بسم الله الر حمان الر حيم
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah
diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat
kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Araf;
55-56)
Ayat ini
mencakup adab untuk 2 (dua) jenis doa, yakni;
Doa ketika beribadah, dan doa ketika memohon (meminta). Doa di dalam
Al-Qur’an, terkadang dimaksudkan untuk yang pertama dan terkadang untuk yang
kedua, dan terkadang dimaksudkan untuk paduan keduanya, dan keduanya saling
melengkapi.
Doa
permohonan adalah meminta apa-apa yang bermanfaat bagi orang yang berdoa dan
permintaan untuk mengenyahkan apa yang mengandung mudharat serta
penolakannya. Siapa yang berkuasa
terhadap manfaat dan mudharat itulah Yang layak disembah dengan
sebenar-benarnya. Yang disembah adalah
yang berkuasa terhadap segala manfaat dan mudharat. Yang demikian ini banyak disebutkan di dalam
Al-Qur’an, seperti;
“Dan
mereka menyembah selain dari Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka, dan tidak (pula) kemanfaatan.” (Yunus;
18), dan
“Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudharat kepadamu selain Allah.”
(Yunus; 106), dan
“Katakanlah,
‘ Mengapa kalian menyembah selain Allah – sesuatu yang tidak dapat memberi
mudharat kepada kalian dan tidak (pula) memberi manfaat?’”
(Al-Maidah; 76), dan lain-lain.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menafikan manfaat dan mudharat dari segala sesuatu
yang disembah selain-Nya, dalam bentuk apapun. Apakah itu adat istiadat, norma, atasan, harta, wanita, partai, dan segala sesuatu yang lebih didahulukan daripada perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Mereka
tidak memiliki sedikit pun kekuasaan terhadap dirinya dan orang-orang yang
menyembahnya. Yang demikian ini sangat
banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan redaksi yang sangat jelas, bahwa
yang disembah itu haruslah yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudharat,
yang dipanjatkan doa kepadanya untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat
tersebut, dengan doa permohonan. Yang didoai dengan rasa takut dan harap, serta
doa ibadah. Dari sini dapat diketahui,
bahwa kedua jenis doa ini saling berkaitan.
Sebab setiap doa ibadah mengharuskan doa permohonan, dan setiap doa
permohonan mencakup pula doa ibadah.
Atas dasar inilah Allah berfirman (artinya),
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Al-Baqarah;
186)
Ayat ini
mengandung 2 (dua) jenis doa. Dengan dua
jenis doa inilah ayat di atas ditafsiri.
Ada yang berpendapat, artinya;
Aku mengabulkan jika dia memohon kepada-Ku. Ada pula yang berpendapat, artinya; Aku memberi balasan jika dia menyembah-Ku. Dua pendapat ini saling terkait.
Tentang
makna firman Allah, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah
kepada-Nya,” adalah doa ibadah.
Artinya, sembahlah Allah semata, murnikanlah ibadah kepada-Nya serta
janganlah menyembah selain-Nya di samping menyembah-Nya.
Tentang
perkataan Ibrahim Al-Khalil ‘Alaihissalam di dalam surat Ibrahim; 39, “Sesungguhnya Rabb-ku benar-benar Maha
Mendengar doa”, yang dimaksudkan
“mendengar” di sini adalah mendengar secara khusus, yaitu pendengaran dengan pengabulan dan penerimaan, bukan mendengar secara umum. Sebab Allah Mahamendengar segala apa pun yang
dapat di dengar.
Jika
memang demikian, berarti doa di sini mencakup doa pujian dan doa
permintaan. Pendengaran Allah tentang
doa itu merupakan Penetapan-Nya terhadap pujian dan Pengabulan-Nya terhadap
permintaan. Jadi, Dia mendengar yang ini
(pujian) dan yang itu (permintaan).
Tentang
perkataan Zakaria di dalam surat Maryam;
4, “Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu ya Rabbi,”
ada yang berpendapat bahwa ini doa permohonan.
Artinya, pengabulan dan pertolongan-Mu membuat aku terbiasa, dan Engkau
tidak pernah membuatku kecewa karena penolakan.
Ini merupakan Tawasul kepada Allah dengan pengabulan dan kemurahan-Nya yang
telah lewat. Pasalnya, Nabi
Zakaria mengajukan doa itu karena Beliau hendak meminta anak.
Tentang
firman Allah di dalam surat Ath-Thur;
28, “Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah Yang melimpahkan
kebaikan lagi Maha Penyayang,” ini
merupakan doa ibadah yang meliputi permohonan, dalam keadaan suka atau
tidak suka. Artinya, sesungguhnya kami
dahulu memurnikan ibadah kepada-Nya.
Karena itulah mereka berhak mendapat perlindungan dari adzab Neraka,
bukan sekedar permohonan yang dirangkumkan antara orang yang mendapatkan keselamatan
dan lainnya. Allah adalah Dzat Yang
dimintai oleh siapa pun yang berada di langit atau di bumi. Keberuntungan
dan keselamatan hanya bisa didapatkan dengan memurnikan ibadah, dan
tidak sekedar memohon dan meminta.
Orang
yang mendirikan shalat, semenjak permulaan hingga selesai, dia tidak pernah
lepas dari doa, entah berupa doa ibadah dan pujian maupun doa permintaan dan permohonan. Jadi, dia berada dalam dua keadaan. Shalat tidak pernah keluar dari hakikat
doa. Perhatikan baik-baik masalah ini.
Jika
engkau telah mengetahui hal ini, maka firman Allah, “Berdoalah
kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut,” mencakup dua jenis doa.
Karena
itu kita diperintahkan untuk merahasiakan doa, dan menyembunyikannya. Al-Hasan berkata, “Antara doa secara
sembunyi-sembunyi dengan doa secara terang-terangan ada tujuhpuluh kali lipat.”
Banyak orang-orang muslim terdahulu yang giat dalam berdoa, dan tidak
ada suara yang terdengar dari mereka, karena doa itu merupakan bisikan antara
diri mereka dengan Rabb mereka.
Yang demikian itu karena Allah telah berfirman, “Berdoalah kepada
Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut.” Allah juga telah menyebutkan seorang
hamba yang shalih (Zakaria), dan Allah ridha terhadap perbuatan Beliau dalam
makna firman-Nya, “Yaitu tatkala ia berdoa kepada
Rabb-nya dengan suara yang lembut.” (Maryam; 3)
Beberapa
faidah tentang menyembunyikan doa, atau mengucapkannya dengan suara yang
lemah-lembut;
1. 1. Mencerminkan iman yang lebih besar dan kuat. Sebab ia pasti mengetahui bahwa Allah pasti mendengar doanya yang
diucapkan dengan suara yang lembut itu. Tidak
seperti orang yang berkata, “Allah baru mendengar bila kita menyaringkan
(mengeraskan) doa, dan Dia tidak mendengar kita jika kita mengucapkannya secara
pelan-pelan.”
2. 2. Mencerminkan adab dan pengagungan yang lebih besar. Jika engkau menyampaikan permintaan
dan permohonan kepada seorang Raja, maka engkau tidak akan berani
menyampaikannya dengan suara yang keras, tetapi engkau akan merendahkan volume
suaramu dan memelankannya sebatas Raja bisa mendengarnya. Sebab, siapa yang berbicara dengan suara yang
keras di hadapan Raja, tentu dia (Raja) akan membencinya.
3. 3. Melembutkan suara lebih pas untuk merendahkan diri dan
khusyu’. Padahal merendahkan diri dan
khusyu’ ini merupakan roh doa, inti dan maksud doa tersebut.
Orang yang khusyu’ dan merendahkan diri memohon layaknya orang yang
hina dan miskin yang hatinya melunak (“luluh”), yang anggota tubuhnya merunduk
dengan suara yang lemah (lirih).
Sampai-sampai kehinaan, kemiskinan, dan kelemahan hatinya membuat
lidahnya seakan-akan kelu tak mampu mengucapkan kata-kata. Hatinya meminta dan berharap. Karena kehinaan dan ketundukannya,
menyebabkan lidahnya diam tak bergerak. Keadaan ini sama sekali tidak akan
terjadi jika suara dinyaringkan ketika berdoa.
4. 4. Lebih menggambarkan keikhlasan.
5. 5. Lebih dapat menyatukan hati dengan Allah pada saat
berdoa. Sebaliknya, menyaringkan suara bisa
memisahkan hati dan menjauhkannya dari Allah.
6. 6. Yang ini termasuk rahasia doa yang sangat mengagumkan,
bahwa melembutkan suara menunjukkan kedekatan pelakunya dengan Allah, layaknya
bisikan seseorang kepada orang yang sangat dekat dengannya. Selagi hati merasakan kedekatan Allah
dengannya, bahwa Allah-lah yang paling dekat dengannya daripada segala
sesuatu yang dekat. Makna sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,
“Sayangilah diri kalian, karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang
tuli dan ghaib, tetapi kalian menyeru kepada Dzat yang Maha Mendengar lagi
dekat, yang lebih dekat dengan salah seorang di antara kalian daripada leher
hewan tunggangannya.” Allah juga telah
berfirman (artinya),
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku.” (Al-Baqarah; 186)
Ada riwayat yang menyebutkan tentang sebab turunnya ayat ini, bahwa para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Rabb kita dekat sehingga
kita berbisik kepada-Nya, ataukah Dia jauh sehingga kita berseru
kepada-Nya?” Maka turunlah ayat
ini. Hal ini menunjukkan petunjuk yang
Beliau sampaikan kepada mereka agar berbisik dalam berdoa, bukan dengan berseru
(menyaringkan / mengeraskan suara). Allah dekat
kepada orang-orang yang beribadah dan berdoa kepada-Nya. Sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
“Keadaan yang paling dekat bagi hamba dengan Rabb-nya ialah
ketika dia dalam keadaan sujud,”
7. 7. Lebih
menggambarkan keberlansungan permintaan dan permohonan, karena dengan begitu
lisan tidak mudah jenuh dan anggota tubuh tidak mudah letih. Lain halnya bila suara dinyaringkan.
8. 8. Jika ia mengeraskan doanya, maka doanya bisa didengar
jiwa-jiwa yang kotor dan jahat dari kalangan jin dan manusia, lalu mereka akan
mengacaukan dan mengganggunya atau paling tidak menghalangi keinginannya,
sehingga pengaruh doa itu menjadi melemah.
Siapa
yang pernah memiliki pengalaman semacam ini tentu mengetahuinya. Jika dia merahasiakan dan menyembunyikan
doanya, maka dia bisa selamat dari kerusakan itu.
9. 9. Nikmat yang paling agung adalah menghadap kepada
Allah, beribadah kepada-Nya dan menyendiri dengan-Nya. Tidak ada nikmat yang lebih besar dari
nikmat ini. Nabi Ya’qub pernah berkata kepada
Yusuf,
“Janganlah kamu ceritakan
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan)mu. Sesungguhnya syaithan
itu musuh yang nyata bagi manusia.” (Yusuf; 5)
Karena itu orang-orang yang arif dan para masyaikh menyampaikan
nasihat untuk menyimpan rahasia dengan Allah, merahasiakannya rapat-rapat agar
tidak diketahui orang lain. Mereka adalah
orang-orang yang paling antusias menyembunyikan keadaannya dengan Allah dan apa yang dianugerahkan Allah
kepada mereka, berupa cinta, kasih sayang, kelemah-lembutan, apalagi terhadap
orang yang baru dikenal dan orang yang sedang berlalu. Jika hati orang ini seperti akar pohon yang
baik, yang tertanam kuat dan mantap, serta cabang-cabangnya menjulang kelangit,
tidak gentar terhadap hembusan angin, maka tidak ada masalah baginya jika harus
menampakkan keadaannya dengan Allah agar perbuatannya ditiru orang lain. Ini merupakan masalah yang amat besar manfaatnya,
yang hanya diketahui oleh orang-orang yang pernah melakukannya.
Jika doa yang diperintahkan adalah dengan cara menyembunyikan, yang juga
mencakup doa permintaan, pujian, cinta, dan menghadapkan diri kepada Allah,
maka hal ini merupakan harta simpanan yang amat besar dan berharga. Yang paling layak untuk
disimpan dan disembunyikan, ditutup rapat-rapat agar tidak dilihat orang-orang
yang dengki. Ini merupakan faidah yang
amat besar.
10. 10. Doa sama
dengan menyebut Dzat yang didoai, yang mengandung permohonan dan pujian
kepada-Nya, dengan Asma dan Sifat-Sifat-Nya.
Jadi itu merupakan dzikir dan tambahannya, sebagaimana dzikir yang juga
disebut doa, karena ia juga mengandung permohonan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sebaik-baik doa adalah Alhamdulillah.”
Alhamdulillah disebut doa, yang secara murni merupakan pujian, karena Al-Hamdu
mengandung pernyataan cinta dan pujian. Cinta
merupakan jenis permintaan yang paling tinggi terhadap kekasihnya. Orang yang memuji adalah orang yang meminta
kepada kekasihnya. Ia lebih berhak
disebut orang yang berdoa daripada orang yang meminta keperluan kepada Rabb-nya.
Atas dasar ini, pujian juga mencakup permintaan yang paling besar, yaitu
permintaan kepada kekasih, yang berarti benar-benar merupakan doa. Bahkan pujian ini lebih layak disebut sebagai
doa daripada sebutan lainnya dari berbagai jenis permintaan.
Maksudnya, masing-masing dari doa dan dzikir mencakup yang lainnya dan
termasuk ke dalamnya. Allah telah
berfirman (artinya),
“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (Al-’araf;
205), dan
“berdoalah kepada Allah dengan berendah diri dan suara yang
lembut.” (Al-‘A’raf;
55)
Merendahkan diri sama-sama disebutkan
dalam dzikir dan doa, yang berarti merupakan roh dzikir dan doa.
Sementara dzikir dikhususkan dengan
rasa takut, karena orang yang berdzikir memerlukan rasa takut itu. Dzikir mengharuskan rasa cinta dan pasti
menghasilkan rasa cinta itu, tidak boleh tidak.
Siapa yang banyak berdzikir kepada Allah - tentu akan menghasilkan rasa cinta
kepada-Nya. Jika rasa cinta tidak
disertai dengan rasa takut, maka tidak akan mendatangkan hasil apa pun bagi
pelakunya, justru menimbulkan mudharat baginya. Adakalanya rasa cinta itu mendorong
orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang tertipu mengabaikan berbagai
kewajiban, dengan berkata, “Yang dimaksud dengan ibadah ialah ibadah hati,
menghadap kepada Allah, mencintai dan menyembah-Nya. Jika yang dimaksud sudah tercapai, maka
menyibukkan diri dengan sarana (Ibadah jawarih) adalah sebuah kesia-siaan.” (keyakinan orang-orang tarikat
sufiyah)
Perhatikan bagaimana tipuan besar
ini membuat mereka keluar dari Islam secara keseluruhan. Dia merasa bahwa dia adalah orang yang khusus
dari yang paling khusus. Hal ini
terjadi karena tidak menyertai rasa cinta kepada Allah dengan rasa takut. Karena itu sebagian dari orang-orang salaf
berkata, “Siapa yang menyembah Allah dengan rasa cinta semata, maka ia adalah zindiq,
dan siapa yang menyembah-Nya dengan rasa takut saja, maka ia termasuk golongan haruriyah
(khawarij), dan siapa yang menyembah-Nya dengan rasa harap semata, maka
ia termasuk golongan murji’ah. Sedangkan
orang yang menyembah-Nya dengan perpaduan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia adalah orang mukmin.” Allah telah menghimpun 3 (tiga) hal ini dalam
makna firman-Nya,
“Orang-orang yang mereka seru
itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mengharapkan rahmat-Nya, dan
takut akan adzab-Nya.” (Al-Isra’; 57)
Mencari jalan kepada Allah artinya, adalah cinta yang mengajak untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Setelah itu
Allah menyebutkan harapan dan rasa takut.
Jadi inilah jalan hamba-hamba Allah dan para wali-Nya.
Membebaskan diri dari rasa takut akan
menyeret diri kepada kebinasaan (tidak takut berbuat dosa). Jika rasa takut menyertainya, maka ia akan
menghimpunnya kepada satu jalan.
Seakan-akan rasa takut itu adalah cambuk yang melecut hewan tunggangan
agar tidak keluar dari jalan (arah) yang mesti dilaluinya. Sementara harapan ibarat orang yang
menggiring hewan tunggangan itu dan menuntunnya – sehingga jalannya menjadi
nyaman dan tenang. Sedangkan rasa cinta
adalah kusir dan tali kekangnya. Jika tidak ada cambuk atau tongkat - jika jalannya menyimpang dan dibiarkan lepas, maka ia akan keluar dari jalur
dan tersesat, tidak memelihara hal-hal yang diharamkan Allah. Jika ada sebagian di antaranya yang melemah,
maka imannya juga akan melemah – tergantung kadarnya.
Jika orang yang berdoa tidak berharap dalam permohonan dan permintaannya
(dikabulkan), maka jiwanya tidak tergerak untuk mencarinya. Sebab mencari sesuatu yang tidak
diharapkan tidak akan pernah terwujud.
Firman Alah, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” Artinya, Allah tidak menyukai orang-orang yang meminta
apa yang tidak sesuai baginya dan tidak boleh diminta, seperti meminta tolong
agar dapat melakukan hal-hal yang diharamkan, meminta kehidupan yang kekal di
dunia, meminta kedudukan seperti para Nabi, atau meminta dibebaskan dari
kebutuhan pokok manusia seperti makan dan minum, meminta agar dapat melihat
keghaiban-Nya, meminta menjadi orang yang maksum (terbebas dari dosa), atau
meminta anak tanpa mau memiliki istri, dan lain sebagainya. Setiap permohonan yang bertentangan dengan
hikmah Allah, atau menyalahi syariat dan perintah-Nya, atau berlainan dengan
apa yang dipilihkan baginya, maka itu merupakan tindakan yang melampaui batas yang
tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Melampaui batas dalam berdoa ini juga ditafsiri dengan menyaringkan
suara, meminta (berdoa) kepada selain Allah (syirik). Menurut Ibnu Juraij, yang termasuk
melampaui batas ialah menyaringkan suara dalam berdoa atau berteriak.
Yang termasuk melampaui batas juga
adalah, engkau menyembah-Nya dengan cara yang tidak disyariatkan-Nya (bid’ah),
memuji-Nya dengan pujian yang tidak layak baginya, dan yang tidak
diperkenankan-Nya. Jika seseorang tidak
disukai Allah, lalu kebaikan macam apakah yang akan diterima-Nya dari hamba?
Makna firman Allah, “Dan janganlah kalian membuat
kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya”, menurut mayoritas mufassirin
(ahli tafsir) artinya, janganlah kalian membuat berbagai kerusakan di muka bumi
dengan berbagai kedurhakaan, dan mengajak (manusia) untuk mengingkari Allah –
setelah Allah melakukan perbaikan di muka bumi dengan mengutus para Rasul-Nya
dengan menjelaskan syariat dengan sejelas-jelasnya, serta mengajak untuk taat kepada Allah. Sebab, penyembahan
kepada selain Allah serta menyekutukan-Nya merupakan kerusakan yang paling
besar di muka bumi, bahkan kerusakan dunia yang sebesar-besarnya ialah syirik
dan menyalahi perintah-Nya. Seperti
makna firman-Nya,
“Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (Ar-Rum;
41)
Secara umum dapat dikatakan, bahwa syirik dan berdoa kepada selain
Allah, serta membuat sesembahan selain-Nya, ada orang yang diikuti dan dita’ati
selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan kerusakan
yang paling besar di dunia.
Sesungguhnya Allah telah memperbaiki dunia dengan mengutus Rasul yang
membawa agama-Nya, menyuruh mengesakan-Nya, melarang berbuat kerusakan di dunia
dengan syirik dan menyalahi Rasul-Nya.
Siapa yang memperhatikan keadaan ini
, tentu akan mendapatkan bahwa sebab segala sesuatu perbaikan di dunia adalah
mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyembah-Nya dan ta’at kepada
Rasul-Nya. Sementara sebab segala
kejahatan (kerusakan) di dunia, cobaan, dan bencana, serta dominasi musuh-Nya, adalah menyalahi
Rasul-Nya dan mengajak kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kekuatan kecuali yang berasal
dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.
Mengingat makna firman Allah, “Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut dan harap,” mencakup seluruh posisi iman dan ihsaan, yaitu rasa
cinta, takut, dan harap. Maka Dia
menyebutkan setelah itu melalui firman-Nya, “Sesungguhnya rahmat
Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Dengan perkataan lain, rahmat akan diterima
hamba selagi berdoa kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Allah-lah yang berbuat kebaikan dan menurunkan
rahmat dengannya. Sebab
lingkup Ihsaan didasarkan pada 3 (tiga) hal ini (rasa Cinta, Takut, dan Harap).
Mengingat berdoa dengan merendahkan diri dan suara yang lembut
berseberangan dengan melampaui batas (tidak merendahkan diri dan tidak
dengan suara yang lembut), maka Dia menyebutkan setelah itu, “Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Firman-Nya, تضرعا وخفية وطمعا / “Tadharru’an
wa khufyatan wa thama’aa”, dibuat manshub, ada yang berpendapat,
karena kedudukannya sebagai keterangan keadaan.
Artinya, berdoalah kepada-Nya dengan cara merendahkan diri, rasa takut,
dan harap. Pendapat ini pula yang
ditegaskan As-Suhaily dan yang lainnya.
Di dalam makna firman Allah, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
dengan orang-orang yang berbuat baik,” terkandung pemberitahuan yang nyata (jelas),
bahwa melakukan apa yang diperintahkan itu adalah kebaikan yang dituntut dari
kalian. Sedangkan apa yang kalian tuntut
dari Allah adalah rahmat-Nya yang dekat dengan orang-orang yang berbuat
baik. Jadi ini merupakan sebab tentang
kedekatan rahmat dengan orang-orang yang berbuat baik, dan jauhnya rahmat Allah dari
orang-orang yang berbuat tidak baik.
Allah mengkhususkan orang-orang yang berbuat baik sebagai orang-orang
yang dekat dengan rahmat, karena rahmat itu merupakan kebaikan yang datangnya
dari Allah, yang lebih penyayang dari semua yang penyayang. Kebaikan
Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang juga berbuat baik, karena balasan
itu sesuai dengan jenis amalan. Karena mereka berbuat baik dengan
amalnya, maka Allah berbuat baik kepada mereka dengan rahmat-Nya.
Adapun orang yang tidak termasuk orang-orang yang berbuat baik – sejauh mana
dia menjauh dari kebaikan, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkan antara dirinya dengan rahmat
Allah. Siapa yang dekat dengan kebaikan, maka Allah
pun mendekat padanya dengan rahmat-Nya, dan siapa yang jauh dari kebaikan,
maka Allah pun menjauhkannya dari rahmat-Nya.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik, dan membenci orang-orang
yang berbuat tidak baik (kerusakan). Siapa yang
disukai Allah, maka rahmat-Nya adalah sesuatu yang paling dekat dengannya, dan
siapa yang dibenci Allah, maka rahmat-Nya adalah sesuatu yang paling jauh darinya. Yang dimaksud
perbuatan baik atau ihsaan disini, adalah melaksanakan apa yang diperintahkan,
entah berbuat baik kepada manusia, atau kepada diri sendiri. Kebaikan yang paling besar adalah Iman,
Tauhid, dan kembali kepada Allah (Inaabah), menyembah Allah seakan-akan
dia melihat-Nya, karena rasa pengagungan, takut, malu, dan cinta. Inilah keadaan Ihsaan, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika Jibril ‘alaihissalam bertanya kepada Beliau
tentang Ihsaan, maka Beliau menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya.” Jika
seperti ini keadaan Ihsaan, maka rahmat Allah amatlah dekat dengan
pelakunya. Sesungguhnya Allah hanya
merahmati Ahli Tauhid dari kalangan orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan
hanya menetapkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa, mengeluarkan zakat,
dan beriman kepada ayat-ayat-Nya serta mengikuti Rasul-Nya. Mereka inilah yang berhak mendapatkan rahmat,
sebagaimana mereka telah berbuat baik. Tidak
ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.
Artinya, balasan bagi orang-orang yang menyembah Allah secara baik
adalah kebaikan yang datangnya dari Allah.
Ibnu
Abbas berkata, “Bukankah balasan orang yang mengucapkan ‘Laa Ilaaha
illallah’ dan melaksanakan apa yang dibawa Muhammad adalah Surga?”
Ibnu Abi Syaibah dan yang lain menyebutkan hadits dari Az-Zubair bin Adi, dari Anas bin
Malik, dia berkata, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (Ar-Rahman; 60).
Kemudian Beliau bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb
kalian?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda,
‘Tidak ada balasan bagi orang yang diberi nikmat Tauhid kecuali Surga.’”
(Baca juga artikel, HAKIKAT TAUHID, TAUHIDULLAH, dan KEUTAMAAN TAUHID)
(Baca juga artikel, HAKIKAT TAUHID, TAUHIDULLAH, dan KEUTAMAAN TAUHID)
oOo
(Diringkas
dan disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh
Muhammad Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar