Senin, 11 Februari 2019

HAKIKAT TAUHID



بسم الله الر حمان الر حيم

“Hati orang-orang beriman (mukmin muwahid) selalu dalam keadaan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingat Rasul-Nya.  Kedua perkara ini terukir indah di hati mereka, yang tak bisa dihapus dan dilenyapkan.  Karena senantiasa mengingat sesuatu akan memupuk kekekalan cinta, sedang melupakannya merupakan sebab hilang atau melemahnya kekuatan cinta.”

Bahkan seandainya dunia dengan seluruh isinya, atau yang lebih ekstrim lagi satu galaksi Bima Sakti (The Milky Way / “Tumpahan Susu”) itu dimiliki oleh seorang mukmin, kemudian dia disuruh memilih, apakah Allah dan Rasul-Nya atau galaksi Bima Sakti dengan seluruh isinya, niscaya ia akan tetap memilih Allah dan Rasul-Nya.  Logikanya sederhana saja, bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di Surga kelak merupakan nikmat tertinggi yang dianugerahkan kepada para penghuni Surga.  Ziyadah (tambahan) ini mengalahkan seluruh kenikmatan / fasilitas yang ada di Surga, yang membuat mereka lupa akan segala kenikmatan lain di Surga.  Apalagi, tidak semua penduduk Surga diberikan tambahan nikmat ini, sehingga bagi mereka yang tidak “kebagian” tambahan ini (terhalang), merupakan suatu “tamparan keras” / kehinaan tersendiri, ketimbang siksa yang dirasakan oleh para penduduk Neraka.  Permasalahan ini diketahui / disepakati oleh seluruh Nabi dan Rasul, Sahabat, Tabi’in, dan Generasi Terbaik Islam lainnya.
(Baca juga puisi, SEBUTIR DEBU YANG HILANG)
Allah Subhanahu wa Ta’ala  “menyanjung setinggi langit” orang-orang yang berilmu dan beriman melebihi makhluk-Nya yang lain.  Mengangkat kesaksian mereka mengiringi kesaksian-Nya, dan kesaksian para Malaikat-Nya  yang mulia.  Frasa ini disandarkan pada dalil Al-Qur’an surat Ali-Imran; 18-19, dan perkataan Sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu - Imamnya para 'ulama Ahli Tafsir, Bahwa orang-orang berilmu itu 700 derajat (lebih tinggi) di atas orang-orang beriman (mukmin).  Jarak antara dua derajatnya sejauh perjalanan 500 tahun.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
شهد الله انه لااله الا هو والملاءكة واولوالعلم قا ءما بلقسط لااله الاهوالعزيزالحكيم ان الد ين عند الله الاءسلام
“Syahida Allahu annahu laa Ilaha illa huwa walmalaaikatu wa ulul ‘ilmi qaaiman bilqisthi, laa Ilaha illa huwa al-‘azizu al-hakiimu, innaddiina ‘inda Allahi al-Islamu”
Allah mempersaksikan, bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.  Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga mempersaksikan hal itu).  Tiada Ilah melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.  Sesungguhnya Agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.”  (Ali-Imran;  18–19)
Kedua ayat di atas mengandung kesaksian yang paling besar dan paling agung, paling adil, dan paling benar, dari saksi yang paling Agung (Allah, para Malaikat-Nya, dan orang-orang berilmu) – terhadap ke-Agungan (Dzat) yang dipersaksikan.
Makna kata  شهد  /  Syahida pada ayat di atas, diterangkan oleh para ‘ulama salaf berkisar pada masalah hukum dan qadha’, pemberitahuan, penjelasan, serta pengabaran.
Menurut Mujahid, di sana terkandung masalah hukum dan qadha’.  Menurut Az-Zajjaj, di sana ada penjelasan.  Menurut golongan yang lain, Allah bermaksud menyampaikan pemberitahuan dan pengabaran.
Semua pendapat itu tidak ada yang kontradiktif (bertentangan) satu sama lain.  Sebab kesaksian itu mengandung pernyataan saksi, pengabaran, dan ucapannya, pemberitahuan, dan penjelasannya.  Jadi, kesaksian itu memiliki 4 (empat) tingkatan / tahapan;
1.     1. Ilmu dan Ma’rifat serta Keyakinan terhadap kebenaran, dan penetapan terhadap apa yang dipersaksikan.
2.     2. Pernyataan dan Pengucapan pemberi kesaksian, meskipun orang lain tidak mengetahuinya, apakah pemberi kesaksian itu berbicara kepada dirinya sendiri, menyatakannya, mengucapkan, ataupun menuliskannya.
3.     3. Memberitahukan kepada orang lain tentang apa-apa yang dipersaksikannya, mengabarkan, dan menjelaskannya.
4.     4. Mewajibkan, dan Memerintahkan (orang lain) melaksanakan kandungannya.
Kesaksian Allah tentang Diri-Nya dengan wahdaniyah (Tauhidullah) dan penegakan keadilan, mengandung 4 (empat) macam tingkatan tersebut, yaitu Ilmu tentang Allah melalui apa yang dipersaksikan, pernyataan dan pengucapannya, pemberitahuannya kepada makhluk, dan perintah serta pengharusan pelaksanaannya.
Tingkatan Pertama; 
Tentang Ilmu dan Ma’rifat, maka kesaksian terhadap kebenaran (Tauhid) merupakan kandungannya yang urgen.  Tidak bisa tidak. Jika tidak, maka pemberi kesaksian dianggap memberikan kesaksian palsu (tidak mengetahuinya).  Seperti makna firman-Nya,
Akan tetapi (orang yang dapat memberi syfa’at adalah) orang yang mengakui yang haq (Tauhidullah), dan mereka meyakini(nya).”  (Az-Zukhruf;  86)
Ma’na sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Terhadap yang serupa dengan itu, maka berilah kesaksian. “  Sambil (Beliau) menunjuk  ke arah matahari.
Seakan-akan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan, bahwa kebenaran itu nyata, jelas, dan terang (laksana) cahaya matahari / keberadaan matahari.
Tingkatan Kedua; 
Pernyataan dan Pengucapan, maka barangsiapa yang membicarakan tentang sesuatu dan mengabarkannya, berarti dia telah mempersaksikannya – kendati dia tidak melafazkannya sebagai kesaksian.  Perhatikan makna firman Allah,
“Katakanlah, ‘Bawalah kemari saksi-saksi kalian yang dapat mempersaksikan bahwa Allah telah mengharamkan (makanan yang kalian) haramkan ini.’  Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kalian ikut pula menjadi saksi bersama mereka.”  (Al-An’am;  150), dan
“Dan mereka menjadikan Malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba Allah Yang Mahapemurah, sebagai orang-orang perempuan.  Apakah mereka mempersaksikan penciptaan Malaikat-malaikat itu?  Kelak akan dituliskan persaksian mereka, dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.”  (Az-Zukhruf;  19)
Allah menjadikan perkataan mereka itu sebagai kesaksian (meskipun mereka tidak melihatnya), dan tidak melontarkannya dengan lafazh kesaksian, dan tidak pula menjadikannya sebagai kesaksian dihadapan orang lain.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Kesaksian palsu setara dengan syirik kepada Allah.”
Kesaksian palsu (dusta) sama (setara) dengan pernyataan palsu, sebagaimana makna firman Allah,
“Jauhilah perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu.”  (Al-Hajj;  30 – 31)
Berdasarkan ayat inilah Beliau bersabda seperti itu, yang mensetarakan kesaksian dusta (palsu) dengan syirik, sehingga perkataan dusta dan palsu juga disebut dengan kesaksian.  Allah juga menyebut penetapan hamba terhadap dirinya sebagai kesaksian;
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri.”  (An-Nisa; 135)
Kesaksian seseorang terhadap dirinya sendiri sama dengan ketetapan atas dirinya.  Di dalam hadits shahih disebutkan ketetapan tentang Ma’iz, “Ketika ia menjadi saksi atas dirinya sendiri hingga 4 (empat) kali, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman rajam kepadanya.”
Firman Allah (artinya),
“Mereka berkata, ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”  (Al-An’am;  130)
Hal itu menunjukkan, bahwa seorang saksi di hadapan hakim dan dihadapan siapa pun, tidak disyaratkan melafazhkannya dengan lafazh kesaksian, agar kesaksian itu bisa diterima.  Ini merupakan pendapat Malik dan penduduk Madinah serta zhahir perkataan Ahmad.  Penetapan syarat itu juga tidak dikenal pada seorang pun dari kalangan Sahabat dan Tabi’in.  Ibnu Abbas berkata, “Ada beberapa orang yang diridhai yang memberi kesaksian di hadapanku, dan orang yang paling aku ridhai di antara mereka adalah Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah shalat subuh hingga terbit matahari, dan setelah ashar hingga tenggelamnya matahari.”  Sebagaimana diketahui, mereka tidak melafazhkannya dengan lafazh kesaksian.  Sepuluh orang Sahabat yang dipersaksikan Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai para penghuni Surga, juga tidak dilafazhkan dengan lafazh kesaksian dari Beliau.  Tetapi Beliau hanya bersabda, “Abu Bakar di Surga, Umar di Surga, Utsman di Surga, Ali di Surga...”
Kaum muslimin telah sepakat, bahwa bila orang kafir mengucapkan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, maka dia telah masuk Islam dan memberi kesaksian yang benar.  Tetapi keIslamannya itu tidak terbatas pada lafazh kesaksian semata.  Dia juga sudah termasuk dalam cakupan Sabda Beliau, “Hingga mereka mempersaksikan bahwa tiada Ilah melainkan Allah.”  Dalam lafazh lain disebutkan, “Sehingga mereka mengucapkan ‘Laa ilaha illallah.’  Hal ini menunjukkan bahwa ucapan mereka, “Laa ilaha illallah”, merupakan kesaksian dari mereka.   Yang demikian ini terlalu banyak untuk disebutkan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.  Adanya pensyaratan lafazh kesaksian, bukan merupakan dalil yang harus dipegang.
Tingkatan Ketiga; 
Pemberitahuan dan Pengabaran ada 2 (dua) macam; 
* Pemberitahuan dengan perkataan, dan * Pemberitahuan dengan perbuatan.
Seperti inilah keadaan setiap orang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain.  Terkadang dia memberitahukannya dengan perkataan, dan terkadang dengan perbuatannya, (bahkan dengan isyarat, pen blog.).  Karena itu siapa yang menjadikan suatu tempat tinggal sebagai masjid dan membuka pintunya bagi siapapun yang memasukinya, dan dikumandangkan adzan di dalamnya untuk shalat, berarti dia memberitahukan bahwa tempat tinggal itu sebagai waqaf, meskipun dia tidak melafazhkannya.  Begitu pula orang yang mendekati orang lain dengan berbagai macam pertanda, berarti dia memberitahukan kepada orang itu, dan juga kepada orang lain, bahwa dia mencintainya, meskipun dia tidak melafazhkannya dengan ucapan cinta.  Demikian pula sebaliknya (kebencian).
Maka kesaksian Allah, penjelasan, dan pemberitahuannya terkadang dengan firman-Nya, dan terkadang dengan perbuatan-Nya.
Pemberitahuan dengan firman-Nya ialah pengutusan para Rasul dan penurunan kitab-kitab-Nya, yang bisa diketahui lewat pemberitahuan para Rasul dari Allah, bahwa Dia (Allah) mempersaksikan bahwa tiada Ilah melainkan Dia.  Dia memerintahkan yang demikian itu dan memerintahkan semua hamba untuk mempersaksikannya.
Kesaksian Allah bahwa tiada Ilah melainkan Dia, dapat diketahui dari sisi mana pun bagi orang-orang yang mendengarkan Kalam (Perkataan)-Nya.
Adapun Pemberitahuan dan Penjelasan dengan Perbuatan-Nya, adalah yang meliputi pengabaran Allah tentang berbagai dalil yang menunjukkan wahdaniyah (ketauhidan-Nya), dimana pembuktiannya bisa diketahui melalui akal dan fitrah makhluk-Nya.
Hal ini juga berlaku untuk lafazh kesaksian dan lafazh pembuktian, petunjuk, dan penjelasan.  Sebab dalil menjelaskan apa yang dikuatkan dengan dalil itu dan menampakkannya, sebagaimana saksi dan pemberitahuan yang menjelaskan apa yang hendak diberi kesaksian.  Bahkan penjelasan dengan perbuatan, jauh lebih riil dan lebih mengena.  Saksi keadaan bisa (juga) disebut perkataan dan ucapan, karena keadaan itu (bisa) menggantikan (melebihi) kedudukan perkataan dan pelaksanaannya, seperti yang dinyatakan seorang penyair,
Kedua mata itu menyatakan kepatuhan dan ketaatannya
Tebaran mutiara mengelilinginya ketika ia bercahaya
Penyair lain menyatakan,
Onta mengeluh karena perjalan malam yang panjang
Sabarlah wahai ontaku karena kita semua dalam cobaan
Penyair lain menyatakan,
Tempat air sudah penuh dan ia pun berkata
Hentikan siraman karena perutku sudah penuh isinya
Yang demikian ini juga disebut kesaksian, sebagaimana makna firman Allah,
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir.”  (At-Taubah;  17)
Ini merupakan kesaksian dari mereka terhadap dirinya sendiri, karena perkataan dan perbuatan kufur yang mereka lakukan, yang semua itu merupakan kesaksian atas kekufuran mereka.  Berarti mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri disebabkan apa yang mereka perbuat.
Maksudnya, Allah mempersaksikan dengan bukti-bukti kekuasaan yang diciptakan-Nya, yang menunjukkan atas Diri-Nya.  Pembuktian ini hanya terjadi karena penciptaan-Nya semata.  Dengan bukti-bukti kekuasaannya yang berupa perkataan, Allah mempersaksikan apa yang dipersaksikan bukti-bukti Kekuasaan-Nya yang bersifat penciptaan.  Sehingga ada kesesuaian antara kesaksian Perkataan dengan kesaksian Perbuatan, sebagaimana makna firman-Nya,
“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (Kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.”  (Fushilat;  53)
Allah menunjukkan, bahwa dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya di ufuk dan pada diri manusia, Dia menunjukkan kebenaran ayat-ayat-Nya yang berupa Perkataan (Al-Kitab).
Tingkatan keempat; 
Yaitu tingkatan Perintah dan Kewajiban yang ditetapkan serta Pelaksanaan Kandungannya, maka jika hanya sekedar kesaksian, tidak mesti ada keharusan.  Tetapi kesaksian dalam posisi ini menunjukkan hal lain.  Allah mempersaksikannya dengan kesaksian sebagai Dzat Yang Memutuskan, Menetapkan, Memerintahkan, dan Yang Mengharuskannya (Mewajibkannya) kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan, agar kalian tidak menyembah selain Dia.”  (Al-Isra’;  23), dan
“Allah berfirman, ‘Janganlah kalian menyembah dua tuhan, sesungguhnya Dia-lah Ilah Yang Mahaesa.”  (An-Nahl;  51), dan
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama yang lurus.”  (Al-Bayyinah;  5), dan
Janganlah kalian adakan Ilah yang lain selain Allah.”  (Al-Isra’;  22), dan
Maka janganlah kalian menyeru (menyembah) Ilah yang lain di samping Allah.”  (Asy-Syu’ara;  213)
Semua isi Al-Qur’an mempersaksikan yang demikian itu.  Sisi keharusan kesaksian Allah atas hal itu, bahwa jika Dia mempersaksikan tiada Ilah melainkan Dia, berarti Dia telah Mengabarkan, Menjelaskan, Memberitahu, Memutuskan, dan Menetapkan, bahwa selain-Nya bukanlah Ilah, bahwa ketuhanan selain Dia merupakan kebathilan yang paling bathil dan penetapannya merupakan kezhaliman yang paling zhalim.  Selain Allah, tidak ada sesuatu pun yang memiliki hak ibadah dan Ilahiyah.  Hal ini mengharuskan perintah untuk menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Ilah, sekaligus larangan menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan di samping Allah.  Yang demikian ini tentu bisa dipahami orang yang diajak berbicara, yaitu dari sisi penetapan sekaligus penafian.  Hal ini tidak berbeda dengan orang yang dimintai fatwa, atau dimintai kesaksian, atau dimintai pengobatan, padahal dia tidak layak untuk dimintai semua itu dan membiarkan orang yang layak dimintai fatwa, kesaksian, atau pengobatan.  (Padahal) engkau harus berkata, “Orang ini bukanlah mufti, bukan saksi, dan bukan pula dokter.  Yang menjadi mufti adalah si Fulan, yang menjadi dokter adalah si Fulan.”  Yang demikian ini merupakan perintah sekaligus larangan atas dirimu (karena meletakkan sesuatu harus pada tempatnya).
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa hanya Allah-lah (semata) yang berhak disembah.  Jika Dia mengabarkan, bahwa hanya Dia-lah Yang layak disembah, maka Pengabaran ini mengandung Perintah kepada hamba, dan merupakan Keharusan (Kewajiban) bagi mereka, untuk memenuhi apa yang menjadi hak Allah.  Pelaksanaan hal ini murni merupakan hak Allah.  Jika Allah mempersaksikan tiada Ilah selain Dia, maka kesaksian-Nya itu mencakup kesaksian perintah, dan keharusan untuk mengesakan-Nya.
Lafazh keputusan dan penetapan juga bisa digunakan dalam kalimat pengabaran.  Dikatakan untuk kalimat pengabaran, “Ada penetapan, dan keputusan hukum.”, yaitu jika ada keputusan hukum begini atau begitu.
Firman Allah (artinya),
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan, “Allah beranak’.  Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.  Apakah Rabb memilih mengutamakan anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?  Apakah yang terjadi pada kalian?  Bagaimana (caranya) kalian menetapkan?”  (Ash-Shaffat;  151-154)
Ini merupakan ketetapan, bukan sekedar kelaziman yang menyertai hukum dan ketetapan-Nyabahwa tiada Ilah melainkan Dia (tetapi lebih dari itu), yang juga mencakup keharusan.
Firman Allah,  قا ءما بلقسط  / “Qaa iman bilqisthi” (juga menyatakan yang demikian itu), makna  القسط  / “Al-Qisth” adalah keadilan,  Allah bersaksi bahwa Dia menegakkan keadilan dalam Tauhid-Nya dan Wahdaniyah (Ke-Esa-an) dalam keadilan-Nya.  Tauhid dan Keadilan merupakan paduan Sifat-Sifat Kesempurnaan.  Sebab Tauhid mengandung pengesaan Allah dalam kesempurnaan dan keagungan.  Kemuliaan dan keagungan ini tidak layak diberikan kepada selain-Nya.  Keadilan mencakup semua perbuatan-Nya yang harus benar dan lurus, sesuai dengan hikmah.
Tauhid para Rasul dan keadilan mereka, ialah menetapkan hakikat-hakikat Asma' dan Sifat yang sesuai bagi Allah, perintah menyembah Allah semata tanpa sekutu bagi-Nya, penetapan Qadar, Hikmah, dan Tujuan yang terpuji dengan Perbuatan dan Perintah-Nya, bukan seperti tauhidnya golongan Jahmiyah (kelompok yang menolak Sifat-Sifat Allah, memisahkan antara iman dan amal, dan mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk), Mu’tazilah (kelompok pengagung akal / Rasionalis), dan Qadariyah (kelompok yang menolak takdir Allah).  Mereka mengingkari Sifat, hakikat Asma Al-Husna, dan Keadilan, yaitu pendustaan terhadap Qadar yang telah ditetapkan-Nya, atau penafian hikmah dan tujuan serta kesudahan yang terpuji, yang diperbuat Allah dan yang diperintahkan-Nya.
Penegakan keadilan dalam kesaksian Allah mencakup beberapa hal, di antaranya;
Pertama;  Allah menegakkan Keadilan dalam Kesaksian-Nya, yang merupakan kesaksian yang paling Adil.  Pengingkaran terhadap kesaksian ini merupakan kezhaliman yang paling zhalim.  Tidak ada yang lebih adil daripada Tauhidnya para Rasul, dan tidak ada yang lebih zhalim daripada syirik.  Allah menegakkan keadilan dalam kesaksian ini, baik kesaksian yang merupakan perkataan maupun perbuatan.  Itulah kesaksian yang disampaikan Allah, dikhabarkan, dan yang diberitahukan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, yang hakikat dan kebenarannya juga dijelaskan kepada mereka, yang keharusan-keharusannya ditetapkan atas mereka.  Dia menjadikan pahala dan siksa berdasarkan kesaksian itu, menetapkan perintah dan larangan-larangan dari hak dan kewajiban-kewajiban itu.  Semua sisi Agama berasal dari hak-hak kesaksian itu.  Pahala dan siksa didasarkan padanya.  Inilah keadilan yang ditegakkan Allah dalam kesaksian ini.
Semua perintah Allah merupakan penyempurna dari kesaksian ini.  Dia memerintahkan untuk memenuhi hak-hak kesaksian tersebut.  Semua larangan dimaksudkan untuk mengamankan (kesaksian itu) dari hal-hal yang bisa merusaknya.
Semua pahala Allah didasarkan pada kesaksian ini.  Semua siksaan Allah berangkat dari tindakan  meninggalkan kesaksian ini dan hak-haknya.  Penciptaan langit dan bumi serta apa-apa yang terdapat di antara keduanya berpangkal dari kesaksian ini.
Inilah kebenaran yang karenanya semua makhluk diciptakan, dan kebalikannya adalah kebathilan dan kesia-siaan, dimana Allah berlepas Diri darinya.  Allah berfirman sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengingkari kesaksian ini (artinya),
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antar keduanya tanpa hikmah.  Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk Neraka.”  (Shad;  27), dan
“Haa’ miim. Diturunkan kitab ini dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.  Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan yang) benar, dan dalam waktu yang ditentukan.  Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”  (Al-Ahqaf;  1–3)
“Dia-lah Yang menjadikan matahari bercahaya dan bulan bersinar, dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).  Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.  Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya pada orang-orang yang mengetahui.  (Yunus;  5), dan
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar.”  (Al-Hijr;  85)[1]
Kebenaran, yang karenanya langit dan bumi diciptakan, adalah Tauhid dan hak-haknya berupa perintah dan larangan, pahala dan siksa.  Allah menegakkan keadilan dan Tauhid berasal dari dua perkara ini (Perintah dan Larangan).  Inilah Ash-Shiraath Al-Mustaqiim, yang di atasnya Allah berada.  Allah berfirman (mengisahkan) tentang Nabi-Nya Hud yang berkata,
“Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian.  Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah Yang memegang ubun-ubunnya.  Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.”  (Hud;  56)
Kedua;  Allah berada di atas Ash-Shiraath Al-mustaqiim, jalan yang lurus dalam Perkataan dan Perbuatan-Nya.  Dia-lah Yang mengatakan al-haq (kebenaran) dan berbuat adil.
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.  Tidak ada yang dapat (mampu) merubah-rubah Kalimat-Nya, dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”  (Al-An’am;  115), dan
“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”  (Al-Ahzab;  4)
Ash-Shiraat Al-Mustaqiim yang Allah berada di atasnya adalah Tauhid dan Keadilan.  Firman Allah (yang artinya),
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan;  Dua orang laki-laki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesatu pun dan kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan pun.  Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di atas jalan yang lurus?”   (An-Nahl;  76)
Berhala itu seperti budak yang senantiasa menjadi beban bagi tuannya, dimana pun dia berada tidak mendatangkan kebaikan apapun.
Maksudnya, firman Allah  قا ءما بالقسط  / “Qaa iman bil-qisthi” (juga menyatakan yang demikian itu), seperti kedudukan firman-Nya,  ان ربي على صراط مستقيم / “Inna Rabbii ‘alaa shiraatin mustaqiim” (Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus)
Firman Allah  قا ءما بالقسط  / “Qaa iman bilqishti”  dibuat manshub karena kedudukannya sebagai hal (keterangan keadaan).  Ada dua sisi pandang tentang masalah ini;
1.       Lafaz itu merupakan keterangan keadaan dari subyek dalam syahida Allah, yang aktif di dalamnya adalah makna dari perbuatan.  Artinya, Allah mempersaksikan keadaan pelaksanaan keadilan, bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia.
2.       Keterangan keadaan dari orang yang berkata,   هو / “Huwa” /  "Dia", Dia-lah.  Yang aktif di dalamnya adalah makna penafian.  Artinya tiada Ilah melainkan Dia, yang menjadi keterangan dari keadaan-Nya Yang menegakkan keadilan.
Di antara dua pandangan ini terdapat dua perbedaan yang nyata;  
Pertama;  Gambaran pertama mengandung pengertian, bahwa Allah mempersaksikan sebagai Dzat Yang menyampaikan Perkataan dengan Keadilan, menyuruh kepadanya, melaksanakannya, dan membalasinya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia.  Keadilan ada di dalam perkataan dan perbuatan.  Al-Muqsith artinya yang adil dalam perkataan dan perbuatan.  Maka Allah mempersaksikan Diri-Nya sebagai Dzat Yang menegakkan keadilan, baik perkataan maupun perbuatan, bahwa tiada Ilah melainkan Dia.  Di sini ada penegasan karena keberadaan kesaksian ini sebagai kesaksian yang adil, sehingga merupakan kesaksian yang paling adil, sebagaimana Yang dipersaksikan  merupakan sesuatu Yang Paling Adil dan Paling Benar.
Ibnu As-Sa’ib dan selainnya menyebutkan tentang sebab turunnya ayat ini, tentang apa yang dipersaksikan, bahwa ada dua orang Uskup di Syam yang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ketika keduanya melihat-lihat keadaan kota Madinah, salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, “Kota ini mirip dengan kota Nabi yang keluar di akhir zaman.”
Ketika keduanya sudah menghadap Beliau, maka mereka bertanya, “Apakah engkau Muhammad?”
“Benar,” Jawab Beliau.  “Dan juga Ahmad?” tanya mereka berdua.  “Benar,” jawab Beliau.
Kami ingin bertanya kepadamu tentang kesaksian.  Jika engkau memberitahukannya kepada kami, maka kami akan beriman kepadamu,” kata mereka berdua.
“Silahkan tanyakan kepadaku,” sabda Beliau.
Keduanya berkata, “Beritahukan kepadaku tentang kesaksian yang paling agung di dalam kitab Allah.”
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat, “Allah mempersaksikan, bahwa tiada Ilah melainkan Dia.”   (Ali-Imran;  18).  Jika penegakan keadilan ini ada dalam perkataan dan perbuatan, maka maknanya;  Dia bersaksi, mengetahuinya, dan Dia menegakkan Keadilan, dan tidak berbuat aniaya.  Kesaksian ini mencakup Perkataan dan Perbuatan.  Kesaksian itu juga mengandung pengertian, bahwa Dia-lah satu-satunya Yang layak disembah, bukan yang lain.  Orang-orang yang menyembah-Nya semata adalah orang-orang yang beruntung, dan berbahagia, sedangkan orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan yang lain adalah orang-orang yang sesat dan menderita.  Jika Allah menyatakan Diri-Nya sebagai Dzat yang menegakkan Keadilan, yang berarti membalasi orang-orang yang ikhlas dengan Surga, dan membalasi orang-orang yang musyrik dengan Neraka, berarti itu termasuk kesempurnaan Kesaksian dan realisasinya.  Maka firman Allah, قاءما بلقسط  / “Qaa iman bilqisthi” (juga menyatakan yang demikian), merupakan peringatan tentang adanya balasan bagi siapa yang bersaksi dengannya - dan bagi orang yang mengingkarinya.  Allah-lah Yang lebih mengetahui.
Kedua;  Firman Allah  قا ءما  / “Qaa iman” merupakan keterangan keadaan dari lafaz setelah  الا  / “Illa” (melainkan).  Maknanya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia yang menegakkan keadilan.  Maka Dia-lah satu-satunya Yang berhak atas Ilahiyah (disembah), karena keberadaan-Nya yang menegakkan keadilan.
Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata, “Dugaan ini lebih kuat.  Sebab makna ini juga mencakup pengertian bahwa para Malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan tiada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.”
Kami katakan, maksudnya jika firman Allah  قاءما بلقسط  / “Qaa iman bilqisthi” merupakan keterangan keadaan dari apa yang dipersaksikan-Nya, maka itu seperti sifat bagi-Nya.  Karena keterangan keadaan merupakan sifat bagi yang diberi keterangan (menurut maknanya).  Jika kesaksian berlaku untuk suatu keadaan dan yang diberi keterangan, maka keduanya merupakan sesuatu yang dipersaksikan.  Sehingga para Malaikat dan orang-orang berilmu juga mempersaksikan, bahwa Dia menegakkan Keadilan, sebagaimana mereka mempersaksikan tiada Ilah selain Dia.
Pandangan yang pertama tidak mencakup pengertian ini.  Jika gambaran dari pandangan itu;  Allah mempersaksikan dengan menegakkan Keadilan, bahwa tiada Ilah melainkan Dia, para Malaikat dan orang-orang berilmu juga mempersaksikan bahwa tiada Ilah melainkan Dia, maka penegakan keadilan ini merupakan suatu keadaan dari Asma’ Allah.
Di samping itu, keberadaan Allah sebagai Dzat Yang menegakkan keadilan tentang apa yang dipersaksikan-Nya lebih mengena daripada keberadaan lafazh itu sebagai keterangan daripada sekedar kesaksian.
Jika ada yang bertanya, ‘Jika lafazh itu merupakan keterangan dari  هو  /  “Huwa”, bukankah keterangan itu pun menyertainya?  Mengapa harus ada pemisahan antara yang diberi keterangan dengan kesaksian yang disertakan, sehingga ada perantara di antara keduanya?”
Dapat dijawab sebagai berikut;  Manfaatnya sudah jelas sekali.  Sekiranya dikatakan,  شهد الله انه لا اله الا هو قاءما بلقسط والملاءكة والوالعلم  /  “Syahida Allahu annahu laa ilaaha illa huwa qaa iman bilqisthi wal-malaaikatu wa ulul-‘ilmi”, (mendahulukan “Qaa iman bilqisthi”, pen.) maka akan menimbulkan dugaan pengaitan  الملاءكة والولو العلم  /  “al-Malaaikatu wa ulul-‘ilmi” kepada kata ganti dalam lafazh قاءما بلقسط   / “Qaa iman bilqisthi”.  Memang ada baiknya pengaitan ini untuk pemisahan.  Tetapi maknanya tidaklah begitu.  Sebab maknanya justru kebalikannya, bahwa penegakan Keadilan itu dikhususkan hanya bagi Allah semata, sebagaimana pengkhususan Ilahiyah kepada-Nya.  Dia-lah satu-satu-Nya Ilah Yang disembah dan Yang patut disembah.  Dia-lah satu-satu-Nya Yang memberi pahala kepada yang layak diberi pahala, dan menjatuhkan siksa kepada orang yang layak diberi siksa dengan adil.
Tauhid mengandung penetapan sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat ini, yang hanya Dia-lah satu-satu-Nya Yang disembah dan yang tiada sekutu bagi-Nya.
Keadilan berarti peletakan sesuatu pada tempatnya, menurunkannya di tempat penurunannya, Dia (Allah) tidak mengkhususkan sesuatu pun kecuali bila ada pengkhususan yang mengharuskan begitu, bahwa Dia tidak menyiksa orang yang tidak layak disiksa, tidak menahan pemberian bagi seseorang yang semestinya mendapatkan pemberian, meskipun Dia juga yang membuatnya berhak menerima.
Keperkasaan berarti kesempurnaan Kekuasaan-Nya, Kekuatan, dan Keunggulan-Nya.
Hikmah berarti kesempurnaan Ilmu dan Pengabaran-Nya, bahwa Dia Memerintah dan Melarang, Menciptakan dan Menetapkan, yang dalam semua itu Dia memiliki Hikmah dan Tujuan yang Terpuji, yang membuat-Nya memiliki Kesempurnaan Pujian.
Asma’-Nya  العزيز  / “Al-‘Azis”, Mahaperkasa mencakup Kekuasaan.  Asma’-Nya  الحكيم  / “Al-Hakim”, Mahabijaksana mengandung pujian.  Awal ayat ini mengandung Tauhid, yaitu hakikat  لااله الا الله وحده  / “Laa ilaha illa Allahu wahdahu”, tiada Ilah melainkan Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.  Baginya Kekuasaan dan bagi-Nya Pujian, dan Dia Mahaberkuasa atas segala sesuatu.
Inilah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama, serta para Nabi dan Rasul sebelumnya.
الحكيم  / “Al-Hakim”, ialah yang jika Memerintah dengan suatu perintah, maka apa yang diperintahkan itu merupakan kebaikan semata.  Jika Dia Melarang dari sesuatu, maka apa yang dilarang-Nya itu merupakan keburukan semata.  Jika Dia Mengabarkan sesuatu, maka sesuatu itu benar adanya.  Jika Dia melakukan sesuatu, maka perbuatan itu benar.  Jika Dia menghendaki sesuatu, maka itu merupakan kehendak yang lebih baik dari yang lain.
Sifat yang menggambarkan kesempurnaan ini tidak dimiliki kecuali oleh Allah semata.
Ayat dan kesaksian ini mengandung Wahdaniyah (Ke-Esa-an Allah) yang menafikan syirik, mengandung Keadilan-Nya yang menafikan kezhaliman, mengandung Keperkasaan-Nya yang menafikan kelemahan, mengandung Hikmahnya yang menafikan kebodohan dan ‘aib.
Di dalamnya juga terkandung Kesaksian baginya dengan Tauhid, Keadilan, dan Kekuatan, Ilmu, dan Hikmah.  Karenanya, ini merupakan Kesaksian yang paling besar.
Tidak ada yang melaksanakan semua sisi kesaksian ini dari semua golongan (firqah) / kelompok yang ada kecuali Alussunnah.  Sementara semua golongan ahli bid’ah tidak ada yang melaksanakannya.
Para Fiolosof (Ahli Filsafat) adalah orang-orang yang paling gencar mengingkarinya, serta menolak kandungannya, dari awal hingga akhir.  Golongan Ittihadiyah adalah makhluk Allah yang paling jauh dari kesaksian itu dari segala sisinya (Golongan yang meyakini penyatuan Allah dengan makhluk, dan menolak Sifat-Sifat Allah).
Golongan Jahmiyah mengingkari hakikatnya dari beberapa sisi, antara lain;
·        Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula perlu dicintai.
·        Allah tidak pernah berkata-kata dan tidak berbicara, tidak pula mempersaksikan dan mengabarkan.
·        Allah tidak pernah menjelaskan kepada makhluk, tidak memerintahkan.  Bahwa di atas ‘Arsy tidak ada Ilah Yang disembah, tidak ada Rabb yang dijadikan tujuan shalat dan sujud.
Menurut paham (leluhur) mereka Allah berada di segala tempat dengan Dzat-Nya (meskipun di tempat-tempat yang tidak layak untuk disebutkan).
·        Allah tidak pernah menegakkan keadilan itu dalam perkataan dan perbuatan-Nya.  Perkataan-Nya adalah makhluk (bukan Kalam Allah), dan perbuatan-Nya adalah sesuatu yang terpisah dari-Nya.  Kalaupun ada perbuatan dan Dia sebagai Pelakunya, maka hal itu tidak akan pernah terjadi.
·        Keadilan menurut pendapat mereka tidak memiliki hakikat (“sesuatu yang nisbi / rancu”).  Bahkan setiap sesuatu yang memungkinkan adalah keadilan.  Apa pun yang berada dalam kekuasan-Nya tidak ada yang disebut kezhaliman dan keadilan.  Kezhaliman menurut pendapat mereka adalah kemustahilan yang terhalang bagi Dzat-Nya.  Sedangkan keadilan adalah sesuatu yang mungkin (tidak pasti).
·       Keperkasaan adalah kekuatan dan kekuasaan.  Sementara menurut mereka Allah tidak memiliki sifat ini.
·       Hikmah merupakan puncak dari apa yang diperbuat Allah dan merupakan tuntutan dari perbuatan.  Keberadaan hikmah lebih baik daripada ketiadaannya.  Menurut pendapat mereka hal ini tidak terjadi di dalam hak-Nya.  Dia tidak berbuat karena suatu hikmah, tidak ada tujuan dari perbuatan dan perintah-Nya.  Yang ada hanya kehendak yang terlepas dari hikmah dan Illat (alasan perbuatan, pen blog.).

Ilah adalah Dzat yang memiliki Al-Asma’ Al-Husna dan sifat-sifat yang Tinggi.  Dia-lah Yang berbuat berdasarkan Kekuasaan-Nya, Kehendak dan Hikmah-Nya.  Dia-lah Yang disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan, yang dinamai dengan Al-Asma’, yang ditegakkan-Nya menurut hakikat dan makna-maknanya.  Yang demikian ini tidak ditetapkan kecuali oleh para pengikut Rasul.  Merekalah ahli keadilan dan Tauhid yang hakiki (sebenarnya).
Golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah berpendapat, bahwa Dzat-Nya tidak mencintai, Wajah-Nya tidak diinginkan (dirindukan), tidak ada kenikmatan memandang kepada-Nya dan hati tidak merindukan-Nya.  Mereka pada hakikatnya telah mengingkari Ilahiyah-Nya.
Sementara golongan Qadariyah (golongan pengingkar takdir Allah), mengingkari maksud Penciptaan perbuatan  makhluk (para Malaikat, Jin, Manusia serta semua hewan yang berada di bawah kekuasaan Allah), Kehendak dan Penciptaan-Nya.  Pada hakikatnya mereka mengingkari Kesempurnaan Ciptaan, Keperkasaan, dan Kekuasan-Nya atas makhluk-Nya hingga yang sekecil-kecilnya.
(Baca juga artikel, BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)
Golongan Jabariyah (golongan yang berkeyakinan bahwa manusia dan makhluk lainnya hidup seperti "kapas yang diterbangkan angin saja", tidak memiliki kehendak dan kekuasaan), mereka mengingkari Hikmah Allah bahwa dalam Perbuatan dan Perintah-Nya terkandung tujuan, yang karenanya Dia berbuat dan memerintah.  Pada hakikatnya mereka mengingkari Hikmah dan Pujian terhadap-Nya.
Para pengikut Ibnu Sina dan An-Nushair At-Thusy, serta generasi penerusnya mengingkari Wujud Rabb mereka yang Mutlak, bahwa Dia memiliki sifat yang tetap dan melebihi yang wujud.  Pada hakikatnya mereka mengingkari Dzat Allah, Sifat-Sifat, dan Perbuatan-Perbuatan-Nya.
Yang lebih parah lagi adalah golongan Ittihadiyah (golongan yang mengingkari Sifat-Sifat Allah).  Mereka mengangkat sendi dari dasarnya, dan mengatakan bahwa disana tidak ada Wujud Khaliq dan wujud makhluk.  Makhluk yang diserupakan adalah kebenaran.
Semua golongan di atas tidak menegakkan kesaksian yang Agung ini (Tauhidullah) dengan sebenar-benarnya.  Sebab kesaksian yang Agung ini menggugurkan dan membantah semua pendapat mereka, dan juga menggugurkan pendapat orang-orang musyrik dan munafik.  Tidak ada yang menegakkan kesaksian yang Agung ini melainkan Ahli Tauhid (Mukmin Muwahid) yang terbebas dari syirik, kufur, dan bid'ah.  Mereka yang menetapkan bagi Allah apa-apa yang ditetapkan Allah bagi Diri-Nya, yaitu berupa Asma’ dan Sifat.  Mereka menafikan dari-Nya keserupaan dengan makhluk.  Mereka menyembah-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)
Kesaksian Allah mengandung penjelasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, pembuktian dan pengenalan kepada mereka tentang apa yang dipersaksikan-Nya.  Sekiranya Allah membuat kesaksian yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengetahuinya, tentunya mereka tidak dapat mengambil manfa’at dari kesaksian itu, dan tidak ada hujjah yang bisa ditegakkan atas mereka.  Hal ini seperti seseorang yang memiliki kesaksian, namun dia tidak menjelaskannya dan hanya menyimpannya sendiri, maka tak seorang pun yang bisa mengambil manfaat darinya, dan tidak pula ada hujjah yang bisa ditegakkan dengannya (kesaksian itu).
Karena manfa’at tidak akan bisa diambil kecuali dengan menjelaskannya, maka Allah menjelaskannya lewat 3 (tiga) jalan;  Pendengaran, Penglihatan, dan Akal.
Jalan pendengaran adalah dengan mendengarkan ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca dan yang bersifat perkataan, yang mencakup sifat-sifat kesempurnaan-Nya, Keagungan, dan Ketinggian-Nya di atas ‘Arsy – di atas langit yang ke tujuh, Perkataan-Nya di dalam Kitab-Nya, Pembicaraan-Nya dengan siapapun yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya dengan suatu Pembicaraan, yang merupakan hakikat dan bukan sekedar kiasan.
Di sini juga terkandung pengguguran terhadap perkataan orang yang berkata, bahwa Allah tidak menghendaki dari hamba-hamba-Nya apa yang ditunjukkan ayat-ayat-Nya yang bisa didengar, berupa penetapan makna-makna dan hakikat-hakikat yang terkandung di dalam lafazh-lafazh-Nya, karena yang demikian itu bertentangan dengan penjelasan dan pemberitahuan, dan kembali pada maksud kesaksian yang digugurkan (disembunyikan).  Allah telah mencela orang-orang yang menyembunyikan kesaksian yang sampai kepadanya dari Allah, dan Dia (Allah) mengabarkan bahwa orang semacam itu adalah orang zhalim yang paling zhalim!
Jika seorang hamba telah mendengar kesaksian dari Allah, mendengar Nubuwah yang dibawa Rasul-Nya, Tauhid yang dibawanya, dan bahwa Ibrahim beserta keluarganya adalah orang-orang yang berada di atas Islam, lalu dia menyembunyikan kesaksian ini, maka dia adalah orang zhalim yang paling zhalim (dilaknat Allah), seperti yang dilakukan musuh-musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan orang-orang Yahudi.  Mereka mengenal Beliau sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.
Bagaimana mungkin ada anggapan terhadap Allah, bahwa Dia menyembunyikan kesaksian yang benar seperti yang dikatakan golongan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Mu’thilah, bahwa Allah tidaklah mempersaksikan Diri-Nya, kemudian Dia mempersaksikan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kesaksian itu, sehingga tidak ada penyatuan?  Mahasuci Engkau, sungguh ini merupakan kedustaan yang amat besar.
Allah mempersaksikan bagi diri-Nya, bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, bahwa Dia berkuasa atas hamba-hamba-Nya, bahwa para Malaikat yang berada di atas mereka pun takut kepada-Nya, padahal para Malaikat tersebut menghadap pada-Nya dengan membawa urusan (yang diperintahkan-Nya), turun dari sisi-Nya dengan suatu urusan.  Bahwa amal shalih naik kepada-Nya.  Bahwa Allah Datang, Berbicara, Ridha, Murka, Mencintai, Menyeru, Bergembira, dan Tersenyum, Melihat, dan Mendengar.  Bahwa orang-orang mukmin akan memandang-Nya dengan penglihatan mereka pada saat pertemuan dengan-Nya, dan lain sebagainya dari hal-hal yang dipersaksikan Allah atas Diri-Nya, seperti yang dipersaksikan para Rasul-Nya.  Sementara yang dipersaksikan golongan Jahmiyah adalah kebalikannya.  Mereka berkata, “Kesaksian kami lebih benar dan lebih adil daripada kesaksian berbagai Nash.  Sebab kesaksian Nash itu menyembunyikan kebenaran dan memperlihatkan kebalikannya.”  Kesaksian Allah mereka dustakan sedemikian rupa.  Padahal apa yang dipersaksikan Allah itu telah Dijelaskan, Ditampakkan-Nya, bahkan Dia menjadikannya lebih tinggi dari tingkatan penjelasan dan penampakan (yang mampu dibuat oleh seluruh makhluk-Nya).  Kalaupun apa yang dikatakan golongan Jahmiyah dan orang-orang yang bathil itu benar, tentunya semua hamba tidak akan bisa mengambil manfaat dari kesaksian Allah atas diri-Nya.  Kebenaran yang ada di dalam masalah ini menurut mereka tidak dipersaksikan Allah bagi diri-Nya dan tidak pula ditampakkan-Nya.  Hal ini samasekali tidak benar, jadi tidak ada kebenaran dan keyakinan yang bisa diambil dari pendapat mereka itu.
Adapun ayat-ayat Allah yang bersifat penciptaan dan kasat mata (ayat-ayat Kauniyyah-Nya), maka ia menunjukkan apa yang ditunjukkan ayat-ayat (Syar’iyyah)-Nya, berupa perkataan yang dapat didengar dan dibaca (Al-Kitab).  Ayat-ayat Allah adalah bukti keterangan dan penjelasan Allah, yang dengan bukti dan keterangan itu Dia (Allah) memperkenalkan Diri kepada hamba-hamba-Nya.  Dengan bukti dan keterangan itulah mereka bisa mengetahui Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya, Perintah, Larangan, dan Tauhid-Nya.
Para Rasul mengabarkan Perkataan-Nya yang disampaikan-Nya kepada Mereka, termasuk ayat-ayat-Nya yang dapat didengar.  Mereka mencari bukti atas semua itu dengan apa-apa yang diperbuat Allah, untuk mempersaksikan (membuktikan) kebenaran yang mereka sampaikan, yaitu berupa ayat-ayat-Nya yang dapat dilihat.  Akal bertugas mempromosikan antara yang ini dan yang itu, agar bisa memastikan kebenaran yang disampaikan para Rasul, sehingga ada kesesuaian antara kesaksian Pendengaran, kesaksian Penglihatan, kesaksian Akal, dan kesaksian Fitrah.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?)
Dengan kesempurnaan keadilan Allah, rahmat, ihsan, hikmah, kekuasaan-Nya untuk memaafkan dan menegakkan hujjah, Dia tidak mengutus seorang Nabi pun dari para Nabi yang ada, melainkan membawa ayat-ayat yang menunjukkan kebenaran tentang apa yang dikhabarkan-Nya.
Allah berfirman (artinya),
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (keadilan).”  (Al-Hadid;  25), dan
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang yang Kami beri Wahyu kepada mereka;  maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat), dan Kitab-Kitab.”  (An-Nahl;  43-44),dan
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian beberapa orang Rasul sebelumku, membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kalian sebutkan.”   (Ali-Imran;  183), dan
Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (Rasul-Rasul-Nya);  Kepada mereka telah datang Rasul-Rasul-Nya dengan membawa mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab-Kitab yang memberi penjelasan dengan sempurna.”   (Fathir;  25)
Sampai-sampai di antara ayat-ayat Rasul yang paling sulit, yaitu ayat-ayat yang dibawa Nabi Hud, sehingga kaumnya berkata kepadanya, “Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.”  Tetap saja (itu) merupakan suatu bukti-bukti keterangan yang sangat nyata.  Hal ini diisyaratkan dalam perkataan Nabi Hud (artinya),
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah semua tipu-daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.  Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.  Tidak ada suatu  binatang melata pun melainkan Dia-lah Yang memegang ubun-ubunnya.  Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.”  (Hud;  54 -56)
(Baca artikel, JALAN YANG LURUS)
Ini merupakan bukti keterangan yang paling agung, bahwa ada seseorang yang berkata kepada kaumnya dengan perkataan yang amat besar ini, tanpa ada rasa takut dan gentar, serta tidak menunjukkan kelemahan dirinya, tetapi dia yakin dengan apa yang dikatakannya.
Pertama-tama dia menjadikan Allah sebagai saksi atas kebebasan dirinya dari agama (keyakinan) mereka.  Ini merupakan pernyataan yang dilakukannya dengan keyakinan yang penuh kepada-Nya, untuk memberitahu kaumnya, bahwa Allah adalah pelindung dan penolongnya, tidak menganggap mereka sebagai penguasa atas dirinya.  Kemudian dia mempersaksikan secara blak-blakan kepada mereka, bahwa dia membebaskan diri (berlepas diri) dari agama dan sesembahan mereka, yang karena sesembahan itulah mereka rela mengorbankan harta dan jiwanya.  Kemudian ia menegaskan tantangan terhadap penghinaan, olok-olok, dan pelecehan mereka.  Kalaupun mereka semua berhimpun untuk melancarkan tipu-daya kepadanya, yang dengan cara itu mereka dapat mengobati sakit hati dan kemarahan mereka padanya, mereka tidak perlu menunda tipu-daya itu, boleh langsung melaksanakannya, toh mereka tidak akan mampu melakukan semua itu.  Sekiranya mereka nekat melakukannya, maka mereka akan dibalik (Allah) menjadi orang-orang yang gagal total, kalah, dan terhina.
Kemudian Nabi Hud menandaskan dakwahnya dengan penandasan yang baik, dan menjelaskan bahwa Rabb-nya dan Rabb mereka, yang ubun-ubun mereka ada di Tangan-Nya, yang merupakan penolong dan wakilnya, yang bertugas menolong dan mendukungnya, dan Dia (Allah) berada di atas jalan yang lurus.  Dia (Allah) tidak akan menghinakan orang yang bertawakal dan beriman kepada-Nya, tidak akan membantu musuh-musuh-Nya, dan tidak bersama mereka untuk mengalahkan Hud.  Sesungguhnya jalan Allah yang lurus, yang Dia berada di atasnya dalam Perkataan dan Perbuatan-Nya, mencegah dan menghalangi hal itu.
Di bawah pengertian seruan ini, bahwa di antara jalan Allah yang lurus adalah Dia akan membalas orang yang keluar dari jalan-Nya dan melakukan hal-hal yang sebaliknya dengan dosa.  Sesungguhnya jalan yang lurus ini adalah keadilan, yang Allah berada di atasnya.  Di antara konsekuensi jalan yang lurus ini adalah pembalasan Allah yang dilakukan kepada orang-orang yang musyrik dan berdosa, pertolongan-Nya kepada para Wali dan Rasul-Nya untuk menghadapi musuh-musuh mereka, mematikan mereka dan menggantinya dengan kaum yang lain, dan sedikit pun tidak ada yang mampu mendatangkan mudharat terhadap Allah.  Allah-lah Yang menangani segala sesuatu, baik penjagaan, pemeliharaan, pengurusan, dan pembilangannya (menentukan jumlah mereka), dengan perkataan dan perbuatan-Nya.  Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Tidaklah ada seorang Nabi di antara para Nabi melainkan telah diberi ayat-ayat (bukti-bukti keterangan) yang manusia tidak beriman kepada yang semisalnya.  Dan yang diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah padaku, maka aku berharap akulah yang paling banyak pengikutnya di antara mereka pada Hari Kiamat.”
Di antara Asma’ Allah adalah Al-Mu’min.  Dalam salah satu dari dua penafsirannya, artinya ialah Yang membenarkan orang-orang yang benar, karena Dia-lah yang menegakkan bukti-bukti kebenaran mereka.  Allah-lah yang membenarkan para Rasul dan Nabi-Nya tentang apa yang mereka sampaikan dari-Nya, dan Dia menjadi saksi bagi mereka, bahwa mereka adalah benar, dengan disertai (berbagai) dalil yang menunjukkan kebenaran mereka, baik yang merupakan Qadha’ maupun penciptaan.  Allah Yang mengabarkan.  Dan Pengabaran-Nya adalah benar.  Perkataan-Nya yang benar mengharuskan (mewajibkan) Dia membuat hamba-hamba-Nya dapat melihat tanda-tanda Kekuasaan-Nya di seluruh ufuk dan pada diri mereka, yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa Wahyu yang disampaikan para Rasul-Nya adalah benar.  Allah berfirman (maknanya),
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. (Fushshilat;  53)
Yang dimaksudkan Al-Haqq di dalam ayat ini adalah Al-Qur’an[2], ini merupakan kelanjutan dari makna firman Allah sebelumnya,
“Katakanlah, ‘Bagaimana pendapat kalian jika Al-Qur’an itu datang dari sisi Allah, kemudian kalian mengingkarinya?’”  (Fushshilat;  52), lalu yang berikutnya
“Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”  (Fushshilat;  53)
Allah menjadi saksi bagi Rasul-Nya dengan berkata, bahwa apa yang Mereka bawa itu adalah benar, dan Dia berjanji untuk memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai tanda Kekuasaan yang berkaitan dengan Perbuatan-Nya, yang menjadi saksi atas semua itu.
Kemudian Allah menyebutkan yang lebih besar lagi, yaitu Kesaksian Allah atas segala sesuatu.  Sesungguhnya di antara asma’-Nya adalah Asy-Syahid, yang artinya tidak ada sesuatu pun yang lolos dari Pengawasan-Nya.  Dia Maha Melihat dan Maha Menyaksikan segala sesuatu, lengkap dengan segala rinciannya.
Pembuktian ini dengan menggunakan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya.  Yang pertama dengan Perkataan dan Kalimat-Kalimat-Nya.  Sedangkan pembuktian dengan tanda-tanda kekuasaan di ufuk dan pada diri manusia termasuk pembuktian dengan Perbuatan dan makhluk-Nya.
Boleh jadi engkau berkata, “Aku sudah memahami pembuktian dengan kalimat-kalimat-Nya dan pembuktian dengan makhluk-Nya.  Tolong jelaskan padaku bagaimana pembuktian dengan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya.  Karena ini bagi kami merupakan masalah yang tidak mudah untuk didapatkan di dalam kitab-kitab (buku-buku) kami. ”
Dapat kami jawab sebagai berikut;  Demi Allah, apa yang engkau kemukakan itu memang sangat tepat dan permasalahannya jauh lebih signifikan (nyata).  Sebab Allah adalah Yang hendak dibuktikan, dan ayat-ayat-Nya sebagai bukti keterangan dan dalil.
Ketahuilah, bahwa hakikatnya Allah-lah yang menjadi bukti tentang Diri-Nya melalui ayat-ayat-Nya.  Pada hakikatnya Allah adalah dalil bagi hamba-hamba-Nya, dengan cara memancangkan berbagai dalil dan bukti kepada mereka.  Allah telah memasukkan pengetahuan ke dalam fitrah yang belum terinfeksi (tercemar) Taqlid ("membeo"), Pengingkaran, dan Penentangan, bahwa Allah adalah sempurna dalam Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya.  Dia-lah Yang disifati dengan segala Kesempurnaan, yang terlepas dari segala aib dan kekurangan.  Segala Kesempurnaan, Keagungan, dan Kebesaran merupakan keharusan dari Dzat-Nya, dan mustahil jika tidak seperti itu.  Semua Kehidupan adalah milik-Nya, begitu pula Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kehendak, Keinginan, Rahmat, Kekayaan, Kemurahan, Kebajikan, dan Kebaikan, semua khusus bagi-Nya, dan Dia Yang mengaturnya.  Apa yang tidak diketahui makhluk tentang kesempurnaan-Nya justru lebih besar lagi, bahkan lebih besar dari apa yang mereka ketahui (semua ilmu manusia / makhluk).  Bahkan tidak ada penisbatan tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui mengenai Allah (tidak signifikan).
Di antara Kesempurnaan Dzat Yang disucikan adalah Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu dan Kesaksian-Nya.  Tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi perinciannya yang lolos dari Pengetahuan-Nya.  Tidak ada satu pun dzarrah yang tersembunyi dari-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.  Jika seperti ini keadaannya, lalu bagaimana mungkin hamba menyekutukan sesuatu dengan-Nya?  Menyembah selain-Nya disamping menyembah-Nya?  Dan menjadikan sesembahan yang lain bersama-Nya?  Bagaimana mungkin dengan Kesempurnaan-Nya – Dia mengakui orang yang justru mendustakan-Nya?  Dengan kedustaan yang besar, membantu dan menolongnya, menguatkannya, meninggikan kalimat mereka, mengangkat kedudukannya, mengabulkan do’anya, membinasakan “musuhnya” (mendiskreditkan kebenaran), dan menampakkan berbagai tanda kekuasaan dan bukti keterangan di hadapan mereka (musuh-Nya), yang tidak mampu dilakukan oleh kekuatan manusia mana pun?  Apa pun yang terjadi, orang-orang tersebut adalah para pendusta dan pembual, yang hanya mencari / membuat kerusakan di muka bumi!
Sudah diketahui bersama, Kesaksian Allah atas segala sesuatu, Kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, Hikmah, Keperkasaan, dan Kesempurnaan-Nya Yang disucikan – menolak hal (pemahaman) di atas.  Siapa yang beranggapan seperti itu dan memperkenankannya, berarti ia adalah makhluk yang paling tidak mengetahui tentang Allah, meskipun mungkin dia mengetahui sebagian Sifat-Nya yang lain, seperti Sifat Kekuasaan dan Kehendak-Nya.
Al-Qur'an penuh dengan cara penggambaran seperti ini, yang termasuk cara khusus, dan bahkan lebih khusus dari yang khusus.  Merekalah yang mencari bukti tentang Allah atas berbagai macam Perbuatan-Nya, dengan apa yang patut Dia lakukan dan yang tidak patut Dia lakukan.
Jika engkau memperhatikan Al-Qur’an, tentu engkau akan melihatnya menyeru (mengajak) kepada hal itu.  Al-Qur'an akan menampakkan dan menyiapkannya bagi siapa saja yang memiliki pemahaman dan hati yang menyadari tentang Keberadaan Allah.  Seperti makna firman-Nya,
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (Nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang ia pada tangan kanannya.  Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.  Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.”  (Al-Haqqah;  44 -47)
Tidakkah engkau mengetahui bagaimana Allah mengabarkan Kesempurnaan, Hikmah, dan Kekuasaan-Nya?  Yang menolak untuk mengakui orang (siapapun) yang mengada-adakan atas Nama-Nya dengan sebagian perkataan?  Bahkan Dia menjadikan hal ini sebagai pelajaran bagi hamba-hamba-Nya, seperti yang terjadi menurut Sunnah-Nya pada diri orang-orang yang mengada-adakan perkataan terhadap-Nya.  Seperti makna firman-Nya,
“Bahkan mereka mengatakan, “ Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah.’  Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu.”
Sampai di sini jawaban syarat sudah habis.  Kemudian Allah menyampaikan satu pengabaran yang pasti dan tidak disertai catatan tambahan,
“Dan Allah menghapuskan yang bathil dan membenarkan yang haq dengan kalimat-kalimat-Nya.”  (Asy-Syura;  24), dan
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.’”  (Al-An’am;  91)
Allah mengabarkan, bahwa orang-orang yang menafikan pengutusan para Rasul dan Kalam-Nya, tentu tidak menghormati-Nya sebagaimana layaknya dan tidak pula mengetahui-Nya sebagaimana mestinya, tidak pula (boro-boro, pen.) mengetahui Pengagungan-Nya sebagaimana mestinya.  Maka bagaimana mungkin ada orang yang beranggapan, bahwa Allah menolong orang yang berdusta dan membual tentang Diri-Nya?  Justru hal itu malah menambah kuat dalil dan menampakkan berbagai bukti, keterangan yang ada di Tangan-Nya.  Yang demikian ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an.  Kesempurnaan-Nya yang disucikan, Sifat-Sifat dan Keagungan-Nya dapat dijadikan dalil tentang kebenaran para Rasul-Nya, kebenaran janji dan ancaman-Nya juga menjadi dalil atas Wahdaniyah (ke-Esa-an)-Nya dan kebathilan syirik, seperti makna firman-Nya,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah selain-Nya, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.  Dia-lah Allah Yang tiada Ilah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”  (Al-Hasyr;  22–23)
Masih banyak ayat lain yang serupa dengan ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Allah menjadikan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya sebagai bukti atas kebathilan orang yang menisbatkan hukum dan syari’at-syari’at yang bathil kepada-Nya.  Kesempurnaan-Nya Yang disucikan mencegah manusia untuk melanggengkan hal tersebut, seperti makna firman-Nya,
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’  Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh ( mengerjakan) perbuatan yang keji.’  Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?”  (Al-A’raf;  28)
Setelah firman Allah tentang syirik, kezhaliman, dan kekejian, disebutkan firman-Nya tentang mengada-adakan perkataan terhadap Allah tanpa disertai pengetahuan.
“Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu.”  (Al-Isra’;  38)
Allah memberitahukan kepadamu bahwa sesuatu yang jahat tentu dibenci Allah.  Kesempurnaan syari’at-Nya menolak menjadikan kejahatan itu sebagai bagian dari syari’at dan Agama.  Dengan Asma’ dan Sifat-Nya Allah menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya tentang apa yang diperbuat-Nya dan yang diperintahkan-Nya, yang dicintai dan dibenci-Nya, yang diberi pahala dan yang diberi siksa.  Tetapi cara ini tidak bisa mengantarkan kecuali pada orang-orang yang khusus.  Karena itu jalan dan dalil yang dilalui Jumhur (mayoritas) adalah jalan-jalan yang bisa disaksikan.  Karena jalan ini lebih luas dan lebih mudah didapatkan.  Sementara Allah melebihkan sebagian orang di atas sebagian yang lain, dan meninggikan derajat siapapun yang dikehendaki-Nya, dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di dalam Al-Qur’an sudah terhimpun hal-hal yang tidak terdapat di tempat lain.  Al-Qur’an adalah seruan dan hujjah, dalil, dan yang menunjukkan / mengarahkan kepada dalil, saksi, dan yang diberi kesaksian.  Al-Qur’an adalah hukum dan dalil, seruan dan bukti yang nyata.  Firman Allah (artinya),
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al-Qur’an) dari Rabb-nya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad)?”  (Hud;  17)
Allah berfirman tentang orang yang mencari tanda kekuasaan yang menunjukkan kebenaran Rasul-Nya,
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an), sedang dia dibacakan kepada mereka?  Sesungguhnya di dalam (Al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.  Katakanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan antara kalian.  Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.  Dan orang-orang yang percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”  (Al-Ankabut;  51 -52)
Allah mengabarkan Al-Kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya lebih dari cukup dari semua tanda Kekuasaan.  Di dalamnya terdapat hujjah dan bukti bahwa ia berasal dari Allah, dan bahwa Allah mengutus Rasul dengannya.  Di dalamnya juga terdapat bukti keterangan yang pasti mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan dari adzab bagi siapa yang mengikutinya.  Kemudian Allah berfirman, “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan antara kalian.  Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.”  Karena Allah mengetahui segala apa pun, maka Kesaksian-Nya merupakan kesaksian yang paling benar dan paling adil.  Itu merupakan Kesaksian yang didasarkan kepada Ilmu yang komplit, yang meliputi apa saja yang dipersaksikan-Nya.  Maka yang menjadi saksi bagi-Nya juga merupakan saksi yang paling adil dan paling benar.
Allah menyebutkan Ilmu-Nya disamping kesaksian-Nya, Kekuasaan, dan Kerajaan-Nya di samping Pembalasan-Nya, Hikmah-Nya di samping Penciptaan dan Perintah-Nya, Rahmat-Nya di samping penyebutan pengutusan para Rasul, Kelemah-lembutan-Nya disamping penyebutan dosa dan kedurhakaan hamba- hamba-Nya, Pendengaran-Nya di samping do’a dan permohonan kepada-Nya, Ilmu-Nya di samping Qadha’ dan Qadar-Nya.
Maka perhatikanlah penyebutan Al-Asma’ Al-Husna di dalam Kitab-Nya, dan hubungan Asma’ itu dengan Penciptaan, Perintah, Pahala, dan Siksa.
Berangkat dari sinilah  firman Allah (maknanya),
“Berkatalah orang-orang kafir, ‘Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul.’  Katakanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kalian dan antara orang yang mempunyai Ilmu Al-Kitab.’”   (Ar-Ra’d;  43)
Untuk menguatkan kerasulannya, Beliau mencari kesaksian dari Allah.  Engkau harus tahu kesaksian ini dan hujjah ini akan ditegakkan terhadap orang-orang yang mendustakannya.  Begitu pula makna firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’  Katakanlah, ‘Allah.  Dia menjadi saksi antara aku dan kalian.’”  (Al-An’am;  19)
Begitu pula beberapa makna firman Allah berikut,
“(Mereka tidak mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepadamu.  Allah menurunkannya dengan Ilmu-Nya;  Dan Malaikat-Malaikat pun menjadi saksi (pula).  Cukuplah Allah yang mengakuinya.”  (An-Nisa’;  166)
“Yasin.  Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-Rasul.”  (Yasin;  1–3),
“Itu adalah ayat-ayat Allah.  Kami bacakan kepadamu dengan haq (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara Nabi-Nabi yang diutus.”  (Al-Baqarah;  252),
“Muhammad itu adalah utusan Allah.”  (Al-Fath;  29), dan lain-lain.
Ini semua merupakan kesaksian dari Allah bagi Rasul-Nya.  Dia Menampakkan, Menjelaskan, dan Menerangkan pula kebenaran kesaksian itu dengan bukti keterangan yang akurat, dengan begitu Dia bisa memutus alasan (dalih) antara Diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya lalu menegakkan hujjah atas mereka (sehingga mereka tidak bisa mengelak lagi).
Keberadaan Allah sebagai saksi bagi Rasul-Nya bisa diketahui dengan semua jenis dalil, baik aqli (akal), naqli (Agama), fitrah (kesiapan setiap insan untuk menerima hidayah setelah dilahirkan / dihadirkan ke muka bumi) yang urgen, dan pandangannya.
Siapa yang memperhatikan dan mengamati hal itu, tentu akan tahu bahwa Allah menjadi saksi bagi Rasul-Nya dengan kesaksian yang paling Benar, paling Adil, dan paling Nyata.  Allah membenarkannya dengan segala jenis pembenaran, yaitu dengan firman-Nya, yang dengannya Dia menegakkan bukti keterangan tentang kebenaran-Nya.  Allah juga membenarkan dengan Perbuatan, dan Penetapan-Nya, serta dengan fitrah yang dijadikan (diciptakan) Allah di dalam diri setiap hamba, berupa Penetapan terhadap Kesempurnaan-Nya, pembebasan-Nya dari hal-hal yang buruk dan yang tidak patut bagi-Nya.  Setiap saat Allah memberitahukan melalui Ayat-Ayat-Nya yang menunjukkan kebenaran Rasul-Nya, agar Dia dapat menegakkan hujjah dengannya, dan mengenyahkan segala alasan.  Allah memutuskan bagi Rasul-Nya dan bagi para pengikut Rasul-Nya, sesuai dengan janji yang disampaikan kepada mereka, berupa Kemuliaan dan Keselamatan, Kemenangan dan Pertolongan.  Allah memutuskan bagi musuh-musuh-Nya, dan orang-orang yang mendustakan-Nya, sesuai dengan janji yang disampaikan kepada mereka, berupa kekecewaan dan kehinaan serta hukuman yang disegerakan (kesesatan di dunia), untuk menunjukkan realisasi hukuman yang ditangguhkan (Neraka di Akhirat kelak),
“Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan Agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.  Dan, cukuplah Allah sebagai saksi.”  (Al-Fath;  28)
Allah memenangkannya dengan 2 (dua) macam kemenangan;  *Kemenangan dengan Hujjah, bukti keterangan dan dalil, dan *Kemenangan dengan pandangan, keunggulan, dan kekuatan, sehingga Agama Allah itu dapat mengungguli orang-orang yang melawan (menentang)nya, dan ia pun mendapatkan pertolongan.  Senada dengan makna firman-Nya,
“(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), akan tetapi Allah mengakui Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepadamu.  Allah menurunkan-Nya dengan Ilmu-Nya, dan Malaikat-Malaikat pun menjadi saksi (pula).”  (An-Nisa’;  166)
Adapun yang di dalamnya ada Pengabaran yang datangnya dari Ilmu Allah, yang tidak diketahui selain dari Diri-Nya, maka itu merupakan kesaksian yang paling besar, bahwa Dia-lah Yang menurunkannya, sebagaimana makna firman-Nya di ayat lain,
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu.’  Katakanlah, ‘(Kalau demikian) maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar.’  Jika mereka yang kalian seru itu tidak menerima seruan (ajakan) kalian itu, maka (katakanlah olehmu), Ketahuilah sesungguhnya Al-Qur’an itu di turunkan dengan Ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Ilah selain Dia, maka maukah kalian berserah diri (kepada Allah)?
Yang dimaksudkan (ayat dia atas) bukan sekedar Pengabaran bahwa Al-Qur’an itu diturunkan Allah, dan bahwa Al-Qur’an itu diketahui-Nya, sebagaimana Dia mengetahui segala sesuatu.  Sebab segala sesuatu memang diketahui oleh Allah (yang benar maupun yang bathil).  Akan tetapi maknanya, apa yang diturunkan-Nya itu mencakup (bagian dari) Ilmu-Nya, bahwa apa yang diturunkan-Nya itu merupakan suatu tanda keberadaan-Nya yang berasal dari sisi-Nya.  Bahwa apa yang diturunkan-Nya itu adalah kebenaran.  Semisal dengan makna ini adalah,
“Katakanlah, ‘Al-Qur’an itu di turunkan oleh (Allah) Yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi.”  (Al-Furqan;  6)
Ini merupakan pengingkaran sekaligus bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan, ‘’Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu.”
“Yang juga termasuk kesaksian Allah adalah, apa yang disusupkan-Nya ke dalam hati hamba-hamba-Nya, berupa pembenaran yang pasti, keyakinan yang tetap, dan thuma’ninah (ketenangan / ketegaran jiwa yang tergambar pada anggota tubuh / Jawarih) terhadap Kalam dan Wahyu-Nya.
Tradisi biasanya menghimpun kedustaan yang paling besar, mengada-adakan perkataan terhadap Allah, Rabb semesta alam, mengabarkan sesuatu dari-Nya yang bertentangan dengan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya, bahkan mendatangkan keragu-raguan yang amat besar.  Namun fitrah dan akal sehat menolaknya, sebagaimana fitrah yang dijadikan di dalam diri binatang yang menolak makanan yang tidak baik (berbahaya baginya), yang tidak layak untuk dimakan, seperti kotoran dan hal-hal yang busuk (buruk).
Sesungguhnya Allah telah menjadikan fitrah di dalam hati untuk menerima kebenaran, tunduk kepadanya, merasa tenang dan tenteram dengannya, serta mencintainya.  Fitrah hati itu juga membenci kedustaan dan kebathilan, menyangsikannya, menghindar darinya, dan tidak tenang dengannya.
Sekiranya fitrah tetap dalam keadaan semula (yang dibawa manusia sejak lahir), tentu ia tidak akan mementingkan selain kebenaran dan tidak merasa tenang kecuali kembali padanya, tidak tenteram kecuali bersamanya, dan tidak mencintai selainnya.  Karena itulah Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar memperhatikan Al-Qur’an.  Sebab, siapa pun yang memperhatikan dan mendalami Al-Qur’an (tidak sekedar dibaca), tentu akan mendapatkan ilmu dan keyakinan yang mantap, bahwa Al-Qur’an itu adalah benar dan haq, bahkan lebih haq dari segala yang haq, lebih benar dari segala yang benar, bahwa apa yang dibawanya adalah penciptaan Allah yang paling benar, paling baik, dan paling sempurna dari sisi Ilmu, Amal maupun Ma’rifat.  Sebagaimana juga makna firman-Nya,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?  Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”  (An-Nisa’;  82), dan
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?”  (Muhammad;  24)
Sekiranya kunci dilepaskan dari hati, tentu ia akan menyatu dengan hakikat-hakikat Al-Qur’an, dan di dalamnya bersinar pelita-pelita iman.  Dengan ilmu yang dibutuhkan, yang bersemayam di dalam hati seperti berbagai perasaan yang bersemayam di dalamnya, seperti kesenangan, penderitaan, cinta, dan takut, ia pun mampu mengetahui bahwa Al-Qur’an itu dari sisi Allah, yang disampaikan-Nya dengan benar, dan yang disampaikan utusan-Nya, Jibril ‘alaihissalam kepada utusan-Nya yang lain, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saksi fitrah yang ada di dalam hati ini merupakan saksi yang paling penting.  Bahkan Heraklius (Raja Romawi) pun berhujjah dengan saksi ini ketika berhadapan dengan Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu, ketika dia (Heraklius) bertanya kepadanya, “Adakah seseorang di antara mereka yang murtad, karena kebencian kepada agama (Islam) setelah ia masuk ke dalamnya?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.”
Maka Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Begitu pula iman, jika keceriaannya telah menyatu dengan hati, maka tak seorang pun yang membencinya.”
Allah telah mengisyaratkan makna ini di dalam firman-Nya,
“Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.”  (Al-Ankabut;  49), dan
Dan orang-orang yang diberi ilmu (Al-Kitab) berpendapat, bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah yang benar.”  (Saba’;  6), dan
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Al-Qur’an itulah yang haq dari Rabb-mu.”  (Al-Hajj;  54), dan
Apakah orang yang mengetahui, bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itu adalah benar – sama dengan orang yang buta?”  (Ar-Raa’d;  19), dan
“Orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) Dari Rabb-nya?’  Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.”  (Ar-Ra’d;  27)
Dengan perkataan lain, ayat yang mereka pinta itu tidak akan mendatangkan petunjuk.  Tetapi Allah-lah Yang memberi petunjuk dan Yang menyesatkan.  Kemudian Allah mengingatkan mereka tentang ayat yang paling besar dan agung, yaitu ketenteraman hati orang-orang beriman (mukmin), dengan cara mengingat Allah;
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.  Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati itu menjadi tenteram.”  (Ar-Ra’d;  28)
Ketenteraman hati dan fitrah yang sehat, serta kecenderungan hati kepadanya merupakan ayat yang paling besar.  Sebab, mustahil hati menjadi tenteram karena kecenderungan hati kepada kedustaan, pembualan, dan kebathilan.
Jika ada yang bertanya;  Mengapa Allah tidak menyebut kesaksian para Rasul-Nya bersama para Malaikat, sehingga dikatakan, “Allah mempersaksikan bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan para Rasul-Nya (juga mempersaksiakan yang demikian itu)?  Padahal kesaksian mereka lebih besar daripada kesaksian orang-orang berilmu.”
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut;  Bahwa di sini ada beberapa manfaat di antaranya;
·         Orang-orang yang berilmu lebih umum daripada para Nabi dan Rasul.  Sebab para Nabi dan Rasul termasuk orang-orang berilmu dan  para pengikut mereka.
·       Disebutkannya orang-orang berilmu dalam kesaksian ini dan pengaitannya dengan mereka, menunjukkan bahwa kesaksian itu merupakan bagian dari keharusan ilmu.  Sehingga siapa pun orang-orang yang berilmu (benar ilmunya) tentu akan menyatakan kesaksian yang serupa, seperti ucapan, “Jika bulan sabit muncul”, yang berarti siapa pun yang memiliki penglihatan tentu akan melihatnya.  Jika dikatakan, “Ada bau yang semerbak”, artinya siapa pun yang memiliki penciuman tentu akan merasakan baunya yang semerbak.  Makna firman Allah,
“Dan diperlihatkan Neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.”  (An-Nazi’at;  36)  Setiap orang yang memiliki penglihatan tentu akan melihatnya dengan mata-kepalanya sendiri saat itu.
Di sini terkandung pengertian, bahwa barangsiapa yang tidak memberikan kesaksian terhadap Allah dengan kesaksian ini, maka dia termasuk orang-orang yang paling bodoh, meskipun dia mengetahui ini dan itu dari berbagai urusan dunia yang tidak diketahui orang lain.  Orang itu dikategorikan orang bodoh, dan bukan orang-orang yang berilmu.
Seperti yang telah kami jelaskan, tidak ada yang menyatakan dan melaksanakan kesaksian ini kecuali para pengikut Rasul.  Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati yang teguh, dan merekalah (hakikat) orang-orang yang berilmu.  Sementara selain mereka adalah orang-orang yang bodoh, kendati mereka mampu berbicara banyak dan pandai berdebat!
Disamping itu, Kesaksian Allah hanya bagi orang-orang yang layak menerima kesaksian tersebut, yaitu orang-orang yang berilmu.  Kesaksian Allah bagi mereka adalah kesaksian yang lebih besar dan lebih adil daripada kesaksian golongan Jahmiyah, Atheis, serta Antek Fir’aun, karena mereka adalah orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang buruk.
Maka Allah mencukupkan dengan kesaksian orang-orang yang paling benar, yaitu orang-orang berilmu.  Sebab mereka memberikan kesaksian dengan hakikat kesaksian Allah bagi Diri-Nya, tanpa ada penyimpangan dan pengguguran hakikat.  Mereka menetapkan hakikat kesaksian itu bagi-Nya dengan segala kandungannya.  Sementara musuh-musuh mereka menafikan (meniadakan) hakikat kesaksian itu dari-Nya dengan menetapkan ucapan dan kiasan-kiasan.
Dalam kandungan kesaksian Ilahiyah ini ada pujian terhadap orang-orang berilmu yang menjadi saksi dan kesetaraan mereka.  Allah menyertakan Kesaksian-Nya dengan kesaksian mereka, serta kesaksian para Malaikat.  Allah meminta kesaksian mereka untuk sesuatu yang paling Agung, dan menjadikan mereka sebagai hujjah atas orang-orang yang mengingkari kesaksian ini.  Sebagaimana Dia berhujjah dengan bukti keterangan yang nyata terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran.  Hujjah ditegakkan terhadap makhluk dengan keberadaan para Rasul.  Sementara orang-orang yang berilmu adalah wakil para Rasul, dan penerus Mereka dalam rangka menegakkan hujjah Allah atas hamba-hamba-Nya.
Kesaksian orang-orang yang berilmu itu ada yang menafsirkannya sebagai pernyataan, ada yang menafsirkannya sebagai penjelasan, dan ada yang menafsirkannya dengan penampakan.
Yang benar, kesaksian itu mengandung dua hal, yaitu kesaksian mereka sebagai *Pernyataan, Penampakan, dan Pemberitahuan,  *Sementara mereka pun menjadi saksi atas semua manusia pada Hari Kiamat.  Firman Allah (artinya),
“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (Ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”  (Al-Baqarah;  143)
“Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia.”  (Al-Hajj;  78)
Allah mengabarkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang adil dan pilihan, memuji penyebutan mereka sebelum menjadikan (menciptakan) diri mereka.  Telah ditetapkan dalam Ilmu-Nya semenjak zaman dahulu (azali), bahwa mereka akan menjadi saksi atas manusia pada Hari Kiamat. 
 Jadi, siapa pun yang tidak menegakkan kesaksian ini, baik dari sisi Ilmu, Amal, Ma’rifat, Pernyataan, Dakwah, Pengajaran, dan Bimbingan, maka mereka tidak termasuk Saksi-Saksi Allah, meskipun dia meneriakkan kalimat Tauhid setinggi langit - hingga pita suaranya putus, atau membentangkan bendera Tauhid dari ujung bumi hingga ke ujung langit.  Tanpa Ilmu dan pemahaman yang benar tentang Hakikat Tauhid, mereka tak ubahnya seperti kelompok Al-Qaeda, atau ISIS yang hanya merusak tatanan Agama Islam dan Dunia, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima dan mengakui  kesaksian mereka, sebab tidak mencocoki Tauhidnya para Nabi dan Rasul 'alahimussalam.
الحمد لله رب العالمين 

oOo
[1] Kebenaran yang disebutkan di dalam beberapa ayat ini dan juga yang lainnya, maknanya adalah hakikat yang baku, yaitu bahwa Allah telah menetapkan Hikmah, Rahmat, dan Keadilan-Nya untuk menciptakan segala apa pun di langit dan di bumi berdasarkan hakikat-hakikat yang tetap, yang ditundukkan-Nya bagi manusia, agar mereka dapat memanfaatkan dan mengambil faidah darinya, mengembangkan dan menumbuhkannya hingga sampai pada tingkat kesempurnaan, selagi mereka tetap konsisten pada Pandangan, Pemahaman, dan Implikasinya pada hakikat-hakikat yang tetap itu.  Tetapi syaithan memperdayai sekian banyak manusia dan membaguskan bagi mereka dunia (untuk mengalihkan perhatian mereka, pen.), untuk menggugurkan berbagai hakikat di dalam diri dan ufuk.  Pada awalnya mereka menggugurkan hakikat kemanusiaannya yang memiliki kemampuan penalaran.  Mereka (syaithan) membual bahwa manusia tidak bisa memahami dan memikirkan tentang Allah, Bukti-bukti Kekuasaan-Nya di alam dan tidak pula Syari'at-syari'at-Nya yang diturunkan kepada para Nabi.  Mereka bertaqlid dengan taqlid buta (membeo saja) dan melalaikan setiap hakikat yang ada di alam ini.  Mereka yakin (diyakinkan oleh syaithan, pen.) bahwa para wali mereka yang sudah mati - masih hidup seperti keadaan mereka di dunia, yang mampu mendengar dan melihat, yang bisa memberi dan menahan.  Karena itu mereka berdo'a kepada para wali itu dan menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah.  Mereka menggugurkan hakikat batu dan tembaga, lalu mereka mensucikannya dan menganggapnya dapat memberi berkah jika bebatuan itu diletakkan di atas kuburan para wali, atau dibentuk seperti rupa orang-orang yang mereka sucikan.  Begitulah "cara" mereka menggugurkan hakikat-hakikat syari'at yang diturunkan dan ayat-ayat (wahyu).  Mereka menganggap syari'at dan wahyu ini tidak memiliki makna dan tujuan, baik dalam aqidah, syari'at, maupun hukum.  Bahkan mereka menjadikannya bagian seremonial (upacara belaka, pen.) ketika ada kematian dan acara makan-makan bersama.  Begitulah gambaran gugurnya berbagai hakikat alam dan syari'at di dalam akal mereka yang telah mati.  Orang yang sudah mati tetaplah orang mati semenjak dia dikuburkan di kolong tanah.  Batu tetaplah menjadi batu menurut hakikatnya sejak ia diciptakan Allah.  Al-Qur'an juga tetap seperti sedia kala ketika Allah menurunkannya sebagai Rahmat, Petunjuk, dan Khabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, Sunnah-Nya, dan Tanda-tanda Kekuasaan-Nya di alam dan secara ilmiah.  Tiada yang berubah selain dari Jiwa, Roh, dan Hati (fitrah,pen blog.) mereka, sehingga mereka menjadi seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.  Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh karena itu mereka tidak mengerti.  Sesungguhnya binatang melata yang paling buruk di sisi Allah adalah yang tuli, bisu, dan tidak mampu berpikir.

[2] Boleh jadi yang lebih mengena, bahwa dhamir (kata ganti) di sini kembali kepada tanda-tanda kekuasaan Allah di alam dan sunnah-Nya yang penuh hikmah, yang termuat di dalam surat ini, yang kemudian Allah menyeru untuk memikirkannya dan mengambil pelajaran darinya, agar pintu iman kepada ayat-ayat-Nya terbuka di hadapan mereka.  Sebab yang menghalangi mereka dan juga orang-orang yang lain sebelum mereka, maupun sesudah mereka ialah karena jauh dari iman kepada Rasul dan keengganan untuk mengikutinya, kecuali orang yang bisa melepaskan diri dari kebutaan taqlid yang menutupi pandangan mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran dalam sunnah Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini.  Sebaliknya mereka justru menjadikan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu sebagai olok-olok.


(Diringkas dan Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uways An-Nadwy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar