Kamis, 11 April 2019

PERUMPAMAAN DENGAN ANJING



بسم الله الر حمان الرحيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala kadang menyerupakan orang-orang yang bodoh dan sesat dengan binatang ternak, sekali waktu dengan keledai.  Ini adalah perumpamaan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu, namun tidak memikirkan dan mengamalkannya.  Ia seperti keledai yang mengangkut barang, bahkan mereka lebih sesat daripada keledai.
Kadang juga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan anjing.  Perumpamaan tersebut adalah bagi orang-orang yang berpaling dari ilmu, dan membumi ke dalam syahwat serta hawa nafsu duniawi.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
Dan, bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.  Dan, kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, akan tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga).  Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.  Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.  (QS. Al-A’raf;  175-176)
Orang yang diberi Al-Kitab oleh Allah dan yang diberi-Nya ilmu, padahal orang lain tidak diberi-Nya, namun dia tidak mengamalkannya dan lebih suka mengikuti hawa nafsunya, lebih suka memilih kemurkaan Allah daripada ridha-Nya, lebih menyukai dunianya daripada akhiratnya, lebih menyukai makhluk daripada Khaliqdiserupakan Allah dengan anjing, binatang yang paling hina dan rendah, yang ambisinya tidak lebih dari sekedar urusan perut dan dunia, yang paling lahap dan rakus.
Orang-orang yang lebih mementingkan dunia daripada Allah dan akhirat, padahal ilmu sudah banyak diberikan Allah kepadanya, diserupakan dengan anjing saat menjulurkan lidahnya, merupakan rahasia yang sangat mengagumkan.  Keadaan yang disebutkan Allah ini, merupakan gambaran keberpalingannya dari ayat-ayat Allah, dan tindakannya yang mengikuti hawa nafsu.  Itu terjadi hanya karena keinginannya yang amat besar dan kerakusannya terhadap dunia, sehingga hatinya terputus dari Allah dan Hari Akhirat.  Dia rakus terhadap dunia seperti kerakusan anjing yang tak pernah putus saat dia dalam keadaan terguncang atau pada saat dibiarkan.  Al-Lahfu wa Al-lahtsu (kerakusan dan menjulurkan lidah) merupakan pasangan yang kembar dan mirip dalam lafazh dan maknanya.
Menurut Ibnu Juraij, anjing tidak memiliki qalbu dan perasaan.  Jika engkau menghalaunya, maka dia menjulurkan lidah, dan jika engkau membiarkannya, dia juga tetap menjulurkan lidahnya.  Dia seperti orang yang meninggalkan petunjuk yang tidak memiliki qalbu, karena qalbunya terputus.
Maksud qalbunya terputus, dia tidak memiliki qalbu yang bisa mendorongnya bersabar dan meninggalkan kebiasaan menjulurkan lidah.  Begitulah keadaan orang yang melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, yang tidak lagi memiliki qalbu yang membuatnya bersabar menghadapi dunia dan membuatnya tidak rakus terhadap dunia.  Orang yang melepaskan diri dari ayat-ayat Allah menjulurkan lidah kepada dunia, karena tidak mampu bersabar dalam menghadapinya.  Kerakusan yang selalu bergolak di dalam qalbunya, mengharuskannya untuk selalu menjulurkan lidah.
Begitulah perumpamaan tentang kerakusan yang tidak terbendung dan syahwat yang selalu menghangat di dalam hatinya, yang mengharuskan dia selalu menjulurkan lidah.  Jika engkau menghardiknya dengan peringatan dan nasihat, maka dia menjulurkan lidah.  Jika engkau membiarkannya, dia pun tetap menjulurkan lidah.
Menurut Mujahid, begitulah perumpamaan orang yang diberi Al-Kitab, namun dia tidak mengamalkannya.  Menurut Ibnu Abbas, jika engkau membebankan Al-Hikmah kepadanya, maka dia tidak mau memikulnya, dan jika engkau membiarkannya, maka dia tidak tertuntun kepada kebaikan.  Keadaan ini mirip dengan anjing.  Jika dia disodori makanan, dia menjulurkan lidah, dan jika diusir, dia pun menjulurkan lidah.
Menurut Al-Hasan, itu adalah gambaran orang munafik yang tidak memiliki keteguhan hati pada kebenaran, baik dalam keadaan diseru maupun tidak diseru, diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan, seperti anjing yang menjulurkan lidah ketika dia diusir atau dibiarkan.
Allah menjadikan anjing sebagai perumpamaan bagi orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya.  Makna firman-Nya, “Jika engkau memberinya peringatan, maka dia tetap dalam keadaan tersesat, dan jika engkau membiarkannya, dia juga tetap sesat."
Perhatikan berbagai hikmah dan makna yang terkandung di dalam perumpamaan ini.  Di antaranya;
1.       1. Firman Allah (artinya), “Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami.”  Allah mengabarkan, bahwa Dia-lah Yang memberikan ayat-ayat-Nya kepada orang itu.  Ini merupakan nikmat, dan Allah-lah Yang memberikan nikmat itu kepadanya.  Bahkan Allah mengaitkan nikmat itu kepada diri-Nya secara langsung.  Kemudian firman-Nya, “Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu.”  Artinya, dia keluar dari ayat-ayat itu sebagaimana ular yang keluar dari kulitnya yang lama (moulting) dan melepaskannya, seperti kulit yang dilepas dari daging.  Allah tidak menyatakan, “Kami membuatnya melepaskan diri dari ayat-ayat itu,”   karena orang itu sendiri yang membuat dirinya lepas dari ayat-ayat Allah dengan mengikuti hawa nafsunya.
2.       2. Firman Allah (artinya), “Lalu dia diikuti oleh syaithan,” artinya syaithan menghampiri dan menemuinya.  Dahulu dia menjaga dan memelihara ayat-ayat Alah, terhindar dari syaithan dan syaithan pun tidak mampu berbuat apa-apa terhadap dirinya kecuali hanya dengan mencuri-curi.  Tetapi ketika dia melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, maka syaithan pun dapat menerkamnya sebagaimana singa yang dapat menerkam mangsanya.  Maka, jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, yang perbuatannya berlawanan dengan ilmunya, yang mengetahui kebenaran namun melakukan hal yang bertentangan dengan kebenaran itu, seperti yang dilakukan ulama yang buruk.
3.       3. Makna firman-Nya, “Kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,”  Allah mengabarkan, bahwa ketinggian di sisi-Nya bukan sekedar dengan ilmu.  Sebab hal itu hanya dilihat dari sisi ulama, dan orang-orang yang berilmu,[1] tetapi dengan mengikuti kebenaran dan memprioritaskannya serta mencari keridhaan Allah.  Yang demikian ini termasuk orang yang paling tahu tentang orang-orang yang hidup sezaman dengannya.  Allah tidak meninggikan derajatnya dengan ilmunya.  Sebab ilmu itu tidak bermanfat baginya. 
Dengan perkataan lain, jika Kami menghendaki, niscaya Kami akan memuliakan dan meninggikan derajat mereka dengan ayat-ayat Kami - yang Kami berikan kepadanya.  Menurut Ibnu Abbas, jika Kami menghendaki, maka Kami akan meninggikannya dengan ilmunya.
Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Makna firman Allah, “Walaakinnahu akhlafa ilaa al-ardhi.”    Menurut Mujahid, artinya senang dan tenang terhadap dunia.  Menurut Muqatil, artinya ridha kepada dunia.  Menurut Abu Ubaidah, artinya ingin tetap berada di dunia.
Makna firman Allah, “Dan dia memperturutkan hawa nafsunya yang rendah.”  Menurut Al-Kalby, artinya dia mengikuti hal-hal yang rendah dan meninggalkan hal-hal yang tinggi.  Menurut Abu Rauq, artinya dia lebih suka memilih dunia daripada akhirat.  Menurut Atha’, artinya dia menghendaki dunia dan tunduk kepada syaithannya.  Menurut Ibnu Zaid, artinya hawa nafsunya beserta kaumnya, yaitu orang-orang yang memerangi Musa (‘Alaihissalam) dan para pengikutnya.
Kandungan dalam makna firman Allah, “Kalau Kami menghendaki, tentu Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu,” berarti kondisinya tidak disertai sebab-sebab yang mengharuskan peninggian derajat mereka dengan ayat-ayat-Nya, berupa mementingkan Allah dan keridhaan Allah daripada hawa nafsunya.  Tetapi nyatanya mereka lebih mementingkan dunia dan cenderung kepada dunia serta mengikuti hawa nafsunya yang rendah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berkehendak meninggikan derajatnya.

oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uways An-Nadwy)
[1]  Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini adalah ayat-ayat tentang kemanusiaan, seperti yang diisyaratkan Allah di awal firman-Nya tentang masalah ini, “Dan ( ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’  Mereka menjawab, ‘Benar, Engkau Rabb kami, kami menjadi saksi'.  (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keEsaan Allah)’, atau agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) setelah mereka.  Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’”  (QS. Al-A’raf;  172-173)
Ini merupakan ayat-ayat yang diberikan Allah kepada manusia agar mereka memikirkan dan memahami Rabb-nya, memperhatikan karunia dan nikmat-nikmat-Nya.  Orang-orang yang lalai dan mengikuti bapak-bapak mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu syaithan mengikuti mereka dan jadilah mereka termasuk orang-orang yang sesat.  Nikmat berupa pendengaran, penglihatan, dan hati itu diberikan kepada manusia, agar dia menjadi tinggi karenanya dan naik ke tingkat-tingkat kesempurnaan.  Tetapi mereka cenderung kepada kehidupan hewani di dunia, dengan kelalaian dan taqlidnya (“membeo”), sehingga dia dikalahkan oleh hawa nafsu dan syahwat.  Maka jadilah ia seperti anjing.  Hal ini dapat diketahui dari makna firman-Nya, “Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.”  (QS. Yunus;  24).  Setelah itu Allah berfirman, sebagai penghinaan bagi orang-orang yang bertaqlid (artinya), “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).  Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.”  (QS. Al-A’raf;  179)
Ayat ini secara umum meliputi setiap orang yang lalai dan melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, tidak mempergunakan pendengaran dan penglihatannya, tidak mau memikirkan kecuali diri sendiri.  Karena itu dia disebut sebagai binatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar