Jumat, 16 Oktober 2020

AGAR DAKWAH BERBUAH INDAH

 


بسم الله الرحمان الرحيم

Tidak diragukan lagi, bahwa dakwah adalah sebuah amalan besar yang sangat agung nilainya.  Tugas manusia-manusia utama yang dipilih oleh Allah. Karenanya, tiada amalan yang lebih afdhal selain mewarisi amalan mulia ini.

Sebagai tanggung jawab yang berat, tentunya dakwah membutuhkan orang-orang khusus yang memang ahli di bidangnya.  Hingga dakwah akan berbuah indah sebagaimana yang diharapkan.

Di masa Shahabat dan masa keemasan Islam, Islam begitu pesat berkembang dan melahirkan generasi-generasi yang sangat tangguh keimanannya. Sebab tokoh-tokoh dakwah kala itu adalah para 'ulama rabbani (ulama yang membimbing) yang berjalan di atas manhaj kenabian, tentunya dengan seizin Allah. 

Ambillah sebuah contoh menakjubkan, shahabat Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما dan dialog (baca: dakwah) beliau dengan kaum Khawarij yang hendak memberontak kepada khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه.  Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Talbis lblis.  Beliau berhasil mematahkan argumen mereka dengan argumen yang telak. Sekaligus, mengajak mereka kembaIi ke jalan yang benar dengan ilmu dan pemahaman yang kokoh.

Sejak dahulu kaum Khawarij adalah kaum yang suka memberontak. Syahdan, kaum Khawarij ini tidak setuju dengan beberapa hal yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, sang menantu Rasulullah ﷺ, selaku khalifah pada waktu itu. Maka, lbnu Abbas رضي الله عنهما, pun meminta izin kepada Ali untuk berdialog dengan mereka. 

lbnu Abbas رضي الله عنهما mengawali dialognya, ”Wahai kaum, coba datangkan alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah dan shahabat Muhajirin serta Anshar. Padahal, kepada merekalah Al-Qur‘an diturunkan. Sedangkan tidak ada seorang shahabat pun yang bersama kalian. Dan Ali adalah orang yang paling mengerti tentang tafsir Al-Qur‘an" 

Mereka menjawab, ”Kami punya tiga alasan." "Coba sebutkan" lbnu Abbas رضي الله عنهما menimpali. 

Mereka menjawab, ”Pertama, dia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman: 

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ

'Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.' [Q.S. Yusuf: 40]. Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan Allah." 

"lni alasan kalian yang pertama, lalu apa lagi❓" tanya Ibnu Abbas رضي الله عنهما. 

"Adapun yang kedua, sungguh dia telah berperang dan membunuh (yakni dalam perang terhadap Aisyah رضي الله عنها, yang disebabkan kesalahpahaman). Tetapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah❓ Kalau mereka (’Aisyah dan yang bersama beliau) itu kafir, halal bagi kita hartanya. Kalau mereka itu mukmin, haram untuk menumpahkan darahnya."

”Lalu apa alasan kalian yang ketiga❓” tanya Ibnu Abbas رضي الله عنهما. 

”Dia telah hapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan Amirul Mukminin, berarti dia adalah Amirul Kafirin.” 

”Masih adakah alasan kalian yang lain❓” 

”Cukup bagi kami tiga alasan ini.” 

Ibnu Abbas رضي الله عنهما pun mulai menjelaskan kepada mereka, "Mengenai ucapan kalian bahwa Ali telah berhukum kepada manusia, jika aku bacakan ayat yang membantah kalian, maukah kalian kembali (rujuk)❓” 

”Ya, tentu kami akan kembali (rujuk).” jawab mereka. 

Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, ”Ketahuilah, bahwa Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia. Contohnya, dalam menentukan denda atas kelinci yang dibunuh ketika ihram (haji). Allah سبحانه وتعالى berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,

supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.  Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa."  [Q.S. AI-Ma-idah: 95]

Demikian pula dalam urusan sengketa antara perempuan dan suaminya, Allah juga menyerahkan hukum-Nya pada keputusan manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman: 

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang pengadil dari keluarga laki-laki dan seorang pengadil dari keluarga perempuan. Jika kedua orang pengadil itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Berilmu lagi Maha Mengetahui.” [Q.S. An-Nisa‘: 35]

Sungguh demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia sebagai hakim demi mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah itu lebih utama, ataukah perihal darah seekor kelinci, dan urusan pernikahan wanita❓Menurut kalian manakah yang lebih pantas (utama) ❓" 

”Yang pertama tentu yang lebih pantas (utama).” kata mereka mengakui. 

lbnu Abbas رضي الله عنهما berkata, "Apakah kalian sudah keluar (rujuk) dari masalah pertama❓" 

”Ya.”

lbnu Abbas رضي الله عنهما melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali teIah memerangi tapi tidak mengambil ghanimah dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh dengan ini kalian telah menawan ibu kalian (’Aisyah رضي الله عنها). Demi Allah, kalau kalian katakan bahwa ‘Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian telah keluar dari Islam. Demikian juga jika kalian menganggapnya halal sebagaimana tawanan lain, maka kalian juga keluar dari Islam. Sungguh kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman: 

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ 

”Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” [Q.S. AI Ahzab: 6]

"Apakah kalian telah keluar (rujuk) dari masalah ini❓” tanya Ibnu Abbas رضي الله عنهما memastikan. 

”Ya.” jawab mereka. 

Ibnu Abbas رضي الله عنهما melanjutkan, ”Sekarang tentang Ali menghapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Akan aku kisahkan kepada kalian seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah ﷺ.  Ketahuilah, bahwa pada perjanjian Hudaibiyah Beliau berdamai dengan kaum musyrikin, Abu Sufyan, dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi❓ Ketika itu, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Wahai Ali tulislah perjanjian untuk mereka.’ Ali menulis. 'Inilah perjanjian antara Muhammad utusan Allah...'

Sontak orang-orang musyrik berkata, 'Demi Allah❗kami tidak tahu (mengakui) bahwa engkau utusan Allah.  Sekiranya kami mengakui engkau adalah utusan Allah, niscaya kami tidak akan memerangimu❗” 

Rasulullah ﷺ pun bersabda, ”Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah, 'lni adalah perjanjian antara Muhammad bin AbdiIlah...” 

lbnu Abbas رضي الله عنهما menyimpulkan, ”Demi Allah❗ Rasulullah Iebih mulia dari Ali. Namun demikian, Beliau menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyyah."

lbnu Abbas رضي الله عنهما pun mengisahkan hasil dari dialognya itu, "Maka kembalilah (rujuk) 2.000 (dua ribu) orang dari mereka. Sementara sisanya tetap memberontak, hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar.” 

Cermatilah, dialah seorang Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما.  Hanya dengan sebuah dialog singkat, setelah idzin Allah, bisa menyadarkan sekitar 2000 (dua ribu) orang dari kesesatan, wa lillahil hamdu (Dan segala puja-puji hanya milik Allah).

Namun apa kiranya, jika kemudian urusan dakwah diserahkan kepada para selebritis yang hanya mencari popularitas sehingga dakwah pun disesuaikan dengan selera konsumen. Atau bagaimana kiranya jika dakwah tersebut diserahkan kepada para muallaf yang baru saja meninggalkan kekufuran❓Atau, diserahkan kepada kaum awam yang baru saja keluar dari kemaksiatan❓ Hasil seperti apa yang kiranya bisa diharapkan❓❗ والله المستعان. Hanya kepada Allahlah tempat meminta pertolongan.

Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما berkata: 

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِبْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ.

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَ لِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الله.

قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَ لِك فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ. قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَ لِك فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ. حِجَابٌ

”Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu’adz ketika Beliau mengutusnya ke negeri Yaman: Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab.  Jika engkau telah sampai kepada mereka, maka serulah mereka agar mau bersaksi, laa ilaha illalallah dan Muhammad Rasulullah. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam.

Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari golongan kayanya dan dikembalikan kepada golongan miskinnya.  Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka hati-hatilah kamu dari harta berharga yang mereka miliki, dan takutlah dari doanya orang yang teraniaya.  Sebab, tiada penghalang antara doa tersebut dengan Allah.” [HR. Al-Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19].

Di sini Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما mengisahkan bahwa Nabi menunjuk Mu’adz untuk berdakwah ke negeri Yaman. 

Pertanyaannya: Mengapa Mu’adz bin Jabal bin ’Amr bin Aus Al-Anshari Al- Khazraji Abu Abdirrahman yang diutus❓

Sudah tepatkah pilihan Rasul❓

Sudah barang tentu jawabnya, ”Tepat.”  Beliau adalah seorang Shahabat yang sangat dalam ilmunya tentang Kitabullah.  Sangat paham tentang hukum halal haram.  Seorang ulama Rabbani yang piawai dalam hal mendidik umat. Sampai-sampai Nabi bersabda (yang artinya), 

”Kelak Mu’adz pada Hari Kiamat akan dikumpulkan satu langkah¹ di depan para 'ulama.” [HR. Ath-Thabarani dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimmahullahu dalam Ash-Shahihah  no. 1090]. 

Pilihan yang tentunya bukan tanpa dasar. Sebab Mu’adz termasuk pakar di bidang ini. 

Peristiwa pengutusan Mu'adz ke negeri Yaman terjadi pada tahun ke-10 H, beberapa saat sebelum haji Wada'.  Beliau tetap tinggal di Yaman hingga kembali ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar. 

Sebelum berangkat, Nabi ﷺ menyampaikan beberapa pesan penting untuk Mu’adz sebagai bekal berharga bagi beliau dan para dai setelahnya. Nabi mengingatkan bahwa beliau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, yang secara global mereka adalah golongan orang-orang yang berilmu.

Dengan ini, hendaknya beliau mempersiapkan diri sebelum mendakwahi mereka.  Sebab, tentunya akan berbeda menyeru kaum yang memiliki bekal ilmu dengan menyeru orang-orang bodoh dari para penyembah berhala. Dibutuhkan ilmu yang lebih tentang argumen lawan sekaligus jawabannya, agar bisa mematahkan syubhat (kerancuan) tersebut. 

Selanjutnya Nabi berpesan hendaknya seruan yang pertama kali disampaikan adalah syahadat, laa ilaha illallah dan muhammad Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan ”... agar mereka menauhidkan Allah.” Dalam riwayat lain ”...agar beribadah kepada Allah.” Penggabungan riwayat-riwayat ini memberikan gambaran bahwa ibadah yang diperintahkan itu adalah mentauhidkan / mengesakan Allah.

Mengesakan-Nya berarti mempersaksikan bahwa Allah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi, juga mempersaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. 

Kedua persaksian ini merupakan pokok Agama, yang mana Islam seseorang tidak sah tanpa mengikrarkannya.

Jika mereka mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk, maka prioritas dakwah yang kedua adalah shalat lima waktu sehari semalam. Shalat adalah tiang agama, ibadah badaniyah yang paling utama dan amalan pertama kali yang akan dihisab dari seorang hamba.  Jika shalatnya baik, akan menjadi baik seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak, akan menjadi rusak pula seluruh amalannya yang lain.

Kemudian jika mereka mau taat, maka prioritas berikutnya adalah zakat yang diambil dari golongan kaya dan dibagikan kepada golongan miskinnya. 

Urutan dakwah seperti ini bukan maksudnya bahwa zakat tidaklah wajib sebelum mengerjakan shalat. Bukan pula shalat tidak wajib sebelum mengucapkan syahadat. Namun maknanya bahwa dakwah itu dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting berikutnya. Metode seperti ini termasuk dari kelemah-lembutan dalam bertutur kata agar orang yang diseru tidak lari dari dakwah karena merasa terlalu berat. 

Berikutnya Nabi ﷺ mewanti-wanti jangan sampai mengambil zakat dari harta yang paling berharga.  Sebab, hal itu merupakan kezaliman. Demikian pula, diharamkan pula bagi orang yang memberikan zakat mengambil dari harta zakatnya yang paling buruk. Sehingga yang semestinya, zakat dibayarkan dari harta yang pertengahan, tidak terlampau berharga dan tidak terlalu rendahan. 

Nabi kemudian menyebutkan salah satu ancaman agar setiap orang meninggalkan segala bentuk kezaliman. Beliau menyebutkan bahwa doa orang yang teraniaya itu sangat mustajab, tidak ada penghalangnya dengan Allah.

Mungkin ada pertanyaan, ”Terkadang seseorang yang dizalimi berdoa, namun Allah سبحانه وتعالى belum berkenan mengabulkannya. Bagaimana ini ❓”  Maka jawabannya adalah, dalil ini sifatnya masih luas, perlu dibatasi dengan dalil lain yang lebih spesifik.  Dari dalil Iainnya, dapat disimpulkan bahwa terkabulnya doa dengan salah satu dari 3 (tiga) cara:

a. Allah langsung mengabulkan doanya.

b. Allah menyimpankan untuknya yang Iebih utama daripada apa yang dimintanya.

c. Allah memalingkan dari dirinya kejelekan yang setimpal dengan doanya. 


BEBERAPA FAIDAH 

Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits ini. Di antaranya:   

1. Diterimanya hadits ahad (berita yang perawinya tidak mencapai derajat mutawatir²) yang shahih atau hasan, dan kita wajib mengamalkannya. Karena Rasulullah ﷺ mengutus Mu'adz sendirian dalam berdakwah ke Yaman. Dan penduduk di sana langsung menerima dakwah Mu’adz, tidak mempertanyakan apakah ada penyampai lainnya yang bersama Mu'adz رضي الله عنه. 

2. Kaum kafir, termasuk juga Ahli Kitab, terlebih dahulu diseru kepada Tauhid.  Jika mereka mau (telah) beriman maka diajari syariat yang selanjutnya.  Jika tidak mau maka diperangi, dengan komando dari Pemimpin Negara Muslim

3. Meyakini keesaan Allah (Tauhidullah) adalah kewajiban yang paling pertama.

4. Tidak dianggap muslim orang yang tidak melafalkan dua kalimat syahadat dengan lisannya, bagi yang mampu.  Meskipun dia meyakini kebenaran Islam dan melaksanakan syariatnya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ memerintah Mu'adz رضي الله عنه agar menyeru penduduk Yaman untuk bersaksi ”Lailahaillallah muhammadur rasulullah”.

5. Shalat lima waktu itu hukumnya wajib dalam sehari semalam, dan merupakan rukun Islam yang paling utama setelah syahadat. 

6. Zakat adalah kewajiban yang terkait dengan harta.  Zakat diambil dari kaum muslimin yang terpenuhi syarat-syarat zakat meskipun belum baligh (menurut sebagian ulama).  Dan dibagikan kepada kaum muslimin yang fakir terutama yang ada di daerah dikumpulkannya zakat.          

7.  Zakat tidak boleh dibagikan kepada orang kafir ataupun orang kaya. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits di atas yang artinya, "...dikembalikan kepada golongan miskinnya.” Kata ganti ”nya” yang dimaksudkan adalah kaum muslimin, bukan orang kafir. Sehingga, maknanya, ”... dikembalikan kepada golongan miskin dari kaum muslimin."

8. Haramnya perbuatan zhalim secara umum. 

9. Semestinya bagi Penguasa untuk menasihati para pegawainya agar bertakwa kepada Allah dan menjauhi kezhaliman. 

10. Diharamkan bagi para pegawai pemungut zakat untuk megambil harta zakat yang paling berharga, dan diharamkan bagi orang yang menunaikan zakat untuk mengeluarkan dari harta zakat yang paling buruk.

11. Mustajabnya doa orang yang teraniaya (meskipun dia orang kafir, pen blog).

12. Disyariatkan menempuh metode pengajaraan secara bertahap.  Dimulai dari yang paling penting, kemudian yang paling penting setelahnya. Karena itulah, Rasulullah ﷺ membimbingkan kepada Mu'adz رضي الله عنه untuk berdakwah kepada Tauhid pertama kali, Ialu shalat, Ialu zakat, dan seterusnya. 

13. Keutamaan Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه sebab Nabi mengutusnya sebagai da'i, pengajar, sekaligus hakim bagi penduduk Yaman.

 الله أعلم بااصواب.

oOo

Disalin dengan editan dari tulisan, AGAR DAKWAH BERBUAH INDAH, ✍🏻 Al-Ustadz Abu Falih Yahya حفظه الله تعالى, Majalah Qudwah, Edisi 09.

Catatan Kaki:

1) Kata ratwah (yang kami terjemahkan selangkah) di sini memiliki beberapa penafsiran. Bisa bermakna satu mil, jarak Iemparan anak panah, atau sejauh mata memandang.

2) Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki banyak jalan riwayat, sehingga mustahil untuk berdusta. Sedangkan hadits ahad adalah hadits yang jumlah jalan riwayat tidak sampai mutawatir. Hadits ahad ini ada yang diterima (shahih dan hasan), ada yang tidak (Iemah dan palsu), tergantung dari kualitas periwayat dan kebersambungan periwayatan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar