بسم الله الر حمان الرحيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala kadang menyerupakan orang-orang yang bodoh dan sesat dengan binatang ternak, sekali
waktu dengan keledai. Ini adalah
perumpamaan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu, namun tidak memikirkan dan
mengamalkannya. Ia seperti keledai yang
mengangkut barang, bahkan mereka lebih sesat daripada keledai.
Kadang juga Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyerupakan mereka dengan anjing.
Perumpamaan tersebut adalah bagi orang-orang yang berpaling dari ilmu,
dan membumi ke dalam syahwat serta hawa nafsu duniawi.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan,
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri
daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan, kalau Kami menghendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, akan tetapi dia cenderung kepada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya, dan jika kamu
membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada
mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf;
175-176)
Orang yang
diberi Al-Kitab oleh Allah dan yang diberi-Nya ilmu, padahal orang lain tidak
diberi-Nya, namun dia tidak mengamalkannya dan lebih suka mengikuti hawa
nafsunya, lebih suka memilih kemurkaan Allah daripada ridha-Nya, lebih menyukai
dunianya daripada akhiratnya, lebih menyukai makhluk daripada Khaliq –
diserupakan Allah dengan anjing, binatang yang paling hina dan rendah, yang
ambisinya tidak lebih dari sekedar urusan perut dan dunia, yang paling lahap dan rakus.
Orang-orang
yang lebih mementingkan dunia daripada Allah dan akhirat, padahal ilmu sudah
banyak diberikan Allah kepadanya, diserupakan dengan anjing saat menjulurkan
lidahnya, merupakan rahasia yang sangat mengagumkan. Keadaan yang disebutkan Allah ini, merupakan gambaran keberpalingannya
dari ayat-ayat Allah, dan tindakannya yang mengikuti hawa nafsu. Itu terjadi hanya karena keinginannya yang
amat besar dan kerakusannya terhadap dunia, sehingga hatinya terputus dari
Allah dan Hari Akhirat. Dia rakus
terhadap dunia seperti kerakusan anjing yang tak pernah putus saat dia dalam
keadaan terguncang atau pada saat dibiarkan.
Al-Lahfu wa Al-lahtsu (kerakusan dan menjulurkan lidah) merupakan
pasangan yang kembar dan mirip dalam lafazh dan maknanya.
Menurut
Ibnu Juraij, anjing tidak memiliki qalbu dan perasaan. Jika engkau menghalaunya, maka dia
menjulurkan lidah, dan jika engkau membiarkannya, dia juga tetap menjulurkan lidahnya. Dia seperti orang yang meninggalkan
petunjuk yang tidak memiliki qalbu, karena qalbunya terputus.
Maksud qalbunya terputus, dia tidak memiliki qalbu yang bisa mendorongnya bersabar dan
meninggalkan kebiasaan menjulurkan lidah.
Begitulah keadaan orang yang melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, yang
tidak lagi memiliki qalbu yang membuatnya bersabar menghadapi dunia dan
membuatnya tidak rakus terhadap dunia. Orang
yang melepaskan diri dari ayat-ayat Allah menjulurkan lidah kepada dunia,
karena tidak mampu bersabar dalam menghadapinya.
Kerakusan yang selalu bergolak di dalam qalbunya, mengharuskannya untuk
selalu menjulurkan lidah.
Begitulah
perumpamaan tentang kerakusan yang tidak terbendung dan syahwat yang selalu
menghangat di dalam hatinya, yang mengharuskan dia selalu menjulurkan lidah. Jika engkau menghardiknya dengan peringatan
dan nasihat, maka dia menjulurkan lidah.
Jika engkau membiarkannya, dia pun tetap menjulurkan lidah.
Menurut
Mujahid, begitulah perumpamaan orang yang diberi Al-Kitab, namun dia tidak
mengamalkannya. Menurut Ibnu Abbas,
jika engkau membebankan Al-Hikmah kepadanya, maka dia tidak mau
memikulnya, dan jika engkau membiarkannya, maka dia tidak tertuntun kepada
kebaikan. Keadaan ini mirip dengan
anjing. Jika dia disodori makanan, dia
menjulurkan lidah, dan jika diusir, dia pun menjulurkan lidah.
Menurut Al-Hasan, itu adalah gambaran orang
munafik yang tidak memiliki keteguhan hati pada kebenaran, baik dalam keadaan
diseru maupun tidak diseru, diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan,
seperti anjing yang menjulurkan lidah ketika dia diusir atau dibiarkan.
Allah
menjadikan anjing sebagai perumpamaan bagi orang yang mendustakan
ayat-ayat-Nya. Makna firman-Nya, “Jika
engkau memberinya peringatan, maka dia tetap dalam keadaan tersesat, dan jika
engkau membiarkannya, dia juga tetap sesat."
Perhatikan
berbagai hikmah dan makna yang terkandung di dalam perumpamaan ini. Di antaranya;
1. 1. Firman Allah (artinya), “Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami.” Allah
mengabarkan, bahwa Dia-lah Yang memberikan ayat-ayat-Nya kepada orang itu. Ini merupakan nikmat, dan Allah-lah
Yang memberikan nikmat itu kepadanya.
Bahkan Allah mengaitkan nikmat itu kepada diri-Nya secara langsung. Kemudian firman-Nya, “Kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu.”
Artinya, dia keluar dari ayat-ayat itu sebagaimana ular yang keluar dari
kulitnya yang lama (moulting) dan melepaskannya, seperti kulit yang dilepas dari
daging. Allah tidak menyatakan, “Kami
membuatnya melepaskan diri dari ayat-ayat itu,” karena orang itu sendiri yang membuat
dirinya lepas dari ayat-ayat Allah dengan mengikuti hawa nafsunya.
2. 2. Firman Allah (artinya), “Lalu dia diikuti
oleh syaithan,” artinya syaithan menghampiri dan menemuinya. Dahulu dia menjaga dan memelihara ayat-ayat
Alah, terhindar dari syaithan dan syaithan pun tidak mampu berbuat apa-apa terhadap
dirinya kecuali hanya dengan mencuri-curi.
Tetapi ketika dia melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, maka syaithan pun dapat menerkamnya sebagaimana singa yang dapat menerkam mangsanya. Maka, jadilah
dia termasuk orang-orang yang sesat, yang perbuatannya berlawanan dengan
ilmunya, yang mengetahui kebenaran namun melakukan hal yang bertentangan dengan
kebenaran itu, seperti yang dilakukan ulama yang buruk.
3. 3. Makna firman-Nya, “Kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,” Allah
mengabarkan, bahwa ketinggian di sisi-Nya bukan sekedar dengan ilmu. Sebab hal itu hanya dilihat dari sisi ulama, dan orang-orang yang berilmu,[1] tetapi dengan mengikuti kebenaran dan memprioritaskannya
serta mencari keridhaan Allah. Yang demikian
ini termasuk orang yang paling tahu tentang orang-orang yang hidup sezaman
dengannya. Allah
tidak meninggikan derajatnya dengan ilmunya.
Sebab ilmu itu tidak bermanfat baginya.
Dengan perkataan lain, jika Kami menghendaki, niscaya Kami akan
memuliakan dan meninggikan derajat mereka dengan ayat-ayat Kami - yang Kami berikan
kepadanya. Menurut Ibnu Abbas, jika Kami
menghendaki, maka Kami akan meninggikannya dengan ilmunya.
Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Makna firman Allah, “Walaakinnahu akhlafa ilaa al-ardhi.” Menurut Mujahid, artinya senang dan tenang
terhadap dunia. Menurut Muqatil, artinya
ridha kepada dunia. Menurut Abu Ubaidah,
artinya ingin tetap berada di dunia.
Makna firman Allah, “Dan dia memperturutkan hawa nafsunya yang
rendah.” Menurut Al-Kalby,
artinya dia mengikuti hal-hal yang rendah dan meninggalkan hal-hal yang tinggi. Menurut Abu Rauq, artinya dia lebih suka
memilih dunia daripada akhirat. Menurut
Atha’, artinya dia menghendaki dunia dan tunduk kepada syaithannya. Menurut Ibnu Zaid, artinya hawa nafsunya
beserta kaumnya, yaitu orang-orang yang memerangi Musa (‘Alaihissalam) dan
para pengikutnya.
Kandungan dalam makna firman Allah, “Kalau Kami menghendaki, tentu Kami
tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu,” berarti kondisinya tidak disertai
sebab-sebab yang mengharuskan peninggian derajat mereka dengan ayat-ayat-Nya,
berupa mementingkan Allah dan keridhaan Allah daripada hawa nafsunya. Tetapi nyatanya mereka lebih mementingkan
dunia dan cenderung kepada dunia serta mengikuti hawa nafsunya yang rendah, sehingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berkehendak meninggikan derajatnya.
oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”,
Syaikh Muhammad Uways An-Nadwy)
[1] Ayat-ayat yang menjelaskan
hal ini adalah ayat-ayat tentang kemanusiaan, seperti yang diisyaratkan Allah di
awal firman-Nya tentang masalah ini, “Dan ( ingatlah) ketika Rabb-mu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Benar, Engkau Rabb kami,
kami menjadi saksi'. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keEsaan Allah)’, atau
agar kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan
yang (datang) setelah mereka. Maka
apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat
dahulu?’” (QS. Al-A’raf; 172-173)
Ini merupakan ayat-ayat yang diberikan Allah kepada manusia agar mereka
memikirkan dan memahami Rabb-nya, memperhatikan karunia dan
nikmat-nikmat-Nya. Orang-orang yang
lalai dan mengikuti bapak-bapak mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu
syaithan mengikuti mereka dan jadilah mereka termasuk orang-orang yang sesat. Nikmat berupa pendengaran, penglihatan,
dan hati itu diberikan kepada manusia, agar dia menjadi tinggi karenanya dan
naik ke tingkat-tingkat kesempurnaan.
Tetapi mereka cenderung kepada kehidupan hewani di dunia, dengan
kelalaian dan taqlidnya (“membeo”), sehingga dia dikalahkan oleh hawa nafsu dan
syahwat. Maka jadilah ia seperti anjing.
Hal ini dapat diketahui dari makna
firman-Nya, “Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)
kepada orang-orang yang berpikir.” (QS. Yunus; 24).
Setelah itu Allah berfirman, sebagai penghinaan bagi orang-orang yang
bertaqlid (artinya), “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf; 179)
Ayat ini secara umum meliputi
setiap orang yang lalai dan melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, tidak
mempergunakan pendengaran dan penglihatannya, tidak mau memikirkan kecuali diri
sendiri. Karena itu dia disebut sebagai binatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar