Minggu, 07 April 2019

ADAB BERDOA


بسم الله الر حمان الر حيم


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut.  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).  Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (Al-‘Araf;  55-56)
Ayat ini mencakup adab untuk 2 (dua) jenis doa, yakni;  Doa ketika beribadah, dan doa ketika memohon (meminta). Doa di dalam Al-Qur’an, terkadang dimaksudkan untuk yang pertama dan terkadang untuk yang kedua, dan terkadang dimaksudkan untuk paduan keduanya, dan keduanya saling melengkapi.
Doa permohonan adalah meminta apa-apa yang bermanfaat bagi orang yang berdoa dan permintaan untuk mengenyahkan apa yang mengandung mudharat serta penolakannya.  Siapa yang berkuasa terhadap manfaat dan mudharat itulah Yang layak disembah dengan sebenar-benarnya.  Yang disembah adalah yang berkuasa terhadap segala manfaat dan mudharat.  Yang demikian ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti;
“Dan mereka menyembah selain dari Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka, dan tidak (pula) kemanfaatan.”  (Yunus;  18), dan
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah.”  (Yunus;  106), dan
“Katakanlah, ‘ Mengapa kalian menyembah selain Allah – sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepada kalian dan tidak (pula) memberi manfaat?’”  (Al-Maidah;  76), dan lain-lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan manfaat dan mudharat dari segala sesuatu yang disembah selain-Nya, dalam bentuk apapun.  Apakah itu adat istiadat, norma, atasan, harta, wanita, partai, dan segala sesuatu yang lebih didahulukan daripada perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.  Mereka tidak memiliki sedikit pun kekuasaan terhadap dirinya dan orang-orang yang menyembahnya.  Yang demikian ini sangat banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan redaksi yang sangat jelas, bahwa yang disembah itu haruslah yang berkuasa mendatangkan manfaat dan mudharat, yang dipanjatkan doa kepadanya untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat tersebut, dengan doa permohonan. Yang didoai dengan rasa takut dan harap, serta doa ibadah.  Dari sini dapat diketahui, bahwa kedua jenis doa ini saling berkaitan.  Sebab setiap doa ibadah mengharuskan doa permohonan, dan setiap doa permohonan mencakup pula doa ibadah.  Atas dasar inilah Allah berfirman (artinya),
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.  Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.”  (Al-Baqarah;  186)
Ayat ini mengandung 2 (dua) jenis doa.  Dengan dua jenis doa inilah ayat di atas ditafsiri.  Ada yang berpendapat, artinya;  Aku mengabulkan jika dia memohon kepada-Ku.  Ada pula yang berpendapat, artinya;  Aku memberi balasan jika dia menyembah-Ku.  Dua pendapat ini saling terkait.
Tentang makna firman Allah, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya,” adalah doa ibadah.  Artinya, sembahlah Allah semata, murnikanlah ibadah kepada-Nya serta janganlah menyembah selain-Nya di samping menyembah-Nya.
Tentang perkataan Ibrahim Al-Khalil ‘Alaihissalam di dalam surat Ibrahim;  39, “Sesungguhnya Rabb-ku benar-benar Maha Mendengar doa”,  yang dimaksudkan “mendengar” di sini adalah mendengar secara khusus, yaitu pendengaran dengan pengabulan dan penerimaan, bukan mendengar secara umum.  Sebab Allah Mahamendengar segala apa pun yang dapat di dengar.
Jika memang demikian, berarti doa di sini mencakup doa pujian dan doa permintaan.  Pendengaran Allah tentang doa itu merupakan Penetapan-Nya terhadap pujian dan Pengabulan-Nya terhadap permintaan.  Jadi, Dia mendengar yang ini (pujian) dan yang itu (permintaan).
Tentang perkataan Zakaria di dalam surat Maryam;  4, “Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu ya Rabbi,” ada yang berpendapat bahwa ini doa permohonan.  Artinya, pengabulan dan pertolongan-Mu membuat aku terbiasa, dan Engkau tidak pernah membuatku kecewa karena penolakan.  Ini merupakan Tawasul kepada Allah dengan pengabulan dan kemurahan-Nya yang telah lewat.  Pasalnya, Nabi Zakaria mengajukan doa itu karena Beliau hendak meminta anak.
Tentang firman Allah di dalam surat Ath-Thur;  28, Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya.  Sesungguhnya Dia-lah Yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang,”  ini merupakan doa ibadah yang meliputi permohonan, dalam keadaan suka atau tidak suka.  Artinya, sesungguhnya kami dahulu memurnikan ibadah kepada-Nya.  Karena itulah mereka berhak mendapat perlindungan dari adzab Neraka, bukan sekedar permohonan yang dirangkumkan antara orang yang mendapatkan keselamatan dan lainnya.  Allah adalah Dzat Yang dimintai oleh siapa pun yang berada di langit atau di bumi.  Keberuntungan dan keselamatan hanya bisa didapatkan dengan memurnikan ibadah, dan tidak sekedar memohon dan meminta.
Orang yang mendirikan shalat, semenjak permulaan hingga selesai, dia tidak pernah lepas dari doa, entah berupa doa ibadah dan pujian maupun doa permintaan dan permohonan.  Jadi, dia berada dalam dua keadaan.  Shalat tidak pernah keluar dari hakikat doa.  Perhatikan baik-baik masalah ini.
Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka firman Allah, “Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut,” mencakup dua jenis doa.
Karena itu kita diperintahkan untuk merahasiakan doa, dan menyembunyikannya.  Al-Hasan berkata, “Antara doa secara sembunyi-sembunyi dengan doa secara terang-terangan ada tujuhpuluh kali lipat.”  Banyak orang-orang muslim terdahulu yang giat dalam berdoa, dan tidak ada suara yang terdengar dari mereka, karena doa itu merupakan bisikan antara diri mereka dengan Rabb mereka.  Yang demikian itu karena Allah telah berfirman, “Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut.”  Allah juga telah menyebutkan seorang hamba yang shalih (Zakaria), dan Allah ridha terhadap perbuatan Beliau dalam makna firman-Nya, “Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabb-nya dengan suara yang lembut.”  (Maryam;  3)
Beberapa faidah tentang menyembunyikan doa, atau mengucapkannya dengan suara yang lemah-lembut;
1.     1. Mencerminkan iman yang lebih besar dan kuat.  Sebab ia pasti mengetahui bahwa Allah pasti mendengar doanya yang diucapkan dengan suara yang lembut itu.  Tidak seperti orang yang berkata, “Allah baru mendengar bila kita menyaringkan (mengeraskan) doa, dan Dia tidak mendengar kita jika kita mengucapkannya secara pelan-pelan.”
2.     2. Mencerminkan adab dan pengagungan yang lebih besar. Jika engkau menyampaikan permintaan dan permohonan kepada seorang Raja, maka engkau tidak akan berani menyampaikannya dengan suara yang keras, tetapi engkau akan merendahkan volume suaramu dan memelankannya sebatas Raja bisa mendengarnya.  Sebab, siapa yang berbicara dengan suara yang keras di hadapan Raja, tentu dia (Raja) akan membencinya.
3.     3. Melembutkan suara lebih pas untuk merendahkan diri dan khusyu’.  Padahal merendahkan diri dan khusyu’ ini merupakan roh doa, inti dan maksud doa tersebut.  Orang yang khusyu’ dan merendahkan diri memohon layaknya orang yang hina dan miskin yang hatinya melunak (“luluh”), yang anggota tubuhnya merunduk dengan suara yang lemah (lirih).  Sampai-sampai kehinaan, kemiskinan, dan kelemahan hatinya membuat lidahnya seakan-akan kelu tak mampu mengucapkan kata-kata.  Hatinya meminta dan berharap.  Karena kehinaan dan ketundukannya, menyebabkan lidahnya diam tak bergerak.  Keadaan ini sama sekali tidak akan terjadi jika suara dinyaringkan ketika berdoa.
4.     4. Lebih menggambarkan keikhlasan.
5.     5. Lebih dapat menyatukan hati dengan Allah pada saat berdoa.  Sebaliknya, menyaringkan suara bisa memisahkan hati dan menjauhkannya dari Allah.
6.     6. Yang ini termasuk rahasia doa yang sangat mengagumkan, bahwa melembutkan suara menunjukkan kedekatan pelakunya dengan Allah, layaknya bisikan seseorang kepada orang yang sangat dekat dengannya.  Selagi hati merasakan kedekatan Allah dengannya, bahwa Allah-lah yang paling dekat dengannya daripada segala sesuatu yang dekat.  Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,
“Sayangilah diri kalian, karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan ghaib, tetapi kalian menyeru kepada Dzat yang Maha Mendengar lagi dekat, yang lebih dekat dengan salah seorang di antara kalian daripada leher hewan tunggangannya.”  Allah juga telah berfirman (artinya),
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.  Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.”  (Al-Baqarah;  186)
Ada riwayat yang menyebutkan tentang sebab turunnya ayat ini, bahwa para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Rabb kita dekat sehingga kita berbisik kepada-Nya, ataukah Dia jauh sehingga kita berseru kepada-Nya?”  Maka turunlah ayat ini.  Hal ini menunjukkan petunjuk yang Beliau sampaikan kepada mereka agar berbisik dalam berdoa, bukan dengan berseru (menyaringkan / mengeraskan suara).  Allah dekat kepada orang-orang yang beribadah dan berdoa kepada-Nya.  Sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
“Keadaan yang paling dekat bagi hamba dengan Rabb-nya ialah ketika dia dalam keadaan sujud,”
7.      7. Lebih menggambarkan keberlansungan permintaan dan permohonan, karena dengan begitu lisan tidak mudah jenuh dan anggota tubuh tidak mudah letih.  Lain halnya bila suara dinyaringkan.
8.      8. Jika ia mengeraskan doanya, maka doanya bisa didengar jiwa-jiwa yang kotor dan jahat dari kalangan jin dan manusia, lalu mereka akan mengacaukan dan mengganggunya atau paling tidak menghalangi keinginannya, sehingga pengaruh doa itu menjadi melemah.  Siapa yang pernah memiliki pengalaman semacam ini tentu mengetahuinya.  Jika dia merahasiakan dan menyembunyikan doanya, maka dia bisa selamat dari kerusakan itu.
9.       9. Nikmat yang paling agung adalah menghadap kepada Allah, beribadah kepada-Nya dan menyendiri dengan-Nya.  Tidak ada nikmat yang lebih besar dari nikmat ini.  Nabi Ya’qub pernah berkata kepada Yusuf,
“Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.  Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi manusia.”  (Yusuf;  5)
Karena itu orang-orang yang arif dan para masyaikh menyampaikan nasihat untuk menyimpan rahasia dengan Allah, merahasiakannya rapat-rapat agar tidak diketahui orang lain.  Mereka adalah orang-orang yang paling antusias menyembunyikan keadaannya  dengan Allah dan apa yang dianugerahkan Allah kepada mereka, berupa cinta, kasih sayang, kelemah-lembutan, apalagi terhadap orang yang baru dikenal dan orang yang sedang berlalu.  Jika hati orang ini seperti akar pohon yang baik, yang tertanam kuat dan mantap, serta cabang-cabangnya menjulang kelangit, tidak gentar terhadap hembusan angin, maka tidak ada masalah baginya jika harus menampakkan keadaannya dengan Allah agar perbuatannya ditiru orang lain.  Ini merupakan masalah yang amat besar manfaatnya, yang hanya diketahui oleh orang-orang yang pernah melakukannya.
Jika doa yang diperintahkan adalah dengan cara menyembunyikan, yang juga mencakup doa permintaan, pujian, cinta, dan menghadapkan diri kepada Allah, maka hal ini merupakan harta simpanan yang amat besar dan berharga. Yang paling layak untuk disimpan dan disembunyikan, ditutup rapat-rapat agar tidak dilihat orang-orang yang dengki.  Ini merupakan faidah yang amat besar.
10.   10. Doa sama dengan menyebut Dzat yang didoai, yang mengandung permohonan dan pujian kepada-Nya, dengan Asma dan Sifat-Sifat-Nya.
Jadi itu merupakan dzikir dan tambahannya, sebagaimana dzikir yang juga disebut doa, karena ia juga mengandung permohonan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sebaik-baik doa adalah Alhamdulillah.”
Alhamdulillah disebut doa, yang secara murni merupakan pujian, karena Al-Hamdu mengandung pernyataan cinta dan pujian.  Cinta merupakan jenis permintaan yang paling tinggi terhadap kekasihnya.  Orang yang memuji adalah orang yang meminta kepada kekasihnya.  Ia lebih berhak disebut orang yang berdoa daripada orang yang meminta keperluan kepada Rabb-nya.
Atas dasar ini, pujian juga mencakup permintaan yang paling besar, yaitu permintaan kepada kekasih, yang berarti benar-benar merupakan doa.  Bahkan pujian ini lebih layak disebut sebagai doa daripada sebutan lainnya dari berbagai jenis permintaan.
Maksudnya, masing-masing dari doa dan dzikir mencakup yang lainnya dan termasuk ke dalamnya.  Allah telah berfirman (artinya),
“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.”  (Al-’araf;  205), dan
“berdoalah kepada Allah dengan berendah diri dan suara yang lembut.”  (Al-‘A’raf;  55)
Merendahkan diri sama-sama disebutkan dalam dzikir dan doa, yang berarti merupakan roh dzikir dan doa.
Sementara dzikir dikhususkan dengan rasa takut, karena orang yang berdzikir memerlukan rasa takut itu.  Dzikir mengharuskan rasa cinta dan pasti menghasilkan rasa cinta itu, tidak boleh tidak.  Siapa yang banyak berdzikir kepada Allah -  tentu akan menghasilkan rasa cinta kepada-Nya.  Jika rasa cinta tidak disertai dengan rasa takut, maka tidak akan mendatangkan hasil apa pun bagi pelakunya, justru menimbulkan mudharat baginya.  Adakalanya rasa cinta itu mendorong orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang tertipu mengabaikan berbagai kewajiban, dengan berkata, “Yang dimaksud dengan ibadah ialah ibadah hati, menghadap kepada Allah, mencintai dan menyembah-Nya.  Jika yang dimaksud sudah tercapai, maka menyibukkan diri dengan sarana (Ibadah jawarih) adalah sebuah kesia-siaan.” (keyakinan orang-orang tarikat sufiyah)
Perhatikan bagaimana tipuan besar ini membuat mereka keluar dari Islam secara keseluruhan.  Dia merasa bahwa dia adalah orang yang khusus dari yang paling khusus.  Hal ini terjadi karena tidak menyertai rasa cinta kepada Allah dengan rasa takut.  Karena itu sebagian dari orang-orang salaf berkata, “Siapa yang menyembah Allah dengan rasa cinta semata, maka ia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah-Nya dengan rasa takut saja, maka ia termasuk golongan haruriyah (khawarij), dan siapa yang menyembah-Nya dengan rasa harap semata, maka ia termasuk golongan murji’ah.  Sedangkan orang yang menyembah-Nya dengan perpaduan rasa cinta, harap,  dan takut, maka ia adalah orang mukmin.”  Allah telah menghimpun 3 (tiga) hal ini dalam makna firman-Nya,
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), dan mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya.”  (Al-Isra’;  57)
Mencari jalan kepada Allah artinya, adalah cinta yang mengajak untuk mendekatkan diri kepada-Nya.  Setelah itu Allah menyebutkan harapan dan rasa takut.  Jadi inilah jalan hamba-hamba Allah dan para wali-Nya.
Membebaskan diri dari rasa takut akan menyeret diri kepada kebinasaan (tidak takut berbuat dosa).  Jika rasa takut menyertainya, maka ia akan menghimpunnya kepada satu jalan.  Seakan-akan rasa takut itu adalah cambuk yang melecut hewan tunggangan agar tidak keluar dari jalan (arah) yang mesti dilaluinya.  Sementara harapan ibarat orang yang menggiring hewan tunggangan itu dan menuntunnya – sehingga jalannya menjadi nyaman dan tenang.  Sedangkan rasa cinta adalah kusir dan tali kekangnya.  Jika tidak ada cambuk atau tongkat - jika jalannya menyimpang dan dibiarkan lepas, maka ia akan keluar dari jalur dan tersesat, tidak memelihara hal-hal yang diharamkan Allah.  Jika ada sebagian di antaranya yang melemah, maka imannya juga akan melemah – tergantung kadarnya.
Jika orang yang berdoa tidak berharap dalam permohonan dan permintaannya (dikabulkan), maka jiwanya tidak tergerak untuk mencarinya.  Sebab mencari sesuatu yang tidak diharapkan tidak akan pernah terwujud.
Firman Alah, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Artinya, Allah tidak menyukai orang-orang yang meminta apa yang tidak sesuai baginya dan tidak boleh diminta, seperti meminta tolong agar dapat melakukan hal-hal yang diharamkan, meminta kehidupan yang kekal di dunia, meminta kedudukan seperti para Nabi, atau meminta dibebaskan dari kebutuhan pokok manusia seperti makan dan minum, meminta agar dapat melihat keghaiban-Nya, meminta menjadi orang yang maksum (terbebas dari dosa), atau meminta anak tanpa mau memiliki istri, dan lain sebagainya.  Setiap permohonan yang bertentangan dengan hikmah Allah, atau menyalahi syariat dan perintah-Nya, atau berlainan dengan apa yang dipilihkan baginya, maka itu merupakan tindakan yang melampaui batas yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Melampaui batas dalam berdoa ini juga ditafsiri dengan menyaringkan suara, meminta (berdoa) kepada selain Allah (syirik).  Menurut Ibnu Juraij, yang termasuk melampaui batas ialah menyaringkan suara dalam berdoa atau berteriak.
Yang termasuk melampaui batas juga adalah, engkau menyembah-Nya dengan cara yang tidak disyariatkan-Nya (bid’ah), memuji-Nya dengan pujian yang tidak layak baginya, dan yang tidak diperkenankan-Nya.  Jika seseorang tidak disukai Allah, lalu kebaikan macam apakah yang akan diterima-Nya dari hamba?
Makna firman Allah, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya”, menurut mayoritas mufassirin (ahli tafsir) artinya, janganlah kalian membuat berbagai kerusakan di muka bumi dengan berbagai kedurhakaan, dan mengajak (manusia) untuk mengingkari Allah – setelah Allah melakukan perbaikan di muka bumi dengan mengutus para Rasul-Nya dengan menjelaskan syariat dengan sejelas-jelasnya, serta mengajak untuk taat kepada Allah.  Sebab, penyembahan kepada selain Allah serta menyekutukan-Nya merupakan kerusakan yang paling besar di muka bumi, bahkan kerusakan dunia yang sebesar-besarnya ialah syirik dan menyalahi perintah-Nya.  Seperti makna firman-Nya,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.”  (Ar-Rum;  41)
Secara umum dapat dikatakan, bahwa syirik dan berdoa kepada selain Allah, serta membuat sesembahan selain-Nya, ada orang yang diikuti dan dita’ati selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan kerusakan yang paling besar di dunia.
Sesungguhnya Allah telah memperbaiki dunia dengan mengutus Rasul yang membawa agama-Nya, menyuruh mengesakan-Nya, melarang berbuat kerusakan di dunia dengan syirik dan menyalahi Rasul-Nya.  
Siapa yang memperhatikan keadaan ini , tentu akan mendapatkan bahwa sebab segala sesuatu perbaikan di dunia adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyembah-Nya dan ta’at kepada Rasul-Nya.  Sementara sebab segala kejahatan (kerusakan) di dunia, cobaan, dan bencana, serta dominasi musuh-Nya, adalah menyalahi Rasul-Nya dan mengajak kepada selain Allah dan Rasul-Nya.  Tidak ada kekuatan kecuali yang berasal dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.
Mengingat makna firman Allah, “Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap,” mencakup seluruh posisi iman dan ihsaan, yaitu rasa cinta, takut, dan harap.  Maka Dia menyebutkan setelah itu melalui firman-Nya, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”  Dengan perkataan lain, rahmat akan diterima hamba selagi berdoa kepada-Nya dengan rasa takut dan harap.  Allah-lah yang berbuat kebaikan dan menurunkan rahmat dengannya.  Sebab lingkup Ihsaan didasarkan pada 3 (tiga) hal ini (rasa Cinta, Takut, dan Harap).
Mengingat berdoa dengan merendahkan diri dan suara yang lembut berseberangan dengan melampaui batas (tidak merendahkan diri dan tidak dengan suara yang lembut), maka Dia menyebutkan setelah itu, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Firman-Nya,  تضرعا وخفية وطمعا  /  “Tadharru’an wa khufyatan wa thama’aa”, dibuat manshub, ada yang berpendapat, karena kedudukannya sebagai keterangan keadaan.  Artinya, berdoalah kepada-Nya dengan cara merendahkan diri, rasa takut, dan harap.  Pendapat ini pula yang ditegaskan As-Suhaily dan yang lainnya.
Di dalam makna firman Allah, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik,” terkandung pemberitahuan yang nyata (jelas), bahwa melakukan apa yang diperintahkan itu adalah kebaikan yang dituntut dari kalian.  Sedangkan apa yang kalian tuntut dari Allah adalah rahmat-Nya yang dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.  Jadi ini merupakan sebab tentang kedekatan rahmat dengan orang-orang yang berbuat baik, dan jauhnya rahmat Allah dari orang-orang yang berbuat tidak baik.  Allah mengkhususkan orang-orang yang berbuat baik sebagai orang-orang yang dekat dengan rahmat, karena rahmat itu merupakan kebaikan yang datangnya dari Allah, yang lebih penyayang dari semua yang penyayang.  Kebaikan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang juga berbuat baik, karena balasan itu sesuai dengan jenis amalan.  Karena mereka berbuat baik dengan amalnya, maka Allah berbuat baik kepada mereka dengan rahmat-Nya.
Adapun orang yang tidak termasuk orang-orang yang berbuat baik – sejauh mana dia menjauh dari kebaikan, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkan antara dirinya dengan rahmat Allah.  Siapa yang dekat dengan kebaikan, maka Allah pun mendekat padanya dengan rahmat-Nya, dan siapa yang jauh dari kebaikan, maka Allah pun menjauhkannya dari rahmat-Nya.  Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik, dan membenci orang-orang yang berbuat tidak baik (kerusakan).  Siapa yang disukai Allah, maka rahmat-Nya adalah sesuatu yang paling dekat dengannya, dan siapa yang dibenci Allah, maka rahmat-Nya adalah sesuatu yang paling jauh darinya.  Yang dimaksud perbuatan baik atau ihsaan disini, adalah melaksanakan apa yang diperintahkan, entah berbuat baik kepada manusia, atau kepada diri sendiri.  Kebaikan yang paling besar adalah Iman, Tauhid, dan kembali kepada Allah (Inaabah), menyembah Allah seakan-akan dia melihat-Nya, karena rasa pengagungan, takut, malu, dan cinta.  Inilah keadaan Ihsaan, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Jibril ‘alaihissalam bertanya kepada Beliau tentang Ihsaan, maka Beliau menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”  Jika seperti ini keadaan Ihsaan, maka rahmat Allah amatlah dekat dengan pelakunya.  Sesungguhnya Allah hanya merahmati Ahli Tauhid dari kalangan orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan hanya menetapkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa, mengeluarkan zakat, dan beriman kepada ayat-ayat-Nya serta mengikuti Rasul-Nya.  Mereka inilah yang berhak mendapatkan rahmat, sebagaimana mereka telah berbuat baik.  Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.  Artinya, balasan bagi orang-orang yang menyembah Allah secara baik adalah kebaikan yang datangnya dari Allah.  Ibnu Abbas berkata, “Bukankah balasan orang yang mengucapkan ‘Laa Ilaaha illallah’ dan melaksanakan apa yang dibawa Muhammad adalah Surga?”
Ibnu Abi Syaibah dan yang lain menyebutkan hadits dari Az-Zubair bin Adi, dari Anas bin Malik, dia berkata, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”  (Ar-Rahman;  60).  Kemudian Beliau bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian?’  Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’  Beliau bersabda, ‘Tidak ada balasan bagi orang yang diberi nikmat Tauhid kecuali Surga.’
(Baca juga artikel, HAKIKAT TAUHID, TAUHIDULLAH, dan KEUTAMAAN TAUHID)              

oOo
(Diringkas dan disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar