Minggu, 21 April 2019

PENGHIDUPAN YANG SEMPIT BAGI ORANG YANG BERPALING DARI PERINGATAN ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم


Banyak manusia yang menyangka, bahwa kelapangan hidup di dunia (kekayaan harta) merupakan bukti kemuliaan yang diberikan Allah Subahanahu wa Ta’ala kepadanya.  Dan kesempitan hidup (kemiskinan) merupakan kehinaan dan adzab dari Allah. 
Sangkaan tersebut ternyata keliru (bathil), karena banyak dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membuktikan, bahwa cobaan yang paling ringan yang diberikan oleh Allah - Rabbul ‘Alamin terhadap manusia adalah kemiskinan (kekurangan harta), serta cobaan yang berkaitan dengan badan (penyakit).  Sedangkan cobaan yang paling berat (besar), adalah cobaan yang berkaitan dengan Agama, Iman, Aqidah, dan Pemahaman (keyakinan) seseorang.


Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman,
ومن اعرض عن ذكري فاءن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة اعمى
"Wa man a'radha 'an dzikriy fa inna lahu ma'iysyatan dhankaa wa nahsyuruhu yauma al-qiyaamati a'maa"
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”  (Thaha;  124)
Tidak seorang pun dari Ahli Tafsir yang keliru menafsirkan kalimat,  “fa inna lahu ma’isyatan dhanka”  /  “Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”, sebagai siksa kubur .  Mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu bukti yang menunjukkan adanya siksa kubur.  Karena itu Allah berfirman setelahnya dengan, “Dan Kami akan menghimpunnya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.  Dia berkata, ‘Ya Rabbi, kenapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’  Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’”  (Thaha;  124-125)
Dengan perkataan lain, kamu dibiarkan dalam adzab di tempat yang menghinakan (Neraka).  Hal ini serupa dengan makna firman-Nya,
“Kepada mereka ditampakkan Neraka pada pagi dan petang hari.”  (Al-Mukmin;  46)
Hal ini terjadi di Alam Barzakh, sedangkan siksa berikutnya yang lebih besar terjadi pada Hari Kiamat.  Seperti makna firman-Nya,
“Dan, pada hari terjadinya Kiamat.  (Dikatakan kepada Malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”  (Al-Mukmin;  46)
Dan makna firman-Nya,
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawa kalian.  Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kalian selalu menyatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”  (Al-An’am;  93)
Perkataan para Malaikat, “Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan,”  maksudnya adalah siksa Alam Barzakh yang dimulai sejak nyawa dicabut.
Siksa yang mereka disuruh untuk merasakannya ini terjadi di Alam Barzakh.  Permulaannya adalah saat kematian.  Ini merupakan sambungan dari firman Allah, “seraya memukul muka dan belakang mereka,”  dari perkataan yang tidak tampak, untuk menunjukkan perkataan yang dimaksudkan.  Dua siksaan ini terjadi pada saat kematian.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu tentang firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat”, dia berkata, “Ayat ini turun sehubungan dengan siksa kubur.”  Berbagai hadits tentang siksa kubur sangatlah banyak dan hampir tak terbilang, hingga mencapai tingkat mutawatir.
Maksudnya, Allah mengabarkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Nya, yaitu petunjuk-Nya (dimana siapa yang mengikuti petunjuk itu tidak akan tersesat dan tidak pula sengsara), maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit.  Allah memberi jaminan bagi orang-orang yang memelihara janji dengan-Nya, bahwa Dia akan memberinya kehidupan yang baik, memberinya pahala di akhirat, sebagaimana makna firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”  (An-Nahl;  97)
Allah juga mengabarkan keberuntungan bagi orang-orang yang berpegang pada  perjanjian dengan-Nya, baik ilmu maupun amal.  Keberuntungan ini ada di dunia, berupa kehidupan yang baik (petunjuk hidup / hidayah), dan di akhirat berupa pahala yang lebih baik.  Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memiliki kehidupan yang sempit di dunia (kesesatan), di Barzakh, dan dibiarkan dalam keadaan tersiksa di Akhirat.  Firman Allah (artinya),
“Dan, barangsiapa berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka syaithan itulah yang menjadi teman yang senantiasa menyertainya.  Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar (lurus), dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”  (Az-Zukhruf;  36-37)
 Allah mengabarkan, bahwa siapa yang diuji dengan syaithan yang mendampinginya dan menyesatkannya, maka itulah yang menjadi sebab kenapa dia berpaling dan lalai dari peringatan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.  Sebagai hukuman dari tindakan tersebut, Allah mendatangkan syaithan kepadanya yang senantiasa mendampinginya kemana pun dia pergi, lalu syaithan itu menghalang-halanginya dari jalan Allah, dan juga menghalang-halangi dari jalan keberuntungannya.  Sedangkan dia mengira, bahwa dia telah mendapat petunjuk (menempuh jalan yang terbaik / lurus).  Maka, ketika dia dipertemukan dengan rekannya itu (syaithan), dan dia telah melihat (menyadari) kebinasaan dan kerugiannya, maka dia berkata, “Aduhai, sekiranya (jarak) antara diriku dengan dirimu seperti jarak antara Masyriq dan Maghrib, maka syaithan itu sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).”  (Az-Zukhruf;  38)
Siapa pun yang berpaling dan tidak mengikuti wahyu, yang juga disebut Dzikrullah, mengharuskannya berkata seperti itu pada Hari Kiamat kelak.
Boleh jadi ada yang bertanya, “Apakah orang ini memiliki alasan (“alibi”) tentang kesesatannya?  Sebab dia mengira bahwa dia berada dalam petunjuk, sebagaimana firman Allah, “Dan, mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.”  (Al-A’raf;  30)
Dapat dijawab sebagai berikut;  Tidak ada alasan bagi orang ini dan bagi siapa pun yang seperti dia dari golongan orang-orang yang sesat, yang sumber kesesatannya adalah berpaling dari wahyu yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dia mengira bahwa dia telah mengikuti petunjuk.  Sebab, toh dia orang yang berbuat melampaui batas dengan tidak mengikuti (tidak menghiraukan) orang yang menyeru kepada petunjuk.  Kalaupun dia sesat, maka kesesatannya itu bermula dari tindakannya yang melampaui batas dan berpaling dari wahyu.  Hal ini berbeda dengan orang yang kesesatannya karena tidak mendengar Risalah, dan kelemahan dirinya untuk mendengarkan Risalah tersebut (mis. keterbelakangan mental, pen.).  Hal tersebut berbeda hukumnya.  Ancaman yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya berlaku untuk keadaan yang pertama.  Sedangkan untuk yang kedua (Orang yang memiliki udzur syar'i, pen.), Allah tidak mengadzab seseorang, melainkan setelah hujjah Allah tegak pada dirinya.  Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan, Kami tidak mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”  (Al-Isra’;  15), dan
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada (lagi) alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul itu.  (An-Nisa’;  165), dan
“dan, tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”  (Az-Zukhruf;  76), dan
“...Sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu, lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri, dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.”  (Az-Zumar;  59)
Makna selanjutnya dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas,
“Dan Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”  (Thaha;  124),  Al-Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa pengumpulan pertama terjadi dari kubur kepada keadaan tertentu, dan pengumpulan kedua, antara keadaan tertentu hingga ke Neraka.  Pada pengumpulan pertama mereka masih dapat mendengar, melihat, mendebat, dan berbicara.  Sedangkan pada pengumpulan kedua mereka dikumpulkan dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.  Pada setiap kesempatan (momen) ada keadaan yang sesuai dengannya, yang pasti disertai keadilan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala beserta hikmah Yang Maha Tinggi.

Renungan;
* "Apakah mereka mengira, bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?  Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (tertipu)."  (Al-Mu'min;  55-56)
* "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu.  Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia, dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir."  (At-Taubah;  55)

oOo
(Disadur dan diringkas dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar