghadap ke jurusan Negeri Madyan,” maksudnya
berjalan menuju ke suatu jalan. Ia
berdo’a, “Mudah-mudahan Tuhan-ku memimpinku ke jalan yang benar.” Maksudnya, mudah-mudahan jalan ini
dapat mengantarkan ke tempat tujuan. Dan
itu memang jalan yang benar, dimana jalan itu telah mengantarkan Musa sampai ke
tempat yang dituju.
Madyan adalah sebuah kota yang di dalamnya Allah ‘Azza wa Jalla membinasakan penduduk Aikah,
yaitu kaum Nabi Syu’aib 'Alaihissalam. Pembinasaan itu terjadi sebelum zaman Musa 'Alaihissalam, demikian menurut pendapat
salah satu ‘ulama.
“Dan ketika sampai di
sumber air negeri Madyan.” Yaitu
sebuah sumur dimana masyarakat sekitar mengambil air minum dari tempat
tersebut,
“Ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang banyak orang tersebut, dua orang
wanita yang sedang menghambat (ternaknya).”
Maksudnya menghalang-halangi kambing mereka agar tidak bercampur-baur
dengan kambing orang lain.
“Musa berkata, ‘Apakah maksud kalian dengan berbuat begitu?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat
meminumkan ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternak
mereka, sedangkan Bapak kami adalah orang yang tua yang telah lanjut
usianya.’” Maksudnya kami tidak
sanggup mencapai sumber air tersebut, kecuali setelah para pengembala itu pergi
meninggalkannya, karena kami lemah dibandingkan mereka.
Para ahli tafsir mengatakan, yang demikian itu karena setiap
kali selesai memberi minum ternak mereka, para pengembala itu meletakkan batu
besar di atas mulut sumur tersebut. Pada
hari itu, Musa ‘Alaihissalam datang
dan mengangkat batu besar itu sendirian, dan selanjutnya ia memberi minum
ternak kedua wanita tersebut. Dan
setelah itu, Musa mengembalikan batu itu seperti semula.
Amirul mukminin
Umar bin Khatab Radhiyallahu Anhu
mengatakan, “Tidak ada yang mampu mengangkat batu tersebut, kecuali oleh
sepuluh orang.”
“Kemudian ia kembali ke tempat yang teduh,” Maksudnya, setelah itu Musa 'Alaihissalam kembali ke tempat yang
teduh. Para ahli tafsir mengatakkan,
“Yaitu teduhnya pepohonan”.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud, bahwa Musa 'Alaihissalam menyaksikan bahwa pohon-pohon
itu tampak subur dan hijau lagi rindang.
“Lalu Musa berdo’a, ‘Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku sangat memerlukan
sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
Tak lama kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari
kedua wanita itu, berjalan dengan perasaan malu-malu. Wanita itu berkata, “Sesungguhnya Bapakku
memanggilmu, agar ia memberikan balasan terhadap kebaikanmu memberi minum
ternak kami.” Maka ketika Musa
mendatangi bapaknya (Syu’aib ‘Alaihissalam)
dan menceritakan kepadanya cerita mengenai dirinya, Syu’aib 'Alaihissalam berkata, “Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zhalim itu.”
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Wahai Bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.”
Ia (Syu’aib 'Alaihissalam)
berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari
kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika
kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah suatu kebaikan darimu, maka aku
tidak hendak memberatimu. Dan kamu in-sya Allah akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang shalih.”
Dan Musa berkata,
“Itulah perjanjian antara aku denganmu.
Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka
tidak ada tuntutan tambahan lagi atas diriku.
Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash;
25-28)
Melanjutkan cerita-Nya tentang kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(artinya),
“Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang telah ditentukan dan
ia berangkat dengan keluarganya, ‘Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat
api, mudah-mudahan aku dapat membawa sesuatu berita kepadamu dari tempat api
itu, atau membawa sesuluh api agar kamu dapat menghangatkan badan.”
Kerinduan yang sangat mendalam dari Musa 'Aaihissalam terhadap keluarganya, mendorong Musa untuk kembali lagi ke Negeri Mesir. Dengan membawa beberapa ekor kambing untuk menjadi bekal bagi mereka sekeluarga selama dalam perjalanan.
Para ahli tafsir menyebutkan, pada suatu malam yang gelap-gulita,
Musa bersama keluarganya sampai di suatu tempat, dimana ia tidak mengetahui
jalan, dan ia berusaha untuk menerangi tetapi tidak ada api yang dapat
dinyalakan karena faktor hawa dingin yang sangat menyengat. Dan semakin malam, semakin gelap dan dingin.
Pada saat itu Musa melihat dari kejauhan setitik api yang
menyala-nyala di sisi Bukit Thur, maka ia berkata kepada keluarganya, ‘Tunggulah
di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu
berita kepada kalian dari tempat api itu, atau membawa sesuluh api agar kamu
dapat menghangatkan badan.’”
Seolah-olah hanya Musa 'Alaihissalam
yang melihat api tersebut, karena pada hakikatnya api tersebut adalah cahaya (Nur), sehingga tidak setiap orang dapat
melihatnya, “Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepada kalian.” Maksudnya, semoga aku memperoleh jalan dari
api tersebut. “Atau membawa sesuluh api, agar
kamu dapat menghangatkan badan.”
Dan hal itu menunjukkan bahwa mereka telah tersesat jalan pada malam
yang dingin lagi sangat gelap.
Akhirnya Musa ‘Alahissalam
membawakan mereka suatu berita, lalu apa berita yang dibawanya? Dan ia pun mendapatkan petunjuk di dekat api
tersebut, lalu apa petunjuk tersebut, dan Musa pun memperoleh seberkas cahaya,
lalu cahaya apakah itu?
Maka ketika itu Musa
sampai ke tempat api itu, diserulah ia dari arah pinggir lembah yang diberkahi,
dari sebatang pohon kayu, yaitu, “Ya, Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah
Tuhan-mu, maka tanggalkanllah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di
lembah yang suci, Thuwa. Dan aku telah
memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan yang Haq selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku. Sesungguhnya hari kiamat
itu akan datang. Aku merahasiakan
waktunya, agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan
darinya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti
hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa.” (Thaaha; 11-16)
Selanjutnya Allah ‘Azza
wa Jalla memberitahukan kepadanya, bahwa dunia ini bukan tempat tinggal
yang abadi, akan tetapi tempat tinggal abadi pada Hari Kiamat yang pasti
terjadi dan telah ada adalah Akhirat, “Agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa
yang ia usahakan.” Yaitu balasan
yang mencakup perbuatan baik maupun jahat.
Dan Dia perintahkan supaya ia berusaha dan beramal untuk mempersiapkan
diri menyambut kedatangannya serta menghindari orang-orang yang tidak beriman
kepadanya dan hanya mengikuti hawa nafsu mereka.
Setelah itu Allah ‘Azza
wa Jalla memberitahukan kepadanya seraya berbicara langsung dengannya
secara lembut, sekaligus menjelaskan kepadanya, bahwa Dia Kuasa untuk
mengerjakan segala sesuatu. Dia adalah
Tuhan yang jika ingin menciptakan sesuatu hanya akan mengatakan,
“Jadilah”, maka jadilah sesuatu tersebut.
Allah Ta’ala lalu
berfirman (artinya),
“Apakah itu yang ada di tangan kananmu, hai Musa?” (Thaaha; 18)
Maksudnya, ini adalah tongkatmu yang sudah engkau
ketahui sejak sebelumnya. Oleh karena
itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman
(artinya),
“Musa berkata, ‘Ini adalah tongkatku, aku bersandar padanya dan aku
pukul dengannya (daun) untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
darinya.’” (Thaaha; 18)
“Allah berfirman, ‘Lemparkanlah ia, hai Musa’. Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka
tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.’” (Thaaha; 19-20)
Yang demikian itu merupakan suatu kejadian yang luar biasa,
sekaligus sebagai bukti yang pasti, bahwa yang berbicara dengan Musa ‘Alaihissalam adalah Tuhan yang jika
menginginkan sesuatu hanya akan mengatakan “Jadilah”, maka jadilah ia.
Lalu Musa lari dari ular-ular tersebut. Kemudian Rabb ‘Azza wa Jalla menyuruhnya agar menjulurkan tangannya dan memegang
ekor ular tersebut. Dan seketika itu ia
menjadi diam, maka tongkatnya itu kembali ke tangannya.
Selanjutnya Allah ‘Azza
wa Jalla menyuruh Musa ‘Alaihissalam
agar memasukkan tangannya ke bajunya, dan setelah itu diperintahkan kepadanya
untuk mengeluarkannya, ternyata tangannya bersinar terang seperti bulan yang
putih tanpa cacat sama sekali.
Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, nisacaya ia keluar putih tidak
bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dadamu) bila
ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Tuhan-mu (yang akan
kamu hadapkan ke Fir’aun dan pembesar-pembesarnya).” Ada yang mengatakan, artinya jika
kamu takut, maka letakkanlah tanganmu ke dadamu, tepat di tempat hatimu berada,
maka rasa takutmu itu pasti akan hilang.
Meskipun ini hanya khusus pada diri Musa, namun berkah keimanan padanya
akan memberikan manfaat bagi orang yang melakukan hal itu, dalam rangka
mengikuti jejak para Nabi.
Dan disamping itu masih ada tujuh mukjizat lainnya. Sehingga semuanya berjumlah Sembilan
mukjizat, dan semuanya terdapat di dalam Surat Al-Isra’.
Selanjutnya firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan
mendatangkan musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya
mereka mengambil pelajaran.”
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini
adalah karena usaha kami.’ Dan jika
mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”
“Maka Kami kirimkan kepada mereka Taufan, Belalang, Kutu, Katak dan
Darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan
mereka adalah kaum yang berdosa.”
“Dan ketika mereka ditimpa adzab (yang telah diterangkan itu), mereka
pun berkata, ‘Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan-mu dengan
(perantaraan) Kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan
adzab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu, dan akan kami biarkan
Bani Israil pergi bersamamu.”
“Maka setelah Kami hilangkan adzab itu dari mereka, hingga batas waktu
yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.” (Al-‘Araaf; 132-135)
Lebih lanjut Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman (artinya),
“Maka Kami kirimkan kepada mereka Taufan.” Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, Taufan itu adalah hujan yang turun sangat lebat
yang dapat menenggelamkan dan merusak segala macam tanaman dan buah-buahan.
Selanjutnya Allah ‘Azza
wa Jalla mengirimkan belalang,
lalu belalang-belalang itu memakan semua tanaman, seperti yang aku (Muhammad
bin Ishaq bin yasar) terima, bahwa belalang-belalang itu memakan paku-paku
pintu rumah dan tempat tinggal mereka hingga hancur-runtuh. Lalu mereka berkata seperti perkataan yang
dahulu pernah mereka katakan. Maka Musa ‘Alaihissalam pun berdo’a kepada-Nya,
lalu Allah ‘Azza wa Jalla
menghilangkan penderitaan tersebut.
Namun setelah itu mereka tidak juga memenuhi janjinya kepada Musa ‘Alaihissalam.
Kemudian Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengirimkan kutu
kepada mereka. Disebutkan, bahwa Musa ‘Alaihissalam diperintahkan-Nya pergi ke
anak bukit, hingga ia memukulnya (bukit itu) dengan tongkatnya. Maka Musa pun berangkat ke anak bukit yang
cukup besar tersebut, lalu memukulnya dengan tongkat miliknya, hingga kutu-kutu
berhamburan menghinggapi mereka, sampai kutu-kutu itu memenuhi rumah dan
makanan mereka, yang menyebabkan mereka tidak dapat tidur dengan tenang. Kemudian setelah mereka merasa kelelahan,
mereka mengulangi apa yang dahulu pernah mereka katakan kepada Musa. Kemudian Musa ‘Alahissalam pun berdo’a lagi kepada Tuhan-nya, dan Allah ‘Azza wa Jalla kembali mengabulkan do’a Musa dan menghilangkan
penderitaan mereka. Namun demikian,
mereka tidak juga menepati apa yang telah mereka janjikan.
Sehingga Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengirimkan kepada mereka katak
hingga memenuhi rumah-rumah, makanan, dan tempat-tempat makan mereka, sehingga
tidak seorang pun yang membuka pakaian dan juga makanan, melainkan disana
terdapat katak yang bertengger di atasnya.
Dan setelah mereka kelelahan dengan hal itu, mereka pun mengatakan
seperti apa yang pertama kali mereka katakan.
Selanjutnya Musa ‘Alaihissalam
memohon kepada Tuhan-nya, dan Tuhannya pun menghilangkan penderitaan yang
menimpa mereka. Tetapi, sekali lagi
mereka tidak menepati apa yang mereka katakan.
Dan akhirnya Allah
Azza wa Jalla mengirimkan darah,
sehingga semua air kaum Fir’aun itu berubah menjadi darah. Mereka tidak dapat mengambil air dari sumur-sumur
dan sungai-sungai. Tidaklah mereka
mengambil air dari gayung melainkan langsung menjadi darah.
Maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman dalam surat Thaaha
(artinya),
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.”
Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku
dadaku. Dan mudahkanlah untukku
urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang
pembantu dari keluargaku, yaitu saudaraku Harun. Teguhkanlah dengannya kekuatanku, dan
jadikanlah ia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada-Mu
serta banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya
Engkau adalah Maha Melihat keadaan kami.”
(Thaha; 25-35)
“Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu
saudaranya Harun menjadi seorang Nabi.” (Maryam; 53)
Ada yang menyatakan, bahwa lidah Musa ‘Alaihissalam mengalami kekakuan, akibat bara api yang diletakkan
di lidahnya, disamping karena Fir’aun menguji kemampuannya. Yaitu ketika masa kecilnya, Musa pernah
menarik jenggot Fir’aun. Maka Asiyah
menjadi takut seraya berkata, “Ia itu masih anak-anak.” Maka Fir’aun mengujinya dengan meletakkan
buah dan bara api diantara kedua tangannya.
Setelah itu, Raja yang Kejam dan Lalim itu mengambil dan meletakkan bara
api itu ke lidah Musa, hingga akhirnya lidahnya mengalami kekakuan. Kemudian Musa ‘Alaihissalam memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar dihilangkan sebahagian dari kekakuan tersebut,
sebatas mereka dapat memahami ucapannya,
dan ia tidak meminta supaya semua kekakuan itu dihilangkan.
Hasan Basri mengatakan, “Sesungguhnya
para Rasul itu hanya meminta sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, pada lidah Musa masih
tersisa kekakuan.”
Oleh karena itu, dengan nada menghina dan mencaci Musa,
Fir’aun berkata,
“Bukankan aku lebih baik dari orang yang hina ini, dan yang hampir
tidak dapat menjelaskan perkataannya.” (Az-Zukhruf; 52)
Musa berkata,”Ya Tuhan-ku, aku takut mereka akan mendustakanku. Dan karenanya dadaku sempit dan lidahku pun
tidak lancar, maka utuslah Jibril kepada Harun.
Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.”
Allah berfirman, “Janganlah takut (mereka tidak akan dapat
membunuhmu), maka pergilah kalian berdua dengan membawa ayat-ayat Kami
(Mukjizat-mukjizat). Sesungguhnya Kami
bersama kalian (Mendengar apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kalian berdua kepada Fir’aun
dan katakanlah oleh kalian, ‘Sesungguhnya kami adlah Rasul Tuhan Semesta
Alam. Lepaskanlah Bani Israil pergi
bersama kami.’”
Fir’aun menjawab,”Bukankah kami telah mengasuhmu diantara
keluarga kami. Waktu kamu masih
kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang
telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak
membalas budi.”
Musa berkata, “Aku telah melakukannya, sedang aku pada
waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.
Lalu aku lari meninggalkan kalian ketika aku takut kepada kalian,
kemudian Tuhan-ku memberikan ilmu kepadaku serta Dia menjadikanku salah seorang diantara Rasul-Rasul
tersebut. Budi yang kamu limpahkan
kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.”
Fir’aun bertanya, “Siapakah Tuhan semesta Alam itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi serta
apa-apa yang ada diantara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kalian termasuk
orang-orang yang mempercayai-Nya.”
Kemudian Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di
sekitarnya, “Apakah kalian tidak mendengarkan?”
Musa menimpali, “Tuhan kalian dan Tuhan nenek moyang kalian
yang terdahulu.”
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasul kalian yang diutus
kepada kalian benar-benar orang gila.”
Musa berkata, “Tuhan Yang Menguasai Timur dan Barat serta
apa yang ada di antara keduanya. Itulah
Tuhan kalian jika kalian mempergunakan akal.” (Asy-Syuura; 10-28)
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menceritakan perbincangan dan perdebatan antara Fir’aun dan Musa ‘Alaihissalam. Dimana pertama-tama, Musa memberikan
Dalil-dalil dan Hujjah-hujjah yang bersifat maknawi (Immaterial), dan kemudian yang bersifat material.
Dan Fir’aun berkata, “Hai para pembesar kaumku, aku tidak mengetahui
bagi kalian tuhan selain aku. Maka
bakarlah hai Haman tanah liat untukku, kemudian buatkanlah untukku bangunan
yang tinggi, supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku
benar-benar yakin bahwa ia termasuk orang-orang pendusta.” (Al-Qashash; 38)
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan , padahal
hati mereka meyakini kebenarannya. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (An-Naml; 14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kekuasaan Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar.” (Fushilat; 53)
Setelah semua Hujjah yang telah disiapkan menghakimi
Fir’aun, sedang ia tidak dapat berbuat apa pun kecuali hanya ingkar, maka ia
mulai menggunakan kekuasaan dan kebengisannya.
Sebagaimana difirmankan-Nya;
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya jika kamu menyembah Tuhan
selain aku, maka aku benar-benar akan menjadikan kamu salah seorang yang
dipenjarakan.”
Musa menjawab, “Dan apakah kamu (akan melakukan itu) kendatipun
aku tunjukkan kepadamu sesuatu keterangan yang nyata?”
Fir’aun berkata, “Datangkanlah sesuatu (bukti) yang nyata
itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
Maka Musa melemparkan tongkatnya, dan tiba-tiba tongkat itu
berubah menjadi ular yang nyata. Dan dia
menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangannya itu berubah
menjadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.
Fir’aun berkata kepada para pembesar yang ada di
sekelilingnya, “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai. Ia (Musa) hendak mengusir kalian dari negeri
kalian sendiri dengan sihirnya. Karena
itu, apakah yang akan kalian anjurkan?”
Mereka menjawab, “Tundalah urusannya dan saudaranya, serta
kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan menghimpun (Ahli Sihir), niscaya
mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu.” (Asy-Syu’ara;
29-37)
Allah ‘Azza wa Jalla
memberitahukan, bahwa Fir’aun telah mengumpulkan semua ahli sihir yang ada di
negerinya. Pada saat itu, Mesir
merupakan Negara yang banyak mempunyai ahli sihir ternama. Ia mengumpulkan mereka dari segala penjuru,
hingga akhirnya banyak ahli sihir berkumpul.
Ada yang mengatakan, bahwa jumlah mereka itu 80.000 orang, demikian
menurut Muhammad bin Ka’ab. Sedangkan
menurut Al-Qasim bin Abi Burdah jumlah mereka 70.000 orang. Sedangkan menurut Al-Sadi 33.000 – 39.000
orang. Dan pendapat yang lain.
Kemudian Musa ‘Alaihissalam
maju kehadapan para ahli sihir tersebut dan menasihati mereka, dan ia
mengingatkan agar mereka meninggalkan sihir yang bathil itu, yang di dalamnya
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ayat-ayat dan hujjah-hujjah Allah Ta’ala.
Kemudian Musa ‘Alaihissalam
berkata kepada mereka, “Celakalah kalian, janganlah kalian
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka Dia membinasakan kalian dengan
siksa. Dan sesungguhnya telah merugi
orang-orang yang mengadakan kedustaan.
Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka diantara mereka,
dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).”
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menceritakan kisah selanjutnya;
Setelah berkumpul dan berbaris di hadapan Musa dan Harun Alaihimussalam mereka berkata, “Hai
Musa pilihlah, apakah kamu yang melemparkan dahulu atau kami yang mula-mula
melemparkannya?”
Musa berkata, “Silahkan kalian melemparkan.” (Musa tidak melakukan sesuatu terlebih dahulu
sebelum mendapat perintah dari Allah Ta’ala). Selanjutnya mereka melemparkan tali-temali dan
tongkat-tongkat mereka secara serempak dan berhamburan seraya berucap, “Demi
kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang.” (Asy-Syu’ara;
44). Maka tiba-tiba tali-tali dan
tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap dengan
cepat, lantaran sihir mereka. Dengan
demikian, tali-tali dan tongkat-tongkat itu bergerak bukan karena bernyawa
(hidup), melainkan karena digerakkan oleh orang-orang tersebut. Pada saat itu mereka menyihir pandangan
orang-orang yang melihatnya sembari menakut-nakuti mereka. Maka Musa merasa takut di dalam hatinya.
Allah berkata berkata
kepada Musa pada saat yang genting itu, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah
yang paling unggul (menang). Dan
lemparkanlah apa yang ada ditanganmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka
perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka
perbuat itu adalah tipudaya tukang sihir belaka. Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari
mana saja mereka datang.” (Thaaha; 65-69)
Dan pada saat itu, Musa ‘Alaihissalam
langsung melemparkan tongkatnya, sembari berkata, “Apa yang kalian lakukan
itu. Itulah sihir, sesungguhnya Allah
akan menampakkan ketidak benarannya. Sesungguhnya
Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang
membuat kerusakan. Dan Allah akan
mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, meskipun orang-orang yang berdosa
tidak menyukainya.”
(Yunus; 81-82)
Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa-apa yang
mereka sulapkan semuanya dengan sangat cepat dan gesit. Mereka menyaksikan suatu peristiwa yang tidak
pernah terlintas dalam benak mereka dan diluar kemampuan mereka. Pada saat itu terbuktilah bagi mereka, bahwa
apa yang dilakukan Musa itu bukanlah sihir.
Dengan demikian Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah membukakan penutup dan ganjalan yang terdapat di dalam hati
mereka. Karena itu nyatalah yang benar
dan batallah yang selalu mereka kerjakan.
Maka, mereka kalah di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang
hina. Selain itu, Dia juga telah
menyalakan api petunjuk dan menghancurkan kebekuan dan kekerasan hati mereka
Dan serta-merta ribuan ahli sihir itu meniarapkan diri
dengan bersujud. Dan dengan suara yang
lantang mereka berkata (tanpa ada rasa takut sedikit pun terhadap ancaman dan
siksaan Fir’aun serta para pengikutnya), “Kami beriman kepada Tuhan Semesta Alam. Yaitu Tuhan Musa dan Harun.” (Al-‘Araf; 121-122)
Dengan hina dan bercampur kemarahan yang sangat Fir’aun
berkata, “Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi idzin
kepada kalian. Sesungguhnya ia adalah
pemimpin yang mengajarkan sihir kepada kalian.
Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian semua dengan
bersilang secara timbal balik. Dan
sesungguhnya aku akan menyalip kalian semua pada pangkal pohon kurma, dan
sesungguhnya kalian akan mengetahui siapa diantara kita yang lebih pedih dan
lebih kekal siksaannya.”
Para tukang sihir tersebut berkata, “Kami sekali-kali tidak akan
merngutamakanmu daripada bukti-bukti yang nyata (Mukjizat), yang telah datang kepada
kami dan dari Tuhan yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah apa yang hendak kamu
putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan
dapat memutuskan yang ada pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan
kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu
paksakan kepada kami untuk melakukannya.
Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) serta lebih kekal (adzab-Nya).”
Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al-Qasim bin Abi Burdah, Al-Auza’i dan para ‘ulama lainnya mengatakan, “Setelah para ahli sihir itu bersujud,
mereka melihat Kedudukan dan Istana mereka di Surga yang memang disediakan
bagi mereka. Dan Surga itu dihias untuk
menyambut kedatangan mereka. Oleh karena
itu mereka sama sekali tidak mau menoleh pada ancaman, tekanan, dan paksaan Fir’aun.”
Mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran
kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (Al-‘Araf; 126)
Dan mereka juga berkata, “Tidak ada kemudharatan bagi kami,
sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami sangat
menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami.” Yakni berbagai perbuatan dosa dan
juga larangan yang pernah kami lakukan. “Karena
kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman,” Yaitu orang-orang dari kalangan kaum
Qibthi yang pertamakali beriman kepada Musa dan Harun ‘Alaihimussalam.
Mereka juga memberikan peringatan kepada Fir’aun, Sesungguhnya
barangsiapa yang datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka
sesunggguhnya baginya Neraka Jahannam.
Ia tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup.”
Dan keputusan Allah ‘Azza
wa Jalla telah tetap, bahwa Fir’aun termasuk penghuni Neraka Jahim, yang
mendapatkan adzab yang sangat pedih, dengan mendapatkan siraman timah panas di
atas kepalanya. Dan dikatakan kepadanya
dengan nada celaan sekaligus hinaan,
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Ad-Dukhan; 49)
Dzhahir ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa Fir’aun La’natullah ‘Alaihi menyalib dan
menyiksa mereka semua. Abdullah bin
Abbas dan Ubaid bin Umair mengatakan, “Pada
permulaan siang hari mereka sebagai ahli sihir, akan tetapi pada akhir siang
mereka menjadi para Syuhada.”
(Bersambung, In-sya Allah)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar