بسم الله الر حمان الر حيم
Janganlah sekali-kali seorang muslim menyangka, bahwa
perbuatan syirik itu melulu dilakukan oleh orang-orang Non-Muslim –
sehingga merasa aman dari perbuatan tersebut. Umat Islam pun, baik secara eksplisit maupun implisit dapat terjatuh pada perbuatan syirik bila tidak memahami
bentuk-bentuk (macam) kesyirikan, dan tidak pula berupaya mewaspadainya.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Maka
jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu, dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu pun
dengan-Nya. Barangsiapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka seolah-olah dia jatuh dari langit - lalu
disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh.”
(QS. Al-Hajj;
30-31)
Perhatikan
perumpamaan ini dan kesesuaiannya dengan keadaan orang-orang yang berbuat
syirik terhadap Allah, dan kebergantungannya kepada selain Allah. Ada dua hal yang diperbolehkan bagimu dalam
perumpamaan ini;
1. Engkau menjadikannya
sebagai perumpamaan tersusun, sehingga orang-orang yang mempersekutukan
Allah dan menyembah selain-Nya, diserupakan dengan orang yang menyeret dirinya
ke dalam kebinasaan yang tidak diharapkan keselamatannya. Dia digambarkan sebagai orang yang jatuh dari
langit lalu disambar seekor burung di angkasa yang mencengkeram dengan cakar-cakarnya,
atau dia ditiup oleh angin yang kencang hingga terdampar di suatu tempat yang amat
jauh.
Atas dasar ini, janganlah engkau melihat kepada individu dari
orang-orang yang diserupakan, dan siapa yang diserupakan dengannya, tetapi hendaklah mengambil hikmah sebanyak-banyaknya dari perumpamaan yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2. Ini termasuk
penyerupaan yang dipisahkan, sehingga setiap individu yang diserupakan
dihadapkan kepada apa yang diserupakan dengannya.
Atas dasar ini, Iman dan Tauhid diserupakan dengan langit karena
ketinggian, keluasan, serta kemuliaannya, karena langit merupakan tempat naik
dan turunnya. Iman
turun dari langit ke bumi, dan naik dari bumi ke langit.
Sementara orang-orang yang meninggalkan Iman dan Tauhid diserupakan
dengan orang yang jatuh dari langit ke tingkatan yang paling rendah, karena
kesia-siaan dan penderitaan yang bertumpuk-tumpuk. Burung yang menyambar bagian-bagian tubuhnya
dan mencabik-cabiknya diumpamakan dengan syaithan-syaithan yang diutus oleh Allah untuk membujuk,
membisiki, dan menyeretnya ke arah kebinasaan. Setiap
syaithan mempunyai bagian dari Agama dan hatinya, sebagaimana setiap burung
mempunyai bagian dari daging dan anggota tubuhnya. Angin yang mencampakkannya
ke tempat yang jauh merupakan perumpamaan hawa nafsunya yang menggiring
ke tempat yang paling rendah dan paling jauh dari langit.
Perumpamaan lain dari makna firman-Nya,
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala
yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat
pun, meskipun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan, jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, tiadalah mereka mampu merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pula) yang disembah. Mereka tidak
mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hajj;
73-74)
Sudah semestinya bagi setiap hamba
untuk membuat hatinya benar-benar dapat menyimak perumpamaan ini, memahami dan
memperhatikannya. Karena perumpamaan ini
dapat memutus materi syirik dari hatinya.
Sebab tingkatan terendah dari sesuatu yang disembah, ialah memiliki
kemampuan mengadakan sesuatu yang bermanfaat bagi penyembahnya, dan
mengenyahkan hal yang bermudharat
baginya. Sementara sesembahan-sesembahan
yang dipuja-puja oleh orang-orang musyrik selain Allah itu tidak mampu
menciptakan seekor lalat pun, bahkan selembar pun dari sayapnya, meskipun
semua sesembahan itu berkumpul dan bersepakat untuk menciptakannya. Lalu bagaimana dia akan menciptakan ciptaan yang lebih
besar dari itu. Bahkan mereka tidak mampu
menghadapi lalat itu, sekiranya lalat itu merampas sesuatu dari tangan mereka, dan mereka tidak
pula mampu melindungi sesuatu yang dirampas tersebut.
Mereka tidak mampu menciptakan lalat, yang termasuk makhluk Allah yang
paling lemah, dan tidak pula sanggup mengalahkannya, serta tidak dapat
mengambil kembali apa yang dirampas lalat tersebut. Sudah barang tentu tidak ada yang lebih lemah
daripada sesembahan semacam ini. Lalu
bagaimana mungkin orang yang masih waras akalnya menyembah sesembahan yang lain,
disamping menyembah Allah?
Ini merupakan perumpamaan yang paling mengena dari berbagai perumpamaan
yang diturunkan Allah tentang kebathilan syirik, dan pembodohan para pelakunya
serta keburukan akal mereka. Kesaksian bahwa syaithanlah
yang mempermainkan mereka, lebih buruk dari gambaran anak kecil yang mempermain-mainkan
bola yang ada dikedua tangannya. Di
antara sebagian kelaziman sesembahan yang memang layak untuk disembah
tentunya mampu memenuhi keinginan orang yang menyembahnya, memiliki pengetahuan
yang meliputi segala sesuatu, ,tidak membutuhkan makhluk, segala kebutuhan
makhluk disampaikan kepada-Nya, kemampuan untuk menyingkirkan segala kesusahan,
memenuhi doa, dan lain sebagainya.
Tetapi mereka malah menujukan penyembahan kepada gambar dan berhala,
yang sama sekali tidak memiliki kekuasaan terhadap makhluk yang paling lemah,
paling kecil dan paling hina.
Yang lebih menunjukkan kelemahan dan ketidak-layakan sebagai sesembahan
mereka, bahwa sekiranya makhluk yang lemah, hina, dan kecil itu merampas
sesuatu dari mereka, lalu mereka bersepakat untuk melindunginya, ternyata
mereka juga tidak mampu melakukannya.
Kemudian Allah menyamakan kelemahan dan ketidak-mampuan antara yang
disembah dengan para penyembahnya, dengan makna firman-Nya, “Amat
lemahlah yang menyembah dan amat lemah pula yang disembah.” Sudahlah yang disembah itu lemah, dan
bergantung pula kepada yang lemah, menjadi kelemahan yang berlipat ganda.
Ada yang berpendapat, ini merupakan persamaan antara yang merampas (lalat) dan sesuatu yang
dirampas (dari manusia). Ini merupakan persamaan
antara sesembahan mereka dengan lalat dalam kelemahan dan ketidak-mampuannya.
Atas dasar ini dapat dikatakan, bahwa kata ath-thalib di sini adalah sesembahan
yang bathil, sedangkan al-mathluub adalah apa yang disambar oleh lalat
itu.
Ada pula yang berpendapat, ath-thaalib di sini adalah lalat, dan al-mathluub
adalah sesembahan. Apa yang diambil
lalat dicari kembali.
Pendapat yang benar, lafazh ini mencakup keseluruhan, yang menggambarkan
kelemahan penyembah, apa yang disembah, dan yang merampas (lalat). Siapa yang menjadikan sesuatu sebagai
sesembahan di samping Dzat Yang Mahakuat lagi Maha Perkasa, berarti dia tidak
memahami sama sekali kekuasaan Allah yang sebenarnya, tidak mengetahuinya
dengan sebenar-benar pengetahuan, tidak mengetahui keAgungan-Nya dengan
sebenar-benar keAgungan.
oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”,
Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar