"MEREKA MENELADANI DAN MENGIKUTI ULAMA FASIK DAN
AHLI IBADAH YANG BODOH"
بسم الله الر حمان الر حيم
Mereka
meneladani dan mengikuti jejak para 'ulama yang fasik dan ahli ibadah yang
bodoh, sebagaimana makna firman-Nya,
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan
yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”
(QS. At-Taubah;
34), dan
“(Katakanlah,
Hai Ahli Kitab), janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara
yang tidak benar dalam Agama-mu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad). Dan mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia), serta mereka tersesat dari jalan yang
lurus.”
(QS. Al-Ma’idah;
77)
SYARAH
(PENJELASAN)
Termasuk
perkara kejahiliyahan adalah berdalil dengan ulama yang fasik. Yang dimaksud dengan fasik, ialah keluar dari
ketaatan kepada Allah dalam Ilmu dan Amalan.
Sedangkan yang dimaksud dengan Ulama Fasik, adalah
ulama yang tidak beramal dengan ilmunya, dan berkata atas nama Allah dengan
kedustaan - sedang mereka mengetahuinya. Seperti
mengatakan, “Ini halal dan itu haram,” sedangkan mereka mengetahui bahwasanya
mereka dusta dalam hal tersebut. Tujuannya,
untuk mencapai ambisi keduniaan dan mengikuti hawa nafsu. Apalagi dengan mengaku sebagai ulama, umat
pun akan cepat mempercayainya.
Adapun ahli ibadah yang fasik, mereka adalah
orang-orang yang beramal tanpa ilmu, dan manusia pun mempercayai mereka. Mereka (manusia) mengatakan (menganggap, pen.), “Mereka itu adalah orang-orang shalih”.
(Baca juga artikel; MANUSIA DAN HIDAYAH)
(Baca juga artikel; MANUSIA DAN HIDAYAH)
Jadi, jangan mudah tertipu dan terpesona dengan seorang alim dan ahli ibadah, hingga mereka
benar-benar berjalan lurus di atas Agama Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang orang-orang Yahudi
dan Nasrani (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani,
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”
(QS. At-Taubah; 34), dan
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.”
(QS. At-Taubah; 31)
(Baca artikel, PARA PENYEMBAH DA'I)
Hal ini
disebabkan, orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut telah menghalalkan
apa-apa yang Allah haramkan, lalu mereka (manusia) mentaatinya. Maka jadilah orang-orang alim dan rahib-rahib
tersebut sebagai sesembahan yang disembah selain Allah ‘Azza wa Jalla. Wal
‘iyyadzubillah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian). Sebab,
penghalalan dan pengharaman itu merupakan hak Allah ‘Azza wa Jalla semata (mutlak). Sehingga tidak diperkenankan bagi siapapun untuk
mengharamkan dan menghalalkan sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya,
agar manusia ridha dan menyukainya.
Saat ini, dijumpai adanya kelompok manusia yang
ber-hilah (memanipulasi hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, pen.) terhadap syari’at, yaitu menghalalkan perkara yang haram,
dalam rangka - menurut anggapan mereka - untuk mencari keridhaan manusia dan
menyenangkan mereka. Mereka lalu mencari banyak alasan
untuk lari (keluar) dari hukum yang telah ditentukan, mencari keringanan, atau
berdusta atas nama Allah Subahanahu wa Ta’ala, dengan menyatakan bahwa Allah telah menghalalkan ini atau mengharamkan
yang itu, untuk kemashlahatan si Fulan.
Mereka itulah ulama yang fasik.
Dan fasik sebagaimana yang telah diterangkan, maknanya adalah keluar
dari ketaatan kepada Allah. Allah
berfirman (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian
besar dari orang-orang alim Yahudi ...
(dst.)” (At-Taubah; 34).
Dan ini adalah panggilan untuk orang-orang yang beriman sebagai
peringatan. الاحبا ر / “Al-Ahbaar”, maknanya adalah ulama yang umumnya
digunakan untuk bangsa Yahudi, sedangkan الرهبان / “Ar-Ruhbaan”, maknanya adalah ahli ibadah yang
umumnya digunakan untuk ahli ibadah dari kalangan Nasrani. Jadi, Arruhbaniyyah terjadi di
kalangan Nasrani, sedangkan ilmu ada pada kaum Yahudi. Akan tetapi Yahudi dimurkai dan Nasrani
tersesat. Dan Allah Jalla
Jalaaluhu telah memerintahkan kepada kita pada setiap raka'at dalam shalat
untuk mengucapkan (makna ayat),
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan
mereka (yang) dimurkai (Yahudi, dan orang-orang yang menyerupai mereka, pen.) dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat (Nasrani, dan orang-orang yang menyerupai mereka, pen.).”
(QS. Al-Fatihah; 6-7)
Mereka
(orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah) adalah ahli ilmu dan
amal. غيرالمغضوب عليهم/ “Ghairi
Al-maghdhuubi ‘alaihim” {bukan
(jalan) mereka yang dimurkai}, maksudnya orang yang berilmu tanpa
dibarengi dengan amal. Merekalah para
ulama yang fasik itu.
Adapun ولا الضا لين / “Walaa Adh-dhaalliin” {“Dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat”}, yaitu
الرهبان / “Ar-Ruhbaan”,
ahli ibadah dari kalangan Nasrani dan selainnya. Mereka adalah orang-orang yang beribadah
kepada Allah tanpa dalil dan keterangan.
Mereka beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang bid’ah (tidak
ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), perkara yang
diada-adakan (baru), dan khurafat (tahayul).
Allah telah melarang kita (orang-orang beriman) untuk meneladani para ulama yang fasik dan ahli ibadah yang sesat (bodoh), serta memerintahkan kita untuk mengambil kebenaran dengan dalilnya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di zaman sekarang ini, jika seseorang menginginkan sesuatu, maka ia mengatakan, “Perkara ini telah difatwakan oleh si Fulan.” Tanpa mau meneliti sandarannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan bila dikatakan kepadanya, bahwa fatwa itu keliru, maka ia akan mengatakan, “Tidak ada masalah bagiku, selama perkara (tersebut) telah difatwakan oleh si Fulan.”
Allah telah melarang kita (orang-orang beriman) untuk meneladani para ulama yang fasik dan ahli ibadah yang sesat (bodoh), serta memerintahkan kita untuk mengambil kebenaran dengan dalilnya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di zaman sekarang ini, jika seseorang menginginkan sesuatu, maka ia mengatakan, “Perkara ini telah difatwakan oleh si Fulan.” Tanpa mau meneliti sandarannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan bila dikatakan kepadanya, bahwa fatwa itu keliru, maka ia akan mengatakan, “Tidak ada masalah bagiku, selama perkara (tersebut) telah difatwakan oleh si Fulan.”
Apabila
diketahui bahwa fatwa itu tidak sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia akan
berkata (sebaliknya), “Fatwa ini tidak benar, atau terlalu keras.” Lalu mereka dengan segera mengumpulkan kesalahan
dan kekeliruan ulama (Ahlussunnah) tersebut dan disusunnya dalam sebuah
kitab. Kemudian mereka sebarkan di
tengah-tengah manusia, dalam rangka (menurut anggapan mereka) memberikan
wawasan.
Mereka
lalu mengatakan, “Agama Islam adalah agama yang memiliki toleransi. Maka janganlah kalian membuat sempit manusia.”
Dan bila
dikatakan kepada mereka, “Cobalah fatwa itu dicocokkan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.” Mereka akan menjawab, “Ini
adalah perkataan ulama.” Jadi, apakah
seseorang lebih besar (tinggi) kedudukannya daripada Al-Kitab da As-Sunnah
(?), sehingga ucapannya tidak perlu dicocokkan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah?!
Perbuatan
semacam ini hanya dilakukan oleh para penghamba hawa nafsu. Wal ‘iyaadzubillah (kita berlindung
kepada Allah dari hal itu).
Merekalah orang-orang yang disebutkan Allah Subahanhu wa Ta’ala
dalam ayat-Nya (artinya),
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”
(QS. At-Taubah; 31)
Dan
apabila mereka dilarang dari perbuatan bid’ah yang telah diperingatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berkata, “Ini
amalan yang biasa dilakukan oleh si Fulan, ia seorang alim (shalih). Dan juga diamalkan oleh penduduk negeri si
Fulan, yang mereka semuanya memiliki kebaikan dan ketakwaan.”
Maka
kita katakan kepada mereka, “Keshalihan dan ketakwaan saja tidaklah cukup, harus disertai dengan keselarasan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.”
Mengambil
dan menerima pendapat ulama atau ahli ibadah, tanpa mencocokkan dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah, merupakan perilaku orang-orang jahiliyah.
Dimana mereka telah menjadikan ulama dan ahli ibadah
mereka sebagai sesembahan selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Wallahu Al-Muwaffiq
(Hanya Allah-lah pemberi Taufik).
oOo
(Disalin
dari kitab “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab At-Tamimi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar