Renungan
Tidak henti-hentinya musibah datang menimpa kaum muslimin. Satu musibah disusul oleh musibah yang lain. Namun, musibah yang paling mengerikan dan yang paling menakutkan adalah musibah yang menimpa agama dan keyakinan mereka. Sebab, musibah tersebut akan mengakibatkan orang tersesat di dunia, dan kelak di akhirat mendapatkan azab dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Musibah seperti tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dsb., akan berakibat hancurnya tatanan kehidupan, rusaknya lahan, dan sandang pangan. Musibah tersebut juga menyebabkan hancurnya negeri dan hilangnya tempat tinggal, bahkan berakibat hilangnya nyawa.
Berbeda halnya apabila musibah itu menimpa agama dan keyakinan. Tidak hanya rusaknya dunia semata, tetapi akibatnya juga akan merusak masa depan kita di kehidupan yang abadi dan kekal di akhirat.
Coba bandingkan antara dua jenis musibah tersebut. Mana yang lebih besar? Orang yang telah merasakan sedikit manisnya ilmu As-Sunnah (ajaran Nabi) tentu akan menjawab, musibah yang menimpa agama lebih besar.
Saudaraku…
Kita mungkin sering menemukan orang hidup dengan jasad yang sehat, tegar, segar, dan bugar. Namun, kenyataannya dia tidak berdaya dan tidak mampu menggunakannya pada ketaatan di dalam hidupnya. Dia justru tampil melakukan perusakan di muka bumi dengan berbagai jenis kemaksiatan. Itulah musibah yang menimpa agama dan keyakinan.
Banyak tempat yang dikeramatkan. Banyak pula kuburan dianggap tempat berkah untuk mengadukan segala urusan hidup. Tak sedikit juga para dukun menjadi pusat mengundi nasib. Itulah musibah yang menimpa agama dan keyakinan.
Perjudian, perampokan, pembunuhan, penjarahan, perzinaan, kezaliman, pemerasan, penipuan, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya tersebar. Ini juga karena musibah yang menimpa agama dan keyakinan.
Kesimpulannya, segala bentuk kerusakan di daratan dan di lautan adalah akibat musibah yang menimpa agama dan keyakinan manusia.
Sekali lagi, coba bandingkan antara dua jenis musibah tersebut. Bandingkan pula, mana kerusakan yang lebih menakutkan dan mengerikan? Tentu kita akan menjawab, musibah yang menimpa agama dan keyakinan.
Yang lebih menyedihkan, ketika musibah ini melanda kaum muslimin, kita tidak menemukan semangat mereka untuk mempelajari agamanya yang haq (kembali pada Kebenaran).
Banyak orang tua sudah tidak memiliki semangat beragama untuk mencari solusi dari semua musibah. Akibatnya, anak keturunannya harus menelan pahit ulah kedua orang tuanya. Di sisi lain, seruan menuju kekufuran, penyimpangan dalam agama, dan kesesatan sangatlah gencar.
Melihat fenomena seperti ini, kita hanya bisa berucap, “Allahul musta’an wa ilaihil musytaka (kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita meminta bantuan dan kepada-Nya pula kita mengeluhkan semua permasalahan).” Di sisi lain, kita berusaha melakukan yang terbaik, yaitu melindungi diri dan keluarga kita. Sebagaimana pesan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an,
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api Neraka.” (At-Tahrim; 6)
As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau,
“Wahai segenap orang yang telah dianugerahi Allah Subhanahu wa Ta’ala keimanan. Bangkitlah kalian untuk melaksanakan konsekuensi dan syarat-syarat iman tersebut. Hendaklah kalian menjaga diri dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bertobat dari segala yang menyebabkan murka dan azab-Nya. Hendaklah kalian melindungi keluarga dengan cara membimbing adab mereka, mengajari dan mendidik mereka agar mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang hamba tidaklah akan selamat kecuali dengan melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dirinya. Demikian pula menegakkan perintah-Nya terhadap siapa pun yang masuk dalam tanggungan hidupnya, seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.”
Seruan Kebatilan Sangatlah Gencar
Semua kita mengetahui, pelopor kesesatan dan penyesatan hamba adalah Iblis la’natullah. Dia tidak akan berhenti mengajak dan menarik hamba-hamba-Nya menuju langkah dan jalannya.
“Sesungguhnya setan itu musuh kalian, maka jadikanlah mereka musuh dan setan itu menyeru pengikutnya agar menjadi penduduk Neraka Sa’ir.” (Fathir: 6)
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ خَطًّا وَقَالَ: هَذَا سَبِيلُ اللهِ. ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَقَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ
“Rasululah telah menggaris satu garisan. Beliau lalu berkata, ‘Ini adalah jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Kemudian Beliau membuat garis yang banyak dari kanan dan kiri, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan-jalan, pada setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru kepadanya’.” (HR. Ahmad no. 3928, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh Albani dalam takhrij beliau terhadap kitab Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Ibnu Abil ‘Izzi)
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan para hamba-Ku dalam keadaan lurus semua. Lalu setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka. Dia mengharamkan bagi mereka apa yang Aku halalkan dan memerintah mereka untuk menyekutukan-Ku yang Aku tidak pernah menurunkan bukti (pembenaran)nya.” (HR. Muslim no. 5109)
Tidak sedikit hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memenuhi ajakan dan seruannya. Mayoritas mereka menyambutnya dan berjalan mengikuti langkah-langkahnya. Bahkan, mereka sekaligus menjadi penyeru dan pelaris dagangan Iblis di tengah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskannya melalui sabda Beliau,
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلبُ لِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصَلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab telah terpecah menjadi 72 sekte. Umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran; 72 golongan berada di dalam Neraka dan satu di dalam Surga. Itulah Al-jama’ah.
Sesungguhnya akan muncul dari umatku kaum yang dijangkiti penyakit hawa nafsu sebagaimana penyakit rabies menjangkiti seseorang. Tidak tersisa satu urat dan persendian pun melainkan akan dimasukinya.” (Shahihul Jami’ no. 2641 dari Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu)
Saudaraku…
- Coba bandingkan antara 72 golongan yang tersesat dan 1 yang selamat. Artinya, mayoritas umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kesesatan.
- Setiap muncul seruan kebatilan dan kesesatan, bahkan seruan kekafiran, selalu membawa para pengikut dan anak buah.
- Para penyeru dan para pecundang kebatilan dalam setiap masa selalu berada pada label yang paling tinggi dan dalam papan teratas.
- Kendati demikian, akan tetap ada para pejuang kebenaran serta orang-orang yang menolak ajakan dan seruan Iblis dan bala tentaranya. Jumlah mereka sangatlah sedikit.
- Mahalnya harga sebuah keselamatan dari musibah yang menimpa agama dan keyakinan. Sebab, itu terjadi dengan hidayah dan taufik Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Tanpa itu, seseorang tidak akan mampu menyelamatkan dirinya dari banyaknya seruan kesesatan dan kekufuran. Tidak mungkin pula dia bisa melepaskan diri apabila telah terjebak dalam perangkap kebatilan.
- Musuh kebenaran sepanjang masa sangatlah banyak. Karena itu, pemeluk kebenaran dituntut untuk selalu menenteng “senjata” dalam hidup. Tidak ada senjata yang paling ampuh selain ilmu agama.
Seruan menuju kebatilan dan kekufuran sedemikian gencar. Sementara itu, pertahanan kaum muslimin begitu lemah untuk menangkal ajakan mereka. Hal inilah yang mendorong kita untuk berusaha mencari jalan keselamatan dan berusaha menggabungkan diri ke dalam satu golongan yang selamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Golongan yang selamat itu adalah yang meniti jejak Rasulullah dan jalan para Sahabat Beliau dalam beragama—mengilmui dan mengamalkannya.
Perangkap-Perangkap Kebatilan
Saudaraku, kebatilan itu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang suci dan lurus. Tentu saja, kebatilan itu sejak dahulu bertentangan dengan kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mengapa kebatilan tersebut mudah diterima oleh kaum muslimin? Ada beberapa penyebab yang perlu dikoreksi dalam hal ini;
- Bisa jadi, orang tersebut jahil (bodoh). Dia tidak mengetahui tentang kebenaran agamanya. Jadi, dengan mudah dia terbelenggu oleh jejaring kesesatan tersebut.
- Pelaris kesesatan tersebut sangat licin, sehingga kaum muslimin gampang terpeleset dan terjebak di dalam pusarannya.
- Kamuflase (penyaruan) para penyeru kesesatan tersebut di hadapan kaum muslimin dengan penampilan yang sangat heroik. Karena itu, banyak kaum muslimin teperdaya padahal penyeru kesesatan tak ubahnya hewan buas yang siap menerkam mangsanya.
- Mereka membalik kenyataan sesungguhnya. Jadi, tidak mengherankan apabila kebenaran berubah menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Mereka mencitrakan ahlul haq seolah-olah tidak bisa diterima oleh fitrah kebanyakan manusia. Mereka propagandakan, bahwa kebenaran itu bertentangan dengan adat-istiadat yang berlaku, tidak bisa diterima oleh akal, serta dianggap asing dari masyarakat.
Berbicara tentang perangkap kesesatan, ahlul batil memiliki perangkap yang banyak, jitu, dan "bagus". Sebab, mereka memiliki ilmu tentang hal itu. Mereka terdidik dalam madrasah yang sangat istimewa, yaitu madrasah kedustaan, penipuan, pengaburan, dan pemutarbalikan fakta.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menjelaskan,
“Hizbiyah (fanatik kelompok / golongan tertentu) dibangun dan didirikan di atas kedustaan, penipuan, pengaburan, dan pemutarbalikkan fakta. Ahli ilmu wajib membongkar kedok mereka dan memperingatkan kaum muslimin darinya. Sungguh, hizbiyah telah merusak pemuda kaum muslimin dan menyia-nyiakan umur mereka, mencabik-cabik persatuan mereka. Akibatnya, mereka menjadi bersekte-sekte dan berkelompok-kelompok. Hizbiyah telah menyibukkan mereka dari menghadapi lawan mereka.” (Risalah An-Nushhul Amin, hlm. 19)
Berdasarkan ucapan beliau di atas, jelas bahwa ahli kebatilan memiliki ranjau yang mematikan dan perangkap yang jitu. Mereka juga mempunyai jaring yang kuat dan berbahaya. Ada empat perangkap untuk mengelabui mangsa lalu menjebaknya dalam kail maut mereka. Mereka siap berdusta kendati hukumnya haram dalam agama. Mereka menempuh jalan berdusta untuk melariskan kesesatan mereka.
Padahal kita tidak mengetahui agama membolehkan dusta kecuali pada tiga kondisi:
- Saat ingin mendamaikan dua orang yang berselisih;
- Ucapan seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya untuk menumbuhkan keridhaannya;
- Ketika dalam peperangan; sebagaimana dijelaskan oleh riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim serta selain keduanya.
Ringkasnya, mereka menempuh segala cara untuk menebar kesesatan. Itu tidak menjadi masalah bagi mereka kendati harus menempuh langkah-langkah kaum Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Atau bahkan menempuh langkah-langkah Iblis la’natullah ‘alaih.
Menempuh Langkah Jidal (Debat)
Perdebatan dalam agama ada dua macam:
Yang dibolehkan, bahkan disyariatkan.
Hal ini apabila debat tersebut dilakukan dengan niat untuk mencari kebenaran. Debat juga dilakukan dalam hal-hal yang bisa diketahui kebenarannya melalui perdebatan.
Jadi, perdebatan tersebut bukan tentang hal-hal gaib yang tidak bisa diketahui selain dengan menerima berita dari wahyu. Perdebatan bukan pula tentang hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan.
Selain itu, perdebatan tersebut harus dilakukan dengan adab yang baik.
Yang dilarang.
Debat yang dilarang ialah yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas. Contohnya, berdebat hanya untuk mempertahankan pendapat, mencari kemenangan, membuat keraguan, atau dalam urusan ghaib yang tidak bisa diketahui kebenarannya melalui perdebatan.
Salah satu langkah yang ditempuh oleh para pengusung kesesatan melariskan kesesatannya adalah melakukan perdebatan jenis yang kedua ini.
Mereka tidak segan mendatangi ahlul haq untuk mendebatnya dengan cara yang sangat licin dan licik. Mereka melakukannya untuk menebar bara kerusakan di tengah kaum muslimin. Mereka ingin memancing orang yang lemah hatinya agar terseret pada kesesatan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling sangat dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah seseorang yang sangat keras membantah (ngotot dalam berdebat).” (HR. Al-Bukhari no. 2277 dan Muslim no. 4821 dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ.
“Tidaklah satu kaum tersesat setelah mereka mendapatkan hidayah kecuali mereka diberikan ilmu debat. Kemudian beliau membacakan ayat, ‘Namun, mereka adalah kaum yang suka mendebat’.” (HR. Ibnu Majah no. 47 dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu)
Abu Bakr Muhammad bin Husain Al-Ajurri rahimahullah menjelaskan,
“Saat ahli ilmu dari kalangan tabi’in dan para imam muslimin setelahnya mendengar (nash yang menjelaskan tentang haramnya berdebat), mereka tidak melakukan hal itu dalam agama. Bahkan, mereka tidak mau berdialog dalam hal agama. Mereka memperingatkan kaum muslimin dari berdebat dan berdialog, serta memerintahkan mereka agar berpegang dengan sunnah dan apa yang telah ditempuh oleh para Sahabat. Inilah langkah ahlul haq, yaitu orang yang telah mendapatkan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Asy-Syari’ah, hlm. 61)
Muslim bin Yasar rahimahullah berkata,
“Hati-hati kalian dari berdebat. Sebab, hal itu adalah waktu kejahilan seorang alim. Dengan cara ini, setan mencari ketergelincirannya.”
Abu Qilabah rahimahullah berkata,
“Jangan kalian duduk bersama ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu). Jangan pula berdialog dengan mereka. Sebab, saya tidak merasa aman mereka mencampakkan kalian dalam kesesatan atau mengaburkan urusan agama kalian yang telah menimpa mereka.”
Mu’awaiyah bin Qurrah rahimahullah berkata,
“Berdebat dalam urusan agama akan membatalkan amalan-amalan.”
Sallam bin Abi Muthi’ rahimahullah bercerita,
“Seorang pengikut hawa nafsu berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyani, ‘Wahai Abu Bakr (kuniah Ayyub), saya mau bertanya kepadamu tentang satu kalimat.’
Ayyub berpaling dan hanya mengisyaratkan dengan tangannya, (tidak berbicara sedikit pun) walaupun setengah kalimat.”
Yahya bin Sa’id berkata,
“Umar bin Abdul ‘Aziz berucap, ‘Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai ajang perdebatan, dia akan sering berpindah (keyakinan)’.”
Hisyam bin Hassan berkata,
“Seseorang mendatangi Al-Hasan lalu berkata, ‘Wahai Abu Sa’id, kemarilah. Saya mau mendebatmu dalam urusan agama.’ Al-Hasan berkata, ‘Adapun saya telah berilmu tentang agamaku. Jika kamu tersesat, carilah agamamu’.”
Ismail bin Kharijah bercerita,
“Dua orang dari kalangan pengikut hawa nafsu menemui Muhammad bin Sirin. Mereka lalu berkata, ‘Wahai Abu Bakr, kami akan menyampaikan kepadamu satu hadits.’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’
‘Kalau begitu kami bacakan kepada Anda satu ayat dari Kitabullah?’ Beliau tetap menjawab, ‘Tidak. Menyingkirlah kalian dariku atau aku yang akan pergi’.”
Sufyan bin ‘Amr bin Qais berkata,
“Saya berkata kepada Al-Hakam, ‘Dengan apa seseorang itu cepat terjatuh dalam kubangan hawa nafsu?’
Beliau menjawab, ‘Berdebat’.” (Lihat asy-Syari’ah karya al-Imam Ajurri bab “Dzammul Jidal Wal Khushumat Fiddin”)
Saudaraku….
Apabila kita nukilkan ucapan Salafush Shalih tentang peringatan keras mereka dari berdebat dalam urusan agama, niscaya tidak akan cukup ruangan ini.
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ جُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak ditinggal mayoritasnya.”
Alhamdulillah, ahlul haq sepanjang masa tidak berhenti memperingatkan umat tentang bahaya kesesatan dan para pengusungnya.
Mereka adalah bala tentara yang dipersiapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjaga dan melindungi agama-Nya. Mereka tetap menyuarakan kebenaran, di mana pun mereka berada. Mereka juga mengingkari kebatilan bagaimanapun risikonya.
Mereka tidak gentar dan takut terhadap caci makian orang. Tidak pula mereka mundur karena banyaknya orang yang memusuhi dan menyelisihi mereka.
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
“Akan terus ada sekelompok kecil dari umatku memperjuangkan al-haq. Tidak akan membahayakan mereka, siapapun yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datang keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka tetap berada di atas kondisi itu.”
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk barisan pembela agama-Nya yang diliputi oleh berkah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan kita dalam barisan mereka yang mendapatkan jaminan Ridha dan Surga-Nya. Amin.
oOo
Disalin dengan editan dari tulisan, Ustadz Abu Usamah Abdurrahman