Sabtu, 13 April 2019

MEMENUHI SERUAN ALLAH DAN RASUL-NYA



بسم الله الر حمان الر حيم

Kehidupan manusia di dunia ini hanya bermanfaat bila mereka memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.  Barangsiapa yang enggan memenuhi (menyambut) seruan tersebut, maka mereka dianggap tidak memiliki kehidupan (Hakiki), kendati ia memiliki kehidupan ala binatang.


Ada persekutuan (persamaan yang dekat) antara dirinya dengan binatang yang paling hina.  Kehidupan yang hakiki, dan yang paling baik adalah dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun bathin.  Mereka yang melakukan (menerapkan) hal ini adalah orang-orang yang hidup meskipun telah meninggal dunia.  Sedangkan kebalikannya adalah orang-orang yang telah mati meskipun jasadnya masih hidup.  Karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya, ialah yang paling sempurna memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sebab, apa pun yang Beliau serukan, di sana terkandung kehidupan (hati).  Barangsiapa yang kehilangan salah satu di antaranya, maka berarti dia telah kehilangan salah satu di antara dua kehidupan (kehidupan hati dan jasad, atau kehidupan jasad saja).  Jadi, di dalam diri seseorang terdapat kehidupan (hati) - yang bergantung kepada sejauh mana dia memenuhi seruan Allah Suhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Menurut Mujahid, makna firman Allah, “Kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian,” arti “sesuatu” di sini adalah kebenaran.  Menurut Qatadah, maksudnya adalah Al-Qur’an, karena di dalamnya terkandung kehidupan, keyakinan, keselamatan, dan perlindungan di dunia maupun di Akhirat.  Menurut As-Saddy, maksudnya adalah Islam, yang memberi kehidupan kepada mereka setelah mereka “mati” dalam kekufuran.  Menurut Ibnu Ishaq, Urwah Ibnu Zubair, artinya adalah peperangan yang karenanya Allah memuliakan kalian setelah dihinakan-Nya, yang membuat kalian kuat setelah lemah, yang membuat kalian mampu membela diri dari musuh setelah mereka menundukkan kalian.
Semua itu merupakan ungkapan tentang satu hakikat, yaitu melaksanakan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik secara zhahir maupun bathin.
Menurut Al-Wahidy, mayoritas manusia berpendapat bahwa, makna sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian,” adalah jihad (mis. jihad memerangi hawa nafsu dan memberantas kebodohan, pen blog.).  Ini juga merupakan pendapat Ibnu Ishaq dan merupakan pilihan mayoritas pakar ilmu ma’any.
(Baca artikel, TINGKATAN-TINGKATAN JIHAD).
Menurut Al-Farra’, artinya jika Beliau menyeru kalian untuk menghidupkan urusan kalian dengan cara memerangi musuh kalian.  Maksudnya, urusan mereka menjadi kuat hanya dengan cara perang dan jihad.  Jika mereka meninggalkan jihad, tentu urusan mereka akan menjadi lemah. Sehingga musuh (dengan mudah) akan melibas mereka.
Kami (Ibnu Qayyim) katakan. Memang jihad merupakan sesuatu yang paling mereka sukai di dunia, di barzakh dan Akhirat.  Ketika di dunia, kekuatan dan kemampuan mereka untuk mengalahkan musuh hanya bisa dilakukan dengan jihad.  Tentang di Alam Barzakh, Allah telah berfirman (artinya),
“Janganlah kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapatkan rezki.”  (QS. Ali-Imran;  169)
Di akhirat, maka bagian kehidupan dan kenikmatan bagi para mujahidin (pelaku jihad di jalan Allah) dan orang-orang yang mati syahid, jauh lebih besar daripada bagian orang-orang selain mereka.  Karena itu Ibnu Qutaibah berkata,  “Sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian itu adalah mati syahid.”
Menurut mufasir yang lain, artinya adalah Surga, karena Surga adalah tempat tinggal makhluk, yang di dalamnya terdapat kehidupan yang abadi dan baik.  Pendapat ini dikisahkan Abu Ali Al-Jurjany.
Yang pasti, ayat ini mencakup semua itu.  Sebab Iman, Islam, Al-Qur’an, dan Jihad dapat memberi kehidupan bagi hati dengan kehidupan yang baik, sementara (hakikat) kesempurnaan hidup hanya ada di Surga.  Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyeru kepada Iman dan juga kepada Surga.  Beliau menyeru kepada kehidupan di dunia dan Akhirat.  
Manusia dibebani dengan 2 (dua) macam kehidupan;
1.    1.  Kehidupan Fisik (jasad);  Yang dengan kehidupan ini dia bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang bermudharat, mementingkan yang bermanfaat dan meninggalkan yang bermudharat.  Selagi di dalam dirinya ada kekurangan dari kehidupan ini, maka dia akan mendapatkan penderitaan dan kelemahan, tergantung sejauh mana kekurangan itu.  Karenanya kehidupan orang yang sakit, orang yang cacat fisik, orang yang sedih, berduka, takut, miskin, dan terhina, berbeda dengan kehidupan orang-orang yang mendapat afiat dan terhindar dari semua itu.
2.   2.  Kehidupan Hati dan Roh;  Yang dengan kehidupan ini dia mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil, kesesatan dan petunjuk, (jalan) yang lurus dan yang bengkok, sehingga ia memilih yang haq dan meninggalkan kebalikannya (kebathilan).  Kehidupan ini semakin mantap karena kekuatannya dalam membedakan antara yang bermanfaat dan yang bermudharat dalam Ilmu, Kehendak, serta Amal.  Dia juga akan terbantu oleh kekuatan iman, kehendak, mencintai kebenaran, kekuatan kebencian terhadap yang bathil.  Perasaan, keunggulan, dan pertolongan yang didapatkan tergantung pada bagiannya dalam kehidupan ini.  Badan yang hidup akan merasakan sesuatu yang bermanfaat dan yang menyakitkan.  Kecenderungannya kepada yang bermanfaat dan pembelaannya dari sesuatu yang menyakitkan tentu menjadi lebih besar, tergantung pada kehidupan fisik ini.  Begitu pula yang berlaku bagi kehidupan hati.  Jika kehidupannya menyusut, maka menyusut pula kemampuannya untuk membedakan (memilah-milah), meskipun dia masih memiliki sedikit kemampuan untuk membedakan, tapi kekuatan ini tidak bisa mempengaruhinya untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang bermudharat (pahala dan dosa secara signifikan). Sebagaimana manusia pada awalnya tidak memiliki kehidupanhingga Malaikat yang menjadi utusan Allah meniupkan sebagian dari Roh (ciptaan-Nya ke dalam rahim ibunya), sehingga ia menjadi hidup berkat tiupan itu.  Selainnya, yang tidak mengalami proses ini termasuk orang-orang yang mati.  Begitu pula bagi hati dan roh, yang pada asalnya tidak memiliki kehidupan (mati)hingga Rasulullah shallallahualaihi wa sallam meniupkan (kepadanya) sebagian roh yang disampaikan Allah kepada Beliau.  Firman Allah (artinya),
“Dia menurunkan para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”  (QS. An-Nahl;  2), dan
“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hambanya.”  (QS. Al-Mukmin;  15), dan
“Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami.  Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”  (QS. Asy-Syura;  52)
Allah mengabarkan bahwa wahyu-Nya adalah roh dan cahaya.  Kehidupan dan cahaya bergantung kepada tiupan utusan dari jenis Malaikat.  Barangsiapa yang memperoleh tiupan utusan dari jenis Malaikat dan tiupan utusan dari jenis manusia (Rasullullah shallallahualaihi wa sallam), maka dia berhasil memperoleh 2 (dua) jenis kehidupan.  Siapa yang berhasil mendapat tiupan Malaikat saja tanpa tiupan Rasul, maka dia hanya mendapat satu dari dua macam kehidupan ini, dan kehilangan satu kehidupan lainnya.  
Allah menghimpun baginya cahaya dan kehidupan, sebagaimana Dia menghimpun kematian dan kegelapan bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya.  Menurut Ibnu Abbas dan semua mufasir, dulunya orang itu kafir, lalu Kami (Allah) memberinya petunjuk.
Makna firman Allah, “Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia”, mengandung beberapa arti;
1.  Dia berjalan di tengah-tengah manusia dengan cahaya, sementara mereka (manusia lainnya berjalan) dalam kegelapan.  Perumpamaan dirinya dengan mereka seperti beberapa orang yang berada dalam kegelapan malam, mereka tersesat dan tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh.  Sementara ada satu orang selain mereka yang membawa cahaya, sehingga dia berlalu di jalan itu, dapat melihat (mereka) dan dapat mengetahui hal-hal yang harus dihindarinya.
2.    Dia berjalan di tengah-tengah mereka dengan cahayanya, sementara mereka hanya mengikuti bias (sinar) dari cahaya orang itu, karena sebenarnya mereka pun membutuhkan cahaya.
3.    Dia berjalan dengan cahayanya pada Hari Kiamat di atas Ash-Shirat, ketika orang-orang musyrik dan munafik diam terpaku - dalam kegelapan syirik dan kemunafikan.

Firman Allah (artinya), “Ketahuilah bahwa, sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya,” menurut pendapat yang masyhur tentang makna ayat ini, bahwa Allah membatasi antara orang mukmin dengan kekufuran, dan antara orang kafir dengan iman, antara orang-orang yang taat kepada-Nya dengan perbuatan durhaka kepada-Nya, dan membatasi (menghalangi) orang-orang yang durhaka untuk taat kepada-Nya.  Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Jumhur (mayoritas) mufasirin.  Namun demikian, ada pendapat lain tentang makna ayat ini, bahwa Allah dekat dengan hatinya, sehingga tidak ada yang tidak diketahui-Nya, karena Allah ada di antara hamba dengan hatinya.  Pendapat ini disebutkan Al-Wahidy dan Qatadah.
Pendapat ini lebih pas untuk hubungan kalimatnya.  Sebab asal pemenuhan seruan adalah dengan hati.  Pemenuhan seruan tidak akan memberi manfaat bila cuma dengan fisik tanpa hati.  Karena Allah berada di antara hamba dengan hatinya, maka Dia mengetahui apakah hati hamba tersebut memenuhi seruan-Nya, apakah hatinya memendam hal itu atau memendam yang lain?
Sisi ketepatan pendapat pertama, bahwa jika kalian merasa berat untuk memenuhi seruan dan kalian lamban dalam memenuhinya, maka janganlah kalian merasa aman terhadap Allah yang akan membatasi antara diri kalian dengan hati kalian, sehingga setelah itu tidak ada kesempatan lagi bagi kalian, karena kalian telah mengelak untuk memenuhinya, padahal kebenaran sudah jelas baginya.  Hal ini seperti makna firman-Nya,
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya.”  (QS. Al-An’am;  110), dan
“Maka tatkala mereka berpaling (Dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.”  (Ash-Shaf;  5), dan
“Maka mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah mendustakannya.”  (QS. Al-‘Araf;  101)
Di dalam ayat ini terkandung peringatan agar tidak meninggalkan pemenuhan seruan dengan hati, meskipun ada pemenuhan dengan anggota tubuh.
Di dalam ayat ini juga terkandung rahasia lain, bahwa Allah menghimpun bagi mereka antara syariat dan perintah melaksanakan syariat, yaitu pemenuhan seruan tersebut, antara qadar dan iman kepadanya.  Seperti makna firman-Nya,
“Yaitu bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus.  Dan, kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.  (QS. At-Takwir;  81)

oOo

(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar