Sabtu, 25 Juli 2020

MENYAYANGI BINATANG


بسم الله الرحمان الرحيم
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur sedemikian rupa, dan rapi.
Hal ini karena Islam datang membawa kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta.
Di antara bentuk rahmat agama ini ialah, sejak dahulu menggariskan kepada pemeluknya agar berbuat baik dan menaruh belas kasihan terhadap binatang. Prinsip ini telah ditancapkan jauh sebelum munculnya organisasi/kelompok pecinta atau penyayang binatang (Greenpeace).
Tulisan ini, juga ditujukan (peringatan) bagi orang-orang yang suka (pernah) berbuat zhalim terhadap binatang, seperti membakar kucing hidup-hidup, memukuli hingga mati, menusuk dengan benda runcing dari dubur hingga tembus ke mulutnya, dan berbagai bentuk kezhaliman (penganiayaan) lainnya, agar segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Menyayangi binatang adalah bagian dari ajaran agama ini, sepanjang sejarah umat Islam, mereka menjaga dan menjalankan prinsip ini dengan baik. Namun, ada perbedaan yang mendasar sekali antara keumuman kelompok pecinta binatang dan kaum muslimin dalam menyayangi binatang. Kaum muslimin melakukannya karena sikap patuh terhadap perintah agama dan adanya harapan mendapatkan pahala dari menyayangi binatang serta takut terhadap azab Neraka apabila menzalimi binatang.
(Baca artikel lain, KEZHALIMAN ADALAH KEGELAPAN PADA HARI KIAMAT, dan QISHASH DI PADANG MAHSYAR DAN QANTHARAH)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (oleh Allah).” (HR. Al-Bukhari no. 6013)
Sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ
Ketika berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala keluar, tiba-tiba ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan hingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah.
Orang itu berkata, “Sungguh, anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berterima kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (apabila berbuat baik) pada binatang?” Beliau bersabda, “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Lihatlah! Betapa mendalamnya sikap belas kasihan lelaki tersebut. Ia harus bersusah payah turun ke dalam sumur, lalu mengisi sepatunya dengan air dan dibawanya dengan mulutnya. Kedua tangannya digunakan untuk naik sampai memberi minum anjing yang malang tersebut. Coba Anda perhatikan hadits ini.
Apa yang mendorongnya rela bersusah payah demi memberi minum seekor anjing?! Sesungguhnya pengalaman pahit dan kondisi sulit yang pernah dia alami mendorongnya untuk memberikan pertolongan kepada yang mengalami nasib serupa.
Oleh karena itu, di antara faedah puasa adalah menumbuhkan sikap suka berderma dan menyantuni orang yang kesulitan. Orang yang berpuasa merasakan beratnya lapar dan dahaga di siang hari, padahal di malam harinya dia makan dan minum. Lantas bagaimana kiranya orang fakir yang setiap harinya kelaparan dan kehausan?!
Saudaraku, dari hadits di atas kita menjadi tahu bahwa suatu kebaikan sekecil apa pun tidak boleh kita remehkan. Siapa tahu, satu suapan makanan yang kita berikan kepada orang yang lapar dengan ikhlas atau satu teguk air yang dengannya menjadi basah kerongkongan orang yang kehausan, ternyata diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan sebab yang ringan ini, kita diberi pahala dan diselamatkan dari siksa dan kemarahan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَرَهُۥ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (Az-Zalzalah: 7) 
Apabila orang yang berbuat baik kepada binatang mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebaliknya orang yang menzalimi binatang akan diancam dengan azab. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita disiksa karena kucing yang dikurungnya sampai mati. Dengan sebab itu dia masuk ke neraka. Dia tidak memberinya makanan dan minuman ketika mengurungnya. Dia tidak pula melepasnya sehingga kucing itu bisa memakan serangga yang ada di bumi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma)

Bimbingan Nabi untuk Memperhatikan Hak Binatang

Tiada satu kebaikan pun kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya. Demikian pula, tiada kejelekan sekecil apa pun kecuali umat telah diperingatkan darinya. Kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidaklah diutus kecuali membawa rahmat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)
Di antara nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah Nabiyurrahmah, yaitu nabi yang membawa kasih sayang. Rahmat beliau tentu tidak khusus untuk manusia, bahkan untuk alam semesta, termasuk binatang.

Hak Binatang yang Harus Diperhatikan

  1. Memperhatikan pemberian makanan

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سِرْتُمْ فِي أَرْضٍ خصْبَةٍ فَأَعْطُوا الدَّوَابَّ حَظَّهَا وَإِذَا سِرْتُمْ فَي أَرْضٍ مَجْدَبَةٍ فَانْجُوا عَلَيْهَا
“Apabila kalian melakukan perjalanan di tanah subur, berilah binatang (tunggangan) itu haknya. Apabila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus, percepatlah perjalanan.” (HR. Al-Bazzar, lihat Ash-Shahihah, no. 1357)
Hadits ini memberikan petunjuk, apabila seseorang melakukan perjalanan mengendarai binatang dan melewati tanah yang subur dan banyak rumputnya, hendaklah dia memberi hak hewan untuk makan rumput dan tetumbuhan yang ada di tempat itu. Namun, apabila yang dilewati adalah tempat yang tandus dan dia tidak membawa pakan binatang tunggangannya, pula tidak menemukan pakan di jalan, hendaklah dia mempercepat perjalanan. Dengan begitu, dia sampai di tujuan sebelum binatang itu kelelahan.
  1. Tidak memeras tenaga binatang secara berlebihan

Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiallahu anhu, dia berkata,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk ke salah satu kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia datang dan duduk dengan berlinang air mata di sisi Beliau.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapa pemilik unta ini?”
Datanglah (pemiliknya), seorang pemuda Anshar. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah saat (memperlakukan) binatang ini, padahal Allah menjadikanmu memilikinya?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud, dll., Syaikh Al-Albani menilainya sahih dalam Ash-Shahihah, no. 20)
  1. Menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih

Pisau yang tumpul dan tidak tajam akan sulit digunakan untuk menyembelih, sehingga binatang yang disembelih tersiksa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, baguskanlah dalam membunuh. Apabila kamu menyembelih, baguslah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kalian menajamkan belatinya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati.” (HR. Muslim)
Namun, janganlah seorang mengasah belatinya di hadapan binatang yang akan disembelihnya. Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menegur orang yang melakukan perbuatan demikian dengan sabda Beliau (artinya),
“Mengapa kamu tidak mengasah sebelum ini?! Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali?!” (HR. Ath-Thabari dan Al-Baihaqi. Syaikh Al-Albani menilainya sahih dalam Ash-Shahihah, no. 24)
  1. Tidak memberi cap dengan besi yang dipanaskan pada wajah binatang

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati seekor keledai yang dicap pada wajahnya. Beliau mengatakan,
لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ
“Allah melaknat orang yang memberinya cap.” (HR. Muslim)
Namun, boleh memberi cap pada binatang di selain wajah.
  1. Tidak menjadikan binatang yang hidup sebagai sasaran latihan memanah dan yang semisalnya.

Sahabat Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang memiliki roh sebagai sasaran untuk dilempar.” (Muttafaqun ‘alaih)
Inilah sekelumit dari sekian banyak petunjuk Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam. Setelah ini, apakah masih ada orang-orang nonmuslim yang mengatakan bahwa Islam menzalimi binatang?! Sungguh keji dan amat besar kedustaan yang keluar dari mulut-mulut mereka!

Praktik Salaf Umat Ini

Tidak bisa dimungkiri bahwa salaf (generasi awal) umat ini adalah orang-orang yang terdepan dalam segala kebaikan. Mereka pun paling jauh dari setiap kenistaan dan kezaliman. Ilmu yang mereka serap tidak sekadar kliping pengetahuan, tetapi dipraktikkan di alam nyata.
Ketika sahabat Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu mengetahui seseorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut, Umar sebagai penguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Beliau radhiallahu anhu menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d)
Sahabat Abud Darda radhiallahu anhu dahulu punya unta yang dipanggil Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjamnya, ia berpesan agar untanya tidak dibebani kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta). Sebab, unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu.
Ketika kematian datang menjemput Abud Darda radhiallahu 'anhu, beliau berkata, “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabb-ku. Aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.” (Lihat Ash-Shahihah, 1/67—69)

Penjelasan Ulama Fikih

Bimbingan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan contoh mulia dari salaf umat ini senantiasa membekas pada benak para ulama. Oleh karena itu, ulama fikih memberikan penjelasan hukum seputar menyayangi binatang. Jadi, perkara ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, seseorang tidak bisa berbuat kebajikan yang besar apabila yang kecil saja diabaikan.
Imam Ibnu Muflih rahimahullah dalam kitabnya al-Adab asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
ارْكَبُوا هَذِهِ الدَّوَابَّ سَالِمَةً، وَايْتَدِعُوهَا سَالِمَةً، وَلَا تَتَّخِذُوهَا كَرَاسِيَّ
“Naikilah binatang itu dalam keadaan baik. Biarkanlah ia dalam keadaan bagus. Janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll., dinilai sahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami)
Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya dalam keadaan tunggangan itu berdiri, seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun, larangan berlama-lama di atas punggung binatang ini adalah apabila tidak ada keperluan. Apabila diperlukan, seperti saat perang atau wukuf di Arafah ketika haji, tidak mengapa. (Faidhul Qadir, 1/611)
Mar’i al-Hanbali berkata,
“Pemilik binatang wajib memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya, dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Apabila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya, ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya jika binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan baginya mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai memudaratkan anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah. Diharamkan pula menyembelihnya apabila tidak untuk dimakan.”
Sebagian ahli fikih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung di rumah seseorang, pemilik rumah wajib menafkahi kucing itu karena ia tidak mampu pergi.
Ibnu As-Subki rahimahullah berkata ketika menyebutkan tukang bangunan yang biasa menembok dengan tanah dan semisalnya,
“Termasuk kewajiban tukang bangunan ialah tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya, apakah ada binatang atau tidak. Engkau sering melihat, kebanyakan pekerja bangunan itu terburu-buru menembok. Terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya. Dia membunuh binatang itu dan memasukannya ke dalam lumpur tembok. Dengan berbuat demikian, ia telah berkhianat kepada Allah dari sisi membunuh binatang ini.”
Syaikh Abu Ali bin Rahhal berkata,
Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah apabila tidak ada bentuk menyiksa, membuat lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (apabila) berada di kurungan. Sebagiannya mematuk yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.” (Lihat Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj hlm. 32—33 karya Dr. Abdul Aziz As-Sadhan)
Coba cermati ucapan Abu Ali bin Rahhal di atas. Lantas bagaimana dengan orang yang sengaja mengadu ayam jantan, benggala (domba), dan semisalnya?! Apakah tidak lebih haram?!

Binatang yang Boleh Dibunuh

Keharusan menyayangi binatang tidak berarti kita tidak boleh menyembelih binatang yang halal untuk dimakan. Sebab, agama Islam berada di tengah-tengah, antara mereka yang mengharamkan seluruh daging binatang dan yang memakan binatang apa pun, sampaipun babi.
Demikian pula dibolehkan membunuh binatang yang jahat dan banyak mengganggu orang, merusak tanaman dan memakan ternak, seperti burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, anjing hitam, dan semisalnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُهُنَّ فَاسِقٌ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحِدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Lima binatang yang semuanya jahat, (boleh) dibunuh di Tanah Haram (Tanah Suci), yaitu burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing yang suka melukai.” (HR. Al-Bukhari no. 1829)
Masih banyak lagi jenis binatang yang boleh dibunuh karena mudarat yang muncul darinya. Namun, membunuhnya juga dengan cara yang bagus. Tidak boleh dengan dibakar dengan api, dicincang, atau diikat hingga mati.
Wallahu a’lam.

oOo
Disadur dari tulisan, Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar