Kamis, 28 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-48 & 49)



 “MENGINGKARI SEBAGIAN ATAU KESELURUHAN DARI AYAT-AYAT ALLAH”
بسم الله الر حمان الر حيم

Orang-orang jahiliyah berbeda-beda dalam mendustakan ayat-ayat Allah.  Di antara mereka ada yang mendustakan sebagian ayat-ayat Allah, ada juga yang mendustakan keseluruhannya, dan tidak mau beriman kepada salah satu kitab Allah, seperti yang dilakukan kaum musyrikin.  Mereka tidak beriman kepada para Nabi, baik sebagian atau keseluruhannya.  Utamanya, bahwa mereka tidak mau mengimani kitab-kitab yang diturunkan dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

SYARAH (PENJELASAN)
Di antara mereka juga ada orang-orang yang mengimani sebagian ayat-ayat Allah, dan mengkufuri sebagian lainnya.  Padahal yang demikian itu sama saja seperti mendustakan ayat-ayat Allah secara keseluruhan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
افتء منو ن ببعض الكتاب وتكفرون ببعض  فماجزاء من يفعل ذ لك منكم الا خزي في الحياة الدنيا  / “Afatuk minuuna biba’dhi al-kitaabi watakfuruuna biba’dh  famaa jazaau man yaf’alu dzaalika minkum illa khizyun fii al-hayati ad-dunya...”   
“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?  Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.”  (Al-Baqarah;  85)
Mereka tidak mau beriman kecuali pada apa yang mencocoki hawa nafsu mereka.  Dan semua yang menyelisihi hawa nafsu – mereka dustakan.  Oleh karena itu, tidaklah bermanfaat keimanan kepada sebagian kitab itu - bila mengingkari sebagian yang lainnya, meskipun Cuma 1 (satu) ayat atau 1 (satu) kata dari Al-Qur'an.  Perbuatan seperti ini tidak akan memberi manfaat kepada mereka sedikitpun.
Orang-orang jahiliyah mengatakan (sebagaimana dalam firman-Nya),
ما انزل الله على بشر من شيء   / “Maa anzala Allahu ‘alaa basyarin min syai’in”
“Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.”  
(QS. Al-An’am;  91)
Maksudnya;  Mereka mengingkari Risalah secara keseluruhan dan mengingkari wahyu secara total.
Adapun yang mendorong mereka untuk mengucapkan perkataan tersebut adalah, karena hasad (dengki) kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu membantah mereka dengan firman-Nya,
قل من انزل الكتاب الذي جاءبه  موسى نورا وهدى للناس
“Qul man anzala al-kitaaba alladzii jaa abihi muusa nuuran wa hudaa linnaasi” 
“Katakanlah, ‘Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’”  
(QS. Al-An’am;  91)
Maksudnya; Selama ini kalian mengatakan, bahwa kitab yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihissalam adalah dari sisi Allah, dan Musa ‘alaihissalam seorang manusia.  Maka, mengapa kalian mengatakan (sebagaimana di dalam surat Al-An’am; 91), “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia?!”
Ini adalah sikap Tanaqudh (penentangan) dari kaum Yahudi, semoga Allah melaknat mereka.  Dengan didorong oleh sifat hasad (dengki), mereka mendustakan para Rasul dan kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka secara keseluruhan, karena (datangnya) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunnya Al-Qur’an.  Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kebaikan.
Perhatikan apa yang diperbuat oleh orang-orang yang memiliki sifat hasad tersebut.  Contohnya adalah ucapan golongan Jahmiyyah.  Mereka mengatakan, “Al-Qur’an itu tidak diturunkan dari sisi Allah.”  Dan ucapan seseorang yang mengatakan, “Sunnah itu bukan wahyu dari Allah, akan tetapi hanyalah Ijtihaj dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!

Di antara mereka juga ada yang mengatakan, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah makhluk, baik lafazh maupun maknanya.”  Atau, “Sesungguhnya lafazh-lafazhnya adalah makhluk, dan maknanya bukan makhluk.”  Dan ini juga merupakan perkataan kelompok Asya’rah (Asy’ariyyah), ini adalah perkataan yang mendustakan Al-Qur'an.  Maka, barangsiapa yang mengatakan, “Bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk, baik lafazh maupun maknanya, sebagaimana yang dikatakan kelompok Jahmiyyah, atau ia mengatakan, “Sesungguhnya lafazhnya adalah makhluk, sedangkan maknanya dari Allah”, ini juga termasuk perbuatan Kufur.
Pelakunya mungkin seorang muqalid (mengikuti sesuatu tanpa dalil) atau mungkin ahli takwil (memalingkan makna dari yang semestinya), sehingga ia menjadi sesat.  Karena Al-Qur'an adalah kalamullah (Perkataan Allah Jallaa Jalaluhu), baik lafazh maupun maknanya, semuanya adalah Perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Firman Allah bukanlah susunan huruf tanpa makna, dan bukan pula makna tanpa susunan huruf-huruf.

Catatan Penulis Blog;
Hari ini kita mendengar dan menyaksikan orang yang mengatakan, bahwa kitab suci itu adalah fiksi (khalayalan / rekaan / tidak berdasarkan kenyataan / dongeng), bukan merupakan firman (perkataan) Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Orang seperti ini telah mewarisi 100 % sifat-sifat jahiliyah tempo dulu.  Di samping hal tersebut juga merupakan taktik / strategi Dajjal (nanti) untuk menyeret manusia sebanyak-banyaknya ke Neraka Jahannam. 

oOo
(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-47)



بسم الله الر حمان الر حيم

“MENGKUFURI NIKMAT ALLAH”

Orang-orang jahiliyah menyandarkan kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka kepada selain-Nya.  Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يعر فون نعمة الله ثم ينكرونها   / “Ya’rifuuna ni’matallahi tsumma yunkiruu naha”  / “Mereka mengetahui nikmat-nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya”  
(QS. An-Nahl;  83)

SYARAH (PENJELASAN)
Menyandarkan kenikmatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perbuatan Syirik kepada-Nya.  Perbuatan ini merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka (artinya),
“Mereka mengetahui nikmat-nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”  
(QS. An’Nahl;  83)
Berkaitan dengan tafsir ayat di atas, maka ada dua pendapat di kalangan ‘ulama;
Pendapat pertama;
Orang-orang jahiliyah tersebut mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Risalah (yang Beliau bawa), kemudian mereka mengingkarinya, menentangnya dan sombong terhadapnya.  Padahal di dalam lubuk hati mereka mengetahui bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Sesungguhnya Kami mengetahui, bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”  
(QS. Al-An’am;  33)
Mereka mengetahui kenikmatan Allah, dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kenikmatan terbesar bagi manusia (penduduk bumi).  Akan tetapi mereka mengingkari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menentang Beliau (Risalahnya).  Ini adalah pendapat pertama dari tafsir ayat di atas.
Pendapat kedua;
Orang-orang jahiiyah mengetahui kenikmatan Allah atas mereka yang telah disebutkan dalam surat An-Nahl di atas, akan tetapi mereka mengingkarinya.  Mereka menyandarkan (nikmat-nikmat tersebut) kepada selain Allah.  Yakni menyandarkan kepada kemampuan, kekuatan, jerih-payah, dan hasil usaha mereka sendiri, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Qarun;
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.”  
(QS. Al-Qashash;  78)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, bahwa manusia apabila telah diberi oleh Allah suatu kenikmatan, maka ia berkata, “Ini dari (usaha)ku.”  Maksudnya, “Aku memang berhak mendapatkannya dan aku yang diberi hak dengannya, bukan milik Allah.”  Dia telah menyandarkan kebaikan yang dia peroleh kepada dirinya sendiri, dan tidak mengatakan, “Ini adalah karena keutamaan dan kasih sayang Allah.”

oOo

(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzaan bin Abdullah Fauzan)

Selasa, 26 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-43)

بسم الله الر حمان الر حيم

"PENENTANGAN MEREKA TERHADAP TAKDIR ALLAH"

(Temasuk perkara jahiliyah) adalah menentang takdir Allah (karena tidak sesuai dengan akal, selera, dan hawa nafsu mereka, pen blog.)

SYARAH (PENJELASAN)
Al-Qadar (takdir) adalah Ilmu Allah dan Ketentuan-Nya terhadap segala sesuatu sebelum terjadinya, yang telah tertulis di Lauhul Mahfuzh, kemudian Allah menciptakan (mewujudkannya) untuk-Nya.  Beriman kepada takdir merupakan salah satu dari Rukun Iman yang 6 (enam).  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Iman itu adalah, kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta kamu beriman kepada Takdir yang baik dan Takdir yang buruk.”  
(HR.  Al-Bukhari)
Dan Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,
انا كل شيء خلقناه بقد ر  / “innaa kullaa syaiin khalaqnaahu biqadarin” / “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdirnya).”  (Al-Qamar;  49)
Takdir itu merupakan PERBUATAN Allah Subahanahu wa Ta’ala.  Tidak ada sesuatu pun yang terjadi - kecuali perkara itu telah ditakdirkan, dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Yang demikian itu karena Allah telah mengetahui apa-apa yang telah, dan akan terjadi dengan Ilmu-Nya yang Azali yang tersifati dengan-Nya semenjak dahulu kala dan abadi.  Kemudian Allah menulis hal tersebut di Lauhul Mahfuzh.  Sebagaimana makna firman-Nya,
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  
(QS. Al-Hadid;  22)
ان نبر اها  / ”An nabra-ahaa” maksudnya, “Kamilah yang menciptakannya.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda (artinya),
“Dan ketahuilah (Ilmui-lah), bahwa apa saja yang menimpamu tidak akan luput (meleset) darimu, dan apa saja yang luput (meleset) darimu tidak akan menimpamu.”  
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah), dan makna sabda Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya,
“Pena telah diangkat, dan lembaran telah kering.”  (HR. Ahmad)[1]
Tidaklah sesuatu akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dan tidak pula sesuatu itu akan ada, kecuali Allah-lah sebagai Penciptanya.  Seperti makna firman-Nya,
“Allah Pencipta segala sesuatu.”  
(QS. Az-Zumar;  62)
Allah-lah Yang telah menciptakan kebaikan dan keburukan (kejahatan), dan Dia pula Yang telah menentukan (kadar, dan macam-ragam, pen.) kebaikan dan keburukan (kejahatan) tersebut.
Adapun beriman kepada takdir Allah maksudnya adalah;
1.       1. Beriman bahwasanya Allah adalah Dzat Yang telah Mengetahui segala sesuatu.
2.       2. Bahwa Allah telah Menulis segala sesuatu di dalam Lauhul Mahfuzh.
3.       3. Beriman bahwa Allah telah Menghendaki segala sesuatu yang terjadi di Alam Semesta ini.  Tidaklah terjadi sesuatu melainkan atas Kehendak-Nya.
4.       4. Beriman bahwa Allah adalah Pencipta dan  Pemelihara segala sesuatu tersebut.
Demikianlah penjelasan beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang jahiliyah dahulu mengingkari takdir, dan dalil mengenai hal tersebut terdapat pada 3 (tiga) ayat di dalam Al-Qur’an (artinya),
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-Nya, dan tidak pula kami akan mengharamkan barang sesuatu pun.’”  
(QS. Al-An’am;  148), dan
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami akan mengharamkan sesuatu apa pun tanpa (idzin)-Nya.’”  (QS. An-Nahl;  35), dan
“Dan mereka berkata, ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (Malaikat)’”  
(QS. Az-Zukhruf;  20)
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat-ayat di atas;
Pendapat pertama;
Adapun maksud ucapan mereka,  لوشء الله / “Lau syaa Allahu” / “Jika Allah menghendaki”   (Al-An’am;  148), adalah untuk menafikan (menolak) keberadaan takdir.  Mereka berkata, “Kalau memang Allah berkehendak, pasti Dia tidak akan membiarkan kami melakukan perbuatan-perbuatan (syirik) tersebut.”
Tujuan mereka mengucapkan perkataan tersebut adalah untuk meniadakan (menepis) takdir.  Padahal mereka sendirilah yang melakukan perbuatan (amalan syirik) tersebut, tanpa ada kaitannya dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Mereka telah meniadakan takdir, dan menyandarkan perbuatan itu kepada diri dan kebebasan mereka untuk berbuat.  Maka, jadilah pemikiran ini sejalan dengan pemikiran madzhab Mu’tazilah dengan sempurna.  Sebab mereka telah mengatakan, “Allah tidak menghendaki - baik dalam hal kekufuran, keimanan, kebaikan, dan kejahatan. Ini semua hanyalah perbuatan hamba (murni, pen.).”  Oleh karena itu, perkataan dan pemikiran Mu’tazilah sama seperti perkataan orang-orang jahiliyah dalam hal itu.

Pendapat kedua;
Bahwa yang dimaukan oleh ucapan mereka,  لوشاء الله ما اشر كنا  /  “Lausyaa Allahu maa asyraknaa”  /  “Jika Allah menghendaki niscaya kami tidak akan mempersekutukan-Nya”  (Al-An’am;  148) adalah, “Sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu meridhai perbuatan kami ini.  Seandainya Dia tidak meridhainya, niscaya Dia tidak akan membiarkan kami mengamalkan perbuatan (syirik) tersebut.
“Dengan pernyataan ini, maka mereka (merasa, pen.) telah mengimani takdir.  Akan tetapi mereka berhujjah dengannya untuk “melegalkan” kekufuran mereka.  Bahkan yang lebih parah lagi, mereka sampai mengatakan, “Sesungguhnya (perbuatan kami) tersebut dalam rangka taat kepada Allah.  Karena Allah telah menghendaki (hal itu terjadi), sehingga kami menaati kehendak-Nya dan takdir-Nya.”
Berkaitan dengan pendapat yang kedua ini – yaitu berhujjah dengan takdir untuk melegitimasi perbuatan yang jelek, dan Allah telah menghendaki perbuatan tersebut, maka ini adalah pemahaman Jabariyah.  Yaitu ketika mereka menetapkan takdir, dan berhujjah dengannya untuk menganggap baik perbuatan mereka yang jelek, dan mereka mengatakan, “Bahwa seseorang itu dipaksa (oleh Allah, pen.) melakukan perbuatannya,” maka mereka adalah pewaris (perilaku) orang-orang jahiliyah dalam perkara tersebut.
Dengan demikian ayat tersebut menunjuk kepada salah satu dari dua makna ini, baik meniadakan takdir maupun menetapkan takdir, dan menjadikannya sebagai hujjah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Allah kemudian membantah pemahaman kelompok pertama dengan firman-Nya,
قل هل عند كم من علم فتخرجوه لنا  / “Qul hal ‘indakum min ‘ilmin fatukhrijuuhulanaa” / “Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat mengemukakannya kepada Kami?”  (Al-An’am;  148)
Maksudnya;  “Apa hujjah atas ucapan ini, bahwa Allah tidak menghendaki kekufuran tersebut?”
 Adapun bila berdasarkan tafsir yang kedua (maka kita katakan), “Apa hujjahnya bahwa Allah meridhai kekafiran, kesyirikan, dan kekejian kalian ini?  Apa dalil kalian bahwa Allah meridhainya?  Mana dalilnya?  Padahal Allah berfirman (artinya),
“Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?  Kamu tidak mengikuti kecuali prasangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.’  Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;  Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya.’”  (QS. Al-An’am;  148-149)
Allah Jallaa Jalaluhu memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki, berdasarkan hikmah-Nya.  Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkan hidayah, dan juga Maha mengetahui siapa yang tidak berhak mendapatkan hidayah.  Dan tidaklah Dia meletakkan hidayah kecuali pada tempat yang benar lagi layak.
Bantahan lainnya terhadap mereka adalah, jika Allah meridhai perbuatan mereka, mengapa Allah mengutus para Rasul untuk mengingkari kesyirikan dan memerintahkan kepada Tauhid.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.”  
(QS. An-Nahl;  36)
Seandainya Allah meridhai peribadatan kepada thaghut, dan meridhai kekufuran serta kesyirikan (menurut sangkaan mereka), mengapa Allah mengutus para Rasul dan melarang dari perbuatan tersebut.  Maka hal ini (Pengutusan para Rasul) menunjukkan bukti, bahwa Allah tidak meridhai kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan, serta berbagai macam penyimpangan (kesesatan), bahkan Allah membenci dan mengingkarinya.
Demikian pula dalam surat Az-Zukhruf Allah membantah mereka,
ما لهم بذا لك من علم ان هم الا يخرصون  /  “Maa lahum bidzaalika min ‘ilmin inhum illaa yakhrushuuna”  / “Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.”  (QS. Az-Zukhruf;  20)
Dan makna dari firman Allah,
“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?”  (QS. Al-An’am;  148)
Mereka membuat kebohongan atas Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada perkara yang mereka tidak mengetahuinya.  Perkara-perkara ini tidak dibenarkan membicarakannya kecuali dengan dalil dari Allah, dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyandarkannya kepada akal, pemikiran dan pendapat (manusia).

oOo

(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan  bin Abdullah Al-Fauzan)

[1]  Bagian dari hadits yang berisi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kaliamat...”  Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/293), dishahihkan Asy-Syaikh Ahmad Syakir (no. 2669), dan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no.  7957).

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-37)



بسم الله الر حمان الر حيم

"MENJADIKAN ULAMA DAN AHLI IBADAH SEBAGAI SESEMBAHAN SELAIN ALLAH"

Di dalam beribadah, mereka menjadikan ahli ibadah dan para ulama mereka sebagai sesembahan selain Alah ‘Azza wa Jalla.

SYARAH (PENJELASAN)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اتخذوا احبا رهم ورهبانهم اربابا من د ون الله والمسيح ابن مر يم وما امروا الا ليعبد وا الها وا حدا
“Ittakhadzuu ahbaarahum wa ruhbaanahum arbaaban min duunillah wal masiihabnamaryama wamaa umiruu illa liya’buduu ilahau waahida” 
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam.  Padahal mereka hanya disuruh menyembah TuhanYang Maha Esa.”  (At-Taubah; 31)
Al-Ahbaar adalah para ulama, sedangkan Ar-Ruhbaan adalah para ahli ibadah.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani di dalam beribadah kepada Allah, mereka mengikuti ulama dan ahli ibadah  dalam memaksiati Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Yakni ketika ulama dan ahli ibadah mereka mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan, dan menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan, lalu mereka mentaatinya dan menganggapnya sebagai suatu ibadah, serta mereka mengatakan, “Taat kepada ulama itu wajib.”
Maka kita katakan kepada mereka, “Taat kepada mereka itu wajib bila mereka mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Adapun bagi orang-orang yang menyelisihi ketaatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepadanya.”
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al-Khaliq (Allah).”  (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Meskipun mereka itu ulama atau ahli ibadah dari manusia yang paling zuhud sekalipun, selama mereka tidak berada di atas kebenaran, maka tidak dihalalkan bagi kita untuk mengikuti mereka.  Dan barangsiapa yang mengikuti mereka dan mengetahui bahwa mereka itu telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sesembahan selain Allah. Yakni menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala (perbuatan Syirik).
Karena penghalalan dan pengharaman itu adalah (mutlak) hak Allah Jallaa Jalaluhu.  Tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menghalalkan, mengharamkan, dan mensyariatkan sesuatu kecuali dengan dalil dari Al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Perhatikan makna firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.  Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.  (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.”  (An-Nahl;  116-117)
Sehingga dengan demikian, kita tidak diperbolehkan untuk menaati ulama secara mutlak dalam keadaan mereka benar atau salah.  Akan tetapi, kita mengikuti mereka jika mereka benar, dan kita menjauhi kesalahan mereka jika mereka terjatuh dalam kesalahan.  Dengan demikian kita menaati orang-orang yang menaati Allah, dan kita memaksiati orang-orang yang telah memaksiati Allah.  Dan kita juga menyelisihi kesalahan orang-orang yang terjerumus ke dalam kesalahan.  Inilah Agama yang benar.
Adapun jika engkau tidak mengetahui bahwa ulama tersebut telah terjatuh dalam kesalahan, maka engkau mempunyai udzur dalam hal ini.  Dan apabila ada orang yang mengatakan, “Apabila dia jatuh dalam kesalahan, maka kesalahannya itu kembali kepadanya.”  Maka kita katakan, “Tidak boleh dikatakan demikian.  Dan hal ini tidak akan memberimu manfaat pada Hari Kiamat.  Mereka menanggung dosanya sendiri, dan engkau pun juga demikian.”
Dan sebuah fatwa, tidak dapat dipegangi kecuali jika dibangun di atas dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Maka barangsiapa mengetahui bahwa fatwa tersebut tidak di atas (berdasarkan) dalil, sesungguhnya diharamkan baginya untuk mengambil fatwa tersebut.  Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka orang ini ma’dzur (diberi udzur).  Akan tetapi wajib baginya berhati-hati dan tatsabut (mencari kejelasan terlebih dahulu sebelum mengambil fatwa tersebut, apakah fatwa tersebut dibangun di atas dalil atau tidak).

Catatan Penulis Blog;
Pada hari ini, kita menyaksikan dan mendengar langsung banyak orang-orang yang "mengaku ulama"  mengajak kaum muslimin untuk bersatu - melakukan demonstrasi terhadap Pemerintah Muslim.  Maka, bagi orang-orang yang beriman dan yakin kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya tentu tidak akan mau menyambut seruan tersebut, karena bertentangan dengan Perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah Rasul-Nya (tidak berlandaskan kepada dalil yang shahih, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).
Hanya Allah-lah pemberi Taufiq.

oOo
(Disadur dari kitab, "Perilaku dan Akhlak Jahiliyah", Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Rabu, 20 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-30)




"LEBIH MENGUTAMAKAN PERPECAHAN DAN MENINGGALKAN PERSATUAN"

بسم الله الر حمان الر حيم

Dan di antara (bukti) keajaiban ayat-ayat Allah adalah, orang-orang jahiliyah meninggalkan wasiat Allah untuk bersatu, dan melanggar perkara yang di larang yaitu perpecahan.  Sehingga jadilah setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada diri mereka masing-masing.

SYARAH (PENJELASAN)
Di antara keajaiban ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwasanya ketika mereka meninggalkan perintah untuk bersatu di atas kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, Syari’at-Nya yang diturunkan kepada Rasul - dan berpegang teguh dengannya, Allah timpakan kepada mereka perpecahan dan pertikaian, serta berbangga dengan keadaan mereka yang berada di atas kebathilan.
Ini adalah siksaan buat mereka.  Sebab, ketika manusia bangga dengan kebathilan, maka dia tidak akan meninggalkannya.  Adapun bila dia tidak merasa bangga dengan kebathilan tersebut dan ada perasaan ragu padanya, maka hal tersebut akan sangat membuka peluang untuk bertaubat dan kembali kepada Allah (Inabah).
Akan tetapi jika dia merasa aman dan tenteram, bahkan bangga dengan kebathilan tersebut, maka orang seperti ini tidak akan dapat keluar dari kebathilan tersebut.  Karena hal itu merupakan salah satu bentuk siksaan dari Allah ’Azza wa Jalla.  Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan kebenaran, niscaya dia (pasti) akan ditimpa kebathilan.  Dan barangsiapa yang meninggalkan persatuan, niscaya (pasti) Allah akan mengujinya dengan perpecahan, pertikaian, permusuhan, dan peperangan.  Maka, tidaklah engkau akan mendapati (menemukan) manusia yang berselisih di antara mereka dalam perkara Agama dan Dunia, kecuali engkau akan menjumpai di antara mereka kebencian dan permusuhan, bahkan tidak jarang terjadi peperangan di antara mereka.  Dan engkau tidak akan menjumpai orang-orang yang berpegang teguh (bersatu) di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, kecuali engkau akan mendapati mereka saling berkasih - sayang, saling bekerjasama dan tolong menolong di antara mereka, seakan-akan mereka bagaikan satu jasad.  Maka tidak akan ada penjagaan (dari Allah), kecuali bila bersatu di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.  Dan tidak akan ada persatuan kecuali dengan mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.  Sedangkan dengan selain itu, maka sesungguhnya itu merupakan perpecahan (furqah) dan adzab.
Adapun orang-orang yang menginginkan persatuan kaum muslimin – sebagaimana yang mereka “koar-koarkan” (orang-orang yang menamakan diri "Alumni Kelompok 212", dan para pemerhati mereka), maka kita katakan kepada mereka, “Apabila kalian benar-benar menginginkan persatuan kaum muslimin, maka persatukanlah Aqidah mereka.  Sehingga mereka semua berada di atas aqidah Tauhid yang benar - yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
{Karena, tidaklah mungkin dapat mempersatukan ummat Islam kecuali di atas Aqidah Tauhid yang benar (lurus).  Inilah hakikat Persatuan - Kesatuan ummat Islam yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Sunnatullah), tidak sekedar bersatunya fisik (jasad) - tetapi dengan pemahaman (aqidah) yang berbeda-beda / pecah.  Persatuan yang demikian adalah persatuan yang "semu" (pen.)}   
(Baca artikel, HAKIKAT TAUHID, dan TAUHIDULLAH)
Janganlah kalian biarkan manusia (tanpa meluruskan aqidahnya terlebih dahulu), sebab di antara mereka ada yang beraqidah quburiyah (penyembah kubur), Sufiyah, Syi’ah, dan lain-lain (72 kelompok yang menyimpang / sempalan Islam).
Yang pertama (yang wajib kalian lakukan) adalah:  Berpeganglah dengan kalimat  لااله الا الله  “Laa Ilaha illallah”  /  “Tiada Ilah (Dzat yang diibadahi) dengan haq kecuali Allah”.  Kemudian satukanlah hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah Suhanahu wa Ta’ala.  Kembalilah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jika kalian benar-benar menginginkan persatuan dan kesatuan kaum muslimin.  Kaum muslimin tidak akan pernah bersatu, kecuali dengan persatuan di dalam aqidah, dan persatuan di dalam marja’, yaitu berhukum dengan apa yang di turunkan Allah dalam satu kesatuan dan ikatan.  Dan hal itu akan bisa terealisasi dengan mendengar dan ta’at kepada Pemerintah kaum muslimin, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian atas 3 (tiga) perkara, yaitu;  Hendaklah kalian menyembah-Nya (saja) dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan hendaknya kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah kalian berpecah-belah, serta hendaknya kalian saling menasihati kepada orang yang Allah telah serahkan urusan kalian kepada mereka (yakni Pemerintah, pent.)  (HR.  Muslim no 1715)

oOo
(Disadur bebas dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-28)



"MENOLAK KEBENARAN YANG DATANG DARI KELOMPOK LAIN"

بسم الله الر حمان الر حسم


Orang-orang Jahiliyah (terutama orang-orang Yahudi), tidak mau menerima kebenaran kecuali yang datang dari kelompok mereka.  Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
. . . قالوا نوءمن بما انزل علينا . . . / “Qaaluu nukminu bimaa unzila ‘alaina” / “Mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang telah diturunkan kepada kami.’ 
(QS. Al-Baqarah;  91)

SYARAH (PENJELASAN)
Apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang Yahudi), “Berimanlah pada apa yang telah Allah turunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni Al-Qur’an).”
Mereka berkata,  قالوا نوءمن بما انزل علينا / “Qaaluu nukminu bimaa unzila ‘alaina” / “Mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang telah diturunkan kepada kami’  
(QS. Al-Baqarah;  91), maksudnya; “Kami hanya beriman kepada Taurat yang diturunkan kepada Musa ‘alaihissalam (saja).”
. . . ويكفرون بما وراءه . . . / “Wayakhfuruuna bimaa waraa ahu” / “Dan mereka mengingkari terhadap apa yang ada di belakangnya.”  Maksudnya;  Mereka mengingkari Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
. . .  وهو الحق مصدقا لما معهم  . . ./ “Wahuwa al-haqqu mushaddiqan limaa ma’ahum” / “Padahal itu adalah (Dua Kitab) yang haq; yang membenarkan apa yang ada pada mereka (Taurat).”  
(QS. Al-Baqarah;  91), maksudnya; Injil dan Al-Qur’an, keduanya adalah kitab yang membenarkan apa-apa yang ada di dalam Taurat.
Dan (di dalam ayat di atas) Allah membantah mereka.  (Maka kita katakan kepada mereka), “Jika kalian benar-benar mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada Musa ‘alaihissalam, maka kenapa kalian membunuh para Nabi?  Apakah yang diturunkan kepada Musa (terdapat perintah) untuk membunuh para Nabi?
Yaitu ketika mereka membunuh Nabi Zakarya, dan Nabi Yahya, serta berambisi (sangat) untuk membunuh Nabi Isa ‘alaihissalam.  Akan tetapi Allah mengangkat Isa ke langit dan menjaganya dari gangguan mereka.  Mereka pun juga berambisi untuk Membunuh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Semangat mereka tidak lain hanyalah membunuh para Nabi.  Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Apakah setiap datang kepada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian  lalu kalian angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka / Nabi) kalian dustakan, dan beberapa orang (yang lainnya) kalian bunuh?  
(QS. Al-Baqarah;  87)
Sebagian para Rasul mereka dustakan, dan sebagian lain mereka bunuh, mengapa demikian?  Karena apa yang dibawa Nabi itu kepada mereka, tidak sesuai dengan selera dan hawa nafsu mereka.  Maka bagaimana mereka bisa mengatakan, “Kami (hanya) beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami?”  Mana bukti pernyataan iman kalian, (sehubungan) dengan apa yang telah diturunkan kepada kalian?
Demikian juga mengenai penjelasan tentang risalah dan sifat-sifat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Taurat.  Mengapa mereka tidak mau beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?  Padahal beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk (bagian) dari apa yang telah di turunkan kepada mereka (ada di dalam Taurat).
Demikian juga mengenai penjelasan tentang risalah, dan sifat-sifat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam Taurat.  Mengapa mereka tidak mau beriman kepada Muhammad shaallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada mereka.  Akan tetapi sebaliknya, mereka malah kafir kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Mereka mengatakan sebagaimana dalam makna firman Allah,
“Kami beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami.”  
(QS. Al-Baqarah;  91)
Dan hal ini meliputi pula (sama dan sebanding) dengan ucapan orang-orang yang mengatakan, Aku tidak akan mengikuti (Sunnah Rasulullah) kecuali (mengikuti) si Fulan dari kalangan para ulama kami".
(Baca artikel, PARA PENYEMBAH DA'I)
Padahal yang wajib baginya adalah, wajib menerima kebenaran.  Dan tidak fanatik kepada imamnya, gurunya, atau syaikhnya.  Sebagaimana hal ini juga terjadi pada syaikh Tarikat Sufiyah, dan firqah-firqah (kelompok-kelompok) menyimpang lainnya, dimana para pengikutnya fanatik terhadap mereka.  Mereka tidak mau menerima kebenaran, kecuali yang datang (dikatakan) oleh syaikh mereka.  Dan perkara semacam ini adalah bathil.  Karena tidak ada kewajiban mengikuti orang tertentu dari makhluk ini, kecuali mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Barangsiapa mengatakan, “Bahwasanya wajib mengikuti orang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut telah murtad.  Wajib baginya untuk bertaubat, jika mau bertaubat.  Dan jika tidak mau bertaubat, maka hukumannya adalah dibunuh (Dalam Daulah Islam, pen.), sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.  Karena orang tersebut telah menjadikan si Fulan itu setara (sejajar) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tak ada seorangpun yang wajib untuk diikuti, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Adapun para imam dan para ‘ulama – semoga Allah merahmati mereka, maka mereka di ikuti sebatas yang mencocoki dengan kebenaran (Al-Qur’an dan As-Sunnah).  Seandainya mereka “terjatuh” dalam kesalahan Ijtihaj (Fatwa), maka tidak dibolehkan bagi kita untuk mengikutinya.  Berkaitan dengan hal ini, mereka (para ‘ulama Rabbani) biasanya mengatakan, “Janganlah kalian mengambil perkataan dan pendapat kami, kecuali bila bersesuaian dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhir perkataan, الحمد لله رب العلمين

Hikmah;
  • Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan setiap mukmin (orang-orang beriman.  Tidak boleh tidak).  Bukan sekedar pelengkap (tambahan) semata.  
  • “Memadamkan”  Sunnah-Sunnah Beliau (dengan mengerjakan Bid'ah (penyimpangan dalam aqidah, dan, atau amal), Khurafat (tahayul), perbuatan-perbuatan syirik - pada hakikatnya sama dengan memadamkan seluruh Sunnah Nabi dan Rasul.  Karena di dalam ajaran (Sunnah) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tercakup ajaran (Sunnah) seluruh Nabi dan Rasul.  Jadi, bila seseorang mengingkari Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hakikatnya dia telah mengingkari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala.

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi.  Syarah; Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Selasa, 19 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-23)



"TERLENA DENGAN DUNIA"
بسم الله الر حمان الر حيم

Sesungguhnya orang-orang jahiliyah telah tertipu dengan kehidupan dunia.  Mereka menyangka, bahwa pemberian Allah kepada mereka adalah sebagai tanda (bukti) bahwa Allah ridha pada mereka.
Sebagaimana ucapan mereka yang diungkap Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an,
“(Dan mereka berkata), ‘Kami lebih banyak miliki harta dan anak-anak (daripada kalian), dan kami sekali-kali tidak akan di adzab.”  
(QS. Saba’;  35)

SYARAH (PENJELASAN)
Orang-orang jahiliyah menganggap, bahwa pemberian Allah kepada mereka berupa banyaknya anak keturunan dan harta benda merupakan kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada mereka, dan Allah tidak akan menyiksa mereka.  Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan mereka berkata, ‘Kami lebih banyak memiliki harta dan anak-anak (daripada kamu), dan kami sekali-kali tidak akan diadzab.’  Katakanlah, ‘Sesungguhya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak  mengetahui.’  Dan sekali-kali bukanlah harta, dan bukan (pula) anak-anak kalian yang mendekatkan kalian kepada Kami sedikit pun.  
(QS. Saba’;  35–37)
Banyak harta, anak, dan kemewahan bukanlah bukti kecintaan Allah pada seorang hamba.  Bahkan tidak jarang Allah memberikannya kepada orang kafir sebagai istidraj (terus-menerus diberi kenikmatan meskipun dalam kondisi bergelimang maksiat, sementara ia menyangka bahwa Allah meridhainya, pen.).  Sebagaimana disebutkan di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada siapa yang dicintai dan yang tidak dicintai-Nya.  Adapun Agama (pemahaman yang benar), tidak akan diberikan kecuali kepada yang Dia cintai saja.”  
(HR. Ahmad, Al-Hakim), dan
“Kalau seandainya dunia itu bernilai di sisi Allah seberat satu sayap nyamuk, niscaya orang-orang kafir tidak akan dapat (jatah) minum seteguk air pun.”   
(HR. At-Tirmidzi)
Lihatlah keadaan Rasulullah shallallahualaihi wa sallam, makhluk yang paling dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Demikian pula para Sahabat Beliau.  Mereka telah ditimpa rasa lapar, kekurangan, dan kefakiran, padahal mereka adalah makhluk Allah yang paling mulia setelah para Nabi.  Adapun orang-orang kafir yang mendapatkan kelapangan hidup – dan bersuka-ria dengan berbagai macam kenikmatan dan kesenangan, maka sesungguhnya hal tersebut dalam rangka istidraj (diulur).  Maka janganlah berdalil dengan kemewahan dan keindahan dunia, untuk (menilai) kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Yang bisa dijadikan dalil untuk menilai kemulian seseorang di sisi Allah adalah, apabila hamba tersebut beriman dan beramal shalih (bertakwa), baik dia orang kaya atau orang yang fakir.  (Hal ini bertentangan) dengan slogan dan propaganda manusia, bahwa ahli dunia dan orang kaya - merekalah orang-orang yang mulia di sisi Allah, sedangkan orang-orang fakir miskin adalah manusia yang rendah di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.

oOo
Renungan;
Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam (artinya);
Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah melimpahnya keduniaan pada kalian, sebagaimana ia dilimpahkan pada orang-orang sebelum kalian – lalu kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya, sehingga keduniaan itu membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”  
(HR. Muslim)

(Dari kitab  , “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Senin, 18 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-10)



بسم الله الر حمان الر حيم

"MENUDUH ORANG YANG BERPEGANG TEGUH PADA AGAMA ISLAM DENGAN PICIK DAN TIDAK LUAS PEMIKIRANNYA"

Untuk (memvonis) bathil Agama para Rasul, mereka berdalil dengan kedangkalan pemahaman orang-orangnya dan rendahnya pemikiran pengikutnya (tidak mempunyai wawasan).  Sebagaimana perkataan mereka yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-Nya,
. . .بادي الراي . . ./ “Baadiya ar-ra’yi” / “orang yang tidak memiliki pemikiran (wawasan)”  
(QS. Hud;  27)

SYARAH (PENJELASAN)
Allah menyebutkan (contoh) tentang ummat Nabi Nuh ‘alahissalam, bahwa mereka (kaumnya) berkata,
. . .وما نراك اتبعك الا الذ ين هم اراذ لن . . ./ “wamaa naraaka at-taba’aka illaa alladziina hum araadziluna”  / “Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami”  
(QS. Hud;  27), maksudnya orang-orang yang lemah / fakir miskin.
. . . بادي الراي . . . / “Baadiya ar-ra’yi” / “Orang yang tidak memiliki pemikiran (wawasan)”  (Hud;  27)
Orang-orang jahiliyah mencela para pengikut Rasul.  (Mereka mengatakan) bahwa para pengikut Rasul itu dangkal pemahamannya, tidak bisa mencermati perkara-perkara (melihat keadaan), dan tidak memiliki pemikiran (wawasan) yang luas.  Dan hal inilah yang banyak digembar-gemborkan orang-orang fasik dan musuh-musuh Allah pada hari ini.  Mereka merendahkan derajat dan harga diri kaum muslimin dan para ‘ulama (Rabbani, pen.), dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pemahaman dan tidak pemikiran yang luas.
Mereka mendiskreditkan kaum muslimin dan ‘ulamanya dengan kedustaan.  Padahal ‘ulama kaum musliminlah yang berilmu, merekalah yang sebenarnya memiliki pengetahuan.  Karena mereka memandang (segala persoalan) dengan cahaya (petunjuk) dari Allah ‘Azza wa Jalla, dan memerintahkan sesuatu sesuai dengan perintah (petunjuk) Allah.  Demikian pula mereka melarang sesuatu sesuai dengan apa yang Allah larang.
Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama yang telah merealisasikan ilmunya adalah manusia yang paling utama setelah para Rasul ‘alaihimussalam.  Keutamaan seorang ‘ulama di atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang.
Orang yang mendiskreditkan ‘ulama dan menuduh mereka dengan rendahnya pemikiran, atau tidak memiliki pemahaman (wawasan), maka dia adalah orang yang memiliki perilaku yang sama dengan orang-orang jahiliyah.  Dan juga sama dengan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, dimana mereka menyifati pengikut para Rasul dengan sifat ini.  Tujuannya adalah membuat manusia lari (menjauh) dari para Rasul.
Kalimat ini juga muncul pada sebagian orang pada hari ini, yaitu dengan mengatakan, “Mereka (para ‘ulama Ahlussunnah) adalah ‘ulama haid dan nifas.  ‘Ulama yang ilmunya berkisar tentang hukum membersihkan kotoran dengan batu (istijmar), ‘ulama parsial (juz’iyah), dan tidak mengenal Fiqhul Waqi’ (kondisi kekinian umat islam).”
Yang mereka namakan dengan fiqhul waqi’ adalah perkara politik (ala kafir barat) dengan gerakan revolusi (memberontak) terhadap Pemerintah (muslim).

oOo

(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)