بسم الله الر حمان الر حيم
Kehidupan manusia di dunia ini hanya bermanfaat bila mereka memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang enggan memenuhi (menyambut) seruan tersebut, maka mereka dianggap tidak memiliki kehidupan (Hakiki), kendati ia memiliki kehidupan ala hewani.
Ada
persekutuan (persamaan yang dekat) antara dirinya dengan binatang yang paling
hina. Kehidupan yang hakiki, dan yang
paling baik adalah dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir
maupun bathin. Mereka yang melakukan
(menerapkan) hal ini adalah orang-orang yang hidup meskipun telah meninggal
dunia. Sedangkan kebalikannya adalah
orang-orang yang telah mati meskipun jasadnya masih hidup. Karena itu
orang yang paling sempurna kehidupannya, ialah yang paling sempurna memenuhi
seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, apa pun yang Beliau serukan, di sana
terkandung kehidupan (hati). Barangsiapa yang kehilangan
salah satu di antaranya, maka berarti dia telah kehilangan salah satu di antara
dua kehidupan (kehidupan hati dan jasad, atau kehidupan jasad saja). Jadi, di dalam diri seseorang terdapat
kehidupan (hati) - yang bergantung kepada sejauh mana dia memenuhi seruan Allah Suhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Menurut
Mujahid, makna firman Allah, “Kepada sesuatu yang memberi
kehidupan kepada kalian,” arti “sesuatu” di sini adalah
kebenaran. Menurut Qatadah, maksudnya adalah
Al-Qur’an, karena di dalamnya terkandung kehidupan, keyakinan, keselamatan, dan
perlindungan di dunia maupun di Akhirat.
Menurut As-Saddy, maksudnya adalah Islam, yang memberi kehidupan
kepada mereka setelah mereka “mati” dalam kekufuran. Menurut Ibnu Ishaq, Urwah Ibnu Zubair,
artinya adalah peperangan yang karenanya Allah memuliakan kalian
setelah dihinakan-Nya, yang membuat kalian kuat setelah lemah, yang membuat
kalian mampu membela diri dari musuh setelah mereka menundukkan kalian.
Semua itu
merupakan ungkapan tentang satu hakikat, yaitu melaksanakan apa yang
dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala, baik secara zhahir maupun bathin.
Menurut Al-Wahidy,
mayoritas manusia berpendapat bahwa, makna sesuatu yang memberikan kehidupan
kepada kalian,” adalah jihad (mis. jihad memerangi hawa nafsu dan memberantas kebodohan, pen blog.). Ini
juga merupakan pendapat Ibnu Ishaq dan merupakan pilihan mayoritas pakar
ilmu ma’any.
(Baca artikel, TINGKATAN-TINGKATAN JIHAD).
Menurut Al-Farra’,
artinya jika Beliau menyeru kalian untuk menghidupkan urusan kalian dengan cara
memerangi musuh kalian.
Maksudnya, urusan mereka menjadi kuat hanya dengan cara perang dan
jihad. Jika mereka meninggalkan jihad,
tentu urusan mereka akan menjadi lemah. Sehingga musuh (dengan mudah) akan
melibas mereka.
Kami (Ibnu Qayyim) katakan. Memang jihad merupakan sesuatu yang paling mereka sukai di dunia, di barzakh
dan Akhirat. Ketika di dunia, kekuatan
dan kemampuan mereka untuk mengalahkan musuh hanya bisa dilakukan dengan
jihad. Tentang di Alam Barzakh,
Allah telah berfirman (artinya),
“Janganlah
kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan
mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapatkan rezki.”
(QS. Ali-Imran; 169)
Di akhirat,
maka bagian kehidupan dan kenikmatan bagi para mujahidin (pelaku jihad di jalan
Allah) dan orang-orang yang mati syahid, jauh lebih besar daripada bagian
orang-orang selain mereka. Karena itu Ibnu
Qutaibah berkata, “Sesuatu yang memberi
kehidupan kepada kalian itu adalah mati syahid.”
Menurut
mufasir yang lain, artinya adalah Surga, karena Surga adalah tempat
tinggal makhluk, yang di dalamnya terdapat kehidupan yang abadi dan baik. Pendapat ini dikisahkan Abu Ali Al-Jurjany.
Yang pasti,
ayat ini mencakup semua itu. Sebab Iman,
Islam, Al-Qur’an, dan Jihad dapat memberi kehidupan bagi hati dengan kehidupan
yang baik, sementara (hakikat) kesempurnaan hidup hanya ada di Surga. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
menyeru kepada Iman dan juga kepada Surga.
Beliau menyeru kepada kehidupan di dunia dan Akhirat.
Manusia dibebani dengan 2 (dua) macam kehidupan;
1. 1. Kehidupan Fisik (jasad); Yang dengan kehidupan ini dia bisa mengetahui
mana yang bermanfaat dan mana yang bermudharat, mementingkan yang bermanfaat
dan meninggalkan yang bermudharat. Selagi di dalam dirinya ada kekurangan dari kehidupan ini, maka dia akan mendapatkan penderitaan dan
kelemahan, tergantung sejauh mana kekurangan itu. Karenanya kehidupan orang yang sakit, orang yang cacat fisik, orang
yang sedih, berduka, takut, miskin, dan terhina, berbeda dengan kehidupan
orang-orang yang mendapat afiat dan terhindar dari semua itu.
2. 2. Kehidupan
Hati dan Roh; Yang dengan kehidupan ini dia mampu
membedakan antara yang haq dan yang bathil, kesesatan dan petunjuk, (jalan)
yang lurus dan yang bengkok, sehingga ia memilih yang haq dan meninggalkan kebalikannya (kebathilan). Kehidupan ini semakin mantap karena
kekuatannya dalam membedakan antara yang bermanfaat dan yang bermudharat dalam Ilmu, Kehendak, serta Amal. Dia juga akan
terbantu oleh kekuatan iman, kehendak, mencintai kebenaran, kekuatan kebencian
terhadap yang bathil. Perasaan,
keunggulan, dan pertolongan yang didapatkan tergantung pada bagiannya
dalam kehidupan ini. Badan yang
hidup akan merasakan sesuatu yang bermanfaat dan yang menyakitkan. Kecenderungannya kepada yang bermanfaat dan
pembelaannya dari sesuatu yang menyakitkan tentu menjadi lebih besar, tergantung pada
kehidupan fisik ini. Begitu pula
yang berlaku bagi kehidupan hati. Jika kehidupannya
menyusut, maka menyusut pula kemampuannya untuk membedakan (memilah-milah),
meskipun dia masih memiliki sedikit kemampuan untuk membedakan, tapi kekuatan
ini tidak bisa mempengaruhinya untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana
yang bermudharat (pahala dan dosa secara signifikan). Sebagaimana manusia pada awalnya tidak
memiliki kehidupan – hingga Malaikat yang menjadi utusan Allah meniupkan
sebagian dari Roh (ciptaan-Nya ke dalam rahim ibunya), sehingga ia menjadi hidup berkat
tiupan itu. Selainnya, yang tidak
mengalami proses ini termasuk orang-orang yang mati. Begitu pula bagi hati dan roh, yang pada
asalnya tidak memiliki kehidupan (mati) – hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniupkan (kepadanya) sebagian roh yang disampaikan Allah kepada
Beliau. Firman Allah (artinya),
“Dia menurunkan para Malaikat dengan
(membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya.”
(QS. An-Nahl; 2), dan
“Yang mengutus Jibril dengan
(membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hambanya.”
(QS. Al-Mukmin;
15), dan
“Dan, demikianlah Kami wahyukan
kepadamu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan
tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu
cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami.”
(QS. Asy-Syura; 52)
Allah
mengabarkan bahwa wahyu-Nya adalah roh dan cahaya. Kehidupan dan cahaya bergantung kepada tiupan
utusan dari jenis Malaikat. Barangsiapa
yang memperoleh tiupan utusan dari jenis Malaikat dan tiupan utusan dari jenis
manusia (Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka dia berhasil
memperoleh 2 (dua) jenis kehidupan.
Siapa yang berhasil mendapat tiupan Malaikat saja tanpa tiupan Rasul, maka
dia hanya mendapat satu dari dua macam kehidupan ini, dan kehilangan satu
kehidupan lainnya.
Allah
menghimpun baginya cahaya dan kehidupan, sebagaimana Dia menghimpun kematian
dan kegelapan bagi orang yang berpaling dari kitab-Nya.
Menurut Ibnu Abbas dan semua mufasir, dulunya orang itu kafir, lalu Kami
(Allah) memberinya petunjuk.
Makna firman Allah, “Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia”, mengandung beberapa arti;
1. Dia berjalan di
tengah-tengah manusia dengan cahaya, sementara mereka (manusia lainnya berjalan) dalam
kegelapan. Perumpamaan dirinya dengan
mereka seperti beberapa orang yang berada dalam kegelapan malam, mereka tersesat
dan tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Sementara ada satu orang selain mereka yang membawa cahaya, sehingga
dia berlalu di jalan itu, dapat melihat (mereka) dan dapat mengetahui hal-hal
yang harus dihindarinya.
2. Dia berjalan
di tengah-tengah mereka dengan cahayanya, sementara mereka hanya mengikuti bias
(sinar) dari cahaya orang itu, karena sebenarnya mereka pun membutuhkan cahaya.
3. Dia
berjalan dengan cahayanya pada Hari Kiamat di atas Ash-Shirat, ketika orang-orang
musyrik dan munafik diam terpaku - dalam kegelapan syirik dan kemunafikan.
Firman
Allah (artinya), “Ketahuilah bahwa, sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dengan hatinya,” menurut pendapat yang masyhur tentang makna
ayat ini, bahwa Allah membatasi antara orang mukmin dengan kekufuran, dan
antara orang kafir dengan iman, antara orang-orang yang taat kepada-Nya dengan perbuatan
durhaka kepada-Nya, dan membatasi (menghalangi) orang-orang yang durhaka untuk
taat kepada-Nya. Ini merupakan pendapat
Ibnu Abbas dan Jumhur (mayoritas) mufasirin. Namun demikian, ada pendapat lain tentang
makna ayat ini, bahwa Allah dekat dengan hatinya, sehingga tidak ada yang tidak
diketahui-Nya, karena Allah ada di antara hamba dengan hatinya. Pendapat ini disebutkan Al-Wahidy dan Qatadah.
Pendapat
ini lebih pas untuk hubungan kalimatnya.
Sebab asal pemenuhan seruan adalah dengan hati. Pemenuhan seruan tidak akan memberi manfaat
bila cuma dengan fisik tanpa hati.
Karena Allah berada di antara hamba dengan hatinya, maka Dia mengetahui
apakah hati hamba tersebut memenuhi seruan-Nya, apakah hatinya memendam hal itu atau
memendam yang lain?
Sisi
ketepatan pendapat pertama, bahwa jika kalian merasa berat untuk memenuhi seruan
dan kalian lamban dalam memenuhinya, maka janganlah kalian merasa aman terhadap
Allah yang akan membatasi antara diri kalian dengan hati kalian, sehingga
setelah itu tidak ada kesempatan lagi bagi kalian, karena kalian telah mengelak
untuk memenuhinya, padahal kebenaran sudah jelas baginya. Hal ini seperti makna firman-Nya,
“Dan
(begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka
belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya.”
(QS. Al-An’am;
110), dan
“Maka
tatkala mereka berpaling (Dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.”
(QS. Ash-Shaf;
5), dan
“Maka
mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah
mendustakannya.”
(QS. Al-‘Araf; 101)
Di dalam ayat ini terkandung
peringatan agar tidak meninggalkan pemenuhan seruan dengan hati, meskipun ada
pemenuhan dengan anggota tubuh.
Di
dalam ayat ini juga terkandung rahasia lain, bahwa Allah menghimpun bagi mereka
antara syariat dan perintah melaksanakan syariat, yaitu pemenuhan seruan tersebut,
antara qadar dan iman kepadanya. Seperti
makna firman-Nya,
“Yaitu
bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kalian tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”
(QS. At-Takwir;
81)
oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu
Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar