Rabu, 24 Maret 2021

FAIDAH PILIHAN DARI PENJELASAN KITAB TAUHID SYAIKH AL-'UTSAIMIN

 


بسم الله الرحمان الرحيم

أَقْسَامُ التَّوْحِيْدِ ثَلَاثَةٌ: 

١- تَوْحِيْدُ الرُّبُوْبِيَّةِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِالْخَلْقِ وَالْمُلْكِ وَالتَّدْبِيْرِ.

٢- تَوْحِيْدُ الْأُلُوْهِيَّةِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِالْعِبَادَةِ.

٣- تَوْحِيْدُ الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيْفٍ وَلَا تَعْطِيْلٍ وَلَا تَكْيِيْفٍ وَلَا تَمْثِيْلٍ.


Pembagian Tauhid itu ada 3 (tiga):

1) Tauhiid Ar-Rubuubiyyah

Yakni mengesakan / menunggalkan Allah di dalam kemampuan mencipta, mengusai, dan mengatur Alam Semesta.

2) Tauhiid Al-Uluuhiyyah

Yakni mengesakan / menunggalkan Allah di dalam seluruh ibadah dan penyembahan kita.

3) Tauhiid Al-Asmaa' wash Shifaat: Yakni mengesakan / menunggalkan Allah di dalam seluruh pemilikan Nama-Nama dan Sifat-Nya, tanpa sama sekali kita melakukan tahriif (merubah / memalingkan maknanya tanpa adanya nash), tanpa melakukan ta'thiil (menolak salah satu Nama dan Sifat-Nya, atau bahkan keseluruhannya), tanpa melakukan takyiif (menanyakan tentang bagaimana hakikat yang sebenarnya), serta tanpa melakukan tamtsiil (menyerupakan Nama dan Sifat-Nya seperti nama dan sifat para makhluk-Nya).

***

PENJELASAN:

- Mengapa Tauhid terbagi menjadi tiga?

Untuk menjawabnya ada beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu:

1) Kaidah di dalam agama menyebutkan (ِلَا مُشَاحَّةَ فِي الْاِصْطِلَاح): "Tidak perlu untuk saling dikontradiksikan, apabila itu hanya sekedar perbedaan istilah semata."

(Tidak berbeda dalam hakikatnya, pen blog)

Ibnu Qoyyim ُرَحِمَهُ اللّٰه telah berkata: "Perbedaan-perbedaan istilah janganlah saling dikontradiksikan / dibenturkan, dengan syarat selama perbedaan istilah tersebut tidak mengandung mafsadah (kerusakan)." (Madaarijus Saalikiin [3/306]).

Sebagaimana para 'ulama sejak dahulu kala telah membagi-bagi hukum syar'iyyah.  Ada yang datang dengan istilah masyruu' (disyari'atkan) atau tidak masyruu', ada juga yang langsung datang dengan menyebutkan hukum takliifiyyahnya berupa Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah.

2) Ketika para 'ulama membuat pembagian-pembagian tersebut, itu merupakan hasil tatabbu' wal istiqraa' (telaah, bacaan, dan penelitian yang mendalam) terhadap nash-nash syari'at, kemudian disimpulkanlah hasilnya berupa pembagian-pembagian tersebut, dengan tujuan agar semakin memudahkan kaum muslimin di dalam memahaminya.  Sebagaimana dahulu di awal islam yang dimaksud dengan ilmu agama adalah meliputi semua hal di dalam agama ini, kemudian para 'ulamapun mulai membagi-baginya menjadi lebih spesifik, hingga lahirlah pembagian khusus seperti bidang ilmu 'aqiidah, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu ushuul, ilmu tafsiir, ilmu tajwiid, ilmu nahwu, ilmu sharf, dsb.  Sebagaimana pula pembagian judul-judul bab yang ada di dalam kitab-kitab karya tulis para 'ulama kita.

3) Dahulu para 'ulama Salaf tidaklah membagi tauhid menjadi 3 (tiga), akan tetapi hanya menjadi 2 (dua), yakni:

1- Tauhiid Al-Ma'rifah wal Itsbaat (tauhiid yang mewajibkan seorang muslim untuk mengenal Allah dan keberadaan-Nya, serta menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Nya): Yakni meliputi iman akan wujud Allah, iman akan Rubbubiyyah Allah, dan iman dengan Asmaa' wash Shifaat Allah. (Jadi ada 2 tauhid yang digabungkan ke dalam satu pengelompokan;  Iman terhadap Wujud Allah dan Rubbubiyyah Allah)

2- Tauhiid Al-Qashdu wath Thalab (tauhid yang mengajarkan untuk meluruskan niat, dan tujuan penyembahan kita): Yakni meliputi iman akan Uluuhiyyah Allah.

Di antara 'ulama yang menyebutkan pembagian tauhid menjadi 2 adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Majmuu' Al-Fataawaa (15/164), dan Fataawaal Kubraa (5/250), serta 'ulama-'ulama selain beliau رَحِمَهُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin jauhnya umat manusia dan kaum muslimin khususnya dari masa keNabian, di mana ilmu dan pemahaman mereka semakin lemah dan dangkal, semakin sedikitnya kaum muslimin yang menguasai ilmu-ilmu bahasa 'Arab maupun kaidah-kaidahnya, apalagi dengan masuknya bahasa-bahasa asing, serta lemahnya kemampuan ma'rifah yang mereka miliki, maka para 'ulama pun membuat pembagian Tauhid menjadi 3 (tiga), bahkan ada pula yang sampai membaginya menjadi 4 (empat), dengan menambahkan Tauhid yang keempat: Yakni Tauhiid bil Wujuudillah (mengesakan / menunggalkan Allah di dalam Wujud-Nya, sampai Allah tidak memiliki orang tua, tidak dilahirkan, tidak mempunyai pasangan atau sekutu / syariik, dan tidak pula memiliki anak).

Sekali lagi, bahwa tujuan dari adanya pembagian tersebut adalah untuk memudahkan kaum muslimiin di dalam memahami konsep Tauhid itu sendiri, selama pembagian-pembagian tersebut tidak mengandung makna yang rusak / faasid dan sesuai dengan kandungan makna Tauhid itu sendiri.  Oleh sebab itu kita dapati bahwa kesemua pembagian Tauhid tersebut tidaklah saling bertentangan satu sama lain, bahkan malah justru saling merinci dan saling melazimkan, dimana siapapun yang bertauhid kepada Allah maka ia dituntut untuk harus mengenal Wujud Allah, mengenal Rubuubiyyah Allah, mengenal Asmaa' wash Shifaat Allah, serta melazimkan bagi dirinya untuk senantiasa meluruskan niat dan tujuannya semata-mata menegakkan Uluuhiyyah Allah.

Sehingga tidak tertutup kemungkinan, jikalau tiba suatu zaman di mana umat manusia dan kaum muslimin pada khususnya semakin membutuhkan penjelasan yang lebih rinci tentang persoalan Tauhid dan kelazimannya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kelak para 'ulama bisa saja membagi pembagian tauhid tersebut dengan pembagian-yang lebih banyak lagi lebih merinci, baarokallahu fiikum.

4). Pembagian Tauhid yang dibuat oleh para 'ulama bukanlah pembagian yang bid'ah (mengada-ada di dalam agama), bahkan pembagian-pembagian tersebut telah dikenal ma'ruuf semenjak pada kurun generasi yang ketiga (atbaa'ut taabi'iin) dan yang keempat (para imam madzhab), sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zayd anggota Hai-atu Kibaaril 'Ulamaa di dalam kitabnya yang berjudul "Ar-Raddu 'alal Mukhaalif," serta Al-Imam Ibnu Jariir Ath-Thabariy di dalam tafsirnya, dan juga 'ulama-'ulama selainnya yang telah menukilkan tentang pembagian-pembagian Tauhid tersebut.

5). Telah disebutkan sebelumnya bahwa pembagian tersebut adalah merupakan hasil dari tatabbu' wal istiqraa' terhadap nash-nash syari'at, di antaranya adalah firman Allah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (3)

"Segala pujian penuh cinta dan pengagungan hanyalah terhaturkan kepada Allah (Tauhid Uluhiyyah), Rabb Tuhan seluruh alam semesta (ini merupakan Tauhiid Ar-Rubuubiyyah). Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim (ini merupakan Tauhiid Asmaa' wash Shifaat)." (QS. Al-Faatihah:  2-3)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)

"Hanya khusus kepada-Mu semata ya Allah kami semua beribadah dan menyembah, serta hanya khusus kepada-Mu semata ya Allah kami semua memohon pertolongan (ini merupakan Tauhiid Uluuhiyyah)." (QS. Al-Faatihah:  5).

رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (65)

"(Allahlah) Rabb Tuhan (Pencipta, Penguasa, dan Pengatur) seluruh langit dan bumi, serta segala yang berada di antara keduanya. Oleh karena itu kalian wajib untuk beribadah dan menyembah hanya kepada-Nya semata (Tauhiid Uluuhiyyah), serta bersabarlah kalian di dalam menunaikan ibadah kepada-Nya semata.  Apakah kamu mengetahui adanya sosok selain-Nya yang bisa semisal dengan-Nya (di dalam nama ataupun sifat-sifat-Nya, di mana ini merupakan Tauhiid Asmaa' wash Shifaat)?!"  (QS. Maryam: 65).

Dan nash-nash lainnya yang menunjukkan kepada makna Tauhid dengan segala kelazimannya.

- Apakah yang dimaksud dengan Tauhid?

Tauhid di dalam bahasa 'Arab diambil dari mashdar (kata dasar): وَحَّدَ - يُوَحِّدُ - تَوْحِيْدًا yang bermakna (َجَعَلَ الشَّيْء وَاحِدًا) "Menjadikan sesuatu itu esa / tunggal."

Sedangkan secara istilah Tauhid itu bermakna: (َإِفْرَادُ اللّٰهِ بِمَا يَخْتَصُّ بِهِ مِن الرُّبُوْبِيَّةِ وَالْأُلُوْهِيَّةِ وَالْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ) "Mengesakan / menunggalkan Allah di dalam hak-hak khusus-Nya, yang meliputi hak Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, serta Asmaa' wash Shifaat."  (Lihat Al-Qoulul Mufiid 'alaa Kitaabit Tauhiid karya Syaikh Al-'Utsaimiin [1/11]).

- Apa yang dimaksud dengan Tauhiid Rubuubiyyah?

Dalam matan telah disebutkan:

تَوْحِيْدُ الرُّبُوْبِيَّةِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِالْخَلْقِ وَالْمُلْكِ وَالتَّدْبِيْرِ.

Tauhiid Ar-Rubuubiyyah

Yakni mengesakan / menunggalkan Allah di dalam kemampuan mencipta, mengusai, dan mengatur Alam Semesta (segala sesuatu).

Yang demikian itu dikarenakan kata Rubuubiyyah dalam bahasa 'Arab diambil dari mashdar (kata dasar): رَبَّ - يُرَبُّ - رُبُوْبِيَّةً atau ًرَبَّى - يُرَبِّي - تَرْبِيَة yang bermakna (الَّذِي يُرَبِّي غَيْرَهُ وَيُنْشِئُهُ شَيْئًا فَشَيْئًا) "Dzat yang mencipta, mengusai, mengatur, dan yang memelihara selain-Nya, serta menumbuh-kembangkan sedikit demi sedikit hingga menjadi sempurna."

Makanya sebutan Rabb ini biasanya diberikan kepada sosok Al-Maalik (Raja / Penguasa), As-Sayyid (penghulu / tuan / majikan), Al-Mudabbir (pengatur / hakim), Al-Murobbiy (pemelihara / pendidik), Al-Qoyyim (penegak / penopang), Al-Mun'im (pemberi nikmat). (Lihat Mufrodaat Alfaadzhil Qur-aan [hal. 336]. Dan An-Nihaayah fii Ghoriibil Hadiits [2/179]).

Oleh sebab itu Dzat yang pantas dikatakan memiliki sifat Rubuubiyyah adalah seorang yang paling minimalnya bisa mencipta, menguasai, dan mengatur, di mana tidak ada satu sosokpun yang sanggup untuk melakukannya secara mutlak kecuali hanya Allah semata.  Sehingga, Allah Dialah Sang Robbul 'Aalamiin yang memiliki hak Rubuubiyyah, baarokallahu fiikum.

Kelaziman dari Tauhiid Rubuubiyyah ini adalah mengharuskan seorang hamba mengakui bahwa tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada Penguasa selain Allah, dan tidak ada Pengatur selain Allah semata.  Maka siapa yang meyakini ada yang bisa mencipta, menghidupkan, mematikan, menumbuhkan, menahan nikmat dan memberi nikmat, menahan hujan dan menurunkan hujan, memberi penyakit dan menyembuhkan penyakit, memberi mushiibah / kualat, dan memberi kemudahan serta pertolongan, menolak do'a dan mengabulkan do'a, memberikan anak, melancarkan usaha, dapat menolak balaa', dapat memberikan hidayah taufiiq, ampunan, kekokohan, dapat menentukan taqdir, dapat memberikan Surga, dapat menyelamatkan dari api Neraka, dapat membuat ketetapan hukum syarii'at, dst selain Allah, baik apakah yang diyakini itu ada pada diri seorang Malaikat, Nabi, Rasul, Waliy, ataupun orang-orang shalih, apalagi dukun, tukang sihir, dan pawang, maka artinya ia telah berlaku Kufur di dalam hak Tauhiid Rubuubiyyah Allah.  Dan sungguh keyakinan 'aqiidah yang dimilikinya tersebut bahkan lebih buruk dari orang-orang musyrik terdahulu sekalipun.  Sebab Allah telah menyebutkan keadaan kaum musyrikiin di dalam firman-Nya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ (38)

"Apabila engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik): Siapakah yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi?  Niscaya (demi Allah) mereka pasti akan menjawab: Allahlah yang telah menciptakannya!  Katakanlah (kepada mereka setelah mereka menjawab demikian): Bagaimanakah pendapat kalian tentang para sosok selain Allah yang selama ini kalian sembah, kalian seru, kalian ibadahi, dan kalian panjatkan dengan do'a-do'a kalian, bagaimanakah pendapat kalian apabila Allah berkeinginan untuk menimpakan mudharat (kesempitan hidup) kepada diriku, sanggupkah mereka-mereka itu menyingkap dan melapangkan mudharat Allah tersebut? Bagaimanakah pendapat kalian apabila Allah berkeinginan untuk menganugerahkan rahmat (kelapangan hidup dan rizqi yang berlimpah) kepada diriku, sanggupkah mereka-mereka itu menahan rahmat Allah tersebut? Katakanlah (kepada mereka): Cukuplah Allah semata bagiku (sebagai Rabb dan Ilah-ku satu-satunya), hanya kepada-Nyalah semata seharusnya tempat bertawakkal (bergantung dan menyerahkan segala urusan, serta beribadah) orang-orang yang bertawakkal."  (QS. Az-Zumar:  38)

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السّ

َمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (31)

"Tanyakanlah (Muhammad, kepada orang-orang musyrik): Siapakah yang telah menganugerahkan rizqi kepada kalian dari langit dan bumi (semisal hujan, matahari dan bulan, siang dan malam, tanaman, tumbuh-tumbuhan, maupun buah-buahan)? Siapakah yang menguasai segala pendengaran dan penglihatan serta yang telah menguasakan pendengaran dan penglihatan tersebut kepada kalian? Siapakah pula yang sanggup untuk mengeluarkan yang hidup dari yang mati (semisal menetaskan telur), atau yang sanggup mengeluarkan yang mati dari yang hidup (semisal peristiwa wafatnya seseorang dari dunia ini)? Serta siapakah yang mengatur segala urusan dan yang menetapkan segala perintah (taqdir maupun hukum syarii'at)? Maka pasti akan engkau dapati jawaban mereka adalah Allah! Kalau begitu katakanlah kepada mereka: Jikalau demikian (telah kalian ilmui) lantas mengapa kalian tidak mau bertaqwa kepada Allah (kalian tidak mau beribadah kepada-Nya semata, tidak mau menjalankan perintah-Nya untuk bertauhid dan menjauhi syiriik, serta kalianpun tidak merasa takut akan hukuman-Nya, padahal Dia sanggup untuk mencabut segala hal tersebut dari diri kalian)."  (QS. Yuunus:  31)

Kemudian kelaziman lainnya dari Tauhiid Rubuubiyyah ini juga adalah melahirkan ibadah dan penyembahan kepada-Nya semata, sebagaimana firman Allah:

رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (65)

"(Allah), Rabb Tuhan (pencipta, penguasa, dan pengatur) seluruh langit dan bumi, serta segala yang berada di antara keduanya. Oleh karena itu kalian wajib untuk hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya semata (Tauhiid Uluuhiyyah), serta bersabarlah kalian di dalam menunaikan ibadah kepada-Nya semata. Apakah kamu mengetahui adanya sosok selain-Nya yang bisa semisal dengan-Nya (di dalam Nama atau Sifat-Sifat-Nya, Tauhiid Asmaa' wash Shifaat)?!"  (QS. Maryam: 65)

Oleh sebab itu lafadzh Rabb juga terkadang digunakan untuk makna sebagai Tuhan sesembahan yang diibadahi, sebagaimana keterangan di dalam hadits yang telah diceritakan oleh Al-Baroo' bin 'Aazib:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوْسِنَا الطَّيْرُ، وَفِي يَدِهِ عُوْدٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: اِسْتَعِيْذُوْا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا، زَادَ فِي حَدِيْثِ جَرِيْرٍ هَاهُنَا وَقَالَ: وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفْقَ نِعَالِهِمْ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ حِيْنَ يُقَالُ لَهُ: يَا هَذَا، مَنْ رَبُّكَ وَمَا دِيْنُكَ وَمَنْ نَبِيُّكَ؟ قَالَ هَنَّادٌ: قَالَ: وَيَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيُجلِسَانِهِ فَيَقُوْلَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُوْلُ: رَبِّيَ اللَّهُ، فَيَقُوْلَانِ: مَا دِيْنُكَ؟ فَيَقُوْلُ: دِيْنِيَ الْإِسْلَامُ، فَيَقُوْلَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيْكُمْ؟ قالَ: فَيَقُوْلُ: هُوَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَقُوْلَانِ: وَمَا يُدْرِيْكَ؟ فَيَقُوْلُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. زَادَ فِي حَدِيْثِ جَرِيْرٍ فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا ...} فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قَدْ صَدَقَ عَبْدِي، فَأَفْرِشُوْهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوْا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوْهُ مِنَ الْجَنَّةِ قَالَ: فَيَأْتِيْهِ مِنْ رَوْحِهَا وَطِيْبِهَا قَالَ: وَيُفْتَحُ لَهُ فِيْهَا مَدَّ بَصَرِهِ قَالَ: وَإِنَّ الْكَافَرَ فَذَكَرَ مَوْتَهُ قَالَ: وَتُعَادُ رُوْحُهُ فِي جَسَدِهِ، وَيَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُوْلَانِ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُوْلُ: هَاهْ هَاهْ هَاهْ، لَا أَدْرِي، فَيَقُوْلَانِ لَهُ: مَا دِيْنُكَ؟ فَيَقُوْلُ: هَاهْ هَاهْ، لَا أَدْرِي، فَيَقُوْلَانِ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيْكُم؟ فَيَقُوْلُ: هَاهْ


هَاهْ، لَا أَدْرِي، فُيُنَادِي مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ كَذَبَ، فَأَفْرِشُوْهُ مِنَ النَّارِ، وَأَلْبِسُوْهُ مِنَ النَّارِ، وَافْتَحُوْا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ قَالَ: فَيَأْتِيْهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُوْمِهَا قَالَ: وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيْهِ أَضْلَاعُهُ. زَادَ فِي حَدِيْثِ جَرِيْرٍ قَالَ: ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَبْكَمُ مَعَهُ مِرْزَبَةٌ مِنْ حَدِيْدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ تُرَابًا قَالَ: فَيُضْرَبُهُ بِهَا ضَرْبَةً يَسْمَعُهَا مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ فَيَصِيْرُ تُرَابًا قَالَ: ثُمَّ تُعَادُ فِيْهِ الرُّوْحُ.

"Pernah kami keluar bersama Rasulullah ﷺ untuk mengantar jenazah seorang lelaki Anshoor. Saat kami tiba di pekuburan, ternyata liang lahadnya belum selesai digali, maka Rasulullah ﷺ pun duduk menunggu, dan kamipun juga duduk menunggu dengan sangat tenang di sisi Beliau, seolah-olah di atas kepala kami sedang dihinggapi oleh burung. Kemudian di tangan Beliau terdapat sebuah tongkat kecil yang Beliau ketuk-ketukkan ke tanah (seolah-olah ada yang sedang Beliau pikirkan). Maka tiba-tiba Beliaupun mengangkat kepalanya sembari berkata: Hendaknya kalian semua memohon perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, beliau mengucapkannya 2, atau 3x. (Dalam hadits Jariir bin 'Abdil Hamiid Adh-Dhobiy Al-Kuufiy salah seorang perowiy hadits ini, ada tambahan lafadzh ucapan Nabi ﷺ): Sesungguhnya mayyit itu benar-benar akan bisa mendengarkan suara sandal-sandal manusia yang mulai meninggalkan kuburannya setelah prosesi pemakaman, kemudian di kala itu akan mulai ditanyakanlah kepadanya:  Siapakah Rabbmu? Apakah agamamu? Dan siapakah Nabimu? (Hannaad ibnus Sirriy salah seorang perowiy hadits ini berkata): Rosulullah ﷺ bersabda: Akan datang kepadanya 2 orang Malaikat, kemudian mereka akan mendudukkannya dan mulai mengajukan pertanyaan kepadanya tentang siapakah Rabbmu? Iapun menjawab: Rabb Tuhanku adalah Allah! Keduanya kembali bertanya: Apa agamamu? Iapun menjawab: Agamaku islam! Keduanya kembali bertanya: Siapakah lelaki ini yang telah diutus kepada kalian? Iapun menjawab: Beliau adalah Rasulullah ﷺ utusan Allah!  Keduanya kembali bertanya: Dari manakah engkau dapati pengetahuan tersebut (apakah engkau sekedar bertaqliid, ataukah engkau dapati bukti dan hujjah-hujjahnya)? Iapun menjawab: Aku membaca Kitabullah, dan akupun beriman dengannya (yakni aku membaca Al-Qur-an dan mengilmui kandungannya, sehingga akupun beriman dengan segala yang ada di dalamnya), lagi benar-benar membenarkannya (di dalam hati, lisan, dan amalan anggota badan). (Di dalam hadits Jariir bin 'Abdil Hamiid Adh-Dhabiy Al-Kuufiy salah seorang perowiy hadits ini, ada tambahan lafadzh ucapan Nabi ﷺ): Yang demikian itulah kebenaran dari firman Allah عَزَّ وَجَلَّ:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

"Allah akan mengokohkan / meneguhkan orang-orang yang beriman dengan Al-Qouluts Tsaabit di kehidupan dunia ini (yakni dengan taufiiq, dan dengan jawaban-jawaban / pendapat yang benar lagi mencocoki Al-Haq di kehidupan dunia ini), demikian pula ketika di Akhirat kelak (yakni ketika menjawab pertanyaan di dalam kubur, maupun ketika dihisaab di hadapan Allah kelak)."  (QS. Ibrahiim: 27).

Kemudian Allah عَزَّ وَجَلَّ pun akan menyeru dari atas langit: Sungguh jawaban hamba-Ku itu adalah jawaban yang benar lagi jujur! Maka hendaknya kalian hamparkan untuknya permadani dari Surga, dan bukakanlah untuknya pintu menuju Surga, serta pakaikanlah untuknya pakaian dari Surga!  Sontak langsung datanglah kepadanya hembusan angin sepoi-sepoi dari Surga, disertai dengan aroma wanginya yang luar biasa.  Lalu dilapangkanlah untuknya kuburannya sejauh mata memandang. 

Beliau kembali berkata: Sesungguhnya seorang yang kafir, apabila ia meninggal dunia, lalu dikuburkan, dan umat manusiapun sudah mulai meninggalkan kuburannya, maka akan dikembalikan lagi ruhnya ke dalam jasadnya, dan akan datang kepadanya 2 orang Malaikat yang akan mendudukkannya sembari bertanya: Siapa Rabbmu? Iapun hanya keheranan dan menjawab:  Hah, hah, hah, aku tidak tahu!  Keduanya kembali bertanya: Apa agamamu? Iapun hanya keheranan dan menjawab:  Hah, hah, aku tidak tahu! Keduanya kembali bertanya lagi: Siapakah lelaki ini yang telah diutus kepada kalian? Iapun hanya kembali keheranan dan menjawab:  Hah, hah, aku tidak tahu!  Tiba-tiba Allah عَزَّ وَجَلَّ menyeru dari atas langit:  Sungguh ia telah berdusta (yakni ia telah berdusta bahwa ia tidak tahu, karena Allah telah memperkenalkan Al-Haq kepadanya, telah datang pula kepadanya sosok Nabi dan Rasul terbaik, sehingga iapun juga telah mengilmui bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang Al-Haq, namun ia justru mendustakan semua hal tersebut semasa hidupnya)! Maka hendaklah kalian hamparkan untuknya permadani dari Neraka, dan pakaikanlah untuknya pakaian dari api Neraka (sehingga ia benar-benar diliputi dan dikelilingi oleh api Neraka, seakan-akan itu telah menjadi pakaian untuknya), dan bukakanlah untuknya pintu menuju Neraka! Sontak datanglah kepadanya hembusan-hembusan panasnya yang teramat sangat membara. Lalu disempitkanlah untuknya kuburannya, sampai-sampai tulang rusuknya remuk redam saling bersilangan. (Dalam hadits Jariir bin 'Abdil Hamiid Adh-Dhobiy Al-Kuufiy salah seorang perawiy hadits ini, ada tambahan lafadzh ucapan Nabi ﷺ): Kemudian digantikan untuknya teman di dalam kuburannya berupa sosok yang buta tidak bisa melihat, serta tuli tidak bisa mendengarkan teriakannya, yang tidak kenal ampun maupun berbelas kasih kepadanya, sambil membawa bersamanya semacam palu godam yang terbuat dari besi, di mana seandainya saja jikalau palu tersebut dihantamkan kepada gunung, maka gunung sekalipun akan menjadi rata dengan tanah.  Beliau berkata: Kemudian palu itupun dipukulkan kepadanya sekali saja, sehingga iapun berteriak dengan luar biasa kerasnya, sampai-sampai bisa terdengar oleh siapapun yang berada di antara Timur dan Barat, kecuali Ats-Tsaqalaini (bangsa Jin dan Manusia).  Seketika itu iapun langsung hancur lebur menjadi tanah! Selanjutnya iapun kembali disatukan dan kembali dimasukkan ruh ke dalam jasadnya (untuk kembali disiksa dengan siksaan yang sama secara berulang-ulang, hingga tiba Hari Kiamat, ketika semua umat manusia dibangkitkan dari kuburannya masing-masing)." HR. Shohiih Abu Daawud (4753). An-Nasaa-iy (2001). Ibnu Maajah (1549). Dan Ahmad (18557).

Syaahidnya pada hadits ini adalah pada pertanyaan: "Siapa Rabbmu?" di mana Rabb yang diinginkan di sini adalah Rabb yang merupakan kelaziman Rubuubiyyah, yakni siapakah yang engkau sembah dan ibadahi selama engkau hidup di dunia?  Dan bukannya Rabb yang bermakna Pencipta, Penguasa, dan Pengatur.  Sebab apabila demikian maknanya, maka orang kafir dan orang-orang musyrik sekalipun akan dapat lolos dengan mudahnya dari pertanyaan tersebut, karena di dunia ini mereka juga mengakui Allah sebagai Pencipta, Penguasa, dan Pengatur, sebagaimana dalil yang telah kita sebutkan sebelumnya di atas (padahal dalam beribadah - mereka memiliki banyak sesembahan, pen blog).

Apa yang dimaksud dengan Tauhiid Uluuhiyyah?

Dalam matan telah disebutkan:

تَوْحِيْدُ الْأُلُوْهِيَّةِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِالْعِبَادَةِ.

Tauhiid Al-Uluuhiyyah: Yakni mengesakan / menunggalkan Allah di dalam seluruh ibadah dan penyembahan.

Yang demikian tersebut dikarenakan kata Uluuhiyyah di dalam bahasa 'Arab adalah merupakan mashdar (kata dasar) dari: أَلِهَ - يَأْلَهُ - إِلَاهَةً، وأُلُوْهَةً، وأُلُوْهِيّةً yang bermakna "Ibadah" (Lihat Ash-Shihaah karya Al-Jauhariy [6/2223] pada komposisi (أله)).

Oleh karena itu Ibnu 'Abbaas ُرَضِيَ اللّٰه عَنْهُمَا telah berkata:

وَاللَّهُ ذُو الْأُلُوْهِيَّةِ وَالْمَعْبُوْدِيَّةِ عَلَى خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ

"Allah itu adalah pemilik Uluuhiyyah dan sekaligus juga menjadi Ma'buudiyyah (Satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan diibadahi) oleh seluruh makhluk-Nya." HR. Ath-Thobariy (1/123).

Abul Haitsam telah berkata: "Nama Allah itu diambil dari kata Ilah ... Dan tidak mungkin seseorang itu pantas disebut sebagai Ilah kecuali ia juga dijadikan sebagai Ma'buud (Tuhan sesembahan / sosok yang diibadahi), di mana ia merupakan sosok Pencipta, Pemberi rizqi, Pengatur, dan juga sekaligus Yang menetapkan segala taqdir bagi para hamba yang menyembah lagi beribadah kepada-Nya." (Lihat Dhowaabitut Takfiir 'Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah karya 'Abdullah bin Muhammad Al-Qorniy [hal. 37]).

Apa yang dimaksud dengan ibadah?

Az-Zujaaj telah berkata: "Makna ibadah secara bahasa 'Arab adalah (ِالطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْع) "Ketaatan yang disertai dengan ketundukkan serta perendahan diri." (Lihat Lisaanul 'Arab [3/273] pada komposisi (عبد)).

Sedangkan ibadah menurut istilah telah disebutkan secara lengkap definisinya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ُرَحِمَهُ اللّٰه:  "Ibadah, adalah sebutan untuk semua perkara yang telah dipastikan bahwa ia dicintai dan diridhai Allah, apakah itu bentuknya berupa ucapan / keyakinan, ataupun amalan, yang bathin maupun yang dzhahir (tampak)." (Lihat Majmuu' Al-Fataawaa [10/149]).

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa untuk menjalankan ibadah itu haruslah dibangun di atas bimbingan ilmu syar'iy terlebih dahulu, tidak boleh serampangan ataupun mengada-ada / berbuat bid'ah.  Sebab yang namanya ketaatan itu tidak lepas dari 2 bentuk, yakni menjalankan perintah atau menjauhi larangan yang telah diinstruksikan. Maka, barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan ataupun mengucapkan suatu ucapan yang tidak diperintahkan, atau malah melakukan sesuatu yang dilarang sehingga menyelisihi, artinya di kala tersebut ia tidak sedang berlaku ketaatan, namun justru sedang melakukan kemaksiatan.  Dan apabila seseorang melakukan kemaksiatan, artinya tidak mungkin ucapan maupun amalannya itu untuk dicintai lagi diridhoi Allah, karena Allah hanya akan mencintai dan ridha dengan ketaatan terhadap-Nya.

Oleh karena itu setiap muslim diperintahkan untuk mempelajari ilmu agama ini, dimana minimalnya yang harus ia kuasai adalah sekedar sampai pada kapasitas ilmu yang dengannya ia bisa menegakkan ibadah-ibadahnya yang wajib kepada Allah, serta bisa menjauhi segala hal yang diharamkan Allah.

- Kapan kita bisa mengetahui, bahwa ucapan dan amalan kita sudah mencocoki kecintaan dan keridhoan Allah?

Tolok ukur untuk mengetahui kecintaan Allah, adalah dengan cara senantiasa berittibaa' (mengikuti, lagi mencontoh) Rasulullah ﷺ.  Sebab, Allah telah berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

“Katakanlah (Muhammad): Jikalau kalian memang benar-benar mencintai Allah, maka (buktikanlah cinta kalian tersebut dengan cara) berittiba'lah kepadaku, niscaya dengan demikian barulah Allah akan membalas cinta kalian tersebut." (QS Ali 'Imroon:  31).

Sedangkan tolok ukur keridhoan Allah adalah tergantung kepada sejauh apa keikhlasan kita di dalam menjalankan ketaatan terhadap-Nya, sebagaimana telah disebutkan di dalam riwayat:

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخُطُ لَكُمْ ثَلَاثًا، يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا، وَأَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ. وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ 

"Sesungguhnya Allah akan ridha kepada kalian dengan 3 perkara, dan akan murka kepada kalian dengan 3 perkara. Allah ridha kepada kalian apabila kalian hanya menyembah dan menyuguhkan seluruh ibadah kalian kepada-Nya semata, serta tidak berbuat kesyirikan kepada-Nya dengan sesuatu apapun (yakni ikhlash semata-mata untuk Allah).  Kemudian Allah akan ridha juga apabila kalian senantiasa berpegang teguh kepada tali Allah (Al-Kitab dan As-Sunnah), serta tidak menyelisihi tali tersebut. Dan Allah juga akan ridha kepada kalian apabila kalian saling menasehati dengan siapapun yang telah Allah taqdirkan sebagai Ulil Amri kalian (yakni saling tolong-menolong dalam perkara Al-Haq, mentaati mereka dalam perkara-perkara yang ma'ruf, mendo'akan kebaikan untuk mereka, tidak memberontak dan tidak menimbulkan huru-hara kepada Pemerintah mereka, mengingatkan mereka tentang hal-hal yang mereka lalai daripadanya).  Lalu Allah akan murka kepada kalian dengan 3 perkara: Yaitu dari Qiilaa wa Qoolaa (yakni ucapan yang tidak bermanfaat, banyak berbicara tanpa adanya hajat / kepentingan, atau menukilkan suatu kabar berita yang tidak diketahui benar tidaknya), dari menyia-nyiakan harta (yakni membelanjakannya tidak pada tempatnya, membelanjakannya pada hal-hal yang tidak syar'iy, atau membelanjakannya di dalam perkara kemaksiatan), dan dari terlalu banyak meminta / bertanya (yakni mengemis / meminta-minta harta kepada manusia, bertanya kepada para 'ulama tentang hal yang tidak bermanfaat bagi kaum muslimin, bertanya tentang perkara yang mustahil, terlalu banyak bertanya tentang berita dan kejadian dunia yang tidak bermanfaat sehingga hanya membuang-buang waktu, bertanya kepada seseorang secara detail sampai kepada persoalan pribadinya hingga menimbulkan rasa canggung, atau seseorang yang bertanya tentang perkara yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan dirinya lagi sama sekali bukan urusannya)." HR. Ibnu Baaz di dalam Majmuu' Al-Fataawaa beliau (12/352). Lihat pula riwayat lainnya di dalam Muslim (1715).

Oleh karena itu para 'ulama telah menjelaskan, bahwa ibadah itu dibangun di atas 3 (tiga) rukun, yakni:

1). Cinta (Al-Mahabbah).

2). Harap (Ar-Rajaa').

3). Takut (Al-Khauf).

Ibnu Qoyyim ُرَحِمَهُ اللّٰه telah berkata: "Hati itu dalam perjalanannya menuju Allah adalah laksana seekor burung, dimana kepalanya adalah Al-Mahabbah (cinta), dan kedua sayapnya adalah Ar-Rajaa' (harap) serta Al-Khauf (takut). Manakala burung tersebut sehat lagi sempurna kepala dan kedua sayapnya, maka ia adalah burung yang bisa terbang sempurna. Namun, kapan burung itu kehilangan kepalanya, maka ia adalah seekor burung yang mati. Dan kapan kedua sayapnya lenyap, maka iapun akan menjadi sasaran empuk bagi para pemburu maupun binatang buas." (Lihat Madaarijus Saalikiin, 1/514).

Di antara dalilnya adalah firman Allah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4)

"Segala pujian penuh cinta dan pengagungan hanyalah terhaturkan kepada Allah - Rabb Tuhan seluruh alam semesta (ini merupakan pujian karena cinta). Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim (ini merupakan pengharapan atas rahmat Allah).  Maalik (Sang Raja / Penguasa) hari akhir / kiamat (ini merupakan rasa takut akan penghisaban Allah)." (QS. Al-Faatihah: 2-4)

Sedangkan syarat agar bisa diterimanya amal ibadah kita ada 2, yakni:

1). Ikhlash hanya untuk Allah semata, serta menjauhi segala bentuk kesyirikan terhadap-Nya.

2). Mutaaba'ah (yakni mengikuti dan mencontoh) kepada tuntunan syarii'at Rasulullah Muhammad ﷺ di dalam menunaikan ibadah tersebut, baik dari sisi kesamaan sebabnya, waktunya, tempatnya, jumlah / kadarnya, jenisnya, serta sifat tata cara pelaksanaannya, dan tidak mengada-adakan bid'ah di dalam agama.

Ibnu Qayyim رَحِمَهُ اللّٰه telah berkata: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan keikhlasan dan mutaaba'ah sebagai 2 (dua) sebab / syarat untuk diterimanya suatu amal ibadah. Maka, apabila kedua hal tersebut tidak terpenuhi (atau lenyap salah satunya), amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah." (Lihat Ar-Ruuh, [1/135])

Di antara dalilnya adalah firman Allah:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)

"Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb Tuhannya (yakni perjumpaan yang penuh rahmat dan ampunan serta keberuntungan, bukannya perjumpaan yang penuh 'adzab, kerugian, serta penyesalan), maka hendaknya ia mengerjakan amalan ibadah yang shalih (yakni amalan ibadah yang sesuai dengan mutaaba'ah kepada Rasulullah), dan jangan sekali-kali ia memasukkan kesyirikan ke dalam ibadahnya tersebut (yakni harus ikhlash semata-mata untuk Allah)."  (QS. Al-Kahfi: 110)


- Apa yang dimaksud dengan Tauhiid Asmaa' wash Shifaat?

Dalam matan telah disebutkan:

تَوْحِيْدُ الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ: وَهُوَ إِفْرَادُ اللّٰهِ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيْفٍ وَلَا تَعْطِيْلٍ وَلَا تَكْيِيْفٍ وَلَا تَمْثِيْلٍ.

Tauhiid Al-Asmaa' wash Shifaat: Yakni mengesakan/menunggalkan Allah di dalam seluruh pemilikan Nama-Nama dan Sifat-Nya, tanpa sama sekali kita melakukan tahriif (merubah / memalingkan maknanya tanpa adanya nash), tanpa melakukan ta'thiil (menolak salah satu Nama dan Sifat-Nya, atau bahkan keseluruhannya), tanpa melakukan takyiif (menanyakan tentang bagaimana hakikatnya yang sebenarnya), serta tanpa melakukan tamtsiil (menyerupakan nama dan sifat-Nya sama seperti nama dan sifat para makhluk-Nya).

Ini merupakan kekhususan Allah, di mana Ia mempunyai Nama-Nama yang Al-Husnaa (yakni berada pada puncak keindahan dan kesempurnaan), serta mempunyai sifat-sifat yang Al-'Ulaa (yakni berada pada puncak ketinggian). Oleh karena itu tidak boleh kita menyematkan nama ataupun menyifatkan Allah, kecuali dengan Nama-Nama dan Sifat yang telah disematkan sendiri oleh Allah untuk diri-Nya, ataupun Nama-Nama dan Sifat-Nya yang telah diberitahukan oleh Nabi-Nya Muhammad ﷺ. 

Al-Imam Ahmad رَحِمَهُ اللّٰه telah berkata: 

"Allah tidak boleh disifati kecuali dengan sifat yang telah Dia sifatkan sendiri untuk Diri-Nya, ataupun dengan sifat yang telah disampaikan oleh Rasul-Nya tentang-Nya.  Kita sama sekali tidak boleh melampaui nash-nash Al-Qur-an dan hadits." (Lihat Al-Fataawaa Al-Hamawiyyah [hal. 271])

Karena di dalam Al-Qur-an dan As-Sunnahlah Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada para hamba-Nya. Makanya tidak ada cara bagi kita untuk bisa mengetahui Nama-Nama dan Sifat-Nya, kecuali dengan cara Ma'rifatullahi (mengenal Allah).


- Makna Asmaa' wash Shifaat:

Kata (ُالأَسْمَاء) adalah jamak dari (اِسْمٌ/الاِسْمُ) yang bermakna: (اللَّفْظُ الدَّالُّ عَلَى الشَّيْءِ) "Lafadzh yang menunjukkan akan suatu makna, atau nama Dzat." Sebagaimana firman Allah:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا

"Allah telah mengajarkan ilmu tentang semua Asmaa' (nama-nama benda / makhluq / dzat) kepada Aadam." (QS. Al-Baqarah: 31)

Dimana, apa yang ditunjukkan oleh Asmaa' ini adalah berupa Dzat itu sendiri, tanpa sama sekali berkaitan dengan salah satu dari 3 macam waktu. 

Al-Jurjaaniy telah berkata: "Isim maknanya adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna / arti tertentu secara Dzat-Nya." (Lihat At-Ta'rifaat [hal. 24])

Sedangkan Ash-Shifaat maknanya adalah: (ِالأَمَّارَةُ اللَّازِمَةُ لِلشَّيْء) "Tanda-tanda / ciri yang ada pada suatu dzat, di mana sesuatu dzat itu bisa dikenali dengannya." (Lihat Al-Mu'jamul Maqooyiisil Lughoh [5/448] karya Ibnu Faaris).


- Perbedaan antara Asmaa' dan Shifaat:

Al-Lajnatud Daa-imah di dalam Fataawaa Al-Lajnatud Daa-imah [3/116 - no. 8942] telah menjelaskan: "Asma' Allah adalah segala sesuatu yang menunjukkan secara langsung kepada Nama dari Dzat Allah, bersamaan pula dengan kandungan sifat Al-Kamaal (paling sempurna pada puncak kesempurnaan) yang ditunjukkan olehnya.  Contohnya nama Allah Al-Qoodir (Maha Mampu lagi Maha Mentaqdirkan), Al-'Aliim (Maha Berilmu), Al-Hakiim (Maha Hikmah, Adil, dan Bijaksana), As-Samii' (Maha Mendengar), serta Al-Bashiir (Maha Melihat). Di mana kesemua nama ini menunjukkan secara langsung kepada Dzat Allah (yakni yang dimaksud dengan Al-Qoodir, Al-'Aliim, Al-Hakiim, As-Samii', dan Al-Bashiir adalah Allah itu Sendiri, dan semua itu hanyalah variasi dari Nama-Nama-Nya).  Namun, sekaligus juga terkandung Sifat di dalamnya berupa sifat berilmu, sifat memiliki hikmah, sifat mendengar, dan sifat melihat.

Sedangkan Shifaat, maka ia adalah ciri, tanda, ataupun alamat yang menunjukkan kesempurnaan dari sosok Dzat yang menyandangnya. Contohnya sifat berilmu, sifat memiliki hikmah, sifat mendengar, dan sifat melihat.

Jadi Asmaa' itu bisa menunjukkan kepada 2 hal sekaligus (yakni menunjukkan Nama dari Dzat itu sendiri, sekaligus juga menunjukkan Sifat-Sifat yang dikandung oleh Nama tersebut), sedangkan Shifaat hanya menunjukkan 1 hal saja (yakni semata-mata hanya menunjukkan kepada sifat yang dikandung oleh Dzat itu sendiri). Sehingga dikatakan: Asmaa' terkandung padanya sifat, sedangkan Shifaat adalah tanda, ciri, ataupun alamat yang menunjukkan kepada Dzat yang dimaksud ..." Demikian.

- Cara agar kita bisa mencapai Ma'rifatullahi?

Ketahuilah bahwa Ma'rifah itu ada 2 macam sebagaimana penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimiin رَحِمَهُ اللّٰه dalam Syarh Al-'Aqiidatus Safaariiniyyah [hal. 128]:

1). Ma'rifah mengenal Wujud, dan makna dari Asmaa' wash Shifaat Allah, di mana inilah Ma'rifah yang dituntut kepada kita.

2). Ma'rifah mengenal hakikat dari Asmaa' wash Shifaat Allah, maka ini mustahil - sama sekali untuk diketahui - tidak dituntut dari diri kita.

Sedangkan cara untuk mengenal Allah asalnya adalah cukup dengan fithrah, kemudian apabila keimanannya lemah, barulah ia menggunakan nadzhar, yakni melihat kepada ayat-ayat Allah yang Kauniyyah (Alam) maupun yang Syar'iyyah dengan akal yang lurus.  Karena telah disebutkan di dalam riwayat:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ هَلْ تَرَى فِيْهَا جَدْعَاءَ

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kemudian kedua orang tuanyalah (yang merubah fithrahnya tersebut) yang menjadikannya Yahuudiy, Nashrooniy, ataupun Majuusiy.  Perumpamaannya adalah semisal kondisi binatang / hewan yang juga melahirkan binatang / hewan yang serupa. Apakah pernah engkau dapati ada kasus binatang / hewan yang lahir dalam keadaan telinganya sudah langsung terpotong?!"  HR. Al-Bukhooriy (1385). Muslim (2658).

Telah disebutkan di dalam sebuah hadits qudsiy:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا ...

"Sesungguhnya Aku telah menciptakan semua hamba-Ku dalam keadaan Haniif (lurus, muslim, bertauhid, lagi teramat sangat jauh dari kesyirikan).  Dan, sesungguhnya setelah itu merekapun didatangi oleh para Syaithan, sehingga para Syaithan itu berhasil memanipulasi mereka dan menyimpangkan mereka dari agamanya, hingga para Syaithan itu berhasil mengharamkan bagi mereka hal-hal yang telah Aku halalkan, dan memerintahkan kepada mereka agar mengangkat syariik (sekutu / tandingan) bagi-Ku dengan sesuatu yang tidak pernah sama sekali aku turunkan tuntunannya ..." HR. Muslim (2865).

Makanya, apabila seorang insan tinggal di suatu daerah terpencil yang terisolasi dari dunia luar sekalipun, dengan hanya bermodalkan fithrahnya saja, iapun tidak akan sampai pada perbuatan menyembah kepada selain Allah (Syirik), ia akan tetap mengetahui bahwa di sana ia mempunyai Rabb Tuhan yang Maha Sempurna, meskipun tidak bisa ia kenal Nama ataupun Sifat-Sifat-Nya secara rinci.  Begitu pula jikalau ia hidup di lingkungan muslim yang lurus, artinya ia punya 2 bekal sekaligus untuk mengenal Allah, yakni fithrah dan bii-ah (lingkungan). 

Namun bila dia hidup di tengah-tengah masyarakat kafir, atau masyarakat awam yang telah rusak fithrahnya, maka ia akan mendapati hal-hal yang dapat merusak asal fithrahnya tersebut, sehingga ia tidak lagi mampu istiqamah di atas agamanya.  Makanya dinyatakan dalam riwayat bahwa: "Kedua orang tuanyalah (yang merubah fithrahnya tersebut) yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi."

Kemudian apabila imannya lemah, barulah ia menggunakan metode nadzhar (melihat kepada ayat-ayat Allah dengan akal yang lurus), namun nadzhar yang dimaksud di sini bukanlah nadzhar dalam bentuk menimbang-nimbang, membandingkan, ataupun memperdebatkan ayat-ayat Allah seperti kondisi sidang skripsi ataupun thesis, akan tetapi lebih kepada melihat ayat-ayat Allah dengan penglihatan tadabbur.  Semisal melihat adanya nikmat pada diri para makhluk, di mana hal itu melazimkan adanya Sosok yang Maha Memberi Nikmat.  Atau melihat kepada adanya rahmat Allah kepada orang-orang yang suka bermaksiat sekalipun, yang hal tersebut justru menunjukkan akan sifat Al-Hilmu (kesabaran, toleransi, dan pengertian yang mendalam) Allah terhadap para hamba-Nya. Sebagaimana telah Allah firmankan:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ

"Seandainya saja Allah mau menghukum umat manusia secara langsung atas segala yang telah mereka kerjakan (berupa dosa dan kemaksiatan di atas muka bumi ini), niscaya tidak akan tersisa satu manusiapun di atas muka bumi ini." (QS. Faathir:  45).

Sebab, mayoritas manusia lebih condong kepada dosa dan kemaksiatan, lebih condong kepada kekufuran, baarokallahu fiikum.

Selanjutnya, apabila kita berbicara tentang ayat-ayat Allah, maka telah kita sebutkan tadi bahwa di sana ada ayat-ayat Kauniyyah, dan ada pula ayat-ayat Syar'iyyah.

Ayat-ayat Kauniyyah adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam semesta ini, berupa alam semesta, segala isinya, serta segala kejadian yang terjadi dan berjalan di dalamnya.

Sedangkan ayat-ayat Syar'iyyah ini berupa tanda-tanda kekuasaan Allah yang berkaitan dengan ketetapan syarii'at yang ada di dalam nash-nash Al-Qur-aan dan As-Sunnah.  Namun, perlu diketahui pula bahwa ayat-ayat Allah yang Syar'iyyah ini juga biasanya datang dalam 3 bentuk:

1). Datang menunjukkan fungsi dan tujuan dari sesuatu yang harus diperhatikan (Ta'yiin), semisal firman Allah:

أَلَمْ نَجْعَلِ الأَرْضَ مِهَادًا وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا 

"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai tempat yang terhampar bagi kalian?  Dan, telah Kami jadikan pula gunung-gunung itu sebagai pasak?" (QS. An-Naba':  6-7)

2). Datang menjelaskan asal muasal penciptaan (Ikhtiraa'), semisal firman Allah:

فَلْيَنظُرِ الإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ

"Hendaknya setiap insan memperhatikan dari apakah gerangan asal muasal dirinya diciptakan, yakni ia diciptakan dari air yang terpancar."  (QS. Ath-Thaariq: 6)

3). Datang dengan mengumpulkan kedua hal sebelumnya secara bersamaan, semisal firman Allah:

الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"(Allah) yang telah menciptakan kalian dan juga orang-orang sebelum kalian (ini merupakan penyebutan tentang asal muasal), agar kalian semua menjadi orang-orang yang bertaqwaa (ini merupakan penyebutan tentang tujuan yang harus diperhatikan)."  (QS. Al-Baqarah: 21)


- Kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah di dalam perkara Asmaa' wash Shifaat:

Kaidah Pertama

Meyakini bahwa semua Nama Allah adalah Al-Husnaa (pada puncak keindahan dan kesempurnaan), serta semua sifat-sifat-Nya adalah Al-'Ulaa (pada puncak ketinggian dan kemuliaan). Sebagaimana firman Allah:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ 

"Kepunyaan Allahlah semua Nama-Nama Al-Husnaa." (QS. Al-A'raaf: 180)

وَلِلّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَىَ

"Bagi Allahlah semua sifat-sifat yang Al-A'laa / Al-'Ulaa." (QS. An-Nahl: 60)

Kaidah Kedua

Pembahasan soal Sifat-Sifat Allah itu lebih luas daripada pembahasan tentang Nama-Nama Allah.  Sebab, di dalam nama Allah terkandung sifat, sementara sifat itu sendiri ada yang berkaitan dengan dzat (Dzaatiyah), dan ada pula yang berkaitan dengan perbuatan Allah yang tidak terbatas (Fi'liyyah). Jadi berbicara tentang Sifat-Sifat Allah lebih luas dibandingkan dengan berbicara tentang Nama-Nama Allah. Sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ

"Jikalau seandainya seluruh pepohonan di bumi ini dijadikan sebagai pena, kemudian seluruh lautan dan ditambah lagi dengan 7 kali lautan yang semisal dijadikan sebagai tintanya, maka tetap tidak akan pernah habis (untuk mencatat) kalimat-kalimat Allah (yakni sifat-sifat Allah dan perbuatan-Nya)." (QS. Luqmaan: 27)

Kaidah Ketiga

Wajib mengitsbaat (menetapkan) segala Nama maupun Sifat yang telah diitsbaat oleh Allah sendiri di dalam Al-Qur-an, maupun yang telah diitsbaat pula oleh Rasulullah ﷺ di dalam sunnahnya.  Tidak boleh melakukan tahriif, ta'thiil, takyiif, maupun tamtsiil. Ini sama seperti yang telah disebutkan di dalam matan.

- Apa itu tahriif?

Tahriif maknanya adalah merubah, atau menggiring makna kepada salah satu dari dua sisi, sehingga pada suatu kondisi bisa ditarik maknanya ke satu sisi, dan di waktu yang lain bisa pula ditarik ke maknanya yang satu lagi. Sebagaimana firman Allah:

وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

"Mereka (orang-orang kaafir) telah mendengarkan Kalaamullahi, namun kemudian mereka justru melakukan tahriif (merubah-rubah lafadzhnya, maknanya, maupun hukum dan kandungannya) setelah mereka sudah berakal dengannya (yakni setelah mereka memahami lafadzh, makna, dan hukumnya yang sebenarnya), dalam keadaan mereka melakukannya di atas ilmu (yakni secara sadar lagi atas kerelaan hati)."  (QS. Al-Baqarah: 75)

Dan ayat ini juga sekaligus menjadi dalil yang menunjukkan bahwa perilaku tahriif adalah perilaku yang terlarang, sebab ia merupakan akhlaqnya orang-orang kafir maupun orang-orang yang menyimpang sejak dahulu kala.

Namun terkadang sebagian Salafush Shoolih, menghikayatkan larangan tahriif ini dengan istilah ta'wiil.

Ta'wiil ini secara bahasa 'Arab kembali kepada makna: (ُالرُّجُوْعُ وَالْعُوْد) "Rujuk dan kembali." (Lihat Lisaanul 'Arab [11/32-34]).

Sedangkan kata ta'wiil di dalam istilah para 'ulama, maka ia kembali kepada 3 makna:

1). Hakikat makna dzhoohir dari suatu perkara, yakni makna ta'wiil secara bahasa 'Arab.

2). Bermakna tafsiir, sebagaimana ucapan dari Mujaahid sang imam para 'ulamaa ahli tafsiir: "Sesungguhnya orang-orang yang raasikh (mendalam lagi kokoh) di dalam ilmu, mereka mengilmui tentang ta'wiil (tafsiiran) dari ayat-ayat yang mutasyaabih lagi mengimaninya." (Lihat Tafsiir Al-Qurthubiy, tafsiir suroh Ali 'Imroon: 7).

3). Bermakna tahriif.

Oleh sebab itulah terkadang sebagian orang salah paham dengan lafadzh ta'wiil ini.  Sehingga ketika Ahlus Sunnah menyatakan bahwa di dalam perkara Asmaa' wash Shifaat Allah, kita dilarang melakukan ta'wiil, mereka menganggapnya ta'wiil secara muthlaq, padahal ta'wiil yang dimaksud dengan tahriif, baarokallahu fiikum. Sebab ta'wiil yang sesuai dengan nash lagi dibenarkan oleh nash, maka ia bukanlah tahriif, melainkan tafsiir, dan tafsiir ini hukumnya adalah terpuji.  Sebagai contoh adalah firman Allah tentang kisah perubahan kiblat, dari semula menghadap ke Baitul Maqdis, berubah ke arah Baitullah Al-Haraam:

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

"Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan iman kalian." (QS. Al-Baqoroh:  143)

Secara lafadzh ayat ini menyebutkan iman. Sementara para ahli tafsiir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan iman di sini adalah shalat-shalat kalian yang dahulu kalian kerjakan ketika masih menghadap ke Baitul Maqdis, sebagaimana keterangan nash tentang asbaabun nuzuul dari ayat ini yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Katsiir di dalam tafsirnya pada surah Al-Baqoroh: 143.

Jadi merubah makna iman menjadi shalat bukanlah tahriif yang dilarang, akan tetapi merupakan bentuk tafsiir berdasarkan riwayat asbaabun nuzuul ayat itu sendiri, baarokallahu fiikum.  Maka, hendaklah hal ini diperhatikan, agar tidak salah memahami!  Oleh sebab itu pulalah istilah yang paling baik yang kita gunakan adalah terlarang melakukan tahriif, bukannya terlarang melakukan ta'wiil, sehingga manusia tidak salah di dalam memahaminya.


- Apa itu ta'thiil?

Ta'thiil secara bahasa 'Arab bermakna: (ٍيَدُلُّ عَلَى خُلُوٍّ وَفَرَاغ) "Menunjukkan kepada makna menyendiri / mengasingkan diri, meninggalkan, mengisolasi, dan menolak / mengucilkan."  (Lihat Mu'jaam Maqooyiisil Lughoh [4/351]).

Allah تَعَالَى berfirman: 

وَإِذَا العِشَارُ عُطِّلَتْ

"Dan apabila unta-unta yang bunting itu sudah dita'thiil (yakni ditinggalkan tidak digembalakan, tidak diikat, dan tidak lagi diperah susunya karena adanya perkara yang maha dahsyat yang telah memalingkan perhatian umat manusia)." (QS. At-Takwiir: 4)

Adapun bentuk-bentuk ta'thiil di dalam syariiat terbagi menjadi 3 macam:

1). Yang melakukan ta'thiil secara keseluruhan, sehingga mereka menolak adanya Sang Pencipta, menolak adanya agama dan syarii'at, serta menolak keTuhanan.  Maka, yang melakukan ta'thiil seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang mulhid (atheis) yang mengklaim diri mereka sebagai orang-orang yang tidak percaya dengan Tuhan serta tidak mempunyai agama.

2). Yang melakukan ta'thiil di dalam perkara Asmaa' wash Shifaat Allah, baik itu bentuknya menolak seluruh Nama dan Shifat Allah, maupun menolak sebagiannya saja, atau menetapkan lafadzhnya namun menolak maknanya. Seperti yang dilakukan oleh sekte Mu'tazilah, Kullaabiyyah, Maaturiidiyyah, Asy'ariyyah, dsb.

3). Yang melakukan ta'thiil terhadap Nubuwwah, yakni mengingkari keNabian, baik itu mengingkari sosok Nabinya, syarii'at dan risalahnya, segala perintah dan larangannya, maupun mengingkari kabar berita dan hadits-hadits yang disampaikan olehnya.

- Apa itu takyiif?

Takyiif diambil dari kata (َكَيْف) yang berarti menanyakan tentang bagaimana hakikatnya di mata manusia? Tanpa menyerupakannya dengan sesuatu apapun. (Lihat Al-Qowaa'idul Mutslaa [hal. 27]).

Di dalam perkara Asmaa wash Shifaat sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya, bahwa mengenal Allah berupa Makna dan Wujudnya, maka inilah yang dituntut.  Namun jikalau mengenal tentang bagaimana Hakikat dari nama dan sifat Allah, maka inilah yang mustahil.  Sebab tidak mungkin bagi kita untuk bisa mengenal bagaimana hakikat Allah, dikarenakan Allah telah berfirman:

وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

"Tidak ada seorang hambapun yang bisa meliputi ilmunya tentang hakikat (dari nama ataupun sifat-sifat) Allah." (QS. Thaha: 110)

Maka mempertanyakan sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin untuk bisa kita ilmui juga terlarang (haram) hukumnya.

Lihatlah kepada kisah dari Al-Imam Maalik ُرَحِمَهُ اللّٰه ketika ada seorang lelaki datang kepadanya untuk mempertanyakan bagaimana hakikat istiwaa'nya Allah di dalam firman-Nya:

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

"Allah yang Maha Rohmaan (Ar-Rohmaan) beristiwaa' di atas 'Arsy-Nya." (QS. Thoohaa: 5)

Maka beliaupun menjawab: "Istiwaa' itu sudah dimaklumi maknanya (secara bahasa 'Arab, yakni bermakna tinggi), sedangkan kayfiyyah (bagaimana hakikat tingginya Allah) adalah sesuatu yang majhuul (tidak bisa kita ilmui), sementara hukum mengimaninya (yakni bahwa Allah beristiwaa') adalah wajib, dan mempertanyakan bagaimananya adalah bid'ah di dalam agama (sebab para Salafush Shalih yang sangat tinggi semangat beragamanya sekalipun tidak pernah menanyakannya, bahkan Allah juga tidak menerangkannya, sehingga menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang baru lagi mengada-ada di dalam agama / bid'ah, sama sekali tidak ada faidahnya)." 

Makanya dalam masalah Asmaa' wash Shifaat, Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah melakukan tafwiidh (mengembalikan segala urusan) soal kaifiyyah kepada Allah, namun tidak dengan soal pengertian dari nama ataupun sifat-Nya. Contohnya semisal nama Allah: As-Samii', di mana di dalamnya juga terkandung sifat yakni Allah Maha Mendengar, dan pendengaran Allah Meliputi segala sesuatu yang nampak maupun yang baathin. Akan tetapi soal bagaimana caranya Allah mendengar? Bagaimana hakikat pendengaran Allah? Dsb, maka Ahlus Sunnah bersikap tafwiidh di dalamnya soal kaifiyyah-Nya.

Oleh karena itu tuduhan mereka kepada Ahlus Sunnah bahwa mereka itu ahli tafwiidh adalah tuduhan yang tidak benar.  Sebab Ahlus Sunnah hanya melakukan tafwiidh pada perkara-perkara yang mustahil untuk diilmui, salah satunya adalah soal kaifiyyah dari nama ataupun sifat-sifat Allah.

- Apa itu tamtsiil?

Tamtsiil secara bahasa 'Arab bermakna: (ُالنِّدُ وَالنَّظِيْر) "Sebanding/perbandingan, dan serupa/semisal." 

Secara istilah, tamtsiil adalah "Meyakini ada pada sebagian atau keseluruhan dari sifat-sifat Allah Sang Al-Khaaliq yang serupa / semisal dengan sifat-sifat para makhluk-Nya." (Lihat Al-Qowaa'idul Mutslaa [hal. 27]).

Contohnya seorang mengatakan: "Tangan-Nya sama seperti tanganku," atau "Allah mendengar seperti aku juga mendengar."

Kata tamtsiil ini sama maknanya dengan tasybiih (menyerupai/menyerupakan), hanya saja yang membedakannya adalah dari sisi bahwa tamtsiil itu bentuk menyerupakannya lebih menyeluruh (identik). Sedangkan tasybiih itu bentuk menyerupakannya sebagian kecil saja atau dominannya, bukan secara keseluruhan (identik).

Namun dalam persoalan Asmaa' wash Shifaat, lebih utama untuk kita gunakan istilah tamtsiil, sebab inilah istilah yang datang penyebutannya di dalam lafadzh Al-Qur-an, di mana Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

"Tidak ada sesuatu apapun yang tamtsiil / semisal dengan Allah." (QS. Asy-Syuuroo: 11)

Perlu diingat bahwa kesamaan nama sebutan di dalam sifat, tidaklah melazimkan kesamaan dari sifat tersebut maupun hakikatnya. Makanya kita tidak boleh menganggap mata Allah sama seperti mata kita,

sebab tidak mungkin sama antara Sang Khooliq dengan makhluk, baik itu pada dzatnya, sifatnya, maupun hakikatnya. Sebagaimana tidak sama antara mata manusia dengan mata hewan atau binatang, baarokallahu fiikum.

Kemudian, siapapun yang melakukan tamtsiil terhadap Asmaa' wash Shifaat Allah, artinya ia juga melakukan takyiif.  Namun tidak setiap yang melakukan takyiif itu juga melakukan tamtsiil, sebagaimana definisi takyiif yang telah kita sebutkan sebelumnya.

Kaidah Keempat

Wajib menafikan semua nama ataupun sifat yang telah Allah nafikan sendiri untuk diri-Nya, maupun yang telah dinafikan oleh Rasulullah ﷺ terhadap Diri Allah.  Sebab ini merupakan kelaziman dari kaidah yang pertama, dan juga merupakan kelaziman dari kaidah yang ketiga. Yakni, kapan ada istbaat (penetapan) akan sesuatu, maka artinya merupakan penafian akan kebalikannya, dimana kaidah ini berlaku untuk semua perkara agama kita.  Contohnya semisal itsbaat (penetapan) perintah shalat, maka artinya tidak boleh apabila kita tidak menegakkan shalat. Sebaliknya adanya penafian berupa larangan berzina, maka artinya merupakan istbaat (penetapan) tentang disyarii'atkannya menikah, dst.  Jadi kalau Allah menetapkan sifat bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, maka kitapun wajib menafikan sifat tidak mendengar / tuli ataupun buta dari diri Allah, baarokallahu fiikum.  Antara nafyu (penafian) dan istbaat (penetapan) ini adalah 2 hal yang tidak bisa terpisahkan, ibaratnya seperti dua sisi koin mata uang.

Kaidah Kelima: 

Meyakini bahwa perkara Asmaa' wash Shifaat Allah ini adalah tauqiifiyyah, yakni semata-mata hanya mengikuti kepada landasan nash Al-Kitab dan As-Sunnah, serta sama sekali tidak ada tempat bagi akal-akal manusia. Sebab Allah telah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Janganlah engkau berpijak kepada sesuatu yang tidak engkau ilmui tentangnya (nash ataupun hujjah-hujjahnya), karena sesungguhnya segala yang didengar, segala yang dipandang, dan segala yang ada di dalam dada (berupa niat, prasangka, ataupun keyakinan), semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya." (QS. Al-Israa':  36)

Apalagi jikalau yang dibicarakan / diyakini itu adalah tentang Asmaa' wash Shifaat Allah.

Kaidah Keenam

Nama-nama Allah tidaklah terbatas bilangannya.  Sebagaimana keterangan yang ditunjukkan oleh do'a Nabi ﷺ:

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

"Aku memohon kepada-Mu dengan semua Nama yang merupakan milik-Mu, nama yang engkau sematkan sendiri untuk menamai diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang di antara hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu sendiri dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu." HR. Ahmad (3712). Ibnu Hibbaan (972). Ath-Thobrooniy (10/210)(10352).

Inilah kurang lebihnya penjelasan tentang FAIDAH PERTAMA dari kitab Fawaa-idul Muntaqaa Min Syarhi Kitaabit Tauhiid, Al-'Utsaimiin. 

Wallahu A'lamu.

oOo

Disalin dengan editan dari tulisan;

✍🏼 Alih bahasa : Ustadz Abu Abdillah Erlangga Dwi Kuncahyo Hafizhahullah

📶 Join Chanel Telegram || https://t.me/SalafyKotamobagu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar