Minggu, 28 April 2019

BERDAKWAH KEPADA ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ومن احسن قولا ممن دعا الى الله وعمل صلحا وقال انني من المسلمين
“wa man ahsanu qaulan mimman da’aa ilaa Allahi wa ‘amila shaalihan wa qaala innaniy mina almuslimiina”
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’”  (Fushilat;  33), dan makna firman-Nya;
Katakanlah, ‘Inilah jalan Agamaku, aku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, aku dan orang-orang yang mengikutiku, Mahasuci Allah, dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik’.”  (Yusuf;  108)
Sama saja maknanya, “Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata”, dengan menghentikan bacaan pada, “Aku menyeru kepada Allah”, kemudian dimulai lagi dengan, “Dengan hujjah yang nyata, aku dan orang-orang yang mengikutiku”.  Dua pendapat ini saling mengkait.  Allah memerintahkan agar Beliau (Rasulullah) mengabarkan, bahwa jalan Beliau adalah dakwah kepada Allah.  Siapa yang berdakwah kepada Allah, maka dia berada di atas jalan Rasul-Nya, berada di atas hujjah yang nyata dan dia termasuk para pengikut Beliau.  Sedangkan orang yang menyeru kepada selain itu, maka dia tidak berada di atas jalan Beliau, tidak berada di atas hujjah yang nyata, dan tidak pula  termasuk para pengikut Beliau.  Para pengikut Beliau ini merupakan penerus para Rasul di tengah-tengah ummatnya, dan semua manusia mengikuti mereka (para pengikut Rasulullah).  Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menyampaikan apa yang diturunkan dari Rabb-nya, dan menjamin pemeliharaan-Nya dari tangan-tangan (jahil) manusia.  Mereka adalah para penyampai bagi Allah.  Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bertabligh meskipun Cuma 1 (satu) ayat, dan mengajak siapa pun yang mendengar satu hadits dari Beliau untuk menyampaikannya.
Menyampaikan Sunnah Beliau kepada ummat manusia lebih baik daripada melontarkan anak panah ke tengkuk musuh.  Sebab melontarkan anak panah ini dapat dilakukan oleh siapa pun.  Sementara menyampaikan As-Sunnah tidak bisa dilakukan kecuali oleh para pewaris Nabi dan Khalifahnya di tengah-tengah ummat.  Semoga Allah menjadikan kita termasuk para khalifah Beliau dengan Karunia dan Kemuliaan-Nya.
Para pewaris dan khalifah Rasul itu seperti yang dikatakan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dalam pidatonya, yang disebutkan Ibnu Wadhdhah di dalam kitab Al-Hawadits wal Bida’.  Isi pidato itu sebagai berikut;
“Segala puji bagi Allah Yang telah menguji hamba-hamba-Nya dengan menjadikan masa kevakuman di setiap zaman antara para Rasul, dan menyisakan orang-orang yang berilmu.  Mereka ini menyeru siapa yang tersesat kepada petunjuk, yang bersabar menghadapi gangguan, yang membuat orang-orang buta bisa melihat berkat kitab Allah.  Betapa banyak korban Iblis yang dapat mereka hidupkan kembali.  Berapa banyak orang yang tersesat dapat mereka tuntun.  Mereka mengorbankan harta dan jiwa tanpa mengusik orang lain.  Betapa bagusnya tindakan mereka yang lebih mementingkan orang lain, dan betapa buruknya tindakan manusia yang justru mengabaikan mereka.  Begitulah yang mereka lakukan semenjak dahulu hingga sekarang.  Allah tidak akan melupakan mereka dan memang tidak sepatutnya Allah untuk lupa.  Kisah mereka pun dapat dijadikan tuntunan dan perkataan-perkataan mereka yang baik senantiasa disitir (dijadikan acuan).  Sesungguhnya kedudukan mereka sangat tinggi, meskipun mungkin tampak hina.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki seorang wali dalam setiap bid’ah yang muncul.  Dia mencairkan bid’ah itu serta menunjukkan tanda-tandanya.  Manfaatkanlah kedatangan kejadian ini dan bertakwalah kepada Allah.”
Tentang hal ini, cukup apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Ali dan juga kepada Mu’adz, (artinya);
“Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat dirimu, lebih baik bagimu daripada keledai yang paling bagus.”, dan
“Barangsiapa yang menghidupkan sebagian dari sunnahku, maka aku dan dia di Surga seperti dua jari ini.”  Seraya Beliau menggabungkan dua jarinya. Dan,
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, lalu petunjuknya itu diikuti (manusia), maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya hingga Hari Kiamat.”
Jika seseorang yang beramal mengetahui karunia yang agung dan pahala yang besar dari ilmunya ini, maka dia akan menyadari bahwa itulah ANUGERAH Allah yang diberikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah memiliki karunia yang amat besar.[1]

Catatan Penulis Blog;
Pada masa sekarang, kita jumpai beberapa kelompok manusia yang menamakan (mengklaim) diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, akan tetapi  "Alergi" terhadap Tahdzir (peringatan dari kesalahan).  Mereka menyangka telah memerangi bid’ah dengan baik, padahal bid’ah tersebut senantiasa berkembang pesat melampaui ilmu mereka (karena selama ini mereka tidak pernah mau merujuk kepada ‘ulama yang pantas menyandang predikat Mujaddid (pembaru) - yang memang ahli di bidangnya).  Sehingga, jadilah mereka seperti  “katak di bawah tempurung”, yang tidak pernah mampu melihat perkembangan keadaan, yang merasa bahwa langit itu hanya sebatas tempurung yang ada di atas kepalanya, merasa dirinya telah cukup, tidak mau lagi memperdalam (memperluas) ilmunya, atau sedikit bertanya kepada para ‘ulama yang mumpuni dan lebih mengetahui.
Jadi, jangan heran mendengar perkataan mereka, "Ahlussunnah, kok dibid'ahkan?"
Satu pertanyaan bagi mereka, "Kalau bukan dengan tahdzir, dengan apa dijaga kemurnian Risalah yang diturunkan Allah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?"
"Wallahul musta'an"  (Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan). 

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Jalaa’ Al-Afhaam.

Sabtu, 27 April 2019

SHALAT MENCEGAH PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR



بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
ان الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله اكبر
“Inna ashshalaata tanha ‘ani al-fahsyaa-i wa al-mungkari waladzikrullahi akbaru”
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.  Dan, sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain).”  (Al-Ankabut;  45)
Ada yang berpendapat, maknanya bahwa di dalam shalat kalian dapat mengingat Allah.  Dia mengingat kalian, dan pengingatan Allah ini lebih besar daripada pengingatan kalian terhadap-Nya.  Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Salman, Abud-Darda’ dan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhum.
Ibnu Abid-Dunya menyebutkan dari Fudhail bin Marzuq, dari Athiyah, yang dimaksudkan “wa ladzikrullahi akbaru” adalah makna firman-Nya, “Ingatlah aku, niscaya Aku mengingat kalian,”  Pengingatan Allah terhadap kalian lebih besar daripada pengingatan kalian terhadap-Nya.
Menurut Ibnu Zaid dan Qatadah, artinya mengingat Allah itu lebih besar daripada segala sesuatu.
Salman pernah ditanya, “Apakah amalan yang paling utama?”  Dia menjawab, “Engkau membaca Al-Qur’an, ‘Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar’.”
Pendapat ini dikuatkan hadits Abud-Darda’, “Yang benar tentang makna ayat ini, bahwa di dalam shalat itu ada dua makna yang besar, yang satu lebih besar daripada yang lainnya.  Ia mencegah dari kekejian dan kemungkaran.  Ia juga mencakup mengingat Allah, dan cakupan mengingat Allah ini lebih besar daripada kemampuannya untuk mencegah kekejian dan kemungkaran.”[1]
Ibnu Abid-Dunya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia pernah ditanya, “Apakah amal yang paling utama?”  Maka dia menjawab, “Mengingat Allah itu lebih besar (keutamaannya).”

oOo
(Disalin dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Jumat, 26 April 2019

HAMBA-HAMBA PILIHAN



بسم الله الر حمان الر حيم

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قل الحمد لله وسلام على عباده الذين اصطفى  /  “Quli alhamdulillahi wa salaamun ‘alaa ‘ibadihi alladziinashthafaa”
“Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.”  (An-Naml;  59)

Secara mutlak, mereka adalah orang-orang yang paling tinggi tingkatannya dan paling mulia derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Mereka adalah para Rasul, makhluk yang paling mulia di Mata Allah dan yang paling khusus di sisi-Nya.  Mereka adalah orang-orang pilihan di antara hamba-hambanya, yang kesejahteraan dilimpahkan kepada mereka di seluruh alam, seperti makna firman-Nya,
وسلام على المر سلين  /  “Wa salaamun ‘alaa al-mursaliin”
“Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul.”  (Ash-Shaffat;  181), dan
سلام على نوح في العالمين  /  “Salaamun ‘alaa nuuhin fii al-‘aalamiina” 
“Kesejahteraan dilimpahkan kepada Nuh di seluruh alam.”  (Ash-Shaffat;  79), dan
سلام على ابراهيم  كذلك نجزى المحسنين  /  “Salaamun ‘alaa ibraahiima  kadzaalika najziy al-muhsiniin.”
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.  Demikian Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (Ash-Shaffat;  109-110)
Keberadaan kesejahteraan yang berasal dari Allah, dapat dikuatkan dengan beberapa hal;
Pertama;  Kesesuaiannya dengan firman Allah yang lain yang senada di dalam Al-Qur’an, berupa kesejahteraan dari Diri-Nya yang disampaikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, seperti makna firman-Nya, “Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul.”  (Ash-Shaffat;  181).  Makna firman-Nya yang lain, “Kesejahteraan dilimpahkan kepada Nuh di seluruh alam.”  (Ash-Shaffat;  79).  Begitu pula makna firman-Nya, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.  Demikian Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (Ash-Shaffat;  109-110)
 Kedua;  Hamba-hamba yang dipilih-Nya adalah para Rasul.  Allah menggabungkan tasbih kepada Diri-Nya dengan kesejahteraan atas mereka, antara pujian kepada Diri-Nya dengan kesejahteraan atas mereka.  Contoh untuk yang pertama seperti makna firman-Nya,
“Mahasuci Rabb-mu Yang memiliki Keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul.”  (Ash-Shaffat;  180-181)
Allah telah menyebutkan pembebasan diri-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan keAgungan-Nya, kemudian menyebutkan kesejahteraan atas para Rasul-Nya.  Penggabungan kesejahteraan atas mereka dengan tasbih kepada Diri-Nya terkandung rahasia yang besar dari berbagai rahasia Al-Qur’an, yang mencakup bantahan terhadap setiap Ahli bid’ah yang bathil.  Sesungguhnya Allah membebaskan Diri-Nya dari hal-hal itu secara mutlak, sebagaimana Dia membebaskan Diri-Nya dari apa yang dikatakan orang-orang yang sesat, dan setelah itu Dia menyampaikan kesejahteraan atas para Rasul.  Yang demikian ini mengharuskan keselamatan mereka dari semua yang dikatakan orang-orang yang mendustakan mereka dan yang menyelisihi mereka.  Jika mereka terbebas dari apa yang dituduhkan para musuh, (berarti) mengharuskan keselamatan mereka dari kedustaan dan kerusakan yang dibawa.
Sesuatu yang paling besar dari apa yang mereka bawa adalah Tauhid, ma’rifat tentang Allah, mensifatinya dengan sesuatu yang sesuai dengan keAgungan yang disifatkan kepada Diri-Nya sendiri dan yang disifatkan para Rasul-Nya itu.  Jika apa yang mereka bawa itu terbebas dari kedustaan, kemustahilan dan kerusakan, berarti itu merupakan kebenaran semata.  Apa pun yang bertentangan dengannya adalah bathil dan dusta.
Inilah makna yang terkandung dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya’.”  (An-Naml;  59). 
Maknanya mencakup pujian-Nya dengan sifat-sifat keAgungan dan keSempurnaan, perbuatan yang terpuji dan Al-Asma Al-Husna.  Juga mencakup keselamatan para Rasul-Nya dari segala aib, kekurangan dan kedustaan.  Yang demikian ini juga mencakup keselamatan apa yang mereka bawa dari segala macam bentuk kebathilan.
Rahasia ini serupa dengan penggabungan kesejahteraan atas para Rasul-Nya dengan pujian dan tasbih kepada-Nya.  Hal ini mempersaksikan keberadaan kesejahteraan itu dari sisi Allah, seperti yang disebutkan di akhir surat Ash-Shaffat.
Sedangkan penggabungan pengabaran dan permintaan, banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti;
“(Muhammad) berkata, ‘Ya Rabbi, berilah keputusan dengan adil.  Dan, Rabb kami ialah Rabb Yang Maha Pemurah lagi Maha dimohon pertolongan-Nya.”  (Al-Ambiya’;  112), dan
“Dan katakanlah, ‘Ya Rabbi, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat yang paling baik’.”  (Al-Mukminun;  118), dan
“Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil), dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.”  (Al-A’raf;  89)
Yang pasti, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang menyampaikan kalam Allah, Beliau hanya sekedar penyampai dari Allah, sementara perkataan tetap perkataan Allah.  Maka kitapun harus mengatakan seperti yang dikatakan Rabb kita, “Segala puji bagi Allah, dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.”
Kata “Kesejahteraan” di sini dimungkinkan untuk dimasukkan ke dalam inti perkataan, sehingga ia disambungkan dengan kalimat khabar, yaitu “segala puji bagi Allah”, sehingga perintah untuk mengatakan mencakup dua kalimat ini secara bersama-sama.
Allah telah menyampaikan kesejahteraan atas hamba-hamba yang dipilih-Nya dan para Rasul yang telah dilebihkan-Nya.  Allah telah mengabarkan, bahwa merekalah orang-orang-orang yang paling ikhlas dan suci;
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada Negeri Akhirat.  Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”  (Shad;  46-47)
Bukti kemuliaan dan kelebihan mereka, bahwa Allah mengkhususkan mereka dengan wahyu-Nya, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang dipercayai-Nya untuk mengemban Risalah, sebagai perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, mengkhususkan mereka dengan berbagai jenis karomah, di antara mereka ada yang dijadikan-Nya sebagai kekasih, ada yang berbicara langsung dengan-Nya dengan suatu pembicaraan, ada yang ditinggikan dengan derajat yang paling tinggi di antara mereka semua.  Allah tidak menjadikan jalan bagi hamba-hamba-Nya untuk sampai kepada-Nya kecuali melalui jalan mereka, tidak pula dapat masuk ke dalam Surga-Nya jika menyelisihi mereka.[1]

oOo

(Diringkas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Thariiq Al-Hijratain, hal 453-455.

Rabu, 24 April 2019

PERUMPAMAAN BINATANG TERNAK BAGI ORANG-ORANG KAFIR



بسم الله الر حمان الر حيم

Secara istilah syariat Islam kata Kafir mengandung dua konotasi, yakni Kafir Ashli  (orang kafir yang tidak pernah mengenal Islam sama sekali, tidak pernah masuk ke dalam Islam), dan Kafir Riddah; keluar dari Al-Islam setelah masuk ke dalamnya (murtad) / terkena amalan yang membatalkan ke-Islamannya.
(Baca artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN)

Firman Allah Subhanhu wa Ta’ala (artinya),
Atau apakah engkau mengira, bahwa kebanyakan dari mereka itu mendengar atau memahami.  Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak).”  (Al-Furqan;  44)
Allah Subahanahu wa Ta’ala menyerupakan mayoritas manusia dengan binatang ternak.  Yang menghimpun dua jenis ini ialah, karena masing-masing sama-sama tidak menerima petunjuk dan tunduk kepada-Nya.  Allah juga menjadikan mayoritas di antara mereka lebih sesat jalannya daripada binatang ternak.  Sebab binatang ternak tunduk kepada orang yang menuntunnya, sehingga dia mengikuti (menurut), dan mengikuti jalan (jalur) yang seharusnya di tempuh, sehingga ia tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan.  Sementara mayoritas manusia diseru oleh para Rasul yang mengajak mereka ke jalan yang lurus, namun mereka tidak mau memenuhi (mengikuti) seruan itu, sehingga mereka tidak mengikuti petunjuk, tidak mampu membedakan mana yang mengandung manfaat dan mengandung mudharat bagi mereka.
Sementara binatang ternak masih bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang bermudharat dari jenis tanam-tanaman, dan juga tahu mana jalan yang harus dihindari dan mana jalan yang harus dilalui karena jalan itu bermanfaat.
Allah tidak menciptakan akal bagi binatang ternak yang dapat digunakan untuk berpikir, tidak memiliki lisan untuk berucap.  Allah memberikannya kepada manusia, namun mereka tidak mempergunakan akal dan pikiran, pendengaran dan penglihatan mereka untuk mencari kebenaran.  Jadi tidak mengherankan jika mereka lebih sesat daripada binatang ternak.  Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk jalan yang lurus disertai dalil (tersesat karena salah menggunakan dalil, pen blog), maka dia adalah orang yang paling sesat, dan keadaannya lebih buruk daripada orang yang tidak mendapatkan petunjuk dan tidak memiliki dalil (hujjah).[1]

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  A’laam Al-Muwaqqi’iin, 1/189-190.

Selasa, 23 April 2019

PERUMPAMAAN ORANG-ORANG MUSYRIK



بسم الله الر حمان الر حيم

Janganlah sekali-kali seorang muslim menyangka, bahwa perbuatan syirik itu melulu dilakukan oleh orang-orang Non-Muslim – sehingga merasa aman dari perbuatan tersebut.  Umat Islam pun, baik secara eksplisit maupun implisit dapat terjatuh pada perbuatan syirik bila tidak memahami bentuk-bentuk (macam) kesyirikan, dan tidak pula berupaya mewaspadainya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Maka jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu, dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.  Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka seolah-olah dia jatuh dari langit - lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh.  
(QS. Al-Hajj;  30-31)
Perhatikan perumpamaan ini dan kesesuaiannya dengan keadaan orang-orang yang berbuat syirik terhadap Allah, dan kebergantungannya kepada selain Allah.  Ada dua hal yang diperbolehkan bagimu dalam perumpamaan ini;
1.    Engkau menjadikannya sebagai perumpamaan tersusun, sehingga orang-orang yang mempersekutukan Allah dan menyembah selain-Nya, diserupakan dengan orang yang menyeret dirinya ke dalam kebinasaan yang tidak diharapkan keselamatannya.  Dia digambarkan sebagai orang yang jatuh dari langit lalu disambar seekor burung di angkasa yang mencengkeram dengan cakar-cakarnya, atau dia ditiup oleh angin yang kencang hingga terdampar di suatu tempat yang amat jauh.
Atas dasar ini, janganlah engkau melihat kepada individu dari orang-orang yang diserupakan, dan siapa yang diserupakan dengannya, tetapi hendaklah mengambil hikmah sebanyak-banyaknya dari perumpamaan yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2.    Ini termasuk penyerupaan yang dipisahkan, sehingga setiap individu yang diserupakan dihadapkan kepada apa yang diserupakan dengannya.
Atas dasar ini, Iman dan Tauhid diserupakan dengan langit karena ketinggian, keluasan, serta kemuliaannya, karena langit merupakan tempat naik dan turunnya.  Iman turun dari langit ke bumi, dan naik dari bumi ke langit.  Sementara orang-orang yang meninggalkan Iman dan Tauhid diserupakan dengan orang yang jatuh dari langit ke tingkatan yang paling rendah, karena kesia-siaan dan penderitaan yang bertumpuk-tumpuk.  Burung yang menyambar bagian-bagian tubuhnya dan mencabik-cabiknya diumpamakan dengan syaithan-syaithan  yang diutus oleh Allah untuk membujuk, membisiki, dan menyeretnya ke arah kebinasaan.  Setiap syaithan mempunyai bagian dari Agama dan hatinya, sebagaimana setiap burung mempunyai bagian dari daging dan anggota tubuhnya.  Angin yang mencampakkannya ke tempat yang jauh merupakan perumpamaan hawa nafsunya yang menggiring ke tempat yang paling rendah dan paling jauh dari langit.
Perumpamaan lain dari makna firman-Nya,
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu.  Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, meskipun mereka bersatu untuk menciptakannya.  Dan, jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka mampu merebutnya kembali dari lalat itu.  Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang disembah.  Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.  Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”  (Al-Hajj;  73-74)
Sudah semestinya bagi setiap hamba untuk membuat hatinya benar-benar dapat menyimak perumpamaan ini, memahami dan memperhatikannya.  Karena perumpamaan ini dapat memutus materi syirik dari hatinya.
Sebab tingkatan terendah dari sesuatu yang disembah, ialah memiliki kemampuan mengadakan sesuatu yang bermanfaat bagi penyembahnya, dan mengenyahkan  hal yang bermudharat baginya.  Sementara sesembahan-sesembahan yang dipuja-puja oleh orang-orang musyrik selain Allah itu tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, bahkan selembar pun dari sayapnya, meskipun semua sesembahan itu berkumpul dan bersepakat untuk menciptakannya.  Lalu bagaimana dia akan menciptakan ciptaan yang lebih besar dari itu.  Bahkan mereka tidak mampu menghadapi lalat itu, sekiranya lalat itu merampas  sesuatu dari tangan mereka, dan mereka tidak pula mampu melindungi sesuatu yang dirampas tersebut.
Mereka tidak mampu menciptakan lalat, yang termasuk makhluk Allah yang paling lemah, dan tidak pula sanggup mengalahkannya, serta tidak dapat mengambil kembali apa yang dirampas lalat tersebut.  Sudah barang tentu tidak ada yang lebih lemah daripada sesembahan semacam ini.  Lalu bagaimana mungkin orang yang masih waras akalnya menyembah sesembahan yang lain, disamping menyembah Allah?
Ini merupakan perumpamaan yang paling mengena dari berbagai perumpamaan yang diturunkan Allah tentang kebathilan syirik, dan pembodohan para pelakunya serta keburukan akal mereka.  Kesaksian bahwa syaithanlah yang mempermainkan mereka, lebih buruk dari gambaran anak kecil yang mempermain-mainkan bola yang ada dikedua tangannya.  Di antara sebagian kelaziman sesembahan yang memang layak untuk disembah tentunya mampu memenuhi keinginan orang yang menyembahnya, memiliki pengetahuan yang meliputi segala sesuatu, ,tidak membutuhkan makhluk, segala kebutuhan makhluk disampaikan kepada-Nya, kemampuan untuk menyingkirkan segala kesusahan, memenuhi doa, dan lain sebagainya.  Tetapi mereka malah menujukan penyembahan kepada gambar dan berhala, yang sama sekali tidak memiliki kekuasaan terhadap makhluk yang paling lemah, paling kecil dan paling hina.
Yang lebih menunjukkan kelemahan dan ketidak-layakan sebagai sesembahan mereka, bahwa sekiranya makhluk yang lemah, hina, dan kecil itu merampas sesuatu dari mereka, lalu mereka bersepakat untuk melindunginya, ternyata mereka juga tidak mampu melakukannya.
Kemudian Allah menyamakan kelemahan dan ketidak-mampuan antara yang disembah dengan para penyembahnya, dengan makna firman-Nya, “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pula yang disembah.”  Sudahlah yang disembah itu lemah, dan bergantung pula kepada yang lemah, menjadi kelemahan yang berlipat ganda.
Ada yang berpendapat, ini merupakan persamaan  antara yang merampas (lalat) dan sesuatu yang dirampas (dari manusia).  Ini merupakan persamaan antara sesembahan mereka dengan lalat dalam kelemahan dan ketidak-mampuannya.
Atas dasar ini dapat dikatakan, bahwa kata  ath-thalib di sini adalah sesembahan yang bathil, sedangkan al-mathluub adalah apa yang disambar oleh lalat itu.
Ada pula yang berpendapat, ath-thaalib di sini adalah lalat, dan al-mathluub adalah sesembahan.  Apa yang diambil lalat dicari kembali.
Pendapat yang benar, lafazh ini mencakup keseluruhan, yang menggambarkan kelemahan penyembah, apa yang disembah, dan yang merampas (lalat).  Siapa yang menjadikan sesuatu sebagai sesembahan di samping Dzat Yang Mahakuat lagi Maha Perkasa, berarti dia tidak memahami sama sekali kekuasaan Allah yang sebenarnya, tidak mengetahuinya dengan sebenar-benar pengetahuan, tidak mengetahui keAgungan-Nya dengan sebenar-benar keAgungan.

oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Senin, 22 April 2019

RASULULLAH ADALAH RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM



بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين  /  “Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiina”
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi Semesta Alam.”  (Al-Ambiya’;  107)
Yang lebih benar dari dua pendapat tentang ayat ini, bahwa maksudnya di sini bersifat umum.  Tentang hal ini ada dua analisis;
1.     1.  Keumuman Alam Semesta yang bisa mendapatkan manfaat dari Risalah Beliau (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam).  Sedangkan para pegikut Beliau mendapatkan kemulian di dunia dan di akhirat melalui Risalah itu.  Adapun musuh-musuh yang memerangi Beliau, lebih baik bila mereka segera mati.  Karena jika mereka tetap hidup, semakin lama justru akan mengeraskan (menambah) siksaan yang bakal mereka terima di akhirat kelak.  Kesengsaraan telah ditetapkan atas mereka.  Maka kematian yang disegerakan menjadi lebih baik daripada mereka diberi umur panjang dan tetap dalam kekafiran.
Adapun orang-orang yang mengikat janji (dari orang-orang kafir) dengan Beliau, maka mereka hidup di dunia dalam perlindungan dan ikatan perjanjian dengan Beliau.  Kejahatan mereka ini lebih sedikit daripada orang-orang kafir yang memusuhi Beliau (termasuk orang-orang munafik yang menampakkan ke-Islaman mereka, tetapi memusuhi ajaran Beliau, pen.)
Orang-orang munafik yang menampakkan iman, maka darah, harta, dan keluarga mereka menjadi aman, mereka tetap dihormati dan tetap mendapatkan perlakuan hukum-hukum Islam, seperti hukum warisan, perkawinan, dan lain-lain.
Adapun ummat-ummat yang terpisah dari Beliau, maka Allah membebaskan adzab secara umum dari para penghuni dunia.  Dengan begitu seluruh alam mendapatkan manfaat dari Risalah Beliau.
2.     2.  Beliau menjadi rahmat bagi setiap orang.  Hanya saja orang-orang mukmin (beriman) dapat menerima rahmat ini, sehingga mereka dapat mengambil manfaat darinya di dunia dan juga di akhirat.  Sementara orang-orang kafir (dan munafik, pen.) menolaknya.  Padahal Beliau tidak keluar (diutus) untuk tidak menjadi rahmat bagi mereka.  Hanya saja mereka sendiri yang tidak dapat menerimanya.  Seperti dikatakan, “Ini adalah obat untuk penyakit ini.”  Jika orang yang menderita sakit itu tidak mau mempergunakannya, maka keberadaan obat itu tidak akan dapat mengenyahkan penyakit tersebut.[1]

oOo
(Disalin dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Jalaa’ Al-Afhaam, hal. 115-116.

Minggu, 21 April 2019

PENGHIDUPAN YANG SEMPIT BAGI ORANG YANG BERPALING DARI PERINGATAN ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم


Banyak manusia yang menyangka, bahwa kelapangan hidup di dunia (kekayaan harta) merupakan bukti kemuliaan yang diberikan Allah Subahanahu wa Ta’ala kepadanya.  Dan kesempitan hidup (kemiskinan) merupakan kehinaan dan adzab dari Allah. 
Sangkaan tersebut ternyata keliru (bathil), karena banyak dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membuktikan, bahwa cobaan yang paling ringan yang diberikan oleh Allah - Rabbul ‘Alamin terhadap manusia adalah kemiskinan (kekurangan harta), serta cobaan yang berkaitan dengan badan (penyakit).  Sedangkan cobaan yang paling berat (besar), adalah cobaan yang berkaitan dengan Agama, Iman, Aqidah, dan Pemahaman (keyakinan) seseorang.


Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman,
ومن اعرض عن ذكري فاءن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة اعمى
"Wa man a'radha 'an dzikriy fa inna lahu ma'iysyatan dhankaa wa nahsyuruhu yauma al-qiyaamati a'maa"
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”  (Thaha;  124)
Tidak seorang pun dari Ahli Tafsir yang keliru menafsirkan kalimat,  “fa inna lahu ma’isyatan dhanka”  /  “Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”, sebagai siksa kubur .  Mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu bukti yang menunjukkan adanya siksa kubur.  Karena itu Allah berfirman setelahnya dengan, “Dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.  Dia berkata, ‘Ya Rabbi, kenapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’  Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’”  (Thaha;  124-125)
Dengan perkataan lain, kamu dibiarkan dalam adzab di tempat yang menghinakan (Neraka).  Hal ini serupa dengan makna firman-Nya,
“Kepada mereka ditampakkan Neraka pada pagi dan petang hari.”  (Al-Mukmin;  46)
Hal ini terjadi di Alam Barzakh, sedangkan siksa berikutnya yang lebih besar terjadi pada Hari Kiamat.  Seperti makna firman-Nya,
“Dan, pada hari terjadinya Kiamat.  (Dikatakan kepada Malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”  (Al-Mukmin;  46)
Dan makna firman-Nya,
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawa kalian.  Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kalian selalu menyatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”  (Al-An’am;  93)
Perkataan para Malaikat, “Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan,”  maksudnya adalah siksa Alam Barzakh yang dimulai sejak nyawa dicabut.
Siksa yang mereka disuruh untuk merasakannya ini terjadi di Alam Barzakh.  Permulaannya adalah saat kematian.  Ini merupakan sambungan dari firman Allah, “seraya memukul muka dan belakang mereka,”  dari perkataan yang tidak tampak, untuk menunjukkan perkataan yang dimaksudkan.  Dua siksaan ini terjadi pada saat kematian.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu tentang firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat”, dia berkata, “Ayat ini turun sehubungan dengan siksa kubur.”  Berbagai hadits tentang siksa kubur sangatlah banyak dan hampir tak terbilang, hingga mencapai tingkat mutawatir.
Maksudnya, Allah mengabarkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Nya, yaitu petunjuk-Nya (dimana siapa yang mengikuti petunjuk itu tidak akan tersesat dan tidak pula sengsara), maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit.  Allah memberi jaminan bagi orang-orang yang memelihara janji dengan-Nya, bahwa Dia akan memberinya kehidupan yang baik, memberinya pahala di akhirat, sebagaimana makna firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (An-Nahl;  97)
Allah juga mengabarkan keberuntungan bagi orang-orang yang berpegang pada  perjanjian dengan-Nya, baik ilmu maupun amal.  Keberuntungan ini ada di dunia, berupa kehidupan yang baik (petunjuk hidup / hidayah), dan di akhirat berupa pahala yang lebih baik.  Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memiliki kehidupan yang sempit di dunia (kesesatan), di Barzakh, dan dibiarkan dalam keadaan tersiksa di Akhirat.  Firman Allah (artinya),
“Dan, barangsiapa berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka syaithan itulah yang menjadi teman yang senantiasa menyertainya.  Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar (lurus), dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”  (Az-Zukhruf;  36-37)
 Allah mengabarkan, bahwa siapa yang diuji dengan syaithan yang mendampinginya dan menyesatkannya, maka itulah yang menjadi sebab kenapa dia berpaling dan lalai dari peringatan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.  Sebagai hukuman dari tindakan tersebut, Allah mendatangkan syaithan kepadanya yang senantiasa mendampinginya kemana pun dia pergi, lalu syaithan itu menghalang-halanginya dari jalan Allah, dan juga menghalang-halangi dari jalan keberuntungannya.  Sedangkan dia mengira, bahwa dia telah mendapat petunjuk (menempuh jalan yang terbaik / lurus).  Maka, ketika dia dipertemukan dengan rekannya itu (syaithan), dan dia telah melihat (menyadari) kebinasaan dan kerugiannya, maka dia berkata, “Aduhai, sekiranya (jarak) antara diriku dengan dirimu seperti jarak antara Masyriq dan Maghrib, maka syaithan itu sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).”  (Az-Zukhruf;  38)
Siapa pun yang berpaling dan tidak mengikuti wahyu, yang juga disebut Dzikrullah, mengharuskannya berkata seperti itu pada Hari Kiamat kelak.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Apakah orang ini memiliki alasan (“alibi”) tentang kesesatannya?  Sebab dia mengira bahwa dia berada dalam petunjuk, sebagaimana firman Allah, “Dan, mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.”  (Al-A’raf;  30)
Dapat dijawab sebagai berikut;  Tidak ada alasan bagi orang ini dan bagi siapa pun yang seperti dia dari golongan orang-orang yang sesat, yang sumber kesesatannya adalah berpaling dari wahyu yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dia mengira bahwa dia telah mengikuti petunjuk.  Sebab, toh dia orang yang berbuat melampaui batas dengan tidak mengikuti (tidak menghiraukan) orang yang menyeru kepada petunjuk.  Kalaupun dia sesat, maka kesesatannya itu bermula dari tindakannya yang melampaui batas dan berpaling dari wahyu.  Hal ini berbeda dengan orang yang kesesatannya karena tidak mendengar Risalah, dan kelemahan dirinya untuk mendengarkan Risalah tersebut (mis. keterbelakangan mental, pen.).  Hal tersebut berbeda hukumnya.  Ancaman yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya berlaku untuk keadaan yang pertama.  Sedangkan untuk yang kedua (Orang yang memiliki udzur syar'i, pen.), Allah tidak mengadzab seseorang, melainkan setelah hujjah Allah tegak pada dirinya.  Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan, Kami tidak mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”  (Al-Isra’;  15), dan
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada (lagi) alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.  (An-Nisa’;  165), dan
“dan, tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”  (Az-Zukhruf;  76), dan
“...Sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu, lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri, dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.”  (Az-Zumar;  59)
Makna selanjutnya dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas,
“Dan Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”  (Thaha;  124),  Al-Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa pengumpulan pertama terjadi dari kubur kepada keadaan tertentu, dan pengumpulan kedua, antara keadaan tertentu hingga ke Neraka.  Pada pengumpulan pertama mereka masih dapat mendengar, melihat, mendebat, dan berbicara.  Sedangkan pada pengumpulan kedua mereka dikumpulkan dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.  Pada setiap kesempatan (momen) ada keadaan yang sesuai dengannya, yang pasti disertai keadilan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala beserta hikmah Yang Maha Tinggi.

Renungan;
* "Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?  Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu)."  (Al-Mu'min;  55-56)
* "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.  Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir."  (At-Taubah;  55)

oOo
(Disadur dan diringkas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Selasa, 16 April 2019

PUJIAN ALLAH TERHADAP ORANG YANG DAPAT MEMPERHATIKAN TANDA-TANDA



بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ان في ذلك لايات للمتوسمين
“Inna fii dzaalika la ayaatin lil-mutawassimiina”
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”  
(QS. Al-Hijr;  75)
Allah memuji firasat dan orang-orang yang memiliki firasat di beberapa tempat di dalam kitab-Nya.  Ayat di atas adalah salah satu di antaranya.
المتوسمون  /  "Al-Mutawassimuun", adalah orang-orang yang memiliki firasat, yang dapat menarik kesimpulan dengan tanda-tanda atau tengara-tengara.  
Jika dikatakan   توسمت فيك كذا/  “Tawassamtu fiika kadzaa” artinya, aku mempunyai firasat tentang sesuatu hal pada dirinya.  Seakan-akan dia dapat memutuskan sesuatu dari tengara-tengara yang ada.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenali mereka dengan tanda-tandanya.”  
(QS. Muhammad;  30), dan
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.  Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.”  
(QS. Al-Baqarah;  273)
Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan secara marfu’, sebuah hadits;
“Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah.”
Kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat (artinya),
“Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”  
(QS. Al-Hijr;  75)
Menurut Mujahid seperti yang dinyatakan Ibnu Qayyim di dalam kitab Madaarij As-Saalikiin, kata  المتوسمين  /  “Al-Mutawassimiin” artinya, orang-orang yang memiliki firasat.  Menurut Ibnu Abbas, artinya orang-orang yang menetapkan.  Menurut Muqatil, artinya orang-orang yang berpikir.
Pendapat-pendapat ini tidak ada yang saling bertentangan.  Sebab orang-orang yang memandang ialah, ketika dia memandang pengaruh tempat tinggal para pendusta, keadaan dan akibat yang mereka alami, sehingga hal ini dapat membangkitkan firasat, pelajaran dan pemikiran.  Allah berfirman tentang orang-orang Munafik (artinya),
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya.  Dan, kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.”  
(QS. Muhammad;  30)
Yang pertama merupakan firasat pandangan mata, sedangkan yang kedua adalah firasat telinga dan pendengaran.
Kami (Ibnu Qayyim) mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pengetahuan tentang mereka dengan pandangan dikaitkan dengan kehendak dan tidak mengaitkan pengenalan mereka dengan kiasan kata-kata mereka yang berdasarkan syarat.  Tetapi Allah menyampaikan suatu khabar yang menguatkannya dengan suatu sumpah.  Maka makna firman-Nya, ‘Dan kamu benar-benar akan mengenali mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.’  Ini merupakan pemaparan perkataan yang langsung ke inti (pokok) permasalahan.”
Kiasan perkataan ada yang benar dan ada yang salah.  Kiasan perkataan yang benar ada dua macam, 
Pertama;  Kepandaian atau kecerdasan.  Yang termasuk makna ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada dua pihak yang saling berselisih, “Boleh jadi sebagian di antara kalian lebih pandai menyampaikan hujjahnya dari sebagian yang lain.”
Kedua;  Sindiran dan isyarat.  Hal ini mirip dengan isyarat lewat tulisan.  Yang termasuk dalam pengertian ini adalah, apa yang dinyatakan dalam sya’ir,
Perkataan yang melantun indah memikat
Menyihir para pendengar dengan suatu bentuk
Terkadang didendangkan dan penalaran yang tepat
Sebaik-baik perkataan ialah yang sarat isyarat
Ketiga (yang tidak benar);  Adalah kerusakan logika dalam i’raab.  Jelasnya adalah merubah perkataan dari sisi yang sebenarnya, entah kepada kesalahan atau kepada makna yang tidak jelas, yang tidak terkait dengan lafazh.
Maksudnya, Allah bersumpah untuk menguatkan pengetahuan-Nya tentang orang-orang munafik dari kiasan-kiasan perkataan mereka.  Pengetahuan orang yang berbicara secara langsung dan apa yang terpendam dalam perkataannya, lebih dekat daripada pengetahuannya sekedar melalui tanda-tanda.  Pembuktian perkataan tentang tujuan yang diinginkan orang yang mengatakannya dan apa yang dipendamnya - lebih riil dari pembuktian dengan tanda-tanda yang terlihat.  Jadi firasat ini berkaitan dengan dua hal;  Pendengaran dan Penglihatan.
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah.”
Kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat (artinya),
“sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.”  
(QS. Al-Hijr;  75)[1]

Catatan Penulis blog;
Dimasa sekarang (Abad ke-21, Milenium ke-3, Tahun 2019) ini, kemampuan seorang mukmin muwahid (mukmin yang bertauhid) melihat dan mengamati tanda-tanda orang Munafik seharusnya lebih mudah lagi, karena disamping "dominasi" (jumlah mereka yang signifikan memadati dunia), juga "keberanian" mereka secara terang-terangan mengingkari dan mengejek sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kebudayaan bangsa Arab.
“Wallahul musta'an” (Hanya Allah sajalah tempat memohon pertolongan).

oOo

(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Madaarij As-Saalikiin, 2/266.