Jumat, 15 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-9)



"MEREKA MENELADANI DAN MENGIKUTI ULAMA FASIK DAN AHLI IBADAH YANG BODOH"

بسم الله الر حمان الر حيم

Mereka meneladani dan mengikuti jejak para 'ulama yang fasik dan ahli ibadah yang bodoh, sebagaimana makna firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”  
(QS. At-Taubah;  34), dan
“(Katakanlah, Hai Ahli Kitab), janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam Agama-mu.  Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad).  Dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), serta mereka tersesat dari jalan yang lurus.”  
(QS. Al-Ma’idah;  77)

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk perkara kejahiliyahan adalah berdalil dengan ulama yang fasik.  Yang dimaksud dengan fasik, ialah keluar dari ketaatan kepada Allah dalam Ilmu dan Amalan.  Sedangkan yang dimaksud dengan Ulama Fasik, adalah ulama yang tidak beramal dengan ilmunya, dan berkata atas nama Allah dengan kedustaan - sedang mereka mengetahuinya.  Seperti mengatakan, “Ini halal dan itu haram,” sedangkan mereka mengetahui bahwasanya mereka dusta dalam hal tersebut.  Tujuannya, untuk mencapai ambisi keduniaan dan mengikuti hawa nafsu.  Apalagi dengan mengaku sebagai ulama, umat pun akan cepat mempercayainya.
Adapun ahli ibadah yang fasik, mereka adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu, dan manusia pun mempercayai mereka.  Mereka (manusia) mengatakan (menganggap, pen.),  “Mereka itu adalah orang-orang shalih”.
(Baca juga artikel;  MANUSIA DAN HIDAYAH)
Jadi, jangan mudah tertipu dan terpesona dengan seorang alim dan ahli ibadah, hingga mereka benar-benar berjalan lurus di atas Agama Allah ‘Azza wa Jalla.  Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani (artinya),
 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”   
(QS. At-Taubah;  34), dan
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”  
(QS. At-Taubah;  31)
(Baca artikel, PARA PENYEMBAH DA'I)
Hal ini disebabkan, orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut telah menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan, lalu mereka (manusia) mentaatinya.  Maka jadilah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut sebagai sesembahan yang disembah selain Allah ‘Azza wa Jalla. Wal ‘iyyadzubillah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian).  Sebab, penghalalan dan pengharaman itu merupakan hak Allah ‘Azza wa Jalla semata (mutlak).  Sehingga tidak diperkenankan bagi siapapun untuk mengharamkan dan menghalalkan sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya, agar manusia ridha dan menyukainya.
Saat ini, dijumpai adanya kelompok manusia yang ber-hilah (memanipulasi hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, pen.) terhadap syari’at, yaitu menghalalkan perkara yang haram, dalam rangka - menurut anggapan mereka - untuk mencari keridhaan manusia dan menyenangkan mereka.  Mereka lalu mencari banyak alasan untuk lari (keluar) dari hukum yang telah ditentukan, mencari keringanan, atau berdusta atas nama Allah Subahanahu wa Ta’ala, dengan menyatakan bahwa  Allah telah menghalalkan ini atau mengharamkan yang itu, untuk kemashlahatan si Fulan.  Mereka itulah ulama yang fasik.  Dan fasik sebagaimana yang telah diterangkan, maknanya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah.  Allah berfirman (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi ...  (dst.)”  (At-Taubah;  34).  Dan ini adalah panggilan untuk orang-orang yang beriman sebagai peringatan.  الاحبا ر / “Al-Ahbaar”, maknanya adalah ulama yang umumnya digunakan untuk bangsa Yahudi, sedangkan  الرهبان / “Ar-Ruhbaan”, maknanya adalah ahli ibadah yang umumnya digunakan untuk ahli ibadah dari kalangan Nasrani.  Jadi, Arruhbaniyyah terjadi di kalangan Nasrani, sedangkan ilmu ada pada kaum Yahudi.  Akan tetapi Yahudi dimurkai dan Nasrani tersesat.  Dan Allah Jalla Jalaaluhu telah memerintahkan kepada kita pada setiap raka'at dalam shalat untuk mengucapkan (makna ayat),
Tunjukilah kami jalan yang lurus.  (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka (yang) dimurkai (Yahudi, dan orang-orang yang menyerupai mereka, pen.) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani, dan orang-orang yang menyerupai mereka, pen.).”  
(QS. Al-Fatihah;  6-7)
Mereka (orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah) adalah ahli ilmu dan amal.       غيرالمغضوب عليهم/ “Ghairi Al-maghdhuubi ‘alaihim”  {bukan (jalan) mereka yang dimurkai}, maksudnya orang yang berilmu tanpa dibarengi dengan amal.  Merekalah para ulama yang fasik itu.
Adapun  ولا الضا لين  / “Walaa Adh-dhaalliin” {“Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”}, yaitu  الرهبان / “Ar-Ruhbaan”, ahli ibadah dari kalangan Nasrani dan selainnya.  Mereka adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa dalil dan keterangan.  Mereka beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang bid’ah (tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), perkara yang diada-adakan (baru), dan khurafat (tahayul).
Allah telah melarang kita (orang-orang beriman) untuk meneladani para ulama yang fasik dan ahli ibadah yang sesat (bodoh), serta memerintahkan kita untuk mengambil kebenaran dengan dalilnya, yaitu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan di zaman sekarang ini, jika seseorang menginginkan sesuatu, maka ia mengatakan, “Perkara ini telah difatwakan oleh si Fulan.”  Tanpa mau meneliti sandarannya dari Al-Kitab dan As-Sunnah.  Dan bila dikatakan kepadanya, bahwa fatwa itu keliru, maka ia akan mengatakan, “Tidak ada masalah bagiku, selama perkara (tersebut) telah difatwakan oleh si Fulan.”
Apabila diketahui bahwa fatwa itu tidak sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia akan berkata (sebaliknya), “Fatwa ini tidak benar, atau terlalu keras.”  Lalu mereka dengan segera mengumpulkan kesalahan dan kekeliruan ulama (Ahlussunnah) tersebut dan disusunnya dalam sebuah kitab.  Kemudian mereka sebarkan di tengah-tengah manusia, dalam rangka (menurut anggapan mereka) memberikan wawasan.
Mereka lalu mengatakan, “Agama Islam adalah agama yang memiliki toleransi.  Maka janganlah kalian membuat sempit manusia.”
Dan bila dikatakan kepada mereka, “Cobalah fatwa itu dicocokkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”  Mereka akan menjawab, “Ini adalah perkataan ulama.”  Jadi, apakah seseorang lebih besar (tinggi) kedudukannya daripada Al-Kitab da As-Sunnah (?), sehingga ucapannya tidak perlu dicocokkan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah?!
Perbuatan semacam ini hanya dilakukan oleh para penghamba hawa nafsu.  Wal ‘iyaadzubillah (kita berlindung kepada Allah dari hal itu).  Merekalah orang-orang yang disebutkan Allah Subahanhu wa Ta’ala dalam ayat-Nya (artinya),
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.”  
(QS. At-Taubah;  31)
Dan apabila mereka dilarang dari perbuatan bid’ah yang telah diperingatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berkata, “Ini amalan yang biasa dilakukan oleh si Fulan, ia seorang alim (shalih).  Dan juga diamalkan oleh penduduk negeri si Fulan, yang mereka semuanya memiliki kebaikan dan ketakwaan.”
Maka kita katakan kepada mereka, “Keshalihan dan ketakwaan saja tidaklah cukup, harus disertai dengan keselarasan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Mengambil dan menerima pendapat ulama atau ahli ibadah, tanpa mencocokkan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, merupakan perilaku orang-orang jahiliyah.  Dimana mereka telah menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai sesembahan selain Allah ‘Azza wa Jalla. 
Wallahu Al-Muwaffiq (Hanya Allah-lah pemberi Taufik).

oOo

(Disalin dari kitab “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar