بسم الله الر حمان الر حيم
“Hati orang-orang beriman (mukmin muwahid) selalu dalam
keadaan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingat Rasul-Nya. Kedua perkara ini terukir indah di hati
mereka, yang tak bisa dihapus dan dilenyapkan.
Karena senantiasa mengingat sesuatu akan memupuk kekekalan cinta, sedang
melupakannya merupakan sebab hilang atau melemahnya kekuatan cinta.”
Bahkan
seandainya dunia dengan seluruh isinya, atau yang lebih ekstrim lagi satu
galaksi Bima Sakti (The Milky Way / “Tumpahan Susu”) itu dimiliki oleh
seorang mukmin, kemudian dia disuruh memilih, apakah Allah dan Rasul-Nya atau
galaksi Bima Sakti dengan seluruh isinya, niscaya ia akan tetap memilih Allah dan
Rasul-Nya. Logikanya sederhana saja,
bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di Surga kelak merupakan nikmat
tertinggi yang dianugerahkan kepada para penghuni Surga. Ziyadah (tambahan) ini mengalahkan
seluruh kenikmatan / fasilitas yang ada di Surga, yang membuat mereka lupa akan segala kenikmatan lain di Surga.
Apalagi, tidak semua penduduk Surga diberikan tambahan nikmat ini,
sehingga bagi mereka yang tidak “kebagian” tambahan ini (terhalang), merupakan suatu
“tamparan keras” / kehinaan tersendiri, ketimbang siksa yang dirasakan oleh para
penduduk Neraka. Permasalahan ini
diketahui / disepakati oleh seluruh Nabi dan Rasul, Sahabat, Tabi’in,
dan Generasi Terbaik Islam lainnya.
(Baca juga puisi, SEBUTIR DEBU YANG HILANG)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala “menyanjung setinggi
langit” orang-orang yang berilmu dan beriman melebihi makhluk-Nya yang
lain. Mengangkat kesaksian mereka mengiringi
kesaksian-Nya, dan kesaksian para Malaikat-Nya yang mulia.
Frasa ini disandarkan pada dalil Al-Qur’an surat Ali-Imran; 18-19, dan perkataan Sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu - Imamnya para 'ulama Ahli Tafsir, “Bahwa orang-orang berilmu itu 700
derajat (lebih tinggi) di atas orang-orang beriman (mukmin). Jarak antara dua derajatnya sejauh perjalanan
500 tahun.”
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
شهد الله انه لااله الا هو والملاءكة واولوالعلم قا ءما
بلقسط لااله الاهوالعزيزالحكيم ان الد ين عند الله الاءسلام
“Syahida
Allahu annahu laa Ilaha illa huwa walmalaaikatu wa ulul ‘ilmi qaaiman bilqisthi,
laa Ilaha illa huwa al-‘azizu al-hakiimu, innaddiina ‘inda Allahi al-Islamu”
“Allah mempersaksikan, bahwa tidak ada
Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
mempersaksikan hal itu). Tiada Ilah
melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Sesungguhnya Agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam.” (Ali-Imran;
18–19)
Kedua ayat
di atas mengandung kesaksian yang paling besar dan paling agung, paling
adil, dan paling benar, dari saksi yang paling Agung (Allah, para Malaikat-Nya,
dan orang-orang berilmu) – terhadap ke-Agungan (Dzat) yang dipersaksikan.
Makna kata شهد / Syahida
pada ayat di atas, diterangkan oleh para ‘ulama salaf berkisar
pada masalah hukum dan qadha’, pemberitahuan, penjelasan,
serta pengabaran.
Menurut Mujahid,
di sana terkandung masalah hukum dan qadha’. Menurut Az-Zajjaj, di sana ada penjelasan. Menurut golongan yang lain, Allah bermaksud
menyampaikan pemberitahuan dan pengabaran.
Semua
pendapat itu tidak ada yang kontradiktif (bertentangan) satu sama lain. Sebab kesaksian itu mengandung pernyataan
saksi, pengabaran, dan ucapannya, pemberitahuan, dan
penjelasannya. Jadi, kesaksian
itu memiliki 4 (empat) tingkatan / tahapan;
1. 1. Ilmu dan Ma’rifat serta Keyakinan terhadap kebenaran,
dan penetapan terhadap apa yang dipersaksikan.
2. 2. Pernyataan dan Pengucapan pemberi kesaksian, meskipun orang lain
tidak mengetahuinya, apakah pemberi kesaksian itu berbicara kepada dirinya
sendiri, menyatakannya, mengucapkan, ataupun menuliskannya.
3. 3. Memberitahukan kepada orang lain tentang apa-apa yang
dipersaksikannya, mengabarkan, dan menjelaskannya.
4. 4. Mewajibkan, dan Memerintahkan (orang lain)
melaksanakan kandungannya.
Kesaksian
Allah tentang Diri-Nya dengan wahdaniyah (Tauhidullah) dan
penegakan keadilan, mengandung 4 (empat) macam tingkatan tersebut, yaitu Ilmu
tentang Allah melalui apa yang dipersaksikan, pernyataan dan pengucapannya,
pemberitahuannya kepada makhluk, dan perintah serta pengharusan pelaksanaannya.
Tingkatan
Pertama;
Tentang
Ilmu dan Ma’rifat, maka
kesaksian terhadap kebenaran (Tauhid) merupakan kandungannya yang urgen. Tidak bisa tidak. Jika tidak, maka pemberi
kesaksian dianggap memberikan kesaksian palsu (tidak mengetahuinya). Seperti makna firman-Nya,
Akan
tetapi (orang yang dapat memberi syfa’at adalah) orang yang mengakui yang
haq (Tauhidullah), dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zukhruf;
86)
Ma’na sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Terhadap
yang serupa dengan itu, maka berilah kesaksian. “ Sambil (Beliau) menunjuk ke arah
matahari.
Seakan-akan
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan, bahwa kebenaran itu
nyata, jelas, dan terang (laksana) cahaya matahari / keberadaan matahari.
Tingkatan
Kedua;
Pernyataan dan Pengucapan,
maka barangsiapa yang membicarakan tentang sesuatu dan mengabarkannya, berarti dia
telah mempersaksikannya – kendati dia tidak melafazkannya sebagai kesaksian. Perhatikan makna firman Allah,
“Katakanlah,
‘Bawalah kemari saksi-saksi kalian yang dapat mempersaksikan bahwa Allah telah
mengharamkan (makanan yang kalian) haramkan ini.’ Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah
kalian ikut pula menjadi saksi bersama mereka.” (Al-An’am;
150), dan
“Dan
mereka menjadikan Malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba Allah Yang
Mahapemurah, sebagai orang-orang perempuan.
Apakah mereka mempersaksikan penciptaan Malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka,
dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban.”
(Az-Zukhruf; 19)
Allah menjadikan perkataan mereka itu sebagai
kesaksian (meskipun mereka tidak melihatnya), dan tidak melontarkannya dengan
lafazh kesaksian, dan tidak pula menjadikannya sebagai kesaksian dihadapan orang
lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Kesaksian
palsu setara dengan syirik kepada Allah.”
Kesaksian
palsu (dusta) sama (setara) dengan pernyataan palsu, sebagaimana makna firman
Allah,
“Jauhilah
perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu.” (Al-Hajj; 30 – 31)
Berdasarkan
ayat inilah Beliau bersabda seperti itu, yang mensetarakan kesaksian dusta (palsu)
dengan syirik, sehingga perkataan dusta dan palsu juga disebut dengan
kesaksian. Allah juga menyebut penetapan
hamba terhadap dirinya sebagai kesaksian;
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian sendiri.” (An-Nisa; 135)
Kesaksian seseorang terhadap dirinya sendiri
sama dengan ketetapan atas dirinya. Di
dalam hadits shahih disebutkan ketetapan tentang Ma’iz, “Ketika ia
menjadi saksi atas dirinya sendiri hingga 4 (empat) kali, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman rajam kepadanya.”
Firman
Allah (artinya),
“Mereka
berkata, ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’, kehidupan dunia
telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri,
bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”
(Al-An’am; 130)
Hal itu
menunjukkan, bahwa seorang saksi di hadapan hakim dan dihadapan siapa pun, tidak
disyaratkan melafazhkannya dengan lafazh kesaksian, agar kesaksian itu bisa
diterima. Ini merupakan pendapat Malik
dan penduduk Madinah serta zhahir perkataan Ahmad. Penetapan syarat itu juga tidak dikenal pada
seorang pun dari kalangan Sahabat dan Tabi’in. Ibnu Abbas berkata, “Ada beberapa orang yang
diridhai yang memberi kesaksian di hadapanku, dan orang yang paling aku ridhai
di antara mereka adalah Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang shalat setelah shalat subuh hingga terbit matahari, dan setelah ashar
hingga tenggelamnya matahari.”
Sebagaimana diketahui, mereka tidak melafazhkannya dengan lafazh
kesaksian. Sepuluh orang Sahabat yang
dipersaksikan Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai para penghuni Surga, juga tidak dilafazhkan dengan lafazh kesaksian
dari Beliau. Tetapi Beliau hanya
bersabda, “Abu Bakar di Surga, Umar di Surga, Utsman di Surga, Ali di Surga...”
Kaum
muslimin telah sepakat, bahwa bila orang kafir mengucapkan Laa ilaha
illallah Muhammad Rasulullah, maka dia telah masuk Islam dan memberi
kesaksian yang benar. Tetapi
keIslamannya itu tidak terbatas pada lafazh kesaksian semata. Dia juga sudah termasuk dalam cakupan Sabda
Beliau, “Hingga mereka mempersaksikan bahwa tiada Ilah melainkan
Allah.” Dalam lafazh lain disebutkan,
“Sehingga mereka mengucapkan ‘Laa ilaha illallah.’” Hal ini menunjukkan bahwa ucapan mereka, “Laa
ilaha illallah”, merupakan kesaksian dari mereka. Yang demikian ini terlalu banyak untuk disebutkan
di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Adanya
pensyaratan lafazh kesaksian, bukan merupakan dalil yang harus dipegang.
Tingkatan
Ketiga;
Pemberitahuan
dan Pengabaran ada
2 (dua) macam;
* Pemberitahuan
dengan perkataan, dan * Pemberitahuan dengan perbuatan.
Seperti
inilah keadaan setiap orang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Terkadang dia memberitahukannya dengan perkataan,
dan terkadang dengan perbuatannya, (bahkan dengan isyarat, pen blog.). Karena itu siapa yang menjadikan suatu tempat
tinggal sebagai masjid dan membuka pintunya bagi siapapun yang memasukinya,
dan dikumandangkan adzan di dalamnya untuk shalat, berarti dia memberitahukan
bahwa tempat tinggal itu sebagai waqaf, meskipun dia tidak melafazhkannya. Begitu pula orang yang mendekati orang
lain dengan berbagai macam pertanda, berarti dia memberitahukan kepada orang
itu, dan juga kepada orang lain, bahwa dia mencintainya, meskipun dia tidak
melafazhkannya dengan ucapan cinta.
Demikian pula sebaliknya (kebencian).
Maka kesaksian
Allah, penjelasan, dan pemberitahuannya terkadang dengan firman-Nya,
dan terkadang dengan perbuatan-Nya.
Pemberitahuan
dengan firman-Nya ialah pengutusan para Rasul dan penurunan kitab-kitab-Nya,
yang bisa diketahui lewat pemberitahuan para Rasul dari Allah, bahwa Dia
(Allah) mempersaksikan bahwa tiada Ilah melainkan Dia. Dia memerintahkan yang demikian itu dan
memerintahkan semua hamba untuk mempersaksikannya.
Kesaksian
Allah bahwa tiada Ilah melainkan Dia, dapat diketahui dari sisi mana pun bagi
orang-orang yang mendengarkan Kalam (Perkataan)-Nya.
Adapun Pemberitahuan
dan Penjelasan dengan Perbuatan-Nya, adalah yang meliputi pengabaran Allah tentang
berbagai dalil yang menunjukkan wahdaniyah (ketauhidan-Nya), dimana
pembuktiannya bisa diketahui melalui akal dan fitrah makhluk-Nya.
Hal ini
juga berlaku untuk lafazh kesaksian dan lafazh pembuktian, petunjuk, dan
penjelasan. Sebab dalil menjelaskan apa yang dikuatkan
dengan dalil itu dan menampakkannya, sebagaimana saksi dan pemberitahuan yang
menjelaskan apa yang hendak diberi kesaksian.
Bahkan penjelasan dengan perbuatan, jauh lebih riil dan lebih mengena. Saksi keadaan bisa (juga) disebut perkataan dan
ucapan, karena keadaan itu (bisa) menggantikan (melebihi) kedudukan perkataan dan
pelaksanaannya, seperti yang dinyatakan seorang penyair,
Kedua
mata itu menyatakan kepatuhan dan ketaatannya
Tebaran
mutiara mengelilinginya ketika ia bercahaya
Penyair
lain menyatakan,
Onta
mengeluh karena perjalan malam yang panjang
Sabarlah
wahai ontaku karena kita semua dalam cobaan
Penyair
lain menyatakan,
Tempat
air sudah penuh dan ia pun berkata
Hentikan
siraman karena perutku sudah penuh isinya
Yang
demikian ini juga disebut kesaksian, sebagaimana makna firman Allah,
“Tidaklah
pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid, sedang mereka mengakui bahwa
mereka sendiri kafir.” (At-Taubah; 17)
Ini
merupakan kesaksian dari mereka terhadap dirinya sendiri, karena perkataan dan perbuatan kufur
yang mereka lakukan, yang semua itu merupakan kesaksian atas kekufuran
mereka. Berarti mereka menjadi saksi
atas diri mereka sendiri disebabkan apa yang mereka perbuat.
Maksudnya,
Allah mempersaksikan dengan bukti-bukti kekuasaan yang diciptakan-Nya, yang
menunjukkan atas Diri-Nya. Pembuktian
ini hanya terjadi karena penciptaan-Nya semata.
Dengan
bukti-bukti kekuasaannya yang berupa perkataan, Allah mempersaksikan apa yang
dipersaksikan bukti-bukti Kekuasaan-Nya yang bersifat penciptaan. Sehingga ada kesesuaian antara kesaksian
Perkataan dengan kesaksian Perbuatan, sebagaimana makna firman-Nya,
“Kami
akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (Kekuasaan) Kami di segenap ufuk
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an
itu benar.” (Fushilat; 53)
Allah
menunjukkan, bahwa dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya di ufuk dan pada diri
manusia, Dia menunjukkan kebenaran ayat-ayat-Nya yang berupa Perkataan (Al-Kitab).
Tingkatan
keempat;
Yaitu
tingkatan Perintah dan Kewajiban yang ditetapkan serta Pelaksanaan Kandungannya,
maka jika hanya
sekedar kesaksian, tidak mesti ada keharusan.
Tetapi kesaksian dalam posisi ini menunjukkan hal lain. Allah mempersaksikannya dengan kesaksian
sebagai Dzat Yang Memutuskan, Menetapkan, Memerintahkan, dan Yang Mengharuskannya
(Mewajibkannya) kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan
Rabb-mu telah memerintahkan, agar kalian tidak menyembah selain
Dia.” (Al-Isra’;
23), dan
“Allah
berfirman, ‘Janganlah kalian menyembah dua tuhan, sesungguhnya Dia-lah
Ilah Yang Mahaesa.” (An-Nahl; 51), dan
“Padahal
mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama yang lurus.” (Al-Bayyinah;
5), dan
“Janganlah
kalian adakan Ilah yang lain selain Allah.”
(Al-Isra’; 22), dan
“Maka
janganlah kalian menyeru (menyembah) Ilah yang lain di samping Allah.” (Asy-Syu’ara;
213)
Semua isi
Al-Qur’an mempersaksikan yang demikian itu.
Sisi keharusan kesaksian Allah atas hal itu, bahwa jika Dia mempersaksikan tiada Ilah melainkan Dia,
berarti Dia telah Mengabarkan, Menjelaskan, Memberitahu, Memutuskan, dan Menetapkan,
bahwa selain-Nya bukanlah Ilah, bahwa ketuhanan selain Dia merupakan
kebathilan yang paling bathil dan penetapannya merupakan kezhaliman yang
paling zhalim. Selain Allah, tidak ada
sesuatu pun yang memiliki hak ibadah dan Ilahiyah. Hal ini mengharuskan perintah untuk menjadikan-Nya
sebagai satu-satunya Ilah, sekaligus larangan menjadikan selain-Nya sebagai
sesembahan di samping Allah. Yang
demikian ini tentu bisa dipahami orang yang diajak berbicara, yaitu dari sisi
penetapan sekaligus penafian. Hal
ini tidak berbeda dengan orang yang dimintai fatwa, atau dimintai kesaksian, atau
dimintai pengobatan, padahal dia tidak layak untuk dimintai semua itu dan
membiarkan orang yang layak dimintai fatwa, kesaksian, atau pengobatan. (Padahal) engkau harus berkata, “Orang ini bukanlah mufti, bukan saksi, dan bukan pula dokter. Yang menjadi mufti adalah si Fulan, yang
menjadi dokter adalah si Fulan.” Yang
demikian ini merupakan perintah sekaligus larangan atas dirimu (karena
meletakkan sesuatu harus pada tempatnya).
Ayat di
atas juga menunjukkan, bahwa hanya Allah-lah (semata) yang berhak disembah. Jika Dia mengabarkan, bahwa hanya Dia-lah
Yang layak disembah, maka Pengabaran ini mengandung Perintah kepada hamba,
dan merupakan Keharusan (Kewajiban) bagi mereka, untuk memenuhi apa yang
menjadi hak Allah. Pelaksanaan hal
ini murni merupakan hak Allah. Jika
Allah mempersaksikan tiada Ilah selain Dia, maka kesaksian-Nya itu mencakup
kesaksian perintah, dan keharusan untuk mengesakan-Nya.
Lafazh
keputusan dan penetapan juga bisa digunakan dalam kalimat pengabaran.
Dikatakan untuk kalimat pengabaran, “Ada penetapan, dan keputusan
hukum.”, yaitu jika ada keputusan hukum begini atau begitu.
Firman
Allah (artinya),
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan,
“Allah beranak’. Dan sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta.
Apakah Rabb memilih mengutamakan anak-anak perempuan daripada anak
laki-laki? Apakah yang terjadi pada
kalian? Bagaimana (caranya) kalian
menetapkan?” (Ash-Shaffat; 151-154)
Ini
merupakan ketetapan, bukan sekedar kelaziman yang menyertai hukum dan
ketetapan-Nya - bahwa tiada Ilah melainkan Dia (tetapi lebih dari itu), yang juga mencakup keharusan.
Firman
Allah, قا ءما بلقسط / “Qaa iman bilqisthi” (juga menyatakan
yang demikian itu),
makna القسط / “Al-Qisth” adalah keadilan, Allah bersaksi bahwa Dia menegakkan keadilan
dalam Tauhid-Nya dan Wahdaniyah (Ke-Esa-an) dalam keadilan-Nya. Tauhid dan Keadilan merupakan paduan
Sifat-Sifat Kesempurnaan. Sebab Tauhid
mengandung pengesaan Allah dalam kesempurnaan dan keagungan. Kemuliaan dan keagungan ini tidak layak
diberikan kepada selain-Nya. Keadilan
mencakup semua perbuatan-Nya yang harus benar dan lurus, sesuai dengan hikmah.
Tauhid para Rasul dan keadilan mereka, ialah
menetapkan hakikat-hakikat Asma' dan Sifat yang sesuai bagi Allah, perintah menyembah
Allah semata tanpa sekutu bagi-Nya, penetapan Qadar, Hikmah, dan Tujuan yang
terpuji dengan Perbuatan dan Perintah-Nya, bukan seperti tauhidnya golongan Jahmiyah
(kelompok yang menolak Sifat-Sifat Allah, memisahkan antara iman dan
amal, dan mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk), Mu’tazilah (kelompok
pengagung akal / Rasionalis), dan Qadariyah (kelompok yang menolak
takdir Allah). Mereka mengingkari Sifat,
hakikat Asma Al-Husna, dan Keadilan, yaitu pendustaan terhadap Qadar
yang telah ditetapkan-Nya, atau penafian hikmah dan tujuan serta kesudahan yang
terpuji, yang diperbuat Allah dan yang diperintahkan-Nya.
Penegakan keadilan dalam kesaksian Allah mencakup
beberapa hal, di antaranya;
Pertama; Allah menegakkan Keadilan dalam Kesaksian-Nya,
yang merupakan kesaksian yang paling Adil.
Pengingkaran terhadap kesaksian ini merupakan kezhaliman yang paling
zhalim. Tidak
ada yang lebih adil daripada Tauhidnya para Rasul, dan tidak ada
yang lebih zhalim daripada syirik. Allah
menegakkan keadilan dalam kesaksian ini, baik kesaksian yang merupakan
perkataan maupun perbuatan. Itulah kesaksian yang disampaikan
Allah, dikhabarkan, dan yang diberitahukan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, yang
hakikat dan kebenarannya juga dijelaskan kepada mereka, yang
keharusan-keharusannya ditetapkan atas mereka.
Dia menjadikan pahala dan siksa berdasarkan kesaksian
itu, menetapkan perintah dan larangan-larangan dari hak
dan kewajiban-kewajiban itu. Semua sisi
Agama berasal dari hak-hak kesaksian itu.
Pahala dan siksa didasarkan padanya.
Inilah keadilan yang ditegakkan Allah dalam kesaksian ini.
Semua
perintah Allah merupakan penyempurna dari kesaksian ini. Dia memerintahkan untuk memenuhi hak-hak
kesaksian tersebut. Semua larangan dimaksudkan
untuk mengamankan (kesaksian itu) dari
hal-hal yang bisa merusaknya.
Semua
pahala Allah didasarkan pada kesaksian ini.
Semua siksaan Allah berangkat dari tindakan meninggalkan kesaksian ini dan hak-haknya. Penciptaan langit dan bumi
serta apa-apa yang terdapat di antara keduanya berpangkal dari kesaksian ini.
Inilah kebenaran yang karenanya semua makhluk
diciptakan, dan kebalikannya adalah kebathilan dan kesia-siaan, dimana Allah
berlepas Diri darinya.
Allah berfirman
sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengingkari kesaksian ini
(artinya),
“Dan
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antar keduanya tanpa
hikmah. Yang demikian itu adalah
anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena
mereka akan masuk Neraka.” (Shad; 27), dan
“Haa’
miim. Diturunkan kitab ini dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan yang) benar, dan dalam
waktu yang ditentukan. Dan
orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” (Al-Ahqaf;
1–3)
“Dia-lah Yang menjadikan matahari bercahaya dan bulan bersinar, dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya pada
orang-orang yang mengetahui.” (Yunus; 5), dan
“Dan
tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya,
melainkan dengan benar.” (Al-Hijr; 85)[1]
Kebenaran, yang karenanya langit dan bumi
diciptakan, adalah Tauhid dan hak-haknya berupa perintah dan larangan, pahala
dan siksa. Allah menegakkan keadilan dan
Tauhid berasal dari dua perkara ini (Perintah dan Larangan). Inilah Ash-Shiraath Al-Mustaqiim,
yang di atasnya Allah berada. Allah berfirman (mengisahkan)
tentang Nabi-Nya Hud yang berkata,
“Sesungguhnya
aku bertawakal kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan
Dia-lah Yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.” (Hud;
56)
Kedua; Allah berada di atas Ash-Shiraath Al-mustaqiim, jalan yang lurus dalam Perkataan dan Perbuatan-Nya. Dia-lah Yang mengatakan al-haq (kebenaran)
dan berbuat adil.
“Telah
sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat (mampu) merubah-rubah
Kalimat-Nya, dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Al-An’am;
115), dan
“Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Al-Ahzab;
4)
Ash-Shiraat Al-Mustaqiim yang
Allah berada di atasnya adalah Tauhid dan Keadilan.
Firman Allah (yang artinya),
“Dan Allah
membuat (pula) perumpamaan; Dua orang
laki-laki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesatu pun dan kemana saja dia
disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan
pun. Samakah orang itu dengan orang yang
menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl;
76)
Berhala
itu seperti budak yang senantiasa menjadi beban bagi tuannya, dimana pun dia berada tidak
mendatangkan kebaikan apapun.
Maksudnya,
firman Allah قا ءما بالقسط / “Qaa iman bil-qisthi” (juga
menyatakan yang demikian itu), seperti kedudukan firman-Nya, ان ربي على صراط مستقيم / “Inna
Rabbii ‘alaa shiraatin mustaqiim” (Sesungguhnya Rabb-ku di atas
jalan yang lurus)
Firman
Allah قا ءما بالقسط / “Qaa iman bilqishti” dibuat manshub karena kedudukannya
sebagai hal (keterangan keadaan).
Ada dua sisi pandang tentang masalah ini;
1.
Lafaz itu merupakan keterangan keadaan dari
subyek dalam syahida Allah, yang aktif di dalamnya adalah makna dari
perbuatan. Artinya, Allah
mempersaksikan keadaan pelaksanaan keadilan, bahwa tidak ada Ilah
melainkan Dia.
2. Keterangan
keadaan dari orang yang berkata, هو / “Huwa” / "Dia",
Dia-lah. Yang aktif di dalamnya
adalah makna penafian. Artinya tiada
Ilah melainkan Dia, yang menjadi keterangan dari keadaan-Nya Yang menegakkan
keadilan.
Di antara
dua pandangan ini terdapat dua perbedaan yang nyata;
Pertama;
Gambaran pertama mengandung pengertian, bahwa Allah mempersaksikan
sebagai Dzat Yang menyampaikan Perkataan dengan Keadilan, menyuruh kepadanya,
melaksanakannya, dan membalasinya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia. Keadilan ada di dalam perkataan dan
perbuatan. Al-Muqsith
artinya yang adil dalam perkataan dan perbuatan. Maka Allah mempersaksikan Diri-Nya sebagai
Dzat Yang menegakkan keadilan, baik perkataan maupun perbuatan, bahwa tiada
Ilah melainkan Dia. Di sini ada
penegasan karena keberadaan kesaksian ini sebagai kesaksian yang adil, sehingga
merupakan kesaksian yang paling adil, sebagaimana Yang dipersaksikan merupakan sesuatu Yang Paling Adil dan Paling
Benar.
Ibnu
As-Sa’ib dan
selainnya menyebutkan tentang sebab turunnya ayat ini, tentang apa yang
dipersaksikan, bahwa ada dua orang Uskup di Syam yang menghadap kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika keduanya
melihat-lihat keadaan kota Madinah, salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya, “Kota ini mirip dengan kota Nabi yang keluar di akhir zaman.”
Ketika
keduanya sudah menghadap Beliau, maka mereka bertanya, “Apakah engkau
Muhammad?”
“Benar,”
Jawab Beliau. “Dan juga Ahmad?” tanya
mereka berdua. “Benar,” jawab Beliau.
“Kami
ingin bertanya kepadamu tentang kesaksian.
Jika engkau memberitahukannya kepada kami, maka kami akan beriman
kepadamu,” kata mereka berdua.
“Silahkan
tanyakan kepadaku,” sabda Beliau.
Keduanya
berkata, “Beritahukan kepadaku tentang kesaksian yang paling agung di dalam
kitab Allah.”
Maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala menurunkan ayat, “Allah mempersaksikan, bahwa
tiada Ilah melainkan Dia.” (Ali-Imran; 18). Jika penegakan keadilan ini ada dalam
perkataan dan perbuatan, maka maknanya; Dia
bersaksi, mengetahuinya, dan Dia menegakkan Keadilan, dan tidak berbuat
aniaya. Kesaksian ini mencakup Perkataan
dan Perbuatan. Kesaksian itu juga
mengandung pengertian, bahwa Dia-lah satu-satunya Yang layak disembah, bukan
yang lain. Orang-orang yang
menyembah-Nya semata adalah orang-orang yang beruntung, dan berbahagia,
sedangkan orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan yang lain adalah orang-orang
yang sesat dan menderita. Jika Allah menyatakan Diri-Nya
sebagai Dzat yang menegakkan Keadilan, yang berarti membalasi orang-orang yang
ikhlas dengan Surga, dan membalasi orang-orang yang musyrik dengan Neraka,
berarti itu termasuk kesempurnaan Kesaksian dan realisasinya. Maka firman Allah, قاءما بلقسط / “Qaa iman bilqisthi” (juga
menyatakan yang demikian), merupakan peringatan tentang adanya balasan bagi
siapa yang bersaksi dengannya - dan bagi orang yang mengingkarinya. Allah-lah Yang lebih mengetahui.
Kedua; Firman Allah
قا ءما / “Qaa iman” merupakan keterangan
keadaan dari lafaz setelah الا / “Illa” (melainkan). Maknanya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia yang
menegakkan keadilan. Maka Dia-lah
satu-satunya Yang berhak atas Ilahiyah (disembah), karena keberadaan-Nya
yang menegakkan keadilan.
Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah) berkata, “Dugaan ini lebih kuat.
Sebab makna ini juga mencakup pengertian bahwa para Malaikat dan orang-orang
berilmu juga menyatakan tiada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.”
Kami
katakan, maksudnya jika firman Allah قاءما بلقسط / “Qaa iman bilqisthi” merupakan
keterangan keadaan dari apa yang dipersaksikan-Nya, maka itu seperti sifat
bagi-Nya. Karena keterangan keadaan
merupakan sifat bagi yang diberi keterangan (menurut maknanya). Jika kesaksian berlaku untuk suatu keadaan
dan yang diberi keterangan, maka keduanya merupakan sesuatu yang
dipersaksikan. Sehingga para Malaikat
dan orang-orang berilmu juga mempersaksikan, bahwa Dia menegakkan Keadilan,
sebagaimana mereka mempersaksikan tiada Ilah selain Dia.
Pandangan
yang pertama tidak mencakup pengertian ini.
Jika gambaran dari pandangan itu;
Allah mempersaksikan dengan menegakkan Keadilan, bahwa tiada Ilah
melainkan Dia, para Malaikat dan orang-orang berilmu juga mempersaksikan bahwa
tiada Ilah melainkan Dia, maka penegakan keadilan ini merupakan suatu keadaan
dari Asma’ Allah.
Di samping
itu, keberadaan Allah sebagai Dzat Yang menegakkan keadilan tentang apa yang
dipersaksikan-Nya lebih mengena daripada keberadaan lafazh itu sebagai
keterangan daripada sekedar kesaksian.
Jika ada
yang bertanya, ‘Jika lafazh itu merupakan keterangan dari هو / “Huwa”,
bukankah keterangan itu pun menyertainya?
Mengapa harus ada pemisahan antara yang diberi keterangan dengan
kesaksian yang disertakan, sehingga ada perantara di antara keduanya?”
Dapat
dijawab sebagai berikut; Manfaatnya
sudah jelas sekali. Sekiranya
dikatakan, شهد الله انه لا اله الا هو قاءما بلقسط والملاءكة
والوالعلم / “Syahida Allahu annahu laa ilaaha illa
huwa qaa iman bilqisthi wal-malaaikatu wa ulul-‘ilmi”, (mendahulukan “Qaa iman
bilqisthi”, pen.) maka akan menimbulkan dugaan pengaitan الملاءكة والولو العلم / “al-Malaaikatu
wa ulul-‘ilmi” kepada kata ganti dalam lafazh قاءما بلقسط / “Qaa iman bilqisthi”. Memang ada baiknya pengaitan ini untuk pemisahan. Tetapi maknanya tidaklah begitu. Sebab maknanya justru kebalikannya, bahwa
penegakan Keadilan itu dikhususkan hanya bagi Allah semata, sebagaimana
pengkhususan Ilahiyah kepada-Nya.
Dia-lah satu-satu-Nya Ilah Yang disembah dan Yang patut disembah. Dia-lah satu-satu-Nya Yang memberi pahala
kepada yang layak diberi pahala, dan menjatuhkan siksa kepada orang yang layak
diberi siksa dengan adil.
Tauhid
mengandung penetapan sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, tidak ada yang
menyamai-Nya dalam sifat ini, yang hanya Dia-lah satu-satu-Nya Yang disembah
dan yang tiada sekutu bagi-Nya.
Keadilan
berarti peletakan sesuatu pada tempatnya, menurunkannya di tempat penurunannya,
Dia (Allah) tidak mengkhususkan sesuatu pun kecuali bila ada pengkhususan yang
mengharuskan begitu, bahwa Dia tidak menyiksa orang yang tidak layak disiksa, tidak
menahan pemberian bagi seseorang yang semestinya mendapatkan pemberian,
meskipun Dia juga yang membuatnya berhak menerima.
Keperkasaan
berarti kesempurnaan Kekuasaan-Nya, Kekuatan, dan Keunggulan-Nya.
Hikmah
berarti kesempurnaan Ilmu dan Pengabaran-Nya, bahwa Dia Memerintah dan
Melarang, Menciptakan dan Menetapkan, yang dalam semua itu Dia memiliki Hikmah
dan Tujuan yang Terpuji, yang membuat-Nya memiliki Kesempurnaan Pujian.
Asma’-Nya العزيز / “Al-‘Azis”, Mahaperkasa mencakup Kekuasaan. Asma’-Nya الحكيم / “Al-Hakim”, Mahabijaksana mengandung pujian. Awal ayat ini mengandung Tauhid, yaitu
hakikat لااله الا الله وحده / “Laa ilaha illa Allahu wahdahu”, tiada Ilah
melainkan Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Baginya Kekuasaan dan bagi-Nya Pujian, dan Dia Mahaberkuasa atas segala
sesuatu.
Inilah
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama,
serta para Nabi dan Rasul sebelumnya.
الحكيم / “Al-Hakim”, ialah yang jika Memerintah dengan suatu perintah, maka apa yang diperintahkan itu merupakan
kebaikan semata. Jika Dia Melarang dari
sesuatu, maka apa yang dilarang-Nya itu merupakan keburukan semata. Jika Dia Mengabarkan sesuatu, maka sesuatu
itu benar adanya. Jika Dia melakukan
sesuatu, maka perbuatan itu benar. Jika
Dia menghendaki sesuatu, maka itu merupakan kehendak yang lebih baik dari yang
lain.
Sifat yang
menggambarkan kesempurnaan ini tidak dimiliki kecuali oleh Allah semata.
Ayat dan
kesaksian ini mengandung Wahdaniyah (Ke-Esa-an Allah) yang menafikan syirik,
mengandung Keadilan-Nya yang menafikan kezhaliman, mengandung Keperkasaan-Nya
yang menafikan kelemahan, mengandung Hikmahnya yang menafikan kebodohan dan ‘aib.
Di dalamnya
juga terkandung Kesaksian baginya dengan Tauhid, Keadilan, dan Kekuatan, Ilmu,
dan Hikmah. Karenanya, ini merupakan Kesaksian yang paling besar.
Tidak ada yang melaksanakan semua sisi kesaksian
ini dari semua golongan (firqah) / kelompok yang ada kecuali
Alussunnah. Sementara semua golongan
ahli bid’ah tidak ada yang melaksanakannya.
Para Fiolosof (Ahli Filsafat) adalah orang-orang
yang paling gencar mengingkarinya, serta menolak kandungannya, dari awal hingga
akhir. Golongan Ittihadiyah adalah makhluk
Allah yang paling jauh dari kesaksian itu dari segala sisinya (Golongan yang meyakini penyatuan Allah dengan makhluk, dan menolak Sifat-Sifat Allah).
Golongan
Jahmiyah mengingkari hakikatnya dari beberapa sisi, antara lain;
· Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mencintai
dan tidak pula perlu dicintai.
· Allah tidak pernah berkata-kata dan tidak berbicara,
tidak pula mempersaksikan dan mengabarkan.
· Allah tidak pernah menjelaskan kepada makhluk,
tidak memerintahkan. Bahwa di atas ‘Arsy
tidak ada Ilah Yang disembah, tidak ada Rabb yang dijadikan
tujuan shalat dan sujud.
Menurut paham (leluhur) mereka Allah berada di segala tempat dengan
Dzat-Nya (meskipun di tempat-tempat yang tidak layak untuk disebutkan).
· Allah tidak pernah menegakkan keadilan itu
dalam perkataan dan perbuatan-Nya.
Perkataan-Nya adalah makhluk (bukan Kalam Allah), dan perbuatan-Nya
adalah sesuatu yang terpisah dari-Nya.
Kalaupun ada perbuatan dan Dia sebagai Pelakunya, maka hal itu tidak
akan pernah terjadi.
· Keadilan menurut pendapat mereka tidak memiliki
hakikat (“sesuatu yang nisbi / rancu”). Bahkan
setiap sesuatu yang memungkinkan adalah keadilan. Apa pun yang berada dalam kekuasan-Nya tidak
ada yang disebut kezhaliman dan keadilan.
Kezhaliman menurut pendapat mereka adalah kemustahilan yang terhalang
bagi Dzat-Nya. Sedangkan keadilan adalah
sesuatu yang mungkin (tidak pasti).
· Keperkasaan adalah kekuatan dan kekuasaan. Sementara menurut mereka Allah tidak memiliki
sifat ini.
· Hikmah merupakan puncak dari apa yang diperbuat
Allah dan merupakan tuntutan dari perbuatan.
Keberadaan hikmah lebih baik daripada ketiadaannya. Menurut pendapat mereka hal ini tidak terjadi
di dalam hak-Nya. Dia tidak berbuat
karena suatu hikmah, tidak ada tujuan dari perbuatan dan perintah-Nya. Yang ada hanya kehendak yang terlepas dari
hikmah dan Illat (alasan perbuatan, pen blog.).
Ilah adalah Dzat yang memiliki Al-Asma’ Al-Husna dan sifat-sifat yang Tinggi. Dia-lah Yang berbuat berdasarkan Kekuasaan-Nya, Kehendak dan Hikmah-Nya. Dia-lah Yang disifati dengan sifat-sifat dan perbuatan, yang dinamai dengan Al-Asma’, yang ditegakkan-Nya menurut hakikat dan makna-maknanya. Yang demikian ini tidak ditetapkan kecuali oleh para pengikut Rasul. Merekalah ahli keadilan dan Tauhid yang hakiki (sebenarnya).
Golongan
Jahmiyah dan Mu’tazilah berpendapat, bahwa
Dzat-Nya tidak mencintai, Wajah-Nya tidak diinginkan (dirindukan), tidak ada
kenikmatan memandang kepada-Nya dan hati tidak merindukan-Nya. Mereka pada hakikatnya telah mengingkari Ilahiyah-Nya.
Sementara
golongan Qadariyah (golongan pengingkar takdir Allah), mengingkari maksud Penciptaan perbuatan makhluk (para Malaikat, Jin, Manusia serta semua hewan
yang berada di bawah kekuasaan Allah), Kehendak dan Penciptaan-Nya. Pada hakikatnya mereka mengingkari
Kesempurnaan Ciptaan, Keperkasaan, dan Kekuasan-Nya atas makhluk-Nya hingga
yang sekecil-kecilnya.
(Baca juga artikel, BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)
(Baca juga artikel, BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA' DAN QADAR ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA)
Golongan
Jabariyah (golongan yang berkeyakinan bahwa manusia dan makhluk lainnya hidup seperti "kapas yang diterbangkan angin saja", tidak memiliki kehendak dan kekuasaan), mereka mengingkari Hikmah Allah bahwa dalam Perbuatan
dan Perintah-Nya terkandung tujuan, yang karenanya Dia berbuat dan memerintah. Pada hakikatnya mereka mengingkari Hikmah dan
Pujian terhadap-Nya.
Para
pengikut Ibnu Sina dan An-Nushair At-Thusy, serta generasi penerusnya mengingkari
Wujud Rabb mereka yang Mutlak, bahwa Dia memiliki sifat yang tetap
dan melebihi yang wujud. Pada
hakikatnya mereka mengingkari Dzat Allah, Sifat-Sifat, dan
Perbuatan-Perbuatan-Nya.
Yang
lebih parah lagi adalah golongan Ittihadiyah (golongan yang mengingkari Sifat-Sifat Allah). Mereka mengangkat sendi dari dasarnya, dan
mengatakan bahwa disana tidak ada Wujud Khaliq dan wujud makhluk. Makhluk yang diserupakan adalah kebenaran.
Semua
golongan di atas tidak menegakkan kesaksian yang Agung ini (Tauhidullah)
dengan sebenar-benarnya. Sebab kesaksian yang Agung ini
menggugurkan dan membantah semua pendapat mereka, dan juga menggugurkan
pendapat orang-orang musyrik dan munafik.
Tidak ada yang menegakkan kesaksian yang Agung ini melainkan Ahli Tauhid
(Mukmin Muwahid) yang terbebas dari syirik, kufur, dan bid'ah. Mereka yang menetapkan bagi Allah apa-apa yang
ditetapkan Allah bagi Diri-Nya, yaitu berupa Asma’ dan Sifat. Mereka menafikan dari-Nya keserupaan dengan
makhluk. Mereka menyembah-Nya semata dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA)
Kesaksian Allah
mengandung penjelasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, pembuktian dan pengenalan
kepada mereka tentang apa yang dipersaksikan-Nya. Sekiranya Allah membuat
kesaksian yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengetahuinya, tentunya
mereka tidak dapat mengambil manfa’at dari kesaksian itu, dan tidak ada hujjah
yang bisa ditegakkan atas mereka. Hal ini seperti seseorang yang
memiliki kesaksian, namun dia tidak menjelaskannya dan hanya menyimpannya
sendiri, maka tak seorang pun yang bisa mengambil manfaat darinya, dan tidak
pula ada hujjah yang bisa ditegakkan dengannya (kesaksian itu).
Karena manfa’at tidak akan bisa diambil kecuali
dengan menjelaskannya, maka Allah menjelaskannya lewat 3 (tiga) jalan; Pendengaran, Penglihatan, dan Akal.
Jalan
pendengaran adalah dengan mendengarkan ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca dan yang
bersifat perkataan, yang mencakup sifat-sifat kesempurnaan-Nya, Keagungan, dan
Ketinggian-Nya di atas ‘Arsy – di atas langit yang ke tujuh,
Perkataan-Nya di dalam Kitab-Nya, Pembicaraan-Nya dengan siapapun yang
dikehendaki dari hamba-hamba-Nya dengan suatu Pembicaraan, yang merupakan
hakikat dan bukan sekedar kiasan.
Di sini
juga terkandung pengguguran terhadap perkataan orang yang berkata, bahwa Allah
tidak menghendaki dari hamba-hamba-Nya apa yang ditunjukkan ayat-ayat-Nya yang
bisa didengar, berupa penetapan makna-makna dan hakikat-hakikat yang terkandung
di dalam lafazh-lafazh-Nya, karena yang demikian itu bertentangan dengan
penjelasan dan pemberitahuan, dan kembali pada maksud kesaksian yang digugurkan
(disembunyikan). Allah
telah mencela orang-orang yang menyembunyikan kesaksian yang sampai
kepadanya dari Allah, dan Dia (Allah) mengabarkan bahwa orang semacam itu
adalah orang zhalim yang paling zhalim!
Jika
seorang hamba telah mendengar kesaksian dari Allah, mendengar Nubuwah
yang dibawa Rasul-Nya, Tauhid yang dibawanya, dan bahwa Ibrahim beserta
keluarganya adalah orang-orang yang berada di atas Islam, lalu dia
menyembunyikan kesaksian ini, maka dia adalah orang zhalim yang paling zhalim
(dilaknat Allah), seperti yang dilakukan musuh-musuh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari kalangan orang-orang Yahudi. Mereka mengenal Beliau sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka sendiri.
Bagaimana
mungkin ada anggapan terhadap Allah, bahwa Dia menyembunyikan kesaksian yang
benar seperti yang dikatakan golongan Jahmiyah, Mu’tazilah,
dan Mu’thilah, bahwa Allah tidaklah mempersaksikan Diri-Nya,
kemudian Dia mempersaksikan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kesaksian
itu, sehingga tidak ada penyatuan? Mahasuci
Engkau, sungguh ini merupakan kedustaan yang amat besar.
Allah
mempersaksikan bagi diri-Nya, bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, bahwa
Dia berkuasa atas hamba-hamba-Nya, bahwa para Malaikat yang berada di atas
mereka pun takut kepada-Nya, padahal para Malaikat tersebut menghadap pada-Nya
dengan membawa urusan (yang diperintahkan-Nya), turun dari sisi-Nya dengan
suatu urusan. Bahwa amal shalih naik
kepada-Nya. Bahwa Allah Datang,
Berbicara, Ridha, Murka, Mencintai, Menyeru, Bergembira, dan Tersenyum, Melihat,
dan Mendengar. Bahwa orang-orang mukmin
akan memandang-Nya dengan penglihatan mereka pada saat pertemuan dengan-Nya,
dan lain sebagainya dari hal-hal yang dipersaksikan Allah atas Diri-Nya,
seperti yang dipersaksikan para Rasul-Nya.
Sementara yang dipersaksikan golongan Jahmiyah adalah
kebalikannya. Mereka berkata, “Kesaksian
kami lebih benar dan lebih adil daripada kesaksian berbagai Nash. Sebab kesaksian Nash itu
menyembunyikan kebenaran dan memperlihatkan kebalikannya.” Kesaksian Allah mereka dustakan sedemikian
rupa. Padahal apa yang dipersaksikan
Allah itu telah Dijelaskan, Ditampakkan-Nya, bahkan Dia menjadikannya lebih
tinggi dari tingkatan penjelasan dan penampakan (yang mampu dibuat oleh seluruh
makhluk-Nya). Kalaupun apa
yang dikatakan golongan Jahmiyah dan orang-orang yang bathil itu benar,
tentunya semua hamba tidak akan bisa mengambil manfaat dari kesaksian Allah
atas diri-Nya. Kebenaran yang ada di
dalam masalah ini menurut mereka tidak dipersaksikan Allah bagi diri-Nya dan
tidak pula ditampakkan-Nya. Hal ini
samasekali tidak benar, jadi tidak ada kebenaran dan keyakinan yang bisa
diambil dari pendapat mereka itu.
Adapun
ayat-ayat Allah yang bersifat penciptaan dan kasat mata (ayat-ayat Kauniyyah-Nya),
maka ia menunjukkan apa yang ditunjukkan ayat-ayat (Syar’iyyah)-Nya,
berupa perkataan yang dapat didengar dan dibaca (Al-Kitab). Ayat-ayat Allah adalah bukti keterangan
dan penjelasan Allah, yang dengan bukti dan keterangan itu Dia (Allah)
memperkenalkan Diri kepada hamba-hamba-Nya. Dengan bukti dan keterangan itulah mereka
bisa mengetahui Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya, Perintah, Larangan, dan Tauhid-Nya.
Para Rasul
mengabarkan Perkataan-Nya yang disampaikan-Nya kepada Mereka, termasuk
ayat-ayat-Nya yang dapat didengar.
Mereka mencari bukti atas semua itu dengan apa-apa yang diperbuat Allah,
untuk mempersaksikan (membuktikan) kebenaran yang mereka sampaikan, yaitu
berupa ayat-ayat-Nya yang dapat dilihat.
Akal bertugas mempromosikan antara yang ini dan yang itu, agar bisa
memastikan kebenaran yang disampaikan para Rasul, sehingga ada kesesuaian
antara kesaksian Pendengaran, kesaksian Penglihatan, kesaksian Akal, dan
kesaksian Fitrah.
(Baca artikel, APA ITU FITRAH?)
Dengan
kesempurnaan keadilan Allah, rahmat, ihsan, hikmah, kekuasaan-Nya untuk
memaafkan dan menegakkan hujjah, Dia tidak mengutus seorang Nabi pun
dari para Nabi yang ada, melainkan membawa ayat-ayat yang menunjukkan kebenaran
tentang apa yang dikhabarkan-Nya.
Allah
berfirman (artinya),
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan Neraca (keadilan).”
(Al-Hadid; 25), dan
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang yang Kami beri Wahyu
kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui,
keterangan-keterangan (mukjizat), dan Kitab-Kitab.” (An-Nahl;
43-44),dan
“Sesungguhnya
telah datang kepada kalian beberapa orang Rasul sebelumku, membawa
keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kalian sebutkan.” (Ali-Imran;
183), dan
“Dan
jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang sebelum mereka
telah mendustakan (Rasul-Rasul-Nya);
Kepada mereka telah datang Rasul-Rasul-Nya dengan membawa mukjizat yang
nyata, Zabur dan Kitab-Kitab yang memberi penjelasan dengan sempurna.” (Fathir;
25)
Sampai-sampai
di antara ayat-ayat Rasul yang paling sulit, yaitu ayat-ayat yang dibawa Nabi Hud,
sehingga kaumnya berkata kepadanya, “Hai Hud, kamu tidak mendatangkan
kepada kami suatu bukti yang nyata.” Tetap
saja (itu) merupakan suatu bukti-bukti keterangan yang sangat nyata. Hal ini diisyaratkan dalam perkataan Nabi Hud
(artinya),
“Sesungguhnya
aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari
selain-Nya, sebab itu jalankanlah semua tipu-daya kalian terhadapku dan
janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.
Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah Yang
memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya
Rabb-ku di atas jalan yang lurus.” (Hud; 54 -56)
(Baca artikel, JALAN YANG LURUS)
(Baca artikel, JALAN YANG LURUS)
Ini
merupakan bukti keterangan yang paling agung, bahwa ada seseorang yang berkata
kepada kaumnya dengan perkataan yang amat besar ini, tanpa ada rasa takut dan
gentar, serta tidak menunjukkan kelemahan dirinya, tetapi dia yakin dengan apa
yang dikatakannya.
Pertama-tama
dia menjadikan Allah sebagai saksi atas kebebasan dirinya dari agama
(keyakinan) mereka. Ini merupakan
pernyataan yang dilakukannya dengan keyakinan yang penuh kepada-Nya, untuk
memberitahu kaumnya, bahwa Allah adalah pelindung dan penolongnya, tidak
menganggap mereka sebagai penguasa atas dirinya. Kemudian dia mempersaksikan secara
blak-blakan kepada mereka, bahwa dia membebaskan diri (berlepas diri) dari
agama dan sesembahan mereka, yang karena sesembahan itulah mereka rela
mengorbankan harta dan jiwanya. Kemudian
ia menegaskan tantangan terhadap penghinaan, olok-olok, dan pelecehan mereka. Kalaupun mereka semua berhimpun untuk
melancarkan tipu-daya kepadanya, yang dengan cara itu mereka dapat mengobati
sakit hati dan kemarahan mereka padanya, mereka tidak perlu menunda tipu-daya
itu, boleh langsung melaksanakannya, toh mereka tidak akan mampu melakukan
semua itu. Sekiranya mereka nekat
melakukannya, maka mereka akan dibalik (Allah) menjadi orang-orang yang gagal
total, kalah, dan terhina.
Kemudian Nabi Hud menandaskan dakwahnya dengan penandasan yang baik, dan menjelaskan bahwa Rabb-nya
dan Rabb mereka, yang ubun-ubun mereka ada di Tangan-Nya, yang merupakan
penolong dan wakilnya, yang bertugas menolong dan mendukungnya, dan Dia (Allah)
berada di atas jalan yang lurus. Dia
(Allah) tidak akan menghinakan orang yang bertawakal dan beriman kepada-Nya,
tidak akan membantu musuh-musuh-Nya, dan tidak bersama mereka untuk mengalahkan
Hud. Sesungguhnya jalan Allah yang lurus, yang Dia berada di atasnya dalam
Perkataan dan Perbuatan-Nya, mencegah dan menghalangi hal itu.
Di bawah
pengertian seruan ini, bahwa di antara jalan Allah yang lurus adalah Dia akan
membalas orang yang keluar dari jalan-Nya dan melakukan hal-hal yang
sebaliknya dengan dosa. Sesungguhnya jalan yang
lurus ini adalah keadilan, yang Allah berada di atasnya. Di antara konsekuensi jalan yang lurus ini
adalah pembalasan Allah yang dilakukan kepada orang-orang yang musyrik dan
berdosa, pertolongan-Nya kepada para Wali dan Rasul-Nya untuk menghadapi
musuh-musuh mereka, mematikan mereka dan menggantinya dengan kaum yang lain,
dan sedikit pun tidak ada yang mampu mendatangkan mudharat terhadap Allah. Allah-lah Yang menangani segala sesuatu, baik
penjagaan, pemeliharaan, pengurusan, dan pembilangannya (menentukan jumlah
mereka), dengan perkataan dan perbuatan-Nya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Tidaklah
ada seorang Nabi di antara para Nabi melainkan telah diberi ayat-ayat
(bukti-bukti keterangan) yang manusia tidak beriman kepada yang
semisalnya. Dan yang diberikan
kepadaku hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah padaku, maka aku berharap
akulah yang paling banyak pengikutnya di antara mereka pada Hari Kiamat.”
Di antara
Asma’ Allah adalah Al-Mu’min.
Dalam salah satu dari dua penafsirannya, artinya ialah Yang
membenarkan orang-orang yang benar, karena Dia-lah yang menegakkan
bukti-bukti kebenaran mereka. Allah-lah
yang membenarkan para Rasul dan Nabi-Nya tentang apa yang mereka sampaikan
dari-Nya, dan Dia menjadi saksi bagi mereka, bahwa mereka adalah benar, dengan
disertai (berbagai) dalil yang menunjukkan kebenaran mereka, baik yang
merupakan Qadha’ maupun penciptaan.
Allah Yang mengabarkan. Dan Pengabaran-Nya adalah benar. Perkataan-Nya yang benar mengharuskan
(mewajibkan) Dia membuat hamba-hamba-Nya dapat melihat tanda-tanda
Kekuasaan-Nya di seluruh ufuk dan pada diri mereka, yang bisa menjelaskan kepada
mereka bahwa Wahyu yang disampaikan para Rasul-Nya adalah benar.
Allah berfirman (maknanya),
“Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an
itu adalah benar.” (Fushshilat;
53)
Yang
dimaksudkan Al-Haqq di dalam ayat ini adalah Al-Qur’an[2],
ini merupakan kelanjutan dari makna firman Allah sebelumnya,
“Katakanlah,
‘Bagaimana pendapat kalian jika Al-Qur’an itu datang dari sisi Allah, kemudian
kalian mengingkarinya?’” (Fushshilat; 52), lalu yang berikutnya
“Dan
apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu?” (Fushshilat; 53)
Allah
menjadi saksi bagi Rasul-Nya dengan berkata, bahwa apa yang Mereka bawa itu
adalah benar, dan Dia berjanji untuk memperlihatkan kepada
hamba-hamba-Nya berbagai
tanda Kekuasaan yang berkaitan dengan Perbuatan-Nya, yang menjadi saksi atas semua
itu.
Kemudian Allah menyebutkan yang lebih besar lagi,
yaitu Kesaksian Allah atas segala sesuatu.
Sesungguhnya di antara asma’-Nya adalah Asy-Syahid, yang artinya tidak
ada sesuatu pun yang lolos dari Pengawasan-Nya. Dia Maha Melihat dan Maha Menyaksikan segala sesuatu,
lengkap dengan segala rinciannya.
Pembuktian
ini dengan menggunakan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya. Yang pertama dengan Perkataan dan
Kalimat-Kalimat-Nya. Sedangkan
pembuktian dengan tanda-tanda kekuasaan di ufuk dan pada diri manusia termasuk
pembuktian dengan Perbuatan dan makhluk-Nya.
Boleh jadi
engkau berkata, “Aku sudah memahami pembuktian dengan kalimat-kalimat-Nya dan
pembuktian dengan makhluk-Nya. Tolong
jelaskan padaku bagaimana pembuktian dengan Asma’ dan
Sifat-Sifat-Nya. Karena ini bagi kami
merupakan masalah yang tidak mudah untuk didapatkan di dalam kitab-kitab
(buku-buku) kami. ”
Dapat kami
jawab sebagai berikut; Demi Allah, apa
yang engkau kemukakan itu memang sangat tepat dan permasalahannya jauh lebih
signifikan (nyata). Sebab Allah adalah
Yang hendak dibuktikan, dan ayat-ayat-Nya sebagai bukti keterangan dan dalil.
Ketahuilah,
bahwa hakikatnya Allah-lah yang menjadi bukti tentang Diri-Nya melalui
ayat-ayat-Nya. Pada hakikatnya Allah
adalah dalil bagi hamba-hamba-Nya, dengan cara memancangkan berbagai dalil dan
bukti kepada mereka. Allah
telah memasukkan pengetahuan ke dalam fitrah yang belum terinfeksi
(tercemar) Taqlid ("membeo"), Pengingkaran, dan Penentangan, bahwa Allah
adalah sempurna dalam Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya. Dia-lah Yang disifati dengan segala Kesempurnaan, yang terlepas dari segala aib dan kekurangan. Segala Kesempurnaan, Keagungan, dan Kebesaran
merupakan keharusan dari Dzat-Nya, dan mustahil jika tidak seperti itu. Semua Kehidupan adalah milik-Nya, begitu pula
Kekuasaan, Pendengaran, Penglihatan, Kehendak, Keinginan, Rahmat, Kekayaan,
Kemurahan, Kebajikan, dan Kebaikan, semua khusus bagi-Nya, dan Dia Yang
mengaturnya. Apa yang tidak diketahui
makhluk tentang kesempurnaan-Nya justru lebih besar lagi, bahkan lebih besar
dari apa yang mereka ketahui (semua ilmu manusia / makhluk). Bahkan tidak ada penisbatan tentang apa yang
mereka ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui mengenai Allah (tidak
signifikan).
Di
antara Kesempurnaan Dzat Yang disucikan adalah Pengetahuan-Nya tentang segala
sesuatu dan Kesaksian-Nya. Tidak
ada satu sisi pun dari berbagai sisi perinciannya yang lolos dari
Pengetahuan-Nya. Tidak ada satu pun dzarrah
yang tersembunyi dari-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Jika seperti ini keadaannya, lalu bagaimana mungkin hamba menyekutukan
sesuatu dengan-Nya? Menyembah selain-Nya
disamping menyembah-Nya? Dan menjadikan
sesembahan yang lain bersama-Nya? Bagaimana
mungkin dengan Kesempurnaan-Nya – Dia mengakui orang yang justru
mendustakan-Nya? Dengan kedustaan
yang besar, membantu dan menolongnya, menguatkannya, meninggikan kalimat mereka,
mengangkat kedudukannya, mengabulkan do’anya, membinasakan “musuhnya” (mendiskreditkan
kebenaran), dan menampakkan berbagai tanda kekuasaan dan bukti keterangan di
hadapan mereka (musuh-Nya), yang tidak mampu dilakukan oleh kekuatan manusia
mana pun? Apa pun yang terjadi, orang-orang
tersebut adalah para pendusta dan pembual, yang hanya mencari / membuat kerusakan
di muka bumi!
Sudah
diketahui bersama, Kesaksian Allah atas segala sesuatu, Kekuasaan-Nya atas
segala sesuatu, Hikmah, Keperkasaan, dan Kesempurnaan-Nya Yang disucikan –
menolak hal (pemahaman) di atas. Siapa
yang beranggapan seperti itu dan memperkenankannya, berarti ia adalah makhluk
yang paling tidak mengetahui tentang Allah, meskipun mungkin dia mengetahui
sebagian Sifat-Nya yang lain, seperti Sifat Kekuasaan dan Kehendak-Nya.
Al-Qur'an
penuh dengan cara penggambaran seperti ini, yang termasuk cara khusus, dan
bahkan lebih khusus dari yang khusus.
Merekalah yang mencari bukti tentang Allah atas berbagai macam
Perbuatan-Nya, dengan apa yang patut Dia lakukan dan yang tidak patut Dia
lakukan.
Jika
engkau memperhatikan Al-Qur’an, tentu engkau akan melihatnya menyeru (mengajak)
kepada hal itu. Al-Qur'an akan
menampakkan dan menyiapkannya bagi siapa saja yang memiliki pemahaman dan hati
yang menyadari tentang Keberadaan Allah.
Seperti makna firman-Nya,
“Seandainya
dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (Nama) Kami,
niscaya benar-benar Kami pegang ia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari
kalian yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (Al-Haqqah;
44 -47)
Tidakkah
engkau mengetahui bagaimana Allah mengabarkan Kesempurnaan, Hikmah, dan
Kekuasaan-Nya? Yang menolak untuk
mengakui orang (siapapun) yang mengada-adakan atas Nama-Nya dengan sebagian
perkataan?
Bahkan Dia menjadikan hal ini sebagai pelajaran bagi hamba-hamba-Nya, seperti
yang terjadi menurut Sunnah-Nya pada diri orang-orang yang mengada-adakan
perkataan terhadap-Nya. Seperti makna
firman-Nya,
“Bahkan
mereka mengatakan, “ Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap
Allah.’ Maka jika Allah menghendaki
niscaya Dia mengunci mati hatimu.”
Sampai di
sini jawaban syarat sudah habis. Kemudian
Allah menyampaikan satu pengabaran yang pasti dan tidak disertai catatan
tambahan,
“Dan Allah menghapuskan yang bathil dan
membenarkan yang haq dengan kalimat-kalimat-Nya.” (Asy-Syura;
24), dan
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan
sesuatu pun kepada manusia.’” (Al-An’am; 91)
Allah
mengabarkan, bahwa orang-orang yang menafikan pengutusan para Rasul dan
Kalam-Nya, tentu tidak menghormati-Nya sebagaimana layaknya dan tidak pula
mengetahui-Nya sebagaimana mestinya, tidak pula (boro-boro, pen.) mengetahui
Pengagungan-Nya sebagaimana mestinya. Maka
bagaimana mungkin ada orang yang beranggapan, bahwa Allah menolong orang yang
berdusta dan
membual tentang Diri-Nya? Justru hal
itu malah menambah kuat dalil dan menampakkan berbagai bukti, keterangan yang
ada di Tangan-Nya. Yang demikian ini banyak disebutkan di dalam
Al-Qur’an. Kesempurnaan-Nya yang
disucikan, Sifat-Sifat dan Keagungan-Nya dapat dijadikan dalil tentang
kebenaran para Rasul-Nya, kebenaran janji dan ancaman-Nya juga menjadi dalil
atas Wahdaniyah (ke-Esa-an)-Nya dan kebathilan syirik, seperti makna
firman-Nya,
“Dia-lah
Allah Yang tiada Ilah selain-Nya, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dia-lah Allah Yang tiada Ilah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr; 22–23)
Masih
banyak ayat lain yang serupa dengan ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Allah
menjadikan Asma’ dan Sifat-Sifat-Nya sebagai bukti atas kebathilan orang
yang menisbatkan hukum dan syari’at-syari’at yang bathil kepada-Nya. Kesempurnaan-Nya Yang disucikan mencegah
manusia untuk melanggengkan hal tersebut, seperti makna firman-Nya,
“Dan
apabila mereka melakukan perbuatan keji mereka berkata, ‘Kami mendapati
nenek moyang kami mengerjakan yang demikian, dan Allah menyuruh kami
mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya
Allah tidak menyuruh ( mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kalian ketahui?” (Al-A’raf; 28)
Setelah
firman Allah tentang syirik, kezhaliman, dan kekejian, disebutkan firman-Nya
tentang mengada-adakan perkataan terhadap Allah tanpa disertai pengetahuan.
“Semua
itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu.”
(Al-Isra’; 38)
Allah
memberitahukan kepadamu bahwa sesuatu yang jahat tentu dibenci Allah. Kesempurnaan
syari’at-Nya menolak menjadikan kejahatan itu sebagai bagian dari syari’at dan Agama. Dengan Asma’ dan Sifat-Nya Allah menunjukkan kepada
hamba-hamba-Nya tentang apa yang diperbuat-Nya dan yang diperintahkan-Nya, yang
dicintai dan dibenci-Nya, yang diberi pahala dan yang diberi siksa. Tetapi cara ini tidak bisa mengantarkan
kecuali pada orang-orang yang khusus.
Karena itu jalan dan dalil yang dilalui Jumhur (mayoritas) adalah
jalan-jalan yang bisa disaksikan. Karena
jalan ini lebih luas dan lebih mudah didapatkan. Sementara Allah melebihkan sebagian orang di
atas sebagian yang lain, dan meninggikan derajat siapapun yang dikehendaki-Nya,
dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di dalam
Al-Qur’an sudah terhimpun hal-hal yang tidak terdapat di tempat lain. Al-Qur’an adalah seruan dan hujjah,
dalil, dan yang menunjukkan / mengarahkan kepada dalil, saksi, dan yang diberi
kesaksian. Al-Qur’an adalah hukum dan
dalil, seruan dan bukti yang nyata. Firman
Allah (artinya),
“Apakah
(orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang
nyata (Al-Qur’an) dari Rabb-nya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad)?” (Hud;
17)
Allah berfirman tentang orang yang mencari tanda
kekuasaan yang menunjukkan kebenaran Rasul-Nya,
“Dan
apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu
Al-Kitab (Al-Qur’an), sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam (Al-Qur’an) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi saksi
antara aku dan antara kalian. Dia
mengetahui apa yang di langit dan di bumi.
Dan orang-orang yang percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada Allah,
mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Ankabut; 51 -52)
Allah mengabarkan Al-Kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya lebih dari cukup dari semua tanda Kekuasaan.
Di dalamnya terdapat hujjah dan bukti bahwa ia berasal dari
Allah, dan bahwa Allah mengutus Rasul dengannya. Di dalamnya juga terdapat bukti keterangan
yang pasti mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan dari adzab bagi siapa yang
mengikutinya. Kemudian Allah berfirman, “Cukuplah
Allah menjadi saksi antara aku dan antara kalian. Dia mengetahui apa yang di langit dan di
bumi.” Karena Allah
mengetahui segala apa pun, maka Kesaksian-Nya merupakan kesaksian yang paling
benar dan paling adil. Itu merupakan
Kesaksian yang didasarkan kepada Ilmu yang komplit, yang meliputi apa saja yang
dipersaksikan-Nya. Maka yang menjadi
saksi bagi-Nya juga merupakan saksi yang paling adil dan paling benar.
Allah
menyebutkan Ilmu-Nya disamping kesaksian-Nya, Kekuasaan, dan Kerajaan-Nya di
samping Pembalasan-Nya, Hikmah-Nya di samping Penciptaan dan Perintah-Nya,
Rahmat-Nya di samping penyebutan pengutusan para Rasul, Kelemah-lembutan-Nya
disamping penyebutan dosa dan kedurhakaan hamba- hamba-Nya, Pendengaran-Nya di
samping do’a dan permohonan kepada-Nya, Ilmu-Nya di samping Qadha’ dan Qadar-Nya.
Maka
perhatikanlah penyebutan Al-Asma’ Al-Husna di dalam Kitab-Nya, dan
hubungan Asma’ itu dengan Penciptaan, Perintah, Pahala, dan Siksa.
Berangkat
dari sinilah firman Allah (maknanya),
“Berkatalah
orang-orang kafir, ‘Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul.’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah menjadi saksi
antara aku dan kalian dan antara orang yang mempunyai Ilmu Al-Kitab.’” (Ar-Ra’d;
43)
Untuk
menguatkan kerasulannya, Beliau mencari kesaksian dari Allah. Engkau harus tahu kesaksian ini dan hujjah
ini akan ditegakkan terhadap orang-orang yang mendustakannya. Begitu pula makna firman-Nya,
“Katakanlah,
‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’
Katakanlah, ‘Allah. Dia menjadi
saksi antara aku dan kalian.’” (Al-An’am; 19)
Begitu pula
beberapa makna firman Allah berikut,
“(Mereka
tidak mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Al-Qur’an
yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah
menurunkannya dengan Ilmu-Nya; Dan
Malaikat-Malaikat pun menjadi saksi (pula).
Cukuplah Allah yang mengakuinya.”
(An-Nisa’; 166)
“Yasin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah,
sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-Rasul.” (Yasin;
1–3),
“Itu
adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan
kepadamu dengan haq (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di
antara Nabi-Nabi yang diutus.” (Al-Baqarah;
252),
“Muhammad
itu adalah utusan Allah.” (Al-Fath; 29), dan lain-lain.
Ini
semua merupakan kesaksian dari Allah bagi Rasul-Nya. Dia
Menampakkan, Menjelaskan, dan Menerangkan pula kebenaran kesaksian itu dengan
bukti keterangan yang akurat, dengan begitu Dia bisa memutus alasan (dalih) antara
Diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya lalu menegakkan hujjah atas mereka
(sehingga mereka tidak bisa mengelak lagi).
Keberadaan
Allah sebagai saksi bagi Rasul-Nya bisa diketahui dengan semua jenis dalil,
baik aqli (akal), naqli (Agama), fitrah
(kesiapan setiap insan untuk menerima hidayah setelah dilahirkan / dihadirkan ke muka bumi) yang urgen, dan pandangannya.
Siapa yang
memperhatikan dan mengamati hal itu, tentu akan tahu bahwa Allah menjadi saksi
bagi Rasul-Nya dengan kesaksian yang paling Benar, paling Adil, dan paling Nyata. Allah membenarkannya dengan
segala jenis pembenaran, yaitu dengan firman-Nya, yang dengannya Dia menegakkan
bukti keterangan tentang kebenaran-Nya.
Allah juga membenarkan dengan Perbuatan, dan Penetapan-Nya, serta dengan
fitrah yang dijadikan (diciptakan) Allah di dalam diri setiap
hamba, berupa Penetapan terhadap Kesempurnaan-Nya, pembebasan-Nya dari hal-hal
yang buruk dan yang tidak patut bagi-Nya.
Setiap saat Allah memberitahukan melalui Ayat-Ayat-Nya
yang menunjukkan kebenaran Rasul-Nya, agar Dia dapat menegakkan hujjah
dengannya, dan mengenyahkan segala alasan. Allah
memutuskan bagi Rasul-Nya dan bagi para pengikut Rasul-Nya, sesuai dengan janji
yang disampaikan kepada mereka, berupa Kemuliaan dan Keselamatan, Kemenangan
dan Pertolongan. Allah
memutuskan bagi musuh-musuh-Nya, dan orang-orang yang mendustakan-Nya, sesuai
dengan janji yang disampaikan kepada mereka, berupa kekecewaan dan kehinaan
serta hukuman yang disegerakan (kesesatan di dunia), untuk menunjukkan
realisasi hukuman yang ditangguhkan (Neraka di Akhirat kelak),
“Dia-lah
Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan Agama yang haq agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan, cukuplah Allah sebagai saksi.”
(Al-Fath; 28)
Allah
memenangkannya dengan 2 (dua) macam kemenangan;
*Kemenangan dengan Hujjah, bukti keterangan dan dalil, dan *Kemenangan dengan pandangan, keunggulan, dan kekuatan, sehingga Agama Allah itu
dapat mengungguli orang-orang yang melawan (menentang)nya, dan ia pun
mendapatkan pertolongan. Senada dengan
makna firman-Nya,
“(Mereka
tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), akan tetapi Allah mengakui
Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepadamu.
Allah menurunkan-Nya dengan Ilmu-Nya, dan Malaikat-Malaikat pun menjadi
saksi (pula).” (An-Nisa’; 166)
Adapun
yang di dalamnya ada Pengabaran yang datangnya dari Ilmu Allah, yang tidak
diketahui selain dari Diri-Nya, maka itu merupakan kesaksian yang paling besar, bahwa Dia-lah Yang menurunkannya,
sebagaimana makna firman-Nya di ayat lain,
“Bahkan
mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian) maka
datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang
orang-orang yang benar.’ Jika mereka
yang kalian seru itu tidak menerima seruan (ajakan) kalian itu, maka
(katakanlah olehmu), ‘Ketahuilah sesungguhnya Al-Qur’an itu di turunkan
dengan Ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Ilah selain Dia, maka maukah
kalian berserah diri (kepada Allah)?
Yang
dimaksudkan (ayat dia atas) bukan sekedar Pengabaran bahwa Al-Qur’an itu
diturunkan Allah, dan bahwa Al-Qur’an itu diketahui-Nya, sebagaimana Dia
mengetahui segala sesuatu. Sebab segala sesuatu
memang diketahui oleh Allah (yang benar maupun yang bathil). Akan tetapi maknanya, apa yang
diturunkan-Nya itu mencakup (bagian dari) Ilmu-Nya, bahwa apa yang
diturunkan-Nya itu merupakan suatu tanda keberadaan-Nya yang berasal dari
sisi-Nya. Bahwa apa yang
diturunkan-Nya itu adalah kebenaran.
Semisal dengan makna ini adalah,
“Katakanlah,
‘Al-Qur’an itu di turunkan oleh (Allah) Yang mengetahui rahasia di langit dan
di bumi.” (Al-Furqan; 6)
Ini
merupakan pengingkaran sekaligus bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan,
‘’Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu.”
“Yang juga termasuk kesaksian Allah adalah, apa
yang disusupkan-Nya ke dalam hati hamba-hamba-Nya, berupa pembenaran yang
pasti, keyakinan yang tetap, dan thuma’ninah (ketenangan
/ ketegaran jiwa yang tergambar pada anggota tubuh / Jawarih) terhadap Kalam dan Wahyu-Nya.
Tradisi biasanya menghimpun kedustaan yang
paling besar, mengada-adakan perkataan terhadap Allah, Rabb semesta
alam, mengabarkan sesuatu dari-Nya yang bertentangan dengan Asma’ dan
Sifat-Sifat-Nya, bahkan mendatangkan keragu-raguan yang amat besar. Namun fitrah dan akal sehat
menolaknya, sebagaimana fitrah yang dijadikan di dalam diri binatang
yang menolak makanan yang tidak baik (berbahaya baginya), yang tidak layak untuk dimakan, seperti kotoran dan hal-hal yang busuk (buruk).
Sesungguhnya Allah telah menjadikan fitrah
di dalam hati untuk menerima kebenaran, tunduk kepadanya, merasa tenang dan
tenteram dengannya, serta mencintainya. Fitrah
hati itu juga membenci kedustaan dan kebathilan, menyangsikannya, menghindar
darinya, dan tidak tenang dengannya.
Sekiranya
fitrah tetap dalam keadaan semula (yang dibawa manusia sejak lahir), tentu ia
tidak akan mementingkan selain kebenaran dan tidak merasa tenang kecuali
kembali padanya, tidak tenteram kecuali bersamanya, dan tidak mencintai
selainnya. Karena itulah Allah
memerintahkan hamba-hamba-Nya agar memperhatikan Al-Qur’an. Sebab, siapa pun yang memperhatikan dan
mendalami Al-Qur’an (tidak sekedar dibaca), tentu akan mendapatkan ilmu dan
keyakinan yang mantap, bahwa Al-Qur’an itu adalah benar dan haq, bahkan
lebih haq dari segala yang haq, lebih benar dari segala yang benar, bahwa apa
yang dibawanya adalah penciptaan Allah yang paling benar, paling baik, dan
paling sempurna dari sisi Ilmu, Amal maupun Ma’rifat. Sebagaimana juga makna firman-Nya,
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?
Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(An-Nisa’; 82), dan
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad;
24)
Sekiranya
kunci dilepaskan dari hati, tentu ia akan menyatu dengan hakikat-hakikat
Al-Qur’an, dan di dalamnya bersinar pelita-pelita iman.
Dengan ilmu yang dibutuhkan, yang bersemayam di dalam hati seperti
berbagai perasaan yang bersemayam di dalamnya, seperti kesenangan, penderitaan,
cinta, dan takut, ia pun mampu mengetahui bahwa Al-Qur’an itu dari sisi Allah,
yang disampaikan-Nya dengan benar, dan yang disampaikan utusan-Nya, Jibril ‘alaihissalam
kepada utusan-Nya yang lain, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saksi fitrah yang ada di dalam hati ini
merupakan saksi yang paling penting. Bahkan Heraklius (Raja Romawi) pun berhujjah
dengan saksi ini ketika berhadapan dengan Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu,
ketika dia (Heraklius) bertanya kepadanya, “Adakah seseorang di antara mereka
yang murtad, karena kebencian kepada agama (Islam) setelah ia masuk ke
dalamnya?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada.”
Maka Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Begitu
pula iman, jika keceriaannya telah menyatu dengan hati, maka tak seorang pun
yang membencinya.”
Allah telah
mengisyaratkan makna ini di dalam firman-Nya,
“Sebenarnya
Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu.” (Al-Ankabut; 49), dan
“Dan
orang-orang yang diberi ilmu (Al-Kitab) berpendapat, bahwa wahyu yang
diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itulah yang benar.” (Saba’;
6), dan
“Dan
agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa Al-Qur’an itulah
yang haq dari Rabb-mu.” (Al-Hajj; 54), dan
“Apakah
orang yang mengetahui, bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itu adalah
benar – sama dengan orang yang buta?” (Ar-Raa’d; 19), dan
“Orang-orang
kafir berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat)
Dari Rabb-nya?’ Katakanlah,
‘Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan menunjuki
orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.” (Ar-Ra’d; 27)
Dengan perkataan lain, ayat yang mereka pinta itu
tidak akan mendatangkan petunjuk. Tetapi
Allah-lah Yang memberi petunjuk dan Yang menyesatkan. Kemudian Allah mengingatkan mereka tentang
ayat yang paling besar dan agung, yaitu ketenteraman hati orang-orang
beriman (mukmin), dengan cara mengingat Allah;
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati itu menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d; 28)
Ketenteraman
hati dan fitrah yang sehat, serta kecenderungan hati kepadanya merupakan
ayat yang paling besar. Sebab,
mustahil hati menjadi tenteram karena kecenderungan hati kepada kedustaan,
pembualan, dan kebathilan.
Jika ada
yang bertanya; Mengapa Allah tidak
menyebut kesaksian para Rasul-Nya bersama para Malaikat, sehingga dikatakan,
“Allah mempersaksikan bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan para Rasul-Nya (juga mempersaksiakan yang
demikian itu)? Padahal kesaksian mereka
lebih besar daripada kesaksian orang-orang berilmu.”
Hal ini dapat
dijawab sebagai berikut; Bahwa di sini
ada beberapa manfaat di antaranya;
·
Orang-orang yang berilmu lebih umum daripada
para Nabi dan Rasul. Sebab para Nabi dan Rasul termasuk
orang-orang berilmu dan para pengikut
mereka.
· Disebutkannya orang-orang berilmu dalam
kesaksian ini dan pengaitannya dengan mereka, menunjukkan bahwa kesaksian
itu merupakan bagian dari keharusan ilmu.
Sehingga siapa pun orang-orang yang berilmu (benar ilmunya) tentu akan menyatakan
kesaksian yang serupa, seperti ucapan, “Jika bulan sabit muncul”, yang
berarti siapa pun yang memiliki penglihatan tentu akan melihatnya. Jika dikatakan, “Ada bau yang semerbak”,
artinya siapa pun yang memiliki penciuman tentu akan merasakan baunya
yang semerbak. Makna firman Allah,
“Dan diperlihatkan Neraka dengan jelas kepada setiap orang yang
melihat.” (An-Nazi’at; 36)
Setiap orang yang memiliki penglihatan tentu akan melihatnya dengan
mata-kepalanya sendiri saat itu.
Di sini terkandung pengertian, bahwa
barangsiapa yang tidak memberikan kesaksian terhadap Allah dengan kesaksian
ini, maka dia termasuk orang-orang yang paling bodoh, meskipun dia mengetahui ini
dan itu dari berbagai urusan dunia yang tidak diketahui orang lain. Orang itu dikategorikan orang bodoh, dan
bukan orang-orang yang berilmu.
Seperti yang telah kami jelaskan, tidak ada yang menyatakan dan
melaksanakan kesaksian ini kecuali para pengikut Rasul. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati
yang teguh, dan merekalah (hakikat) orang-orang yang berilmu.
Sementara selain mereka adalah orang-orang yang bodoh, kendati mereka
mampu berbicara banyak dan pandai berdebat!
Disamping itu, Kesaksian Allah hanya
bagi orang-orang yang layak menerima kesaksian tersebut, yaitu orang-orang
yang berilmu. Kesaksian Allah bagi mereka adalah
kesaksian yang lebih besar dan lebih adil daripada kesaksian golongan Jahmiyah,
Atheis, serta Antek Fir’aun, karena mereka adalah orang-orang yang bodoh dan
orang-orang yang buruk.
Maka Allah mencukupkan dengan kesaksian orang-orang yang paling benar, yaitu
orang-orang berilmu. Sebab
mereka memberikan kesaksian dengan hakikat kesaksian Allah bagi Diri-Nya, tanpa
ada penyimpangan dan pengguguran hakikat. Mereka menetapkan hakikat kesaksian
itu bagi-Nya dengan segala kandungannya.
Sementara musuh-musuh mereka menafikan (meniadakan) hakikat kesaksian
itu dari-Nya dengan menetapkan ucapan dan kiasan-kiasan.
Dalam kandungan kesaksian Ilahiyah ini ada pujian terhadap
orang-orang berilmu yang menjadi saksi dan kesetaraan mereka. Allah
menyertakan Kesaksian-Nya dengan kesaksian mereka, serta kesaksian para
Malaikat. Allah meminta kesaksian mereka
untuk sesuatu yang paling Agung, dan menjadikan mereka sebagai hujjah
atas orang-orang yang mengingkari kesaksian ini.
Sebagaimana Dia berhujjah dengan bukti keterangan yang nyata
terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran. Hujjah ditegakkan terhadap makhluk
dengan keberadaan para Rasul. Sementara
orang-orang yang berilmu adalah wakil para Rasul, dan penerus Mereka dalam
rangka menegakkan hujjah Allah atas hamba-hamba-Nya.
Kesaksian orang-orang yang
berilmu itu ada yang menafsirkannya sebagai pernyataan, ada yang
menafsirkannya sebagai penjelasan, dan ada yang menafsirkannya dengan penampakan.
Yang benar, kesaksian itu mengandung dua hal, yaitu kesaksian mereka
sebagai *Pernyataan, Penampakan, dan Pemberitahuan, *Sementara mereka pun menjadi saksi atas
semua manusia pada Hari Kiamat. Firman Allah (artinya),
“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (Ummat Islam), ummat
yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia,
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.” (Al-Baqarah;
143)
“Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri
kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia.” (Al-Hajj;
78)
Allah
mengabarkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang adil dan pilihan, memuji
penyebutan mereka sebelum menjadikan (menciptakan) diri mereka. Telah ditetapkan dalam Ilmu-Nya semenjak
zaman dahulu (azali), bahwa mereka akan menjadi saksi atas manusia pada Hari
Kiamat.
Jadi, siapa pun yang tidak menegakkan kesaksian ini, baik dari sisi Ilmu, Amal, Ma’rifat, Pernyataan, Dakwah, Pengajaran, dan Bimbingan, maka mereka tidak termasuk Saksi-Saksi Allah, meskipun dia meneriakkan kalimat Tauhid setinggi langit - hingga pita suaranya putus, atau membentangkan bendera Tauhid dari ujung bumi hingga ke ujung langit. Tanpa Ilmu dan pemahaman yang benar tentang Hakikat Tauhid, mereka tak ubahnya seperti kelompok Al-Qaeda, atau ISIS yang hanya merusak tatanan Agama Islam dan Dunia, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima dan mengakui kesaksian mereka, sebab tidak mencocoki Tauhidnya para Nabi dan Rasul 'alahimussalam.
الحمد لله رب العالمين
Jadi, siapa pun yang tidak menegakkan kesaksian ini, baik dari sisi Ilmu, Amal, Ma’rifat, Pernyataan, Dakwah, Pengajaran, dan Bimbingan, maka mereka tidak termasuk Saksi-Saksi Allah, meskipun dia meneriakkan kalimat Tauhid setinggi langit - hingga pita suaranya putus, atau membentangkan bendera Tauhid dari ujung bumi hingga ke ujung langit. Tanpa Ilmu dan pemahaman yang benar tentang Hakikat Tauhid, mereka tak ubahnya seperti kelompok Al-Qaeda, atau ISIS yang hanya merusak tatanan Agama Islam dan Dunia, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima dan mengakui kesaksian mereka, sebab tidak mencocoki Tauhidnya para Nabi dan Rasul 'alahimussalam.
الحمد لله رب العالمين
oOo
[1] Kebenaran yang disebutkan di dalam beberapa ayat ini dan juga yang lainnya, maknanya adalah hakikat yang baku, yaitu bahwa Allah telah menetapkan Hikmah, Rahmat, dan Keadilan-Nya untuk menciptakan segala apa pun di langit dan di bumi berdasarkan hakikat-hakikat yang tetap, yang ditundukkan-Nya bagi manusia, agar mereka dapat memanfaatkan dan mengambil faidah darinya, mengembangkan dan menumbuhkannya hingga sampai pada tingkat kesempurnaan, selagi mereka tetap konsisten pada Pandangan, Pemahaman, dan Implikasinya pada hakikat-hakikat yang tetap itu. Tetapi syaithan memperdayai sekian banyak manusia dan membaguskan bagi mereka dunia (untuk mengalihkan perhatian mereka, pen.), untuk menggugurkan berbagai hakikat di dalam diri dan ufuk. Pada awalnya mereka menggugurkan hakikat kemanusiaannya yang memiliki kemampuan penalaran. Mereka (syaithan) membual bahwa manusia tidak bisa memahami dan memikirkan tentang Allah, Bukti-bukti Kekuasaan-Nya di alam dan tidak pula Syari'at-syari'at-Nya yang diturunkan kepada para Nabi. Mereka bertaqlid dengan taqlid buta (membeo saja) dan melalaikan setiap hakikat yang ada di alam ini. Mereka yakin (diyakinkan oleh syaithan, pen.) bahwa para wali mereka yang sudah mati - masih hidup seperti keadaan mereka di dunia, yang mampu mendengar dan melihat, yang bisa memberi dan menahan. Karena itu mereka berdo'a kepada para wali itu dan menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah. Mereka menggugurkan hakikat batu dan tembaga, lalu mereka mensucikannya dan menganggapnya dapat memberi berkah jika bebatuan itu diletakkan di atas kuburan para wali, atau dibentuk seperti rupa orang-orang yang mereka sucikan. Begitulah "cara" mereka menggugurkan hakikat-hakikat syari'at yang diturunkan dan ayat-ayat (wahyu). Mereka menganggap syari'at dan wahyu ini tidak memiliki makna dan tujuan, baik dalam aqidah, syari'at, maupun hukum. Bahkan mereka menjadikannya bagian seremonial (upacara belaka, pen.) ketika ada kematian dan acara makan-makan bersama. Begitulah gambaran gugurnya berbagai hakikat alam dan syari'at di dalam akal mereka yang telah mati. Orang yang sudah mati tetaplah orang mati semenjak dia dikuburkan di kolong tanah. Batu tetaplah menjadi batu menurut hakikatnya sejak ia diciptakan Allah. Al-Qur'an juga tetap seperti sedia kala ketika Allah menurunkannya sebagai Rahmat, Petunjuk, dan Khabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, Sunnah-Nya, dan Tanda-tanda Kekuasaan-Nya di alam dan secara ilmiah. Tiada yang berubah selain dari Jiwa, Roh, dan Hati (fitrah,pen blog.) mereka, sehingga mereka menjadi seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh karena itu mereka tidak mengerti. Sesungguhnya binatang melata yang paling buruk di sisi Allah adalah yang tuli, bisu, dan tidak mampu berpikir.
[2] Boleh jadi yang lebih mengena, bahwa dhamir (kata ganti) di sini kembali kepada tanda-tanda kekuasaan Allah di alam dan sunnah-Nya yang penuh hikmah, yang termuat di dalam surat ini, yang kemudian Allah menyeru untuk memikirkannya dan mengambil pelajaran darinya, agar pintu iman kepada ayat-ayat-Nya terbuka di hadapan mereka. Sebab yang menghalangi mereka dan juga orang-orang yang lain sebelum mereka, maupun sesudah mereka ialah karena jauh dari iman kepada Rasul dan keengganan untuk mengikutinya, kecuali orang yang bisa melepaskan diri dari kebutaan taqlid yang menutupi pandangan mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran dalam sunnah Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini. Sebaliknya mereka justru menjadikan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu sebagai olok-olok.
(Diringkas dan Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uways An-Nadwy)
[2] Boleh jadi yang lebih mengena, bahwa dhamir (kata ganti) di sini kembali kepada tanda-tanda kekuasaan Allah di alam dan sunnah-Nya yang penuh hikmah, yang termuat di dalam surat ini, yang kemudian Allah menyeru untuk memikirkannya dan mengambil pelajaran darinya, agar pintu iman kepada ayat-ayat-Nya terbuka di hadapan mereka. Sebab yang menghalangi mereka dan juga orang-orang yang lain sebelum mereka, maupun sesudah mereka ialah karena jauh dari iman kepada Rasul dan keengganan untuk mengikutinya, kecuali orang yang bisa melepaskan diri dari kebutaan taqlid yang menutupi pandangan mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran dalam sunnah Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini. Sebaliknya mereka justru menjadikan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu sebagai olok-olok.
(Diringkas dan Disadur bebas dari kitab “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uways An-Nadwy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar