بسم الله الر حمان الر حيم
Banyak manusia yang menyangka, bahwa kelapangan
hidup di dunia (kekayaan harta) merupakan bukti kemuliaan yang diberikan Allah Subahanahu
wa Ta’ala kepadanya. Dan
kesempitan hidup (kemiskinan) merupakan kehinaan dan adzab dari Allah.
Sangkaan tersebut ternyata keliru (bathil), karena
banyak dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang membuktikan, bahwa cobaan yang paling ringan yang diberikan
oleh Allah - Rabbul ‘Alamin terhadap manusia adalah kemiskinan (kekurangan harta), serta cobaan yang berkaitan dengan badan (penyakit). Sedangkan cobaan yang paling berat (besar),
adalah cobaan yang berkaitan dengan Agama, Iman, Aqidah, dan Pemahaman (keyakinan)
seseorang.
Allah Subahanhu
wa Ta’ala berfirman,
ومن اعرض عن ذكري فاءن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة اعمى
"Wa man a'radha 'an dzikriy fa inna lahu ma'iysyatan dhankaa wa nahsyuruhu yauma al-qiyaamati a'maa"
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam
keadaan buta.” (Thaha; 124)
Tidak
seorang pun dari Ahli Tafsir yang keliru menafsirkan kalimat, “fa inna lahu ma’isyatan dhanka”
/ “Maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit”, sebagai siksa kubur . Mereka menjadikan ayat ini sebagai salah
satu bukti yang menunjukkan adanya siksa kubur.
Karena itu Allah berfirman setelahnya dengan, “Dan Kami akan
menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Rabbi, kenapa Engkau menghimpun
aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu
ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu
pun dilupakan.’” (Thaha; 124-125)
Dengan
perkataan lain, kamu dibiarkan dalam adzab di tempat yang menghinakan
(Neraka). Hal ini serupa dengan makna
firman-Nya,
“Kepada
mereka ditampakkan Neraka pada pagi dan petang hari.” (Al-Mukmin;
46)
Hal ini terjadi di Alam Barzakh, sedangkan siksa berikutnya yang lebih besar terjadi pada Hari
Kiamat. Seperti makna firman-Nya,
“Dan,
pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan
kepada Malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat
keras.” (Al-Mukmin; 46)
Dan makna firman-Nya,
“Alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada)
dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawa kalian. Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan
yang sangat menghinakan, karena kalian selalu menyatakan terhadap Allah
(perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri
terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al-An’am; 93)
Perkataan
para Malaikat, “Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat
menghinakan,” maksudnya
adalah siksa Alam Barzakh yang dimulai sejak nyawa dicabut.
Siksa yang mereka
disuruh untuk merasakannya ini terjadi di Alam Barzakh. Permulaannya adalah saat kematian. Ini merupakan sambungan dari firman Allah, “seraya
memukul muka dan belakang mereka,” dari perkataan yang tidak tampak, untuk
menunjukkan perkataan yang dimaksudkan.
Dua siksaan ini terjadi pada saat kematian. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari
Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu tentang firman Allah, “Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan akhirat”, dia berkata, “Ayat ini turun
sehubungan dengan siksa kubur.” Berbagai
hadits tentang siksa kubur sangatlah banyak dan hampir tak terbilang, hingga
mencapai tingkat mutawatir.
Maksudnya,
Allah mengabarkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Nya, yaitu
petunjuk-Nya (dimana siapa yang mengikuti petunjuk itu tidak akan tersesat dan
tidak pula sengsara), maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit. Allah memberi
jaminan bagi orang-orang yang memelihara janji dengan-Nya, bahwa Dia akan
memberinya kehidupan yang baik, memberinya pahala di akhirat, sebagaimana makna
firman-Nya,
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl; 97)
Allah juga mengabarkan keberuntungan bagi orang-orang
yang berpegang pada perjanjian dengan-Nya, baik ilmu maupun amal. Keberuntungan ini ada di dunia, berupa
kehidupan yang baik (petunjuk hidup / hidayah), dan di akhirat berupa pahala yang lebih baik.
Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memiliki kehidupan yang sempit
di dunia (kesesatan), di Barzakh, dan dibiarkan dalam keadaan tersiksa di Akhirat. Firman Allah (artinya),
“Dan,
barangsiapa berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami
adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka syaithan itulah yang menjadi
teman yang senantiasa menyertainya. Dan
sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan
yang benar (lurus), dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Az-Zukhruf;
36-37)
Allah
mengabarkan, bahwa siapa yang diuji dengan syaithan yang mendampinginya dan
menyesatkannya, maka itulah yang menjadi sebab kenapa dia berpaling dan lalai dari peringatan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Sebagai hukuman dari tindakan tersebut, Allah
mendatangkan syaithan kepadanya yang senantiasa mendampinginya kemana pun dia
pergi, lalu syaithan itu menghalang-halanginya dari jalan Allah, dan juga
menghalang-halangi dari jalan keberuntungannya.
Sedangkan dia mengira, bahwa dia telah mendapat petunjuk (menempuh jalan
yang terbaik / lurus). Maka, ketika dia dipertemukan dengan rekannya itu (syaithan), dan dia telah
melihat (menyadari) kebinasaan dan kerugiannya, maka dia berkata, “Aduhai, sekiranya (jarak) antara
diriku dengan dirimu seperti jarak antara Masyriq dan Maghrib, maka syaithan
itu sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (Az-Zukhruf;
38)
Siapa pun yang berpaling dan tidak mengikuti
wahyu, yang juga disebut Dzikrullah, mengharuskannya berkata seperti itu
pada Hari Kiamat kelak.
Boleh jadi
ada yang bertanya, “Apakah orang ini memiliki alasan (“alibi”) tentang kesesatannya? Sebab dia mengira bahwa dia berada dalam petunjuk,
sebagaimana firman Allah, “Dan, mereka mengira bahwa mereka mendapat
petunjuk.” (Al-A’raf; 30)
Dapat
dijawab sebagai berikut; Tidak
ada alasan bagi orang ini dan bagi siapa pun yang seperti dia dari golongan orang-orang
yang sesat, yang sumber kesesatannya adalah berpaling dari wahyu yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dia mengira bahwa dia
telah mengikuti petunjuk. Sebab, toh dia
orang yang berbuat melampaui batas dengan tidak mengikuti (tidak menghiraukan) orang
yang menyeru kepada petunjuk. Kalaupun
dia sesat, maka kesesatannya itu bermula dari tindakannya yang melampaui
batas dan berpaling dari wahyu. Hal ini berbeda dengan orang yang kesesatannya
karena tidak mendengar Risalah, dan kelemahan dirinya untuk mendengarkan Risalah
tersebut (mis. keterbelakangan mental, pen.).
Hal tersebut berbeda hukumnya.
Ancaman yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya berlaku untuk keadaan
yang pertama. Sedangkan untuk yang kedua
(Orang yang memiliki udzur syar'i, pen.), Allah tidak mengadzab
seseorang, melainkan setelah hujjah Allah tegak pada dirinya.
Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan,
Kami tidak mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (Al-Isra’;
15), dan
“(Mereka
Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
agar supaya tidak ada (lagi) alasan bagi manusia membantah Allah setelah
diutusnya Rasul-Rasul itu.” (An-Nisa’; 165), dan
“dan,
tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri.” (Az-Zukhruf; 76), dan
“...Sebenarnya
telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu, lalu kamu mendustakannya dan
kamu menyombongkan diri, dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (Az-Zumar;
59)
Makna
selanjutnya dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas,
“Dan
Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha;
124), Al-Imam Ibnu Qayyim
mengatakan, bahwa pengumpulan pertama terjadi dari kubur kepada keadaan
tertentu, dan pengumpulan kedua, antara keadaan tertentu hingga ke
Neraka. Pada pengumpulan pertama
mereka masih dapat mendengar, melihat, mendebat, dan berbicara. Sedangkan pada pengumpulan kedua mereka
dikumpulkan dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.
Pada setiap kesempatan (momen) ada keadaan yang sesuai dengannya,
yang pasti disertai keadilan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala beserta
hikmah Yang Maha Tinggi.
Renungan;
* "Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu)." (Al-Mu'min; 55-56)
* "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir." (At-Taubah; 55)
Renungan;
* "Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu)." (Al-Mu'min; 55-56)
* "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir." (At-Taubah; 55)
oOo
(Disadur dan
diringkas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh
Muhammad Uwais An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar